Penyidik yang Tak Pupus

Oleh Ady Amar *)

Gak ada mati-matinya, adalah sebuah ungkapan yang biasa disandarkan pada seseorang yang tetap kokoh, meski badai menerjang terus menerus serasa ingin melumatnya. Ia tetap tegar dan eksis. Julukan di atas itu julukan penuh takjub.

Julukan gak ada mati-matinya, bisa disematkan pada siapa pun dan pada aktivitas apa pun. Julukan penuh kebanggaan pada yang bersangkutan, itu karena mental yang tak terkikis oleh tempaan jalan takdir tidak mengenakkan, bahkan penuh kezaliman.

Tempaan baginya justru menguatkan mentalnya untuk tetap eksis di tengah hiruk pikuk persoalan yang muncul terus menerus tidak mengenakkan. Terus hadir sebisa ia hadir menyumbangkan apa yang dipunyainya.

Di negeri ini masih banyak pribadi yang tak pupus ditelan situasi tidak mengenakkan. Pribadi yang tidak cuma hadir pada institusi formal dengan fasilitas memadai. Baik saat berada dalam institusi resmi di mana profesionalitas dihargai sesuai kepakarannya, maupun berada di luar institusi, ia tetap memberi sumbangsih meski tanpa embel-embel materi yang didapat. Merekalah manusia istimewa dengan darma bakti tanpa batas.

Novel Baswedan dan kawan-kawannya sesama penyidik senior, yang terdepak dari KPK, bisa disebut sebagai manusia istimewa. Meski terzalimi oleh apa yang dinamakan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), meski ia sudah mengabdi belasan tahun, ia tak lantas pupus. Termasuk Novel, ada 57 orang lainnya, yang dinyatakan tidak lulus dalam TWK itu. Bahkan Novel dan beberapa kawan lainnya, sudah mengabdi sejak awal komisi anti rasuah itu terbentuk. Dan yang lainnya pun mengabdi dalam hitungan waktu cukup lama.

Spekulasi yang berkembang, bahwa mereka memang disingkirkan. Dan itu karena mereka terlalu keras tanpa kompromi dalam misi pemberantasan korupsi. Kehadirannya seolah mengganggu pihak-pihak yang kontra pada pemberantasan korupsi. Aneh, kan?

Namun demikian, mereka yang terusir itu tetap penuh semangat dalam pemberantasan korupsi. Mereka tak pupus, terus berikhtiar semampu yang bisa dilakukan. Maka, perlawanan dari balik gedung KPK itu sudah dimulai. Novel dan kawan-kawannya mulai dengan penyidikan atas gonjang-ganjing, bahwa ada dua menteri di balik bisnis PCR.

Auditor Rakyat

Naluri para penyidik senior yang terdepak itu bekerja seperti biasanya. Tidak ada yang memerintah, kecuali tanggung jawab moral yang masih dimiliki. Meski tanpa bayaran serupiah pun tidak menghalangi gerak langkah mereka tetap konsen, bahwa korupsi itu harus diberantas.

Maka, secara diam-diam Novel dan beberapa kawannya mendatangi pihak-pihak yang tahu soal bisnis PCR itu. Menggali informasi dari mereka, dan menemukan temuan awal, bahwa ada unsur kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) yang menyeret nama Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan (LBP), dan Menteri BUMN Erick Thohir.

Mestinya gonjang-ganjing isu bisnis PCR itu disambar KPK, institusi yang difasilitasi dengan perangkat yang semestinya, itu bisa cepat bergerak. Mengungkap kemungkinan adanya unsur dugaan KKN, yang menyeret dua menteri. Tapi justru aneh hal itu belum disentuhnya, entah apa dianggap kurang menarik.

KPK justru mentelengi isu terjadinya korupsi pada rencana pelaksanaan ajang Formula E, yang itu tampak dipaksakan dan mengada-ada. Bagi KPK "menggarap" Formula E, memang tidak punya risiko politis, karena yang disasar adalah Anies Baswedan.

Secara politis memang Anies tidak sekuat LBP apalagi plus Erick Thohir. Jadi, KPK memilih yang ringan-ringan saja dan punya nilai plus jika ditemukan penyimpangan, yang meski secara hukum tidak mungkin bisa menyeret Anies Baswedan. Tapi setidaknya punya nilai tersendiri, meski hanya tepuk sorak kegembiraan semu dari mereka yang memang berharap Anies terperosok.

Secara kebetulan, Novel dan kawan-kawan eks penyidik KPK, dipertemukan dengan kemunculan Kaukus Masyarakat Sipil untuk Demokrasi dan Keadilan, hadir membantu untuk melakukan audit bisnis tes PCR.

Maka sinergi dimungkinkan. Dimana Novel dengan ketua Kaukus Fery Julianto, dan pakar hukum tata negara Refly Harun, serta beberapa orang lainnya sepakat membentuk "auditor rakyat".

Pembentukan auditor rakyat itu guna menjawab tantangan yang disampaikan LBP untuk diaudit, terkait dugaaan penyalagunaan bisnis PCR. Kita lihat saja apakah LBP, dan tentu Erick Thohir, berani mewujudkan tantangannya, atau sekadar gertak sambal saja. Jika tidak merasa bagian dari mereka yang membisniskan PCR, mengapa mesti takut untuk diaudit. Justru itu kesempatan untuk menunjukkan, bahwa pak menteri bukan bagian dari mereka yang dikesankan serakah di atas penderitaan rakyat.

Dan, kita rakyat merdeka, akan dengan seksama melihat tim auditor rakyat itu bekerja, guna membuka seterang benderang apakah dua menteri itu ada di balik bisnis PCR atau tidak. Jika terlibat, maka bisa dipastikan itulah muslihat yang sebenarnya guna memperkaya diri sendiri. Di saat rakyat di masa pandemi tengah dalam kondisi kesulitan hidup. (*)

*) Kolumnis

303

Related Post