OPINI
Refleksi Akhir Tahun 2021: Konstitusi yang Diingkari, Petaka yang Menghampiri
Oleh: Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar Institut Teknologi 10 November (ITS) Surabaya SEBAGAI manusia yang dilahirkan oleh sepasang ayah dan ibu di Republik ini, kita adalah warga negara yang memiliki hak-hak yang dijamin oleh konstitusi. Seperti halalnya ayah ibu kita hidup di negeri ini, halal juga kita hidup di sini, Rumah Kita. Tidak ada satu setanpun yang boleh mengusir kita dari negeri ini tanpa alasan yang konstitusional. Setiap bullying soal pergi dari negeri ini harus dijawab dengan gundhulmu amoh. Adalah tugas pemerintah yang diberi amanah, melalui konstitusi pula, oleh negara untuk menjamin pemenuhan hak-hak kita itu setelah sekian lama dirampas oleh penjajah. Konstitusi itu adalah pernyataan kemerdekaan bangsa ini. Tanpa konstitusi itu pelindung kita itu maka kehidupan kita sebagai warga negara akan jatuh sebagai budak. Pemerintah boleh saja mengatakan telah menghabiskan banyak anggaran, bahkan dengan berhutang Triliunan Rupiah, tapi tetap saja pemerintah harus mempertanggungjawabkan penggunaannya untuk membebaskan kita dari perbudakan. Pemerintah, atas amanah konstitusi, memiliki hampir semua sumberdaya. Dan, itu cukup jika dikelola dengan benar. Tapi, saat pemerintah berganti, datang dan pergi, ternyata tidak banyak pemerintah yang memiliki kesanggupan dan kompetensi teknis dan moral untuk melaksanakan amanah konstitusi itu, yaitu membebaskan warga negara dari perbudakan, kelaparan, keyatiman tanpa perlindungan, dan kemiskinan. Sudah cukup lama sejak reformasi, warga negara dijadikan sekedar jongos politik melalui pemilu yang nyaris selalu berakhir memilukan. Kemudian warga negara juga dijadikan pula jongos ekonomi untuk secara patuh menjalankan mesin-mesin pabrik milik investor asing, dan aseng dengan imbalan yang tidak seberapa. Berbagai undang-undang dibuat dan ditafsirkan bukan untuk kepentingan warga pemilih, tapi untuk kepentingan segelintir elit yang makin serakah mengumpulkan hampir semua sumberdaya ekonomi dan politik. Hukum pun dipermainkan tajam ke bawah tumpul ke atas. Terkadang juga untuk mengkriminalisasi ulama atau memudahkan seks bebas di kampus. Aparat juga diperkuat untuk makin leluasa menangkap dan memenjarakan warganya sendiri. Maladministrasi publik terjadi dengan skala yang makin luas sehingga membahayakan eksistensi Republik. Sementara itu, berbagai bencana telah memporak porandakan kehidupan masyarakat banyak, menyisakan penderitaan dan kepedihan. Pandemi dijadikan alat untuk melakukan berbagai pembatasan, konon untuk mencegah penularan, tapi terbukti telah merampas kemerdekaan kita. Bahkan ada yang mengambil untung di atas nestapa masyarakat selama pandemi ini. Lingkungan hidup pendukung semua upaya membangun Republik telah semakin rusak oleh ulah tangan manusia. Kualitas air, udara, dan tanah serta laut akibat berbagai pencemaran terus menurun dengan kecepatan yang makin mengkhawatirkan. Anak dan cucu kita mendatang mungkin tidak mewarisi apapun kecuali lingkungan hidup yang rusak, hutang yang menggunung yang merampas kemerdekaan dan memperbudak mereka. Ini tidak bisa diterima. Jika membangun adalah memerdekakan, seharusnya setiap pemerintah berusaha keras dan sungguh-sungguh untuk memperluas kemerdekaan yang awalnya sudah diproklamasikan oleh the founding fathers; Dipertahankan dan dilanjutkan oleh para generasi penerusnya; tidak mempersempitnya dengan membiarkan kekuatan-kekuatan asing nekolimik menjarah negeri, atau bahkan bersekongkol dengan mereka itu. Jika ada gelagat pengingkaran terhadap tugas-tugas konstitusional itu, para patriot bangsa harus siap menempuh jalan yang diilhamkan oleh Pembukaan UUD ‘45 untuk konsisten berjuang mewujudkan mayarakat yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Tugas kita yang mengaku beriman saat ini hanya memantaskan diri agar Allah SWT Tuhan YME mendatangkan kebenaran konstitusi, maka insya’ Allah kebathilan perbudakan akan pergi. Let us do our best and let Him do the rest. Pamekasan, 18/12/2021.
Politik Perselingkuhan
Boleh jadi, kasus hubungan gelap Ketua Umum Partai Golkar yang juga menjabat menteri pada kabinet Jokowi, dengan seorang perempuan bernama Rifa Handayani. Merupakan fenomena-fenomena perselingkuhan yang bisa terjadi juga pada ketua umum partai yang lain. Bedanya, yang terjadi pada Airlangga Hartanto terlanjur muncul ke publik dan membuat geger seantero republik. Lepas dari persoalan politik atau tidak. Sementara kalaupun benar terjadi pada pimpinan atau kader parpol berbeda, mungkin masih bisa ditutup-tutupi dan belum terungkap. Disembunyikan dengan rapi, serapi-rapinya seperti kasus korupsi dan kebobrokan lainnya. Meski akhirnya akan terbongkar juga. Oleh Yusuf Blegur, Pegiat Sosial dan Aktifis Yayasan Human Luhur Berdikari DI TENGAH-tengah maraknya kasus korupsi dan blangsaknya penyelenggaraan negara, publik dikagetkan oleh munculnya berita tak sedap yang menimpa anak dari Ir. Hartarto Sastrosunarto yang menjadi menteri era ORBA dan salah satu orang kepercayaan Soeharto. Pucuk pimpinan partai Golkar sekaligus Menteri Koordinatir Bidang Ekonomi pemerintahan Jokowi. Kali ini tersandung bukan soal korupsi, tapi tentang hubungan asmara ilegal yang mendera capres 2024 dari partai Golkar itu. Menarik, selain korupsi, skandal perempuan juga bisa ikut menyeret pejabat. Selama kepemimpinan Jokowi, sepertinya partai Golkar bersaing ketat dengan PDIP. Persaingan yang hebat bukan hanya soal pencapresan, melainkan juga dalam melahirkan kader yang terlibat kasus korupsi dan distorsi kebijakan politik lainnya. Sebut saja korupsi bansos atau setidaknya di kementerian sosial, kader kedua partai itu terakhir cukup menonjol. Beda halnya dengan PDIP yang masih bisa menyembunyikan Harun Masiku yang menjadi mata rantai yang hilang dari kasus korupsi. Partai Golkar justru gagal menyimpan dalam-dalam aib selingkuh ketua umumnya. Harta, Tahta dan Wanita Publik masih belum lupa, saat partai Golkar juga sempat tercoreng skandal perselingkuhan Yahya Zaeni dan Eva Mariam. Kader Golkar yang menjadi anggota DPR saat itu, tak tanggung-tanggung, Yahya Zaini saat itu pengurus DPP Partai Golkar yang membawahi bidang kerohanian. Memori pada Yahya Zaini mengingatkan kesadaran publik, bahwa perselingkuhan di partai Golkar bukan pertama kali terjadi dan yang kini menyeret Airlangga Hartanto, seorang kader terbaik Golkar yang menjadi menteri sekaligus capres potensial. Selain trend korupsi, kasus birahi terlarang kerap kali menyelimuti pejabat di jajaran eksekutif dan legislatif. Menggelayuti pesohor dari kader-kader partai politik besar di negeri ini. Tak sedikit pejabat dan pemimpin yang tersungkur karena kemolekan seorang wanita. Mungkin inilah konsekuensi logis dari sistem politik yang memisah relasi agama dari negara. Sekulerusasi dan liberalisasi membentuk mental dan pikiran para penyelenggara tercerabut dari nilai spiritual. Dahaga akan moralitas. Kering pada asupan agama. Bukan hanya pada pejabat dan pemimpin, bahkan rakyat juga terkontaminasi penghambaan pada materi dan kebendaan lainnya. Manusia terlebih di Indonesia kini terjangkiti penyakit yang menjadi pandemi permanen, berupa wabah cinta dunia dan takut mati. Sungguh mulia agama Islam dan menjadi kebenaran yang hakiki. Jauh sebelumnya melalui Kitabullah Al Quranul Karim, Allah Subhanallahu wa Ta\'ala mewanti-wanti, mengingatkan dan menegaskan. Bahwasanya ujian pada manusia itu sungguh berat. Ia bisa hadir dalam serba kekurangan dan kemiskinan. Ia juga bisa hadir dalam keberlimpahan dan kekayaan. Begitupun juga keberadaan harta, tahta dan wanita. Kesemuanya atau salah satunya, tanpa pengendalian moral dan keimanan. Begitu dahsyat menjadi kekuatan yang menghancurkan. Bukan hanya hubungan keluarga dan karir semata. Anugerah sekaligus amanat itu jika mengalami distorsi, juga mampu menggerus negara dan bangsa. Bahkan tak luput pada kerusakan peradaban manusia. Sejatinya, nyanyian Rifa Handayani akan syahdu menghentikan tour konser pencapresan Airlangga Hartanto di perhelatan pilpres 2024. Suara solo perempuan cantik itu, seakan membangunkan paduan suara rakyat. Bahwasanya, seorang Airlangga Hartanto lebih seksi dan menantang menjadi pemimpin sekaligus figur bagi keluarga. Menunaikan kewajiban membangun keluarga yang sakinah mawadah wa rohmah, ketimbang mengurus kemaslahatan negara. (*)
Capres Independen: Solusi Gaduh Presidential Threshol
Kita tentu tidak ingin negeri ini gaduh berkepanjangan. Tetapi, bisa dipastikan pula kita juga tidak ingin membiarkan aturan yang nyata-nyata mengangkangi demokrasi menjadi kenikmatan segelintir kelompok, dan pada saat yang sama menginjak-injak hak warga negara lain. Oleh: Tamsil Linrung, Ketua Kelompok DPD di MPR BUKANNYA semakin baik, pascareformasi negara malah semakin rusak. Hutang menumpuk, demokrasi ambruk, ekonomi hancur, hukum tebang pilih, kohesivitas sosial merenggang, oligarki mekar, dan negara terkesan didikte asing. Di satu sisi pidato pemimpin bangsa menggelorakan semangat kemajuan, namun di sisi lain realitas acapkali memunggunginya. Mahasiswa sampai menggelari presiden kita The King of Lip Service, raja pembohong. Kualitas bangsa memang ditentukan oleh mutu kepemimpinan. Apa yang ada sekarang, itulah buah dari pilihan kita. Tetapi pilihan rakyat tidak terlepas dari cara kita membentuk sistem pemilihan presiden. Jika sistemnya hanya memungkinkan memilih A atau B (dan maksimal C), rakyat tiada opsi kecuali memilih golput (golongan putih) yang justru semakin menyesatkan. Pangkal soalnya ada pada aturan presidential threshold atau syarat ambang batas pengajuan calon presiden oleh partai politik. Saban menjelang pemilu, aturan ini ramai digugat di Mahkamah Konstitusi. Itu adalah sinyal bahwa presidential threshold penuh anomali, tidak adil, dan bahkan tidak relevan. Hanya sepekan, sudah empat pihak yang mengajukan gugatan presidential threshold ke Mahkamah Konstitusi (MK). Penggugatnya berbagai pihak, dari kalangan oposisi seperti Presidium KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia), Gatot Nurmantyo hingga petinggi partai pendukung pemerintah Ferry Yuliantono, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra. Dua kolega saya di Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Fachrul Razi dan Bustami Zainudin, juga ikut menggugat. Sebelumnya, presidential threshold telah beberapa kali digugat ke MK, antara lain oleh ekonom senior Rizal Ramli dan Faisal Basri, mantan Pimpinan KPK (Komisi Pemberatasan Korupsi) Busyiro Muqoddas dan Bambang Widjojanto, Ketua Partai Idaman H. Rhoma Irama, Waketum Partai Gerindra Habiburokhman, pakar komunikasi politik Effendy Ghazali, dan beberapa lainnya. Namun, gugatan mereka dimentahkan MK. Di luar mereka yang berperkara di MK, tidak sedikit organisasi masyarakat sipil yang meminta presidential threshold dihapus atau menjadi nol persen. Sebut saja KNPI (Kominte Nasional Pemuda Indonesia) dan Perludem. Sejumlah partai juga menyuarakan penolakannya, seperti PAN, Demokrat dan PKS. Ketua KPK, Firly Bahuri menyatakan pemberlakuan Presidential Threshold berpotensi besar memicu korupsi, sementara mantan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono setuju nol persen. Pun, tidak sedikit pakar hukum tata negara menentang presidential threshold. Dinamika itu menegaskan, ada problem mendasar pada aturan ambang batas pencalonan presiden. Plus-minusnya telah menjadi diskursus berpuluh tahun, sehingga dengan mudah kita temui di media massa. Saya sendiri telah beberapa kali menulis soal ini. Kini, yang mendesak dilakukan adalah mencari jalan keluar. Secara hukum, menggugat ke MK adalah solusi paling popular. Ada solusi lain jika presiden menginginkan. Presiden bisa berinisiatif menerbitkan Perppu (Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang)) sebagaimana tuntutan Ketua Dewan Kehormatan petinggi Partai Demokrat, Hinca Panjaitan. Memang, dilemanya cukup ruwet. Perppu menuntut “kegentingan yang memaksa” sehingga debat soal indikator situasi genting dipastikan akan alot. Lagi pula, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarno Putri sering menyatakan, Jokowi adalah petugas partai. Sementara PDIP menolak dihapuskannya presidential threshold. Kolega saya di Badan Pekerja MPR, yaitu politisi PDIP Hendrawan Supratikno bahkan memandang angka ambang batas pencalonan presiden idealnya 30 persen, lebih tinggi 10 persen dari yang berlaku saat ini. Jika Perppu tidak memungkinkan, solusi lainnya bisa diinisiasi DPR. Namun, agaknya sulit berharap lebih ketika presidential threshold telah membuai dan membuat nyaman partai-partai besar. Saking sulitnya, anggota DPR sendiri bahkan menyerukan agar masyarakat sipil, pers, hingga mahasiswa ramai-ramai mengepung senayan. Seruan ini diajukan oleh Fadli Zon, anggota DPR dari Fraksi Grindra. Kita tentu tidak ingin negeri ini gaduh berkepanjangan. Tetapi, bisa dipastikan pula kita juga tidak ingin membiarkan aturan yang nyata-nyata mengangkangi demokrasi menjadi kenikmatan segelintir kelompok, dan pada saat yang sama menginjak-injak hak warga negara lain. Konstitusi menjamin setiap warga negara berhak dipilih dan memilih. Lalu apa solusinya? Mantan Pimpinan DPD, Laode Ida beberapa saat lalu menuliskan gagasan jalan tengah di salah satu media. Menurut Laode, aspirasi presidential threshold tidak realistis jika dikaitkan dengan representasi politik di Indonesia. Mengapa? Karena parpol yang tidak memiliki kursi di parlemen dipandang legitimatif mengusung pasangan calon presiden. Laode lalu mengusulkan agar, pertama, parpol yang masuk parliamentary threshold otomatis sudah memiliki legitimasi hukum dan legitimasi rakyat untuk mengusung capres. Kedua, dengan melihat basis dukungan fraksi di MPR yang berarti DPD sebagai salah satu fraksi di MPR pantas dan legitimat untuk mengusung capres/cawapres. Gagasan itu cukup rasional dan menarik didiskusikan. Namun, semakin 1aspiratif penyelenggaraan pemilu, tentu akan semakin berkualitas. Oleh karena itu, perlu upaya membuka saluran seluas-luasnya bagi partisipasi anak bangsa yang merasa punya kemampuan memimpin negeri. Dalam perspektif itu, selain opsi capres/cawapres dari fraksi-fraksi di MPR (DPR dan DPD), layak dipertimbangkan opsi tambahan ketiga yakni Capres/Cawapres Independen. Capres Independen memungkinkan warga bangsa yang merasa siap dan mampu memimpin negeri mendapatkan salurannya. Hal-hal teknis menyangkut kualifikasi, syarat, dan ketentuannya bisa dibicarakan dan diperketat melalui aturan perundangan. Bobotnya tentu harus sebanding dengan mereka yang maju melalui fraksi di MPR. Yang jelas, Capres independen meluaskan partisipasi politik rakyat dalam Pemilu. Hal tersebut bukan tab. Sebab, dalam pemilihan kepala daerah, keabsahan calon kepala daerah independen telah kita sepakati. Lalu, kenapa hal yang sama tidak dilakukan dalam kontestasi kepemimpinan nasional? Bukankah substansinya sama? Jika saluran partisipasi rakyat diperluas, silahkan parpol mengatur presidential threshold setinggi mungkin. Sebab, problem utama presidential threshold adalah mengebiri hak warga negara yang ingin maju, namun tidak mendapatkan dukungan parpol. Hal itu dapat dipecahkan melalui Capres independen.
Menyebut Buzzer Sebagai Aktivis Fitnah
Oleh Yusuf Blegur, Pegiat Sosial dan Aktivis Yayasan Human Luhur Berdikari Para buzzer-buzer itu mungkin saja menganggap rezim ini berkuasa selamanya. Menikmati bayaran secara ekonomi dan dilindungi kekuasaan untuk jangka waktu yang lama. Mabuk dan terlena merusak tatanan nilai baik sosial, moral, dan agama. Buzzer-buzzer istana itu merasa nyaman mengais rupiah dengan cara fitnah dan membakar konflik sosial. Mereka tak sadar, tak ada pesta yang tak berakhir. Mereka lupa, sejatinya mereka berada dalam penantian hukuman sejarah dan pengadilan rakyat. Saat dimana kekuasaan rezim tak mampu lagi melindungi dirinya, apalagi diri mereka sendiri. Banyak cara orang menjalani hidupnya. Mulai dari memilih aktifitas dan pekerjaan, menggeluti hobi hingga menjalani relasi dan interaksi sosial. Semuanya itu menjadi bagian tak terpisahkan dari eksistensi pribadI yang berkolerasi dengan keluarga, masyarakat, negara dan bangsa. Pada titik dan momen tertentu seseorang bisa menentukan hidupnya seberapa besar pengaruh dirinya pada sistem sosial yang ada. Menjadi orang biasa pada umumnya, orang berjiwa besar atau orang dengan pikiran kerdil dan picik sekalipun. Bercita-cita memberi kemaslahatan atau menimbulkan kemudharatan bagi masyarakat. Ia bisa menentukan untuk menjadi pahlawah atau penghianat. Menjadi pemenang atau pecundang. Seperti kata orang bijak, \'jangan tanyakan apa yang negara berikan padamu, tapi tanyakan apa yang telah engkau berikian pada negara\'. Menjadi manusia yang membangun atau menghancurkan negara. Ketika seseorang berada dalam strukur sebuah sistem baik di lingkungan pemerintahan atau sektor swasta. Tentunya akan menghadapi kondisi dan dinamika yang berbeda, baik pada hubungan personal, menyikapi peraturan yang berlaku maupun menghadapi tantangan pekerjaan dan lingkungan yang ada. Begitu juga dengan orang yang menginginkan tetap berada di luar sistem. Menjadi lebih bebas, tanpa tekanan dan target tertentu. Dapat berimprovisasi sesuai dengan imajinasi dan keinginannya sendiri. Baik yang berada dalam \'comfort zone\' maupun wilayah \'survivel\", keduanya sama-sama dituntut untuk memiliki kemampuan lebih menyangkut adaptasi, kreatifitas dan inovasi serta kemampuan membangun inter relasi baik terhadap sesama, tanggung jawab pekerjaan dan dalam menyikapi lingkungannya. Di luar kedua pilihan itu. Seiring trend digitalisasi yang menghasilkan kemudahan dan keberlimpahan informasi. Ada aktifitas dan pekerjaan yang dikenal sebagai pendengung atau lebih populer disebut buzzer atau influencer. Kecenderungan aktifitas yang membuat, mengembangkan sekaligus mengelola informasi. Deskripsi atau narasi yang dibangun bisa berupa produk pemikiran atau gagasan yang orisinil atau melakukan diskursus terhadap isu atau wacana yang sudah berkembang. Eksplorasi ide itu bisa mewujud sebuah tesis atau antitesis. Bisa juga menjadi kritik dan otokritik. Pada tema-tema tertentu pembahasannya bisa berlandaskan ilmiah bisa juga hanya sekedar debat kusir. Dalam ranah dan akses terhadap kepentingan ekonomi dan politik. Peranan dan manuver para buzzer terkadang mengalami banyak penyimpangan. Tampilnya buzzer kuat menjadi alat agitasi dan propaganda bagi kepentingan kelompok tertentu. Bahkan dalam rangka membangun komunikasi yang masif dan membentuk opini publik yang luas. Buzzer pada akhirnya sering dipergunakan oleh kekuasaan. Bagi rezim, menciptakan dan memelihara buzzer menjadi salah satu instrumen dalam pencapaian tujuan politik tertentu. Sementara bagi para buzzer, aktifitasnya tidak lebih dari soal-soal ekonomi. Bertransformasi sebagai alat penghidupan. Buzzer-buzzer berbayar yang bergerilya dan menjelajahi komunikasi massa secara aktifitasnya. Bekerja fokus merancang, merekayasa dan menyebarkan informasi. Termasuk melakukan disinformasi jika diperlukan. Mereka dituntut efektif dan piawai melakukan kamuflase dan manipulasi informasi. Termasuk melontarkan hujatan, pelecehan, penistaan dan penghinaan pada target politik mereka. Buzzer-buzer berbayar anggaran besar ini, bersuara lantang tanpa malu, abai kesantunan dan tuna keberadaban. Mereka tak peduli apapun dampak dan resikonya. Betapaun aktifitas mereka penuh fitnah, melakukan pembelahan sosial, dan beepotensi memicu disintegrasi nasional. Anti dan Menjadi Musuh Sosial Media mainstream dan media sosial beberapa tahun belakangan ini diramaikan dengan kehadiran orang-orang seperti Ade Armando, Denny Siregar, Ade Permana (Abu Janda), Eko Kunthadi, dll. Kemunculan mereka yang lebih sering berkicau di media sosial, diidentifikasikan publik sebagai buzzer. Mereka juga dikenal sebagai buzzerRp atau buzzer berbayar. Tidak tanggung-tanggung secara terbuka, ada penegasan aktifitas mereka dibiayai APBN. Maklum, keberadaan dan eksistensi para buzzer ini marak mengiringi pilpres baik periode 2014 dan 2019. Buzzer-buzzer ini seperti menjadi sub koordinat dari pemerintahan yang dihasilkan pilpres yang dianggap paling tidak demokratis, penuh rekayasa dan memecah-belah bangsa. Polarisasi akibat pilpres itu masih menyala-nyala hingga saat ini. Perangai buzzer, khususnya Ade Armando, Denny Siregar, Abu Janda dan manusia-manusia sejenisnya. Dianggap publik sudah melampaui batas-batas dan kepantasan. Terutama dalam soal etika, moral dan nilai-nilai keagamaan. Mereka seakan tidak lagi bisa mengelola otak dan mengatur mulutnya. Ade Armando cs, seperti mengalami cedera pemikiran yang parah. Orang-orang yang demi urusan perut semata, dapat mengabaikan harga diri dan martabatnya. Layaknya manusia yang miskin ahlak dan menantang Tuhan. Merasa kebal hukum dan dilindungi rezim. Para buzzerRp ini angkuh dan jumawa bersilat lidah dan mengumbar permusuhan dan kebencian. Selain menjadi budak sekaligus pengecer program sekulerisasi dan liberalisasi agama, khususnya Islam. Buzzer-buzzer hina ini nekat merendahkan para ulama, tokoh bangsa, para intelektual dan akademisi negeri ini. Merasa paling pintar dan tahu banyak soal negara ini, sesungguhnya para buzzer ini sedang mempertontonkan kemunafikan dan kehinaan dirinya sendiri. Berbangga karena didukung pejabat dan bersama para pendukung rezim. Buzzer terus menyakiti rakyat yang nyata-nyata telah menjadi korban kekuasaan rezim tirani. Pada akhirnya roda sejarah yang akan menentukan di titik mana kehadiran dan eksistensi para buzzer ini berhenti dan lenyap dengan sendirinya. Bersama rezim yang selama ini menjadi tempat bergelayutnya. Atau kelak, buzzer-buzzer akan dimakan dirinya sendiri. Oleh karma yang menjadi buah pikiran, ucapan dan tindakannya. Suatu saat gelombang fitnah yang disemburkannya akan tragis menerjang dan melumat sendiri para buzzer. Hingga saat itu terjadi, rakyat hanya bisa prihatin dan berupaya mengingatkan untuk bertobat kepada para buzzer, aktifis fitnah itu. (*)
Omicron Bergentayangan di Tengah Gonta-Ganti Kebijakan
Oleh Gde Siriana, Direktur Eksekutif INFUS dan Penulis Buku \"Keserakahan di Tengah Pandemi Melalui Menteri Kesehatan Budi Gunadi, Pemerintah Indonesia telah mengkonfirmasi ada satu virus Corona varian Omicron masuk ke Indonesia. Ada satu orang pasien di Wisma Atlit, seorang pekerja kebersihan, yang terkonfirmasi positif Covid-19 varian Omicron pada 15 Desember lalu. Pemerintah dilaporkan memutuskan untuk mengunci atau lockdown Rumah Sakit Darurat Covid-19 Wisma Atlet Jakarta. Langkah yang diambil pemerintah dengan penguncian Rumah Sakit sesungguhnya sudah diatur dalam UU No.6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Pasal 56 menyebutkan bahwa karantina rumah sakit dilakukan setelah dibuktikan berdasarkan hasil konfirmasi laboratorium telah terjadi penularan penyakit. Pasal 57 mensyaratkan rumah sakit yang dikarantina diberi garis karantina dan dijaga terus menerus oleh Pejabat Karantina Kesehatan, serta seluruh orang, barang, dan/atau hewan yang berada di rumah sakit yang dikarantina tidak boleh keluar dan masuk rumah sakit. Sedangkan pasal 58 menjelaskan tentang kewajiban pemerintah, bahwa selama dalam tindakan karantina rumah sakit, kebutuhan hidup dasar seluruh orang yang berada di rumah sakit menjadi tanggung jawab Pemerintah pusat dan/atau Pemerintah Daerah. Jika ditarik sedikit ke belakang, pada 19 November 2021, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy menyampaikan kepada masyarakat bahwa pemerintah akan memberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) Level 3 di seluruh Indonesia pada 24 Desember 2021 - 2 Januari 2022. Dijelaskannya, masyarakat tetap dapat merayakan Nataru namun dengan menaati aturan-aturan yang berlaku. Tujuan kebijakan tersebut untuk mengatur mobilitas masyarakat pada Nataru agar gelombang ketiga pandemi Covid-19 tidak terjadi. Jadi ini bisa dianggap ini merupakan antisipasi atau tindakan pro-aktif pemerintah. Merespons kebijakan pemerintah pusat tersebut, maka acara International Youth Championship, yang bakal menghadirkan bintang-bintang sepakbola dari FC Barcelona, Real Madrid, dan Atletico Madrid batal digelar di Bali 2-9 Desember dan Jakarta 9-11 Desember 2021. Bahkan pada 2 Desember 2021, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan juga menerbitkan Keputusan Gubernur (Kepgub) Nomor 1430 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 3 Covid-19, yang sejak 6 Desember lalu diunggah di situs resmi Pemprov DKI. Tetapi yang membuat masyarakat dan juga pemerintah daerah kaget adalah pada 7 Desember 2021, pemerintah pusat memutuskan untuk mengubah skema PPKM Level 3 selama periode libur Natal dan Tahun Baru (Nataru). Skema tersebut diubah menjadi pengetatan syarat perjalanan. Keputusan itu disampaikan Wakil Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional Jenderal TNI (Purn.) Luhut Binsar Panjaitan. Konsekuensinya, bukan hanya Gubernur DKI yang merevisi Kepgub PPKM Nataru, tetapi Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian juga harus mencabut Inmendagri Nomor 62 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Covid-19 Pada Saat Natal Tahun 2021 dan Tahun Baru Tahun 2022 dengan menerbitkan Instruksi Mendagri Nomor 66 Tahun 2021. Ini bukan kali pertama terjadi Menteri senior berbicara saling bertentangan, padahal bersumber dari pemberi arahan yang sama, yaitu presiden. Pada 16 Juli 2021 di Yogyakarta, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengatakan Presiden Joko Widodo telah memutuskan memperpanjang penerapan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat hingga akhir Juli 2021. Menurut Muhajir, Presiden Jokowi, kata Muhadjir, juga menyampaikan bahwa keputusan memperpanjang PPKM darurat ini memiliki banyak risiko. Tetapi pada 17 Juli 2021, pernyataan berbeda disampaikan oleh Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, yang mengatakan pemerintah mengambil pilihan sulit terkait PPKM darurat, oleh karena itu, keputusan belum bisa ditentukan langsung. Dari dua peristiwa tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa manajemen krisis pemerintah dalam menanggulangi pandemi tidak banyak belajar dari kegagapan merespon pandemi sebelumnya. Dari indikator 4T Manajemen Krisis pemerintah yang pernah penulis sampaikan dalam artikel sebelumnya yaitu Tanggap, Terstruktur, Teratur dan Terukur ternyata masih belum berjalan baik. Siapa yang berwenang menyampaikan informasi, apakah kebijakan sudah sudah diputuskan dengan indikator-indikator yang teratur dilakukan (testing, tracing treatment) dan terukur (capaian dan cakupan vaksinasi, herd immunitiy, serta kesiapan pengawasan pada akses keluar-masuk negara dan mobilitas warga). Sangat jelas bahwa kebijakan yang belum matang sudah disampaikan kepada masyarakat dan semestinya disampaikan langsung oleh Menteri Kesehatan, atau setidaknya oleh Ketua Gugus Tugas Covid-19 karena prioritas dalam pemberlakukan PPKM menyangkut kesehatan masyarakat. Di dalam buku “Keserakahan Di Tengah Pandemi: Tinjauan Kritis Kepemimpinan Populis-Otoriter dan Oligarki di Indonesia”, penulis menarik kesimpulan bahwa ketidakpercayaan publik merupakan konsekuensi dari tidak tanggap dan lemahnya leadership presiden Jokowi merespon pandemi, yang bisa dilihat salah satunya dari tumpang-tindih dan gonta-ganti kebijakan yang membingungkan masyarakat. Di banyak negara dengan pemimpin populis seperti Presiden AS Donald Trump, Presiden Brazil Bolsonaro, PM India Narendra Modi, dan Presiden Filipina Duterte, memiliki kecenderungan yang sama, yaitu memiliki optimis yang tidak berdasar science (misalnya terlalu dini menyatakan pandemi akan berakhir atau ekonomi akan bangkit), kepemimpinan yang ‘plin-plan’, dan tidak jujur pada angka-angka statistik. Banyak ahli pandemiolog di Eropa dan AS menyatakan bahwa badai Omicron sedang terjadi di sana disebabkan oleh 3 hal, yaitu: capain vaksinasi di sekitar 70% atau kurang, efikasi vaksin yang turun saat menghadapi serangan varian Omicron, serta lemahnya mitigasi atau mengendurnya pelaksanaan protokol kesehatan. Seharusnya ini menjadi perhatian besar pemerintah mengingat capaian vaksinasi kedua di Indonesia belum sebanyak di AS atau Eropa. Juga masih perlu dibuktikan efikasi vaksin Sinovac terhadap Omicron, yang mana paling banyak digunakan dalam vaksinasi di Indonesia. Apakah capaian-capaian itu telah berhasil membentuk imunitas komunal di atas 70%? Meskipun banyak ahli menyatakan varian Omicron tidak memberikan dampak separah varian Delta, bukan berarti pemerintah dapat meremehkannya, karena serendah apapun dampaknya pada kesehatan masyarakat tetap akan berdampak memperlambat pemulihan ekonomi. Jangan terulang ketika di bulan Juli 2021 pemerintah bingung akan memperpanjang PPKM darurat atau tidak, justru yang terjadi rumah sakit collaps. Begitu juga dengan akhir tahun ini, ketika pemerintah sibuk bergonta-ganti aturan dan kebijakan, virus Omicron justru sudah bergentayangan di sekitar kita. (*)
Joseph Suryadi Tak Senasib Samuel Paty
Oleh Ady Amar, Kolumnis Joseph Suryadi jadi berita. Bukan berita baik, justru sebaliknya. Tidak perlu mengetahui apa agamanya, dan karenanya tidak perlu ada kemarahan yang coba disasarkan pada agama yang dianutnya. Apa yang dilakukan pastilah bukan perintah agamanya. Tidak sedikit pun ada hubungan dengan agamanya. Sebelumnya, ia pribadi yang tidak dikenal, kecuali oleh komunitasnya. Ia bukan siapa-siapa. Mungkin ia ingin terkenal lalu melakukan laku konyol. Joseph Suryadi sudah ditangkap dan dipenjarakan. Ulahnya pastilah membuat keluarga kecilnya merasa menjadi tidak aman. Bahkan etnisnya pun jadi bahan cercaan, meski ulahnya sedikitpun tidak boleh ditautkan pada etnisnya. Joseph \"bermain\" tunggal, seorang diri. Karenanya, tidak ada sangkut paut dengan orang sekelilingnya. Awal mendengar postingan kurangajarnya, belum sampai melihat postingannya, hati rasa mendidih. Jika bertemu dengannya sebelum kepolisian menangkapnya, pastilah ingin juga memperlakukannya seperti Ali Radhiyallahu Anhu ketika itu, membanting untuk menghabisi si yahudi tengil yang menghina Nabi Shalallahu Alaihi Wa Salam. Bisa jadi banyak pula yang berpikir sama, karena kegeraman, ingin main hakim sendiri. Joseph Suryadi pastilah orang bodoh yang nekat memasuki wilayah sensitif agama dengan membuat karikatur menghina Nabi Muhammad dan Sayidah Aisyah Radhiyallahu Anha. Mungkin ia \"berguru\" pada Charlie Hebdo, mingguan kiri Paris, Perancis, yang kerap menampilkan karikatur Nabi, yang lalu menimbulkan reaksi keras dari kelompok yang memuliakan Nabinya. Charlie Hebdo memang kerap menghina Nabi dengan karikatur jahatnya, itu bersandar atas nama kebebasan berekspresi. Tentu itu tidak bisa diterima. Menggambar Nabi saja yang baik-baik tidak diperbolehkan, apalagi dengan mengolok-olok dengan karikatur penghinaan/pelecehan. Joseph Suryadi tersadar setelah postingan karikatur busuknya itu mengundang reaksi. Lalu ia melakukan adegan lapor pada polisi, bahwa ia kehilangan ponselnya. Tuturnya, ada orang iseng memakai ponselnya untuk mengupload karikatur yang tidak ia buat. Tentu polisi punya cara menerima setiap laporan yang masuk, dan lalu mengumumkan bahwa kehilangan ponsel itu cuma akal-akalan untuk tidak menjeratnya sebagai pelaku, tapi korban. Samuel Paty Charlie Hebdo, media yang mengagungkan kebebasan berekspresi. Seolah semua boleh dilakukan. Tampil membombardir kohesivitas hubungan antarsesama, dan bahkan sensitivitas agama (Islam). Serasa tidak ada kapok-kapoknya, beberapa kali Charlie Hebdo menerima balasan penyerangan pada awak redaksinya. Tidak sedikit yang meregang nyawa oleh mereka yang merasa Nabinya dilecehkan. Rezim Macron tampak tidak berkehendak \"mematikan\" media itu. Dalilnya, itu bagian dari ekspresi kebebasan. Tapi anehnya, saat sang istri dibuatkan karikatur bagai nenek sihir, ia marah. Sejak tahun 2006 setidaknya, Charlie Hebdo memuat karikatur kontroversial, yang awalnya mengambil dari surat kabar Denmark, Jylands-Posten. Dan terakhir di tahun 2020 peristiwa terulang, yang itu menyebabkan terpenggalnya kepala Samuel Paty. Saat mengajar murid-muridnya di kelas, pada sekolah Conflans-Sainte-Honorive, Paty memperlihatkan karikatur Nabi Muhammad, yang dimuat Charlie Hebdo. Aksinya itu menyebar di jagat pemberitaan. Maka, Anzorov pemuda yang masih 18 tahun perlu mendatanginya. Ia tinggal di wilayah Eure, Evreux, menempuh perjalanan 88 km untuk menemui Paty. Lalu terjadilah pemenggalan kepala itu. Abdullah Anzorov, pemuda asal Chechnya, Rusia. Sejak usia 6 tahun ia bersama orang tuanya bermukim di Perancis. Pemuda yang dikenal ramah, dan tidak punya riwayat kriminal, itu bisa melakukan tindakan eksekusi pada penghina Nabinya. Anzorov pastilah tidak pernah membaca kitab karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, ash-Shaarimul Maslul alaa Syaatimir Rasuul. Dimana dalam Kitab itu tertulis pendapat semua madzhab yang sepakat, siapa pun yang melecehkan Nabi Muhammad, maka ganjarannya pidana hukum mati. Meski tidak membaca Kitab itu, ia melakukannya bersandar pada iman. Konsep yang sama sekali tak difahami non-muslim. Charlie Hebdo di Paris, Perancis. Dan Samuel Paty, seorang guru yang di dalam kelas memperlihatkan karikatur penghinaan Nabi Shalallahu Alaihi wa Salam. Ulahnya ter- publish. Dan muncul kemarahan muslim, khususnya di Perancis, seolah tertebus oleh tindakan Anzorov. Joseph Suryadi tak senasib Samuel Paty yang harus terpenggal kepalanya. Beruntung ia langsung diselamatkan dengan dipenjarakan. Kasusnya wajib diangkat ke pengadilan, dan hukuman setimpal perlu diberikan. Semua kita sama-sama jadi saksi, apakah keadilan bisa ditegakkan atau tidak. Itu agar tidak perlu muncul Anzorov lainnya yang mengambil alih peran jadi eksekutor jalanan. (*)
Dagelan Of The Year
By M Rizal Fadillah Menuju akhir tahun 2021 berbagai refleksi biasa dilakukan baik ekonomi, budaya, hukum, politik dan lainnya. Tokoh-tokoh berpengaruh dinominasikan untuk predikat \"man of the year\". Intinya peristiwa atau tokoh yang menonjol di tahun itu. Salah satu yang perlu diangkat dan dinobatkan untuk tahun ini adalah \"dagelan of the year\". Ada tiga nominasi untuk dinobatkan pada akhir tahun ini, yaitu : Pertama, dagelan aksi Dudung Abdurrahman. Jenderal yang saat menjabat Pangdam Jaya mengkudeta Satpol PP untuk menurunkan baliho HRS dan saat menjadi Pangkostrad dengan gagah berani mengobrak abrik diorama Soeharto, Nasution, dan Sarwo Edhi. Penumpas G 30 S PKI berhasil ditumpas Dudung. Terakhir saat menjadi KSAD pembunuh prajurit TNI dan gerakan separatis Papua dihimbau untuk dirangkul dan \"mereka saudara\". Saudara Dudung adalah teroris, separatis, dan makaris. Kedua, dagelan Putusan MK yang membatalkan aturan omnibus law UU No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Lucu ada putusan bersyarat. Dibatalkan tetapi harus diperbaiki dua tahun. Batal tapi tetap berlaku. Demi investasi dan khidmah pada pengusaha peran banci dimainkan di panggung hukum. Hukum pesanan yang berkualitas abal-abal. Butuh berdemo terhadap Putusan MK model ini. Ketiga, dagelan persidangan kasus KM 50. Sejarah hukum buruk yang dipertontonkan kepada dunia. Pelanggaran HAM berat pembunuhan politik diadili lewat proses sumier. Kejahatan kemanusiaan sistematik yang mudah dibaca publik dimain-mainkan dalam kepura-puraan Pengadilan. Tersangka \"hanya\" dua orang Polisi, tetap aktif sebagai Polisi, penyidiknya Polisi dan saksi sebagian besar Polisi. Advokat membela Polisi. Pengadilan seperti ini didisain sebagai pabrik yang dapat menimbulkan polusi. Polusi politik yang mengacak-acak hukum. Di antara tiga nominasi di atas, hari-hari berjalan bagi para juri untuk menetapkan mana yang layak diberi gelar \"dagelan of the year\". Bukan mustahil ketiga-tiganya akan menjadi juara bersama. Bukan mustahil pula apabila tiba tiba juri memutuskan secara \"out of the box\" yakni predikat \"dagelan of the year\" jatuh kepada penanggungjawab negeri : Presiden RI ! *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Indonesia Tanah Air Siapa?
Oleh Yusuf Blegur Air beli, tanah beli, pekerjaan juga beli. Rakyat juga harus membeli kesehatan dan pendidikan. Konstitusi pun juga harus dibeli. Bahkan aparat juga bisa dibeli. Jangan-jangan akan ada saatnya rakyat harus membeli sekadar untuk tidur dan mimpinya. Kalau semua yang ada di negeri ini harus dibeli, lantas apa yang gratis dan bisa dimiliki rakyat? Sementara sejauh ini semua yang dibeli rakyat itu, kini dikuasai dan dimiliki segelintir orang, perusahaan dan pejabat-pejabat tertentu. Sebenarnya Indonesia itu punya siapa? Punya rakyat atau oligarki? Masa-masa perjuangan pergerakan hingga mencapai kemerdekaan RI, harus dibayar dengan cucuran keringat dan darah. Bahkan tidak terhitung nyawa harus dikorbankan. Semua pemberian rakyat yang yang tak bisa dinilai dan digantikan dengan uang dan materi apapun. Rakyat bersama para pemimpin-pemimpin kebangsaan mengobarkan perang suci yang menggetarkan langit dan bumi. Bukan hanya pekik merdeka, hidup mulia atau mati syahid. Takbir Allahu Akbar menggema di seantero nusantara, tatkala keyakinan menyatu dengan nasionalisme dan patriotisme untuk melenyapkan penjajahan. Ada semangat spiritualitas dan trasedental yang menyelimuti perjuangan dan pengorbanan rakyat saat itu. Mungkin yang demikian itu sesungguhnya menjadi kekuatan. Saat logika dan rasionalitas tak mampu menghadapi kedigdayaan kolonialisme dan imperialisme. Perlawanan terhadap penjajahan yang dilandasi karena mengharapkan keridhoan Allah aza wa jalla. Memiliki kesadaran dan keinsyafan pada amar maruf nahi munkar, telah menjadikan keadaan rakyat yang serba terbatas dan kekurangan itu. Mampu melahirkan negara Indonesia yang merdeka. Betapa sejarah negeri ini memang tidak bisa dipisahkan dengan peran penting Islam, meskipun sistem politiknya memisah relasi agama dan negara. Pasca itu, setelah 76 tahun melewati masa kegelapan. Selama hayat masih dikandung badan, selama itu pula rakyat hidup terjajah meskipun dalam alam kemerdekaan. Apa yang telah dikorbankan rakyat bersama para pendahulunya, nyaris tak bermakna dan meninggalkan kegetiran. Warisan kemerdekaan Indonesia tidak sepenuhnya bisa dinikmati rakyat dan generasi penerusnya. Tak ada lagi jembatan emas yang mampu menyeberangi suatu tempat bagi rakyat merasakan kemakmuran dan keadilan. Negara merdeka yang ada sekarang tak ubahnya jurang curam dan dalam bagi ketertindasan dan penderitaan rakyat. Hidup dalam kemiskinan dan kebodohan. Seiring itu, kekayaan alam yang hakikatnya milik rakyat telah dirampas oleh negara asing dan sebagian kecil bangsanya sendiri. Tak cukup sampai disitu, para pemimpin yang berpakaian pejabat dan politisi telah mewujud sebagai komprador bagi kepentingan kekuasaan nekolim. Bersama negara asing, kelompok non state dan korporasi transnasional. Indonesia kembali memasuki fase penjajahan klasik di era modern. Republik Renta dan Uzur Perlahan dan terus masif mengalami kemunduran dan keterbelakangan. Negeri ini hanya bisa menampilkan mayoritas distorsi. Dilingkupi kejahatan dan kebiadaban lainnya baik secara kualitas maupun kuantitas. Indonesia seperti sedang mengalami kesengsaraan hidup rakyatnya yang hampir sempurna. Bukan hanya demokrasi yang mengusung rakyat sebagai pemilik kebebasan dan kedaulatan. Semua yang menjadi hak dan kewajiban rakyat juga mengalami disfungsi. Rakyat tak pernah berhenti sejenak sekalipun dari korban eksploitasi rezim. Setap waktu dipaksa untuk menerima dan pasrah dari pelbagai \'abuse of power\'. Bukan hanya konstitusi dan pelbagai turunannya yang mengalami rekayasa dan sabotase. Kekuasaan juga membenturkan agama dengan radikalisme dan fundamentalisme negara. Demi kepentingan materialistik, rezim telah membuat Islam berhadap-hadapan dengan Panca Sila dan UUD 1945. Lewat kamuflase dan manipulasi, kekuasaan rajin menstigma jahat, politik identitas, gerakan membangun demokrasi dan semua kekuatan perubahan lainnya. Rezim telah menciptakan konflik agama dan konflik kebangsaan. Beretorika dan menggiring kebijakan negara anti khilafah, populisme Islam dan nilai-nilai moral lainnya. Namun sejatinya rezim pemerintahan ini menjadi budak yang loyal bagi kapitalisme dan komunisme global. Dengan upaya yang terukur, sistematik dan terorganisir untuk membangun marginalisasi dan deislamsasi. Sesungguhnya pemerintahan mencoba memisahkan negara dengan rakyatnya. Bukan hanya sekulerisasi dan liberalisasi agama. Kekuasaan juga terang-terangan merampas dan merampok segala milik rakyat yang ada pada negara. \"Bumi dan air dan kekakayaan alam yang terkandung di dalamnya, dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat\". Amanat konstitusi sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 pasal 33, ayat 3 itu, telah berubah menjadi mitos. Ia hanya mimpi dan utopis di dunia nyata. Kekuasaan juga telah membelenggu suara, pikiran dan tindakan rakyat atas nama kesinambungan jabatan dan menumpuk-numpuk harta. Rakyat tak ubahnya budak di hadapan rezim ini. Terpinggirkan dan terus mengalami diskriminasi politik, ekonomi, hukum dll. Hanya ada kata menurut dan mematuhi peraturan. Diluar itu, akan ada tindakan represif, pemenjaraan dan jika diperlukan menghadirkan kematian. Rakyat Indonesia memang telah kehilangan negara. Apa yang ada dalam negara dengan segala fasilitas, jaminan hidup dan kelayakan masa depan tak lagi dimiliki rakyat. Semua potensi kebaikan yang ada dalam negara telah dimiliki asing, aseng dan bromocorah lokal. Konspirasi global bertemu dengan para penjilat dan penghianat bangsa, semakin memastikan ironi negeri. Korupsi dan tindakan sewenang-wenang telah menjadi habit dan serba permisif bagi para penyelenggara negara dan kongsi bisnisnya. Semakin renta dan uzur Indonesia menapaki jalan kebangsaan. Republik ini terlalu banyak memakan racun ideologi dunia. Tubuhnya mengidap penyakit kronis dan akut. Bahkan untuk nengobatinya, negeri ini tak punya apa-apalagi. Bukan hanya biaya, bahkan keberanian untuk sembuh dan pulihpun tidak ada. Kekhawatiran dan ketakutan terus menghidupi meski tetap berada diantara hudup dan mati. Hidup dan mati entah secara alami atau entah karena persoalan struktural, karena kekuasaan. Sudah mayoritas miskin, bodoh dan terbelakang. Indonesia juga terpuruk karena kesakitannya. Tak punya apa-apa lagi sebagai rakyat di negeri ini. Kemana lagi rakyat harus bertanya dan mengadu. Masih adakah dan kemana rakyat dan pemimpin-pemimpin seperti dulu yang nasionalis, patriotis dan religius?. Termasuk terus membatin sambil mengelus dada, Indonesia Tanah Air Siapa?. Penulis, Pegiat Sosial dan Aktifis Yayasan Human Luhur Berdikari.
Politics of Hope
Oleh Dr. Syahganda Nainggolan Hari ini adalah hari ke-9 aku di hotel Karantina. Tadi pagi, jam 8 aku melakukan test Covid-19 sendiri dengan alat tets Bio Synex. Aku tidak tahu apakah alat test cepat seperti ini di jual bebas di apotik kita, tapi di Belanda di jual bebas. Hasil test antigenku negatif. Jam 8.30 tadi aku test PCR, resmi hotel/Kemenkes. Katanya selesai jam 10 malam. Kenapa tidak secepat di bandara SH, cuma 1,5 jam? Mereka jawabannya klise. Lalu apakah aku boleh pulang jam 10 malam lewat sedikit, setelah hasil tes, misalnya, negatif. Belum, katanya, nunggu besok. Apa kepentingan saya di Karantina sampai besok, jika hasilnya sudah selesai malam ini?, tanyaku. Aturannya begitu pak, katanya. Mantap lah, kataku. Saya hari ini akan berdiskusi soal \"Politics of Hope\" atau politik dengan harapan. Tulisan ini terinspirasi film dokumenter Obama di HBO yang tadi malam aku tonton. Ini sekaligus penutup tulisan saya edisi Karantina Hotel. Tulisanku ketika di penjara lalu, insya Allah terbit sebagai buku 200 an halaman, minggu ketiga bulan ini. Editornya M. Subarkah, wartawan senior, sedang menuntaskan editing sambil menunggu kata pengantar dari beberapa teman. Dalam film dokumenter itu, ada dua hal yang penting. Pertama, kenapa Senator John Kerry, yang juga keluarga konglomerat Amerika, mendukung Obama sejak tahun 2004 untuk tampil sebagai tokoh nasional dan tahun 2008 sebagai Capres? Kedua, apa yang memukau dari pikiran Obama pada tahun 2004 dan akhirnya bahan dia di tahun 2008 nyapres? Untuk pertanyaan pertama terlalu singkat penjelasannya pada film itu. Kita perlu mencari berbagai referensi. Namun, yang perlu menjadi perhatian kita adalah adanya kesamaan pandangan tentang masa depan bangsa mereka saat itu. Baik dari John Kerry seorang politikus keluarga konglomerat maupun Obama, politisi kulit hitam yang menggali masa depan dari bawah. Pada masa pemerintahan Goerge Bush, setelah peristiwa pemboman WTC, berbagai sentimen rasis dan anti Arab/Islam dijalankan oleh pemerintah Bush. Bush menyebutkan Holy War melawan kekuatan \"teroris\" Islam. Seluruh dunia diinteli Amerika dan berbagai negara Arab di hancurkan, antara lain Irak dan Libya. Juga memata-matai orang-orang Islam, Arab dan lainnya di dalam negeri. Akhirnya terjadi pembelahan sosial yang dalam di Amerika. Obama sejak awal menunjukkan anti kebijakan Bush, baik di Iraq maupun di dalam negeri. Di dalam negeri Obama mengecam biaya kesehatan masyarakat yang tinggi serta pajak terhadap buruh outsourcing yang tinggi. Kerry awalnya mendukung serangan Bush ke Iraq. Tapi mungkin berubah, khususnya ketika bangsa Amerika menjadi terbelah. Kerry, ketika maju dalam konvensi nasional Partai Demokrat, sebagai Calon Presiden Amerika, di Illinois, Juli 2004, memberikan kesempatan pada Obama sebagai Key Note Speaker. Obama dalam bukunya \"Audacity of Hope\" masih belum tahu kenapa Kerry memilih dia. Ini adalah kesempatan Obama menunjukkan pikirannya, kemana Amerika mau dibawa? Amerika menurut Obama adalah tempat satu-satunya di dunia orang seperti dia bisa mempunyai harapan kesempatan hidup dengan cita-cita yang maksimal, bersekolah, mendapatkan fasilitas rumah sakit, mejadi politisi tanpa politik uang, dan lain sebagainya, termasuk ketika ibunya memberikan nama Barack, yang asing bagi Amerika. Hal ini merupakan kebanggaan bangsa mereka yang dilukiskan pendiri bangsanya dengan satu kalimat \"bahwa semua manusia dilahirkan setara\". Namun, harapan itu menurut Obama mengahadapi \"hard reality\", sebuah tantangan. Amerika secara objektif menghadapi bagaimana menciptakan lapangan kerja dan kesejahteraan pekerja yang baik. Orang-orang bekerja berkompetisi untuk sekedar hidup dan kesulitan membayar biaya kesehatan. Rezim Bush juga membuat masalah, dengan agenda memata-matai masyarakat, yang membuat masyarakat terbelah. Orang-orang yang pulang perang, pulang dengan kesulitan hidup, bahkan kesulitan akses kesehatan. Diakhir pidatonya, Obama mengatakan, politik ke depan tinggal memilih, apakah melanjutkan politik pecah belah atau politik harapan? Politik harapan adalah sebagaimana konstitusi mereka mengatakan \"All Men Are Created Equal\". Film dokumenter ini sebenarnya sangat relevan dengan situasi Indonesia saat ini. Setiap menjelang pemilihan calon presiden ataupun kepala daerah, tidak ada suatu pemimpin yang mampu memberikan pidato utuh tentang apa yang mau diperjuangkan. Kebanyakan hanya retorika. Janji palsu. Yang tidak pernah membandingkan antara harapan dan realitas. Orang-orang kaya konglomerat di sini lebih pantas dilukiskan seperti yang Jeffry Winters dan Thomas Piketty lukiskan, oligarki rakus, yang tidak peduli bangsa ini mau jadi apa. Tidak ada orang seperti John Kerry, politisi yang lahir dari keluarga konglomerat, namun menjadikan hidupnya untuk kepentingan rakyat banyak. Cita-cita pendiri bangsa kita adalah kesempatan bagi semua anak bangsa maju. Kaum buruh harus bekerja dengan kesejahteraan yang cukup. Kaum tani dijaga agar luas tanahnya tetap besar dan mendapatkan alokasi pupuk yang cukup. Kaum miskin kota harus mendapatkan peluang rumah tinggal. Dan lain sebagainya. Namun, yang ada semua menjauh dari harapan. Yang kaya semakin kaya, bahkan ketika pandemi Covid 19, kekayaan orang kaya bertambah dan kekayaan pejabat juga bertambah. Politics of Hope adalah catatan relevan yang diinspirasikan film dokumenter Obama itu. Ini adalah agenda kita ke depan. Kita berharap rakyat tetap berjuang untuk menuntut adanya politik harapan. Politisi kembali tegak di atas keringat rakyat. Pemerintah bersungguh sungguh mencintai rakyat. Juga kita berharap konglomerat yang lahir hanya dari 30 tahun menempel rezim Suharto, berusaha mengubah mindset untuk mendukung cita-cita keadilan sosial. (*)
Boneka Itu Sudah Rusak, Nak!.
Tampak semakin kentara, sosoknya terus-menerus menuai gugatan dan perlawanan rakyat. Penampilannya sederhana, tenang dan terlihat bersahaja. Awalnya dianggap sebagai sosok pemimpin yang jujur dan merakyat., namun perlahan tapi pasti, ia menunjukkan watak aslinya. Setelah sarat pencitraan, publik akhirnya mengetahui dirinya penuh kamuflase dan manipulasi. Kontradiktif, apa yang pantas disematkan kepadanya. Lain di bibir dengan hati, lain bicara dengan tingkah laku. Sehingga ia banyak diberi gelar raja oleh publik. Raja diraja kemudharatan. Selain kebohongan, kekuasaan politiknya juga gemar melakukan hasut dan fitnah. Malalui para anteknya seperti buzzer dan influencer, gencar menebar permusuhan dan kebencian. Terkadang melibatkan aparat dan pejabat yang bermental penjilat dan penghianat. Memusuhi rakyat, berlaku biadab dan menghalalkan segala cara untuk memuaskan syahwatnya. Membuktikan bahwasanya semua itulah yang menjadi keahlian dan prestasi pemerintahan dengan tradisi korupsi dan anti demokrasi. Saking hipokrat dan identik psikopat. Seketika gerombolan jahat ini bisa bertindak secara diam-diam, namun cepat dan mematikan. Karakternya cocok memainkan peran antagonis dalam kehidupan nyata. Meski sering dijuluki boneka dan menjadi antek asing, Kehadirannya juga lebih banyak tak memberi nilai lebih dan kebaikan. Terasa mengerikan bagi kehidupan rakyat dan masa depan bangsa. Kehadirannya seperti boneka Chucky dalam film horor yang menakutkan. Mengendap-endap sembunyi sembari mengintai, lalu muncul tiba-tiba melakukan teror, menyerang dan membunuh secara sadis. Ialah boneka yang menakutkan dan berbahaya. Boneka yang hidup dalam istana. Istana boneka tempat para penyamun yang angker. Sebagai kepala negara, perannya gagal membangun negara yang berdaulat dalam bidang politik, tidak memiliki kemandirian dalam bidang ekonomi dan tanpa melahirkan kepribadian bangsa yang berkebudayaan. Bukan saja menghianati cita-cita proklamasi kemedekaan, Panca Sila dan UUD 1945. Kepemimpinannya lebih sering menjadi antek sekaligus boneka asing. Menghancurkan harga diri dan martabat bangsa karena telah menjadikan rakyat sebagai budak di negerinya sendiri. Sebagai kepala pemerintahan, sosoknya juga telah melahirkan dan merawat oligarki. Menyusun barisan kepentingan segelintir individu dan kelompok yang merusak tatanan kehidupan negara secara sistemik. Telanjang tanpa rasa malu dan bersalah, mengangkangi Panca Sila dan UUD 1945 di hadapan rakyat. Pemegang mandat itu dan orang-orang disekelilingnya terus menguras kekayaan negara, sembari mengatur siasat membungkam rakyat. Tak ubahnya kepala geng yang memimpin gerombolan kekuasaan dari para penjahat perampok dan pembunuh. Pencapaiannya selama ini sebagai pemimpin, sungguh sangat jauh dari ideal. Bahkan bertentangan dengan apa yang selayaknya ada pada kepemimpinan sebuah negara yang merdeka dan berdaulat. Rakyat tak kunjung surut mengalami penindasan. Selain memanfaatkan kekayaan negara melalui kekuasaannya. Kekerdilan jiwa dan pikirannyapun begitu represif dan bengis mewujud dalam kebijakan negara. Personifikasi yang nihil kemanusiaan. Karena pelbagai ulah distorsi, negara terus mengalami kemunduran dan menunggu kehancuran. Wujudnya memang manusia. Tapi jiwanya tak merdeka bagai boneka. Sebagai boneka ia tetaplah mainan. Saat sudah lusuh dan tak berguna, ia hanya akan menjadi sampah dan tinggal dibuang. Mungkin saja sampah yang berbahaya bagi banyak orang dan lingkungan. Sebagai sampah boneka yang berbahaya, tidak ada alasan untuk tidak menghancurkan dan memusnahkannya. Itulah momen dimana boneka tak seindah lagi seperti barunya. Sudah rusak dan tidak bermanfaat pula. Seperti kata seorang ibu kepada putri kecilnya, \"Boneka itu sudah rusak Nak, buang saja nanti ibu belikan yang baru\". Penulis, Pegiat Sosial dan Aktifis Yayasan Human Luhur Berdikari.