OPINI
Demokrasi dan Rule of Law, Cara Oligarki Kendalikan Penguasa
by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum. Jakarta FNN - State regulatory body atau commission, yang dalam studi tata negara juga disebut “auxelarry body”, bukan badan yang diatur UUD. Sama sekali bukan. Badan yang status organiknya bersifat independen ini, merupakan temuan terhebat oligarki Amerika. Badan ini disodorkan oleh kelompok penghisap seluruh sumberdaya ekonomi sebagai cara mereka melepaskan diri dari pengawasan langsung pemerintah. Dalam kasus Amerika, hambatan non tarif dagang antar negara bagian, monopoli angkutan barang, dan diskriminasi harga, semuanya tersambung dengan perilaku korporasi. Rockeffeler dengan standard Oilnya, berada di jantung utama menjadi salah satu sebab pembentukan Interstate Commerce Commission Act (ICC) tahun 1887. Sebab lain adalah adanya kenyataan korporasi telah megambil watak “trust.” Konsep yang saat itu belum menggema di Amerika, merupakan temuan hebat J.P. Morgan. Kombinasi sebab-sebab itu dipakai oleh Grover Cleveland (1885-1889), sang Presiden pro bisnis besar Sherman Act 1890. UU ini melarang semua bentuk monopoli, kombinasi, konspirasi pengaturan harga antar beberapa orang atau monopoli perdagangan di negara-negara bagian. Sukses? Tidak juga. Standar Oil jatuh tahun 1911 bukan karena UU ini. Investigasi Ida Tarbel, investigasi wartawan kawakan Majalah McLure’s menjadi sebab utamanya. Kala itu investigasi khas Ida Tarbel disebut “muckraker.” Terbuai dengan ide institusionalisasi, muncul lagi gagasan mengontrol lebih keras kelakuan para oligarkis ini. Korporasi terlihat seolah-olah mau dipukul habis melalui penciptaan sejumlah UU. Nyatanya yang terjadi adalah UU yang dibuat dalam masa krisis ekonomi hebat 1913-1921 itu justru menebalkan cengkeraman korporasi besar. Itulah dekorasi utama pemerintahan Woodrow Wilson. Wilson dan kongres merespon kenyataan itu melaui gagasan Federal Trade Commission (FTC 1914). Ini diatur dalam Clayton Act (Hendry Clayton, chairman house judiciary committee sebagai pemrakarsa). Nama resmi UU ini adalah Anti Trust Act. Sukseskah? Tidak juga. Korporasi naik lagi bersamaan dengan datangnya krisis ekonomi hebat tahun 1929-1933. Pemerintahan Franklin Delano Rosevelt (FDR) merespon krisis itu. Sangat agresif. Berbeda jauh dengan Herbert Hoover. Franklin D. Rosevelt, memang bukan kaki tangan oligarkis. FDR segera melukis pemerintahannya dengan Monetary dan Reconstruction Finance Corporation Policy. Kerbijakan itu diawali dengan pembentukan The Banking Act 1933. Belum cukup mengeliminasi laissez-faire ineviciency, dua tahun kemudian UU ini direvisi. Kongres segera membentuk The Banking Act 1935. Reymon Moley, Rex Tugel, Adolf Berle yang dilebeli “Brain Trust” dan “Trust Busting”, berada dibalik lahir kebijakan itu. Berle misalnya mengadvokasi pembentukan The Banghkin Act 1935. Menututnya, itu merupakan cara tepat menyingkirkan infesiensi ekonomi, khususnya di bidang keuangan. Berputar disekitar monetary policy untuk macro economy stabilization, pemerintah FDR segera keluarkan kebijakan yang terlihat melindungi masyarakat. Disodorkanlah kebijakan-kebijakan penukaran emas dengan surat berharga. Surat berharga itu dapat diuangkan di bank. Tetapi, ini yang menarik. Ketika surat-surat berharga itu dibawa ke bank, mereka menemukan kenyataan Bank telah diliburkan. Ini dikenal dengan “Bank Holiday”. dikenal juga sebagai “massacre day”. Kemana saja perginya emas-emas itu? Pergi ke Bank of England. Korporasi terus berpesta. Dengan dalih memukul omong kosong free market, Kongres segera membentuk The Securities and Exchange policy. Segera dibentuklah The Securities and Exchanges Commission (SEC; 1934). Kebijakan itu dikokohkan dengan Federal Deposit Insurance Corporation. Juga Federal Home Bank Loan, Federal Saving and Loan Insurance Corporation, Federal Kredit Union, dan the National Mortage Association. Semua kebijakan di atas melengkapi Federal Homes Loan Bank Act 1932 yang diteken oleh Hoover. Pemerintah FDR mengeluarkan Home Owners Loan Act (HOLA). Dalam HOLA ini, diatur pembentukan Federal Housing Administration. Terlihat manis, pemerintah FDR segera mengidfentifikasi komunikasi sebagai satu masalah di tengah putaran waktu krisis itu. Ini harus dibereskan. Kongres merespon. Kongres membuat the Federal Communication Commission (FCC 1934). Ini dituangkan dalam Federal Communication Act. Tahu bahwa kekacauan sosial selalu memanggil partner utamanya, yaitu instabilitas politik, maka masyarakat harus diberikan perhatian. Itulah gagasan yang harus dimengerti dari “Social Infrastructure Policy.” Dalam kerangka itulah dibentuk Social Security Act, dan lainnya yang sejenis dalam sifatnya. Memang secara teknis, Social Security Act itu bertujuan melakukan “stabilisasi ekonomi makro”. UU ini menyediakan jaminan untuk meraka yang tidak mempunyai pekerjaan, unemployment insurance, jaminan bagi para pensiunan, bantuan kepada anak-anak, dan program jaminan sosial lainnya. UU dalam gagasan awalnya dirancang sebagai cara memberi kepastian berkerlanjutan dan permanen terhadap peningkatan stok rumah secara nasional. Program ini tampak memungkinkan semakin banyak orang memiliki rumah. Ditujukan terutama kepada mereka yang berusia diatas 33 tahun. Bahu-membahu dengan pemerintah, Felix Frankfurther, Tomy Corcoran, James Landis dan Ben Cohen, eksponen utama “korporatis group,” seperti Merle dan kawan-kawan mengadvoksasi pembentukan National Labor Relation Act. Canggih cara kerjanya. Sebab mereka hanya mengadvokasi, dan Senator Robert Wagner yang memprakarsai pembentukan UU itu. Itu sebabnya UU sering disebut Wagner Act. UU ini memberi pekerja priveleg. UU ini mengatur apa yang dikenal dengan Labour Relation Board, yan bersifat independen. Apakah kehidupan berubah setelah itu? Mereka tetap saja buruh. Upah tetap saja menjadi soal. Satu-satunya yang terlihat hebat dari UU ini adalah buruh diberi kebebasan berserikat. Itu saja. Tidak lebih. Itulah demokrasi dan rule of law khas kaum oligarki. Pembaca FNN yang budiman, The Bankin Act 1933-1935 benar-benar merupakan cara licik oligarki mengisolasi, membatasi dan memotong ruang lingkup jangkauan kewenangan presiden. Kewenangan presiden itu dipotong dengan cara memberi sifat “independen” pada badan yang disebut regulatory body atau commission itu. Tidak mengherabnkan American Bar Aassociation (ABA) menemukan kenyataan New Deal Policy adalah cara pemerintah federal, yang bekerja dibawah kendali oligarki memperluas kekuasaan pemerintahan federal. Administrative agency, termasuk badan-badan independen itu diidentifikasi sebagai siasat institusional pemerintah pusat memperluas kekuasaannya. ABA atas dasar penilaian itu segera membentuk special committee on administrative law. Mereka memeriksa semua UU itu. Enam tahun mereka bekerja, adminsitrative agency segera diidentifikasi sebagai “administrative absolutism.” Amerika di sepanjang periode ini, dalam identifikasi mereka, ditarik dan dijatuhkan ke dalam totalitarianism. Roscou Pound, sosiolg kenamaan yang pandangannya tentang hukum begitu populer di Indonesia, kala itu bertindak sebagai salah satu chair-nya. Pound menyangkal independent commission yang diagungkan para politisi, karena diisi oleh para expert. Dalam kenyataan, Pound menilai tidak ada korelasi signifikan antara para expert dengan eksistensi independent commission. Pembaca FNN yang Budiman. Pemerintahan Franklin D. Rosevelt dengan New Dealnya dikenal juga sebagai “pemerintahan korporatis”. Bukan demokrasi, periode ini dilebel dengan korporatokrasi. Begitulah demokrasi dan rule of law di negara demokrasi sekelas Amerika. Rakyat menari dengan demokrasi sejauh bicara-bicara di satu sisi. Pada sisi oligarki, demokrasi memungkinkan mereka mendikte pemerintah membuat kebijakan dan menulis huruf-huruf dalam setiap UU. Bagaimana dengan demokrasi dan rule of law dinegeri kita? Mirip dalam banyak aspek. Kemiripan ini terlihat pada tampilan emprik KPK. Badan ini dirancang sedemikian canggih sehingga harus benar-benar berada di luar jangkauan UUD 1945 dan kekuasaan Presiden. Pembaca FNN yang berbahagia. Konsep independen untuk badan yang disebut regulatory body sejenis KPK dan Bank Indonesia itu, dalam sejarahnya digagas oleh Kolonel Edward Mandel House, mentor politik Presiden Wodroow Wilson. Orang ini juga yang berada dibalik gagasan Internatization liberty, pijakan kebijakan“self determination” untuk negara-negara yang hingga tahun 1919 itu masih terjajah. Konsep independent itu diambil dari pengadilan, dan disematkan untuk pertama kalinya pada The Fed. Sebagai konsekuensinya Presiden tidak bisa mengurus urusan-urusan pemerintahan itu. Ini yang di tahun 1935 ditunjukan oleh special committee American Barr Association sebagai totalitarianism dan administrative absolutism. Di jalan itulah Indonesia mutakhir merenda dengan takdir demokrasi dan rule of law-nya. Rakyat terus berpesta dengan kritik demi kririk kepada pemerintah di satu sisi. Namun di sisi lain pemerintah terus asyik dengan nadanya sendiri. Sistem politik, setidaknya sistem pengisian anggota DPR, terdekorasi manis sekali dengan diskriminasi yang level primitifnya begitu telanjang. Diskriminasi tersebut diinstitusionalisasi ke dalam parlementary treshold dan presidential treshold. Hukum itu? Namun sama busuknya. Mempertahankan hak, mulai kehilangan pijakan keabsahannya. Itulah sumbangan kecil mematikan dari UU Cipta Lapangan Kerja. Konyol sekali bangsa ini. Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate
Membangun Hankam Indonesia
Oleh: Daniel Mohammad Rosyid Seminggu terakhir ini wacana publik sebagian diwarnai oleh konflik yang meningkat di kawasan Laut Natuna Utara yang oleh China disebut Laut China Selatan. Konflik itu lalu diwarnai oleh pembatalan kontrak pembuatan kapal selam nuklir oleh Perancis pesanan Australia. Australia secara mendadak berpaling dengan memilih Inggris dan AS dalam pengembangan kemampuan nuklirnya. Eropa sekali lagi dihinakan oleh Inggris dan AS. Penting dicermati bahwa negara-negara yang dengan congkak menyebut dirinya maju itu sangat bergantung pada nuklir. Sementara itu Menhan Prabowo juga memilih Inggris untuk pengadaan Fregate terbaru bagi TNI AL yang akan dibangun oleh PT. PAL Indonesia. Indonesia sebelumnya telah memilih Korea Selatan dalam pengembangan armada kapal selam konvensionalnya. Belum lama ini Indonesia sempat menyatakan kekhawatirannya dengan nuklirisasi kawasan Indo-Pasific melalui pengadaan kapal selam nuklir oleh Australia ini. Penting dicermati bahwa Barat berusaha mempertahankan dominasinya sejak PD II dengan dua instrumen utama : penguasaan nuklir untuk persenjataan dan sumber energi, maupun US Dollar. China dan Rusia adalah penantang serius dominasi ini. Dominasi Barat ini diperkuat secara melembaga dalam PBB. Setiap ancaman nuklir oleh negara ataupun non-state actors yang tidak bersahabat dengan Barat dan penolakan atas monopoli US Dollar dalam perdagangan internasional akan dihadapi dengan keras, jika perlu dengan perubahan rezim yang telah menang Pemilu demokratis sekalipun. Baik De Gaulle, Soekarno, bahkan JF Kennedy sekalipun harus disingkirkan. Indonesia menjadi miskin bukan karena rakyatnya malas, bodoh dan korup, tapi karena dicegah untuk menguasai teknologi nuklir sebagai sumber energi bagi pembangunan, maupun harus menggunakan US Dollar untuk ekspor impornya. Sejak Orde Baru, perampokan besar atas kekayaan Indonesia itu dilakukan secara sistematik melalui perdagangan internasional ribawi yang sangat tidak adil. Ini adalah pemiskinan struktural dalam skala global. Pada saat konsumsi energi perkapita nasional Indonesia hanya sepersepuluh Barat sekitar 700 liter setara minyak pertahun, maka bangsa ini pasti akan tetap miskin. Jika beruntung akan bertahan pada posisi bangsa dengan pendapatan menengah. Tanpa PLTN kita tidak pernah mampu mengejar ketertinggalan ini dan menjadi negara maju. PLTN tidak saja menghasilkan listrik yang murah, tapi juga relatif bebas polusi selama tidak mengalami kebocoran. Setelah Donald Trump menarik AS dari perjanjian pembatasan nuklir, dalam perspektif pertahanan dan keamanan, kecenderungan nuklirisasi saat ini sangat berbahaya. Setelah pandemi ini, manusia sebagai spesies terorganisir terancam eksistensinya oleh perubahan iklim dan perang nuklir. Kedua yang terakhir jauh lebih merusak daripada perang biologis selama 16 bulan terakhr ini. Secara domestik, seperti terlalu banyak sekolah justru diikuti oleh kemunduran pendidikan, pembesaran polisi justru mulai menurunkan keamanan. Prinsip U-terbalik itu bisa berlaku untuk pertahanan: terlalu banyak senjata canggih yang mensyaratkan energi yang makin besar, kesehatan justru menurun dan pertahanan makin rapuh. Status pertahanan kita mungkin saat ini belum mencapai point of diminishing return. Pertahanan meningkat dengan hidup sederhana, hemat energi, dengan teknologi lebih konvivial. Pada saat AS mundur dari Afghanistan, perubahan rezim sedang terjadi di Jerman dan Jepang. Kedua anggota jangkar G7 ini untuk pertama kalinya menyatakan kemerdekaannya dari dominasi AS sejak PD II. Tanpa kedua negara itu, G7 tidak akan berarti apa-apa. Tidak ada negara G7 manapun yang cukup bodoh untuk membom nuklir negeri kepulauan yang kaya raya ini. Lebih menguntungkan jika bangsa ini ditundukkan dengan mantra sekulerisasi, demokrasi, standard, dan riba. Kekayaan negara ini terus mengalir ke G7 tanpa kita sadari. This must stop immediately. Saatnya sekarang. KA Agro Bromo Anggrek, 21/9/2021. Penulis adalah Guru Besar ITS
Harapan Baru Bank Muamalat Reborn
by Tarmidzi Yusuf Bandung FNN - Baru-baru ini ummat Islam dapat kabar baik. Bank Muamalat, PT. Perusahaan Pengelola Aset (Persero) dan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) resmi menandatangani Perjanjian Induk Restrukturisasi atau Master Restructuring Agreement (MRA), Rabu 15 September 2021 disaksikan oleh Menteri Badan Usama Milik Negara (BUMN), Erick Thohir. Dalam MRA antara Bank Muamalat dan BPKH ini diatur mengenai hubungan hukum yang menjadi dasar pelaksanaan transaksi yang akan dilakukan secara terpisah di kemudian hari. Misalnya, penerbitan dan pembelian instrumen berbasis syariah (sukuk). Begitu pula dengan perjanjian pengelolaan aset pembiayaan berkualitas rendah milik Bank Muamalat. Dengan demikian, PT. PPA resmi menjadi pengelola aset berkualitas rendah milik PT Bank Muamalat Tbk. Pengelolaan aset ini sejalan dengan langkah bank syariah tersebut untuk melakukan penguatan modal. Perjanjian ini merupakan tamparan keras bagi Manajemen Bank Muamalat setelah terpuruk dalam pengelolaan aset dan modal Bank Muamalat. Sebagaimana kita ketahui, Bank Muamalat dalam lima tahun terakhir sedang menghadapi masalah keuangan yang serius. Dimana Dewan Komisaris dan Dewan Direksi Bank pertama yang murni syariah tersebut, selalu gagal dalam mendapatkan investor baru. Menurut catatan penulis, rencana penyelamatan Bank Muamalat melalui rights issue selalu gagal. Berdasarkan RUPSLB 20 September 2017 diputuskan MINAPADI sebagai standby buyer. MINAPADI gagal masuk Bank Muamalat. Selanjutnya, berdasarkan RUPSLB yang diselenggarakan pada 28 Juni 2018 diputuskan pula Lynx Asia and SSG Capital sebagai standby buyer. Lagi-lagi manajemen gagal dalam mengelola dan mendapatkan investor. Selanjtnya pada tahun 2019 diselenggarakan dua kali RUPSLB dalam rangka rights issue. Pertama RUPSLB, 17 Mei 2019 dan Kedua pada 16 Desember 2019. Keputusannya sama. Al-Falah sebagai standby buyer. Gagal untuk keempat kalinya. Terakhir, RUPSLB pada 29 April 2021. Manajemen Bank Muamalat kembali gagal menghasilkan calon investor baru. Standby buyerpun tidak ada. Kegagalan Manajemen Bank Muamalat dalam lima kali rights issue tersebut. Kemungkinan disebabkan buruknya kinerja Manajemen Bank Muamalat dalam memperbaiki kinerja keuangan Bank Muamalat. Malah semakin terpuruk hingga semester I 2021. Berdasarkan laporan keuangan Bank Muamalat semester I 2021, hanya mampu meraup laba bersih Rp 4,903 miliar. Turun tipis jika dibandingkan periode sama tahun 2020. Padahal, aset Bank Muamalat per semester I 2021 terbilang cukup besar, yaitu Rp 51,621 triliun atau naik sekitar Rp 380 miliar dari tahun 2021, yaitu Rp 51,241 triliun. Demikian pula dengan aset dan laba bersih Bank Muamalat mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Laba bersih Bank Muamalat tahun 2019 tercatat Rp 16 miliar, anjlok sebesar Rp 30 miliar jika dibandingkan tahun 2018. Tahun 2018 masih meraih laba bersih mencapai Rp 46 miliar. Selain itu, Return on Asset (ROA) atau tingkat perputaran aset dalam tiga tahun terakhir terus melorot. Tahun 2018 ROA Bank Muamalat sebesar 0,08%, turun pada tahun 2019 menjadi 0,05%. Terakhir, tahun 2020 hanya 0,03%. Demikian pula dengan tingkat pengembalian modal (ROE) Bank Muamalat sangat rendah. Pada tahun 2018 ROE Bank Muamalat turun dari 1,16% menjadi 0,45% pada tahun 2019 dan 0,29% tahun 2020. Dibalik rendahnya kinerja Manajemen, dan upaya penyelamatan Bank Muamalat. Terutama pasca tturun gunungnya Wakil Presiden KH. Ma'ruf Amin, BPKH bersama tokoh-tokoh ummat Islam pasca RUPLSB Bank Muamalat yang digelar 30 Agustus 2021 mulai membuahkan hasil. Patut kita apresiasi dan ucapkan terima kasih atas kerja keras Wakil Presiden KH. Ma'ruf Amin, Erick Thohir, ICMI, MUI, BPKH, para tokoh Islam dan para pendiri Bank Muamalat dalam menyelamatkan aset kebanggaan ummat Islam. BPKH direncanakan dalam waktu kurang dari dua bulan lagi bakal mengucurkan dana segar untuk penyehatan Bank Muamalat. BPKH akan menjadi pemegang saham pengendali di Bank Muamalat. Bahkan, Bank Muamalat ke depan akan menjadi lini usaha BPKH. Kerjasama PT. PPA dan Bank Muamalat dalam pengelolaan aset Bank Muamalat agar aset Bank Muamalat lebih produktif. Bayangkan, tingkat perputaran aset Bank Muamalat yang beraset tahun 2020 Rp 51, 241 triliun hanya 0,03% dan tingkat pengembalian modal cuma 0,29%. Kerjasama Bank Muamalat dengan PT. PPA dan masuknya BPKH sebagai pemegang saham memberikan harapan baru bagi ummat Islam. Bank Muamalat akan kembali pada masa keemasannya seperti ditorehkan oleh Manajemen Bank Muamalat ketika itu. Sebagaimana kita ketahui, puncak keemasan Bank Muamalat terjadi pada tahun 2008 dengan ROE sebesar 33,14%. Harapan besar ummat Islam pasca masuknya BPKH, Bank Muamalat kembali berjaya dengan tampilnya manajemen baru Bank Muamalat yang berintegritas, profesional dan mempunyai ghirah keislaman sebagai pejuang ekonomi syariah menuju Bank Muamalat sebagai bagian dari ekosistem ekonomi syariah di Indonesia. Tidak berlebihan bila pergantian Dewan Komisaris dan Dewan Direksi Bank Muamalat sebagai hal yang urgent. Setidaknya akan menjawab keraguan dan pesimisme publik. Apalagi BOC dan BOD layak diberi raport merah. Dua kegagalan dalam rights issue dan memperbaiki kinerja keuangan perseroan. Lebih khusus ummat Islam sebagai nasabah terbesar Bank Muamalat, bank kebanggaan pertama milik ummat Islam berharap banyak terhadap Bank Muamalat. Penulis adalah Pemerhati Ekonomi Syariah.
Presiden Butuh Sosok Panglima yang Mampu Tegas dalam Bersikap
Oleh: Mochamad Toha Beragam analisa pakar perihal siapa calon Panglima TNI penganti Marsekal Hadi Tjahjanto yang memasuki masa pensiun pada November 2021 mulai mengemuka di berbagai media. Republika.co.id, Jumat (10 Sep 2021 08:46 WIB), misalnya menulis, KSAD Jenderal Andika Perkasa bersaing dengan KSAL Laksamana Yudo Margono menjadi calon Panglima TNI. Itu disampaikan oleh Direktur Rumah Politik Indonesia, Fernando Ersento Maraden Sitorus, yang punya analisa soal isu reshuffle yang mengemuka pasca masuknya PAN ke Kabinet Presiden Joko Widodo. Menurutnya, dalam reshuffle yang akan datang kemungkinan besar posisi Panglima TNI yang akan ditinggalkan Hadi Tjahjanto akan diisi KSAL Yudo Margono. Menurutnya, Presiden Jokowi akan tunduk pada ketentuan yang diatur UU TNI. “Berdasarkan UU matra AL berkesempatan mengisi posisi posisi Panglima TNI. Selain itu Presiden Jokowi juga berkepentingan untuk tetap menjaga soliditas dukungan TNI,” kata Fernando, Kamis (9/9/2021). Fernando memprediksi KSAD Andika Perkasa tak akan menjabat Panglima TNI karena melangkahi ketentuan. Menurutnya, Presiden Jokowi akan mempercayakan kepada Andika untuk memimpin BIN. “Panglima TNI sebelum Hadi Tjahjanto dua kali berturut-turut dari matra AD yaitu Moeldoko dan Gatot (Nurmantyo),” ujar Fernando. “Presiden Jokowi (juga) memerlukan dukungan yang solid dari TNI sehingga menjadi alasan kuat untuk mempertahankan tradisi yang diatur oleh UU,” tambahnya. Selanjutnya, Kepala BIN Budi Gunawan akan dipercaya untuk memimpin Kemenko Polhukam menggantikan Mahfud MD. Menurut Fernando, Budi Gunawan merupakan orang kepercayaan di lingkaran satu. “BG yang sangat memberikan peran penting terhadap situasi negara pasca pilpres 2019 sangat dibutuhkan oleh Presiden Jokowi untuk mengisi Menko Polhukam,” ungkap Fernando. Menurut Fernando, Mahfud MD yang merupakan guru besar hukum sangat dibutuhkan Jokowi untuk mengisi posisi Jaksa Agung. Senada dengan Republika, tulisan Kompas.com, Selasa (14/09/2021, 12:31 WIB) juga mengarah kepada dua sosok yang disebut Fernando. Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi mengatakan, kandidat Panglima TNI masih berkutat di antara dua nama: Andika Perkasa dan Yudo Margono. Menurut dia, belum pernah terjadi pergantian Panglima TNI dari matra yang sama selain dari TNI AD. Ia menilai, Andika Perkasa memiliki peluang besar untuk menjadi Panglima TNI. Sementara Yudo Margono, peluangnya terus menguat seiring waktu. “Peluang Andika Perkasa memang cukup besar jika pergantian Panglima TNI dilakukan dalam waktu dekat dan penundaan akan sangat berdampak pada peluang keterpilihan Andika,” ujarnya, Selasa (14/9/2021) pagi. “Peluang Yudo Margono cenderung terus menguat seiring waktu. Relatif tak ada masalah baginya dan bagi organisasi TNI, jika pergantian dilakukan sekarang ataupun menjelang masa pensiun Hadi Tjahjanto,” imbuh dia. Secara politik, Fahmi menyebut, kebutuhan Presiden Jokowi hari ini adalah mendapatkan para pembantu dengan loyalitas tanpa reserve, terutama untuk memuluskan agenda-agenda politik dan pemerintahan. Dari situ, bisa dilihat bahwa tidak ada barrier dalam relasi antara Jokowi dan Yudo Margono. Namun hal itu sekaligus menunjukkan bahwa Yudo tidak punya endorser yang sangat kuat untuk menggaransi dirinya terpilih. Sedangkan, Andika Perkasa itu memiliki endorser kuat sekaligus barrier. “Melalui sosok ayah mertuanya, Hendropriyono, maupun dari beragam pernyataan dukungan dari sejumlah politisi dan tokoh,” tuturnya. Namun ia menyatakan, pergantian Panglima TNI merupakan sebuah proses politik, di mana Presiden mengusulkan, lalu DPR akan menilai sebelum memutuskan setuju atau tidak dengan pilihan Presiden. Akan tetapi, yang tidak patut adalah jika para “bakal calon” ini kemudian menggunakan instrumen atau kekuatan politik tertentu untuk memperkuat peluang untuk dipilih Presiden. Seperti contoh melalui komunikasi dan negosiasi politik yang ditampakkan dari dukungan maupun pernyataan politisi yang menunjukkan keunggulan calon tertentu dibandingkan calon lainnya. Melansir Gatra.com, Senin (13 Aug 2021 01:13), Direktur Eksekutif Center for Social Political Economic and Law Studies (CESPELS), Ubedilah Badrun, mengatakan, Panglima TNI bisa dijabat secara bergatian oleh perwira tinggi aktif dari setiap matra. Dosen Universitas Negeri Jakarta tersebut mengungkapkan, ketentuan itu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004. Atas dasar itu, panglima TNI biasanya dijabat secara bergilir oleh tiap perwira dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Menurutnya, pengangkatan ini bersifat kultural, bukan struktural. Jika merujuk pengisian jabatan Panglima TNI sebelumnya, lanjut Ubedilah, pengganti Marsekal Hadi Tjahjanto nanti adalah giliran dari Angkatan Laut. Ubedilah menilai, KSAL Laksamana Yudo Margono, memenuhi syarat untuk mendapuk Panglima TNI mendatang. Yudo meniti karier dengan pendidikan militer terbaik. Karier militer yang pernah dirintis Yudo di TNI, yakni menjadi Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan I. Yudo juga sebagai sosok yang memberi perhatian serius pada pengembangan SDM TNI AL. Dari dua nama calon Panglima TNI yang mencuat itu, siapakah yang bakal diajukan Presiden Jokowi ke DPR nanti? Menurut sumber yang dekat dengan Istana, pengamat boleh saja bernyanyi tentang calon Panglima TNI. “Namun, Mas Jokowi akan memilih sosok yang berpengalaman melibas teroris dan pemberontak,” katanya. Sumber tadi menyebut, “Diantaranya OPM di Papua,” lanjutnya. Presiden Jokowi sebelumnya sudah meminta masukan dan data keamanan nasional. Juga, sosok yang mampu tegas dalam bersikap. Selain soal OPM, keamanan nasional yang dimaksud juga ancaman teritorial dengan masuknya TKA China di berbagai pelosok tanah air yang suatu saat bisa mengganggu keamanan nasional. Meski jabatan Panglima TNI sudah dua kali dipegang dari matra Darat, namun ketentuan dalam Pasal 13 ayat (4) UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI yang menyebutkan “dapat dijabat secara bergantian” itu menyangkut etika saja. Sekarang, bola ada di tangan Presiden Jokowi. Mengedepankan etika atau ada pertimbangan strategis lainnya, adalah pilihan yang tidak mudah. Bak memakan buah simalakama, Jokowi dipastikan akan menghadapi polemik yang cukup memusingkan dia. Pilih etika atau kepentingan atau lainnya? Namun, di atas itu semua, baik Andika Perkasa maupun Yudo Margono memiliki peluang yang sama. Begitu pula dengan KSAU Marsekal Fajar Prasetyo. Mereka adalah putra-putra terbaik TNI saat ini. Mereka juga dipastikan dapat memperhatikan kepentingan organisasi TNI. Penulis adalah Wartawan FNN.co.id
Anugerah Sebuah Hidayah
Oleh: Yusuf Blegur Fenomena Krisdayanti, Irjen Napoleon Bonaparte dan Brigjen Junior Tumilaar yang memenuhi komunikasi publik belakangan ini. Bukan saja menjadi sesuatu yang unik. Apa yang mereka lakukan sejatinya memberi warna baru dan makna tersendiri. Terutama bagi seluruh rakyat Indonesia dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara. Mereka yang dalam situasi dan keadaan berbeda, namun sama-sama sebagai pemangku kepentingan publik. Berani menyampaikan sikap dan tindakan yang tidak biasa. Diluar otoritas kelembagaan yang mengikat mereka dan semangat kolektif kolegial dari kawan-kawan lainnya. Krisdayanti yang anggota DPRI. Irjen Napoleon Bonaparte yang meski sedang menjalani hukuman terkait kasus pemberian Red Notice pada Joko Chandra buronan koruptor kakap, namun masih tercatat sebagai anggota Polri. Begitupun dengan Brigjen Junior Tumilaar yang menjadi petinggi di TNI-AD. Mereka bertiga merupakan figur yang masih bisa membuktikan bahwa status sosial dan jabatan tidak seharusnya membuat mereka bungkam dan tidak bisa berbuat apa-apa. Minimal tidak hanya sekedar 'tahu tapi pura-pura tidak tahu' saat melihat ada sesuatu yang tidak sedang baik-baik saja. Terutama saat secara langsung dengan mata kepala sendiri melihat rakyat di negeri ini harus mengalami penderitaan dan hidup dalam ketidakadilan. Dimana mereka ada di dalam dan menjadi bagian dari sistem yang secara struktural menjadi penyebab semua dekadensi kenegaraan itu. Mereka bertiga, sesaat melawan mainstream dan tidak takut kehilangan eksistensi ataupun jabatan mereka. Bahkan terhadap apapun yang mungkin bisa terjadi pada diri mereka dikemudian hari. Sepatutnya seluruh rakyat Indonesia, bisa memberikan apresiasi dan mendukungnya. Apapun yang menjadi latarbelakang dan motif mereka saat menyuarakan realitas dan pembelaan mereka pada rakyat kecil, negara bangsa dan agama. Krisdayanti dengan segala atribut yang dimilikinya. Katakanlah prestasi di dunia tarik suara atau yang menempatkannya sebagai salah satu Diva musik Indonesia. Menjadi politisi dengan embel-embel artis yang cantik, terkenal dan cukup kaya. Baik yang didapat dari penghasilan karirnya sendiri maupun dari suaminya yang pengusaha. Merupakan figur idol yang menjadi dambaan hidup terutama bagi kebanyakan perempuan di Indonesia. Kehadirannya dalam dunia politik dan duduk sebagai anggota DPR RI. Mampu menepis bahwasanya kehadiran artis bukan sekedar pemanis dan penghias parlemen atau hanya untuk menjadi 'vote getter' bagi partai politik. Kalangan artis atau selebritas tidak melulu hanya menambah daftar panjang sederet figur planga-plongo pejabat dan pemimpin di republik ini. Krisdayanti dalam kesempatan acara bincang-bincang di satu acara video channel, sempat melantunkan senandung politik. Nyanyian fals yang tak mengibur dan membuat tak nyaman bagi institusi parlemen dan partai politik. Juga bagi koleganya para politisi senayan. Sekilas rakyat mengetahui seorang Krisdayanti memang memiliki vokal yang bagus di panggung politik, tidak sebatas di panggung konser musik. Krisdayanti terkesan berhasil membongkar 'aib' seperti apa kinerja anggota legislatif dibandingkan gaji dan fasilitas berlimpah yang diterimanya. Belum lagi ditambah kebiasaan kasus korupsi yang kerap dijumpai pada anggota dewan yang terhormat. Sementara terkait Irjen Napoleon Bonaparte jebolan akademi polisi (akpol) tahun 1988. Meskipun sedang menjalani hukuman, namun mampu membuat gebrakan dimata publik. Beliau mengambil tindakan terukur usai kebuntuan komunikasinya terhadap M Kece yang terlalu sering melecehkan agama Islam, menghina Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam dan merendahkan para ulama. Irjen Napoleon Bonaperte yang pernah menjabat Kepala Divisi Hubungan Internasional (Hubinter) Polri pada tahun 2020, mengambil tindakan 'tegas' didalam ruang tahanan bareskrim Polres Jakarta Selatan. M Kece yang perilaku sebelumnya jarang tersentuh hukum pada akhirnya mendapat ganjaran hukuman fisik. Wajah dan sekujur tubuhnya tidak lagi 'kece' seperti namanya. Bukan berarti membenarkan kekerasan. Kasus pemukulan M Kece, masihlah sangat ringan dibandingkan perlakuan di negara lain terhadap para penista agama ataupun yang menghina Nabi Muhammad Shallallahu Alihi Wassalam. Bahkan di negara sekuler sekalipun. Dunia belum lupa pada pemenggalan kepala Samual Patty seorang guru sejarah di Prancis. Pendidik yang dianggap menghina karena menampilkan karikatur Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasalam. Beberapa kasus lain juga sering terjadi di dunia terkait penghakiman massa atau hukuman sosial saat hukum positif atau formal membiarkan pelaku penistaan agama Islam. Irjen Napoleon Bonaparte yang mengeksekusi M Kece, seakan memenuhi dahaga keadilan hukum bagi rakyat. Terutama umat Islam. Irjen Napoleon Bonaparte yang karirnya cukup bagus di kepolisian dan berpengalaman dalam bidang reserse. Menyiratkan ada pemberontakan kecil terhadap sistem hukum di Indonesia. Sistem hukum yang dikuasai oleh persekongkolan kekuasan politik dan mafia ekonomi. Ketidakadilan hukum yang sering memilih korban. Keberanian Irjen Bonaparte, memicu kasus penganiayaan M Kece menjadi bukti betapa keadilan Tuhan juga bisa hadir didunia. Tidak pula harus menunggu pengadilan akherat. Tindakan tegas dan terukur Irjen Napoleon Bonaparte, boleh jadi merupakan perwujudan aspirasi dari rakyat utamanya umat Islam. Mungkin juga menjadi representasi para tokoh dan pemimpin baik dari kalangan sipil dan militer yang selama ini terbelenggu dan tak berdaya oleh sistem. Demikian juga dengan Brigjend Junior Tumilaar. Saat membela Ari Taharu seorang warga miskin yang buta huruf (67 tahun). Ari Taharu merupakan pemilik tanah waris yang diserobot oleh PT. Citra Internasional/ Perumahan Citraland. Bukan itu saja. seorang Bintara Pembina Desa (Babinsa) seketika didatangi Brimob bersenjata Polda Sulawesi Utara. Sementara Ari Taharu sudah setengah bulan ditahan Polresta Kota Manado sejak Brigjend Junior Tumilaar menulis surat kepada Kapolri yang ditulis pada tanggal 15 September 2021. Perhatian dan keberpihakan Brigjend Junior Tumilaar terhadap rakyat kecil termasuk seorang petugas Babinsa, menjadi sesuatu yang istimewa di republik ini. Mengingat yang dihadapi adalah borjuasi korporasi besar. Publik terlanjur memahami bahwa negara lebih banyak diatur oleh perusahaan ketimbang para aparatur pemerintahannya. Apalagi baik insitusi kepolisian dan TNI karena ulah oknum-oknumnya sering dianggap sebagai 'beking' pengusaha kakap yang tipis perbedaannya dengan mafia atau sindikat. Kekuasan dan pengaruh mafia tanah yang memunculkan 'extrim prejudice' bahwa dibelakangnya ada Polri dan TNI, termasuk birokrasi pemerintahan seperti BPN. Brigjend Junior Tumilaar yang jebolan Akademi Militer (Akmil) Angkatan Darat tahun 1988, merupakan pejabat Inspektur Komando Daerah Militer XIII/Merdeka. Ia merupakan seorang Jenderal TNI kerakyatan yang langka, berkarakter memperjuangkan rakyat kecil dan tertindas. Mengigatkan negara pada figur jenderal besar dan pahlawan Soedirman. Berani mengambil resiko apapun dari keyakinan dan tindakan yang diyakini kebenarannya, untuk rakyat, bangsa dan negara. Selain itu, mengingatkan khalayak sejarah pada sosok Jenderal Polri Hoegeng yang jujur dan berintegritas yang tak akan dijumpai di kepolisian Indonesia, mungkin sampai kiamat nanti. Spiritualitas Melawan Sekulerisme Memang sangatlah sulit untuk merubah sistem yang sangat lama begitu akut membentuk sifat dan mentalitas manusia yang berorientasi pada kebebasan baik aspek material maupun imaterial. Seperti negara yang lahir dengan sistem politik yang memisah relasi agama dan negara. Maka seiring itu negara menentukan kebijakan negara tidak pada landasan agama. Sehingga bisa dipastikan kehidupan rakyatnya begitu kering dari spiritualitas. Masyarakat menjadi penganut materi dan kebendaan lainnya. Nilai-nilai religius tercerabut dalam hati, pikiran dan tindakannya dalam pelbagai sendi kehidupan. Agama hanya sekedar simbol dan formalitas praktek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Jauh dari isi, menyimpang dari substansi dan esensi Ketuhanan (Tauhid). Dalam kehidupan dunia yang dijejali oleh sekulerisasi dan liberalisasi. Termasuk penyelenggaraan tata kelola negara dengan sekedar jargon Pancasila dan NKRI ini. Rakyat Indonesia terbiasa menghirup udara kapitalisme. Norma-norma sosial dan prinsip-prinsip kemanusiaan menjadi fosil dari kebudayaan lama yang baik. Pranata sosial dan kearifan budaya luhur seperti menjadi usang dalam alam modernitas. Humanisme menjadi tabu pada menguatnya perilaku hedon. Orang-orang terutama pada pemegang kebijakan publik dan dalam lingkar kekuasaan berlomba-lomba mengejar harta dan dan tahta. Baik elit swasta maupun pemerintah tak peduli menghancurkan tradisi positif masa lampau. Seperti nilai-nilai gotong-royong, kepedulian terhadap sesama dan sikap pengorbanan diri (altruisme dan patriotisme). Semoga apa yang baru kita cermati dengan kemunculan pemikiran, sikap dan tindakan yang berani dari sosok Krisdayanti, Irjen Napoleon Bonaparte dan Brigjend Junior Tumilaar menjadi 'trigger' kesadaran kemanusiaan dan kebangsaan Indonesia. Meskipun kecil dan sedikit, setidaknya mereka telah memulai sesuatu yang diharapkan dapat menjadi pembuka kesadaran makna dan kesadaraan krisis bagi semua komponen bangsa dan negara. Betapapun perjuangan menegakan kebenaran dan keadilan itu, bukanlah sesuatu yang murah dan bisa bisa didapat begitu saja. Upaya-upaya untuk menjadi manusia taat dan menghamba pada Tuhan Yang Maha Kuasa itu. Akan sebanding dengan melepaskan hasrat keduniawian. Membuang jauh-jauh hati dan pikiran yang mencintai berlebih harta dan jabatan. Kesadaran nilai dan prinsip itu , pastinya akan menjadi kegilaan dan keterasingan di tengah jaman jahiliyah yang modern ini. Pada akhirnya seseorang atau siapapun akan sulit mempertahankan idealismenya menghadapi rasionalitasnya. Terlebih berkomitmen, berintegritas dan istiqomah pada prinsip menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan. Apalagi jalan lurus yang akan ditempuhnya itu beresiko melepaskan semua fasilitas dan kenikmatan hidup dunia yang dimiliki ataupun yang akan diraihnya. Akan tetapi itu bukan hal yang mustahil dan bukan berarti tidak dapat diwujudkan. Karena diluar kehendak dan kemampuan manusia. Masih ada harapan bagi orang di dalam ataupun di luar sistem yang akan dapat merubah keadaan menjadi lebih baik. Kebaikan yang telah diamanatkan dan bersumber dari Ilahi. Sebuah anugerah dalam wujud hidayah. Semoga. Penulis, Pegiat Sosial dan Aktifis Yayasan Human Luhur Berdikari.
Tindakan Terukur Sang Jenderal, dan Suka Cita Umat
Oleh Ady Amar *) AWAL Agustus sudah terjadi perdamaian antara M. Kece (kasus penodaan agama) dan Irjen Napoleon Bonaparte (terpidana kasus suap dan penghapusan red notice Djoko Tjandra). Rentang waktu cukup lama, sekitar 1,5 bulan dari saat kejadian, M. Kece (MK) melaporkan Napoleon Bonaparte (NB) atas tindakan penganiayaan di tahanan Bareskrim Mabes Polri. Sepertinya ia butuh waktu cukup lama untuk berani melaporkan kejadian penganiayaan yang menimpanya. Keberanian yang memang dari diri sendiri muncul, atau ada pihak eksternal yang back up untuk ia berani melaporkan. Analisa bisa ditarik ke sana, itu jika melihat waktu kejadian dan saat melaporkan kejadian butuh waktu begitu lama. Lalu bagaimana lebam-lebam yang diterima MK setelah kejadian itu, apa tidak tampak di wajah dan tubuhnya bekas penganiayaan. Apa tidak perlu karena itu ia perlu dirawat karena luka-lukanya. Apa dibiarkan saja ia kesakitan tanpa perlu diberi pertolongan medis. Analisa bisa juga ditarik pada kasasi yang diajukan NB, karena Pengadilan Tinggi memutus 4 tahun penjara, adakah pelaporan MK itu bersinggungan dengan kasasinya agar hakim yang memutus di tingkat kasasi, jika mungkin dengan penetapan hukum yang sama dengan putusan sebelumnya (PT) atau bahkan jika perlu lebih berat lagi. Apa yang menyebabkan informasi penganiayaan itu sampai harus keluar dari Bareskrim, tidak ada yang tahu. Analisa bisa dibuat, dan hakim yang akan memutuskan pun tentu punya standar hukum sendiri. Kasus belakangan berkenaan dengan penganiayaan, jika benar itu dilakukan NB, tentu tidak ada hubungan dengan kasus hukum yang dihadapinya. Lalu untuk apa kasus itu muncul, itu yang mesti dicari tahu. Keberanian MK itu jika muncul bukan dari dirinya, tapi dari bujukan pihak lain, tentu itu akan membahayakan dirinya. Tidak menutup kemungkinan tahanan lainnya akan memburu mencari kesempatan menghajarnya, jika kesempatan didapatnya. Membahayakan diri sendiri itu perbuatan konyol. Suara Umat yang Terjawab Napoleon Bonaparte (NB), terlepas dari apa yang dilakukan terhadap si penoda agama (Islam), M. Kece (MK), itu tindakan penganiayaan yang tidak pantas dilakukan, bahkan masuk kategori perbuatan di luar hukum. Namun anehnya, tindakannya itu mendapat apresiasi sebagian besar umat Islam khususnya. Menghajar si penoda agama, itu rasa yang ingin pula dilakukan oleh sebagian umat, jika kesempatan memungkinkan. Meski harus menghadapi risiko hukum. Agama yang dinista/dinodai itu wajib dibela dengan apa yang bisa dilakukan. Maka, tindakan di luar hukum, yang dilakukan NB, justru disikapi umat dengan suka cita. Apa yang dilakukan NB itu seperti harapan umat yang terwakili. Karenanya, disambut umat dengan suka cita. Apa yang menyebabkan NB sampai melakukan hal di luar hukum, padahal ia seorang penegak hukum, itu sulit dijelaskan. Agama yang diyakininya, seperti juga yang dibelanya, itu punya kedudukan khusus dan teratas. Itulah yang disebut keyakinan. Dalam Islam biasa disebut akidah. Menghinanya maka akan muncul tindakan yang sulit bisa dinalar. NB dalam surat terbukanya menjelaskan, boleh hina saya, tapi jangan agamaku dan Nabi Muhammad. Negara mesti tahu soal-soal yang demikian. Negara mestinya tidak memberi tempat, dan selayaknya "menghajar" pelaku penodaaan/penistaan agama dengan hukum sekeras-kerasnya, jika tidak ingin ada pihak lain muncul sebagai pengadil. Abainya negara memunculkan NB, yang muncul sebagai pengadil, dan menghajar pelaku penista agama dengan bogem mentah, dan bahkan jika benar kabar lainnya yang muncul, ia lumuri wajah dan tubuh MK dengan tinja. Itulah yang disebut NB dengan tindakan terukur, yang tidak sampai membuat MK lebih parah lagi dibuatnya. Meski sebenarnya kesempatan itu bisa saja dilakukannya. Negara memang tidak atau kurang hadir, jika Islam diperolok oleh mereka yang kebetulan berdekatan dengan kekuasaan. Banyak kasus penodaan/penistaan agama muncul, dilaporkan tapi tidak ada tindak lanjut atas kasus pelaporan yang dilanjut memproses pelakunya. Kasus Denny Siregar, Permadi Arya (Abu Janda), Ade Armando dan lainnya, mereka seperti manusia istimewa yang tidak bisa disentuh hukum. Maka, jangan salahkan jika umat lalu mencari keadilan hukum dengan jalannya sendiri. Kesabaran umat akan terkikis jika agama yang diyakini itu dihinakan, dan negara abai merespons keresahan itu. Maka pengadilan jalanan lambat laun akan muncul, dan itu berbahaya. Antisipasi acap dinomorsekiankan, sehingga jika apa yang tidak diinginkan itu terjadi, maka semua berteriak menganggap pelakunya biadab dan sebagainya. Padahal perlakuan "biadab" itu oleh sebagian yang lain, bahkan bisa jadi oleh mayoritas, dianggap pahlawan yang membela agamanya. Semua tentang sudut pandang. NB memberi pelajaran, bahwa agamanya dan Nabinya (Muhammad Shallallahu Alaihi Wassallam) tidak patut dinodai, dan terjadilah kasus pelajaran di rutan Bareskrim pada si penista agama. Melihat apa yang terjadi, tidaklah adil jika hanya melihat pada kejadian semata, tanpa melihat mengapa sampai MK dihajar. Itu peristiwa bukan ujug-ujug atau tidak berdiri sendiri. Bahkan bukan cuma masalah NB, tapi masalah umat yang meminta keadilan yang tidak didapatnya. Maka, umat melihat kasus NB atas tuduhan pidananya tidak lagi dilihat sebagai masalah hukum. Justru bogem mentahnya, itu menjadikan ia dielukan bak pahlawan yang dikirim Tuhan. Memang berlebihan melihatnya, tapi setidaknya kegeraman umat selama ini direspons baik oleh Napoleon Bonaparte dengan tindakan terukurnya. (*) *) Kolumnis
Ciri-Ciri Geliat Komunis
By M Rizal Fadillah SUSANINGTYAS Nefo yang mengklaim pengamat intelijen bisa membuat ciri ciri teroris berbasis Islamophobia dengan analisis gampangan. Untuk mengendus ciri ciri geliat komunis dapat dengan analisis gampangan juga. Tak perlu pusing pada kritik, ya mbak. Mau disebut abal abal atau fikiran dengkul oke oke saja. Nah ciri ciri geliat komunis di negeri ini yang bisa dilempar, yaitu : Pertama, revolusi mental sebagai aktualisasi dari slogan Ketua CC PKI DN Aidit yang memulai dengan menghapus nama dirinya "Ahmad". Berakar dari filsafat Karl Marx dan dipopulerkan oleh pendiri Partai Komunis Tiongkok Chen Duxiu dan Li Dazhao untuk mencuci otak kelompok buruh dan petani agar berani melawan kekaisaran. Revolusi Mental Jokowi ternyata gagal pula. Kedua, meminimalisasi bahkan mengeliminasi peran agama dan tokoh-tokoh agama. Agama ditempatkan sebagai penghambat kemajuan dan pembangunan. Agama bersimbol politik adalah musuh yang harus dihabisi. Persekusi dan krimininalisasi ulama dan tokoh agama menjadi model dari kebijakan politik. Pembubaran HTI dan FPI, penzaliman HRS, Munarman, serta pembunuhan sadis 6 laskar menjadi indikasi. Ketiga, penistaan agama merajalela dan terproteksi. Buzzer bayaran bukan saja membela tuan jilatannya tetapi juga menyerang keyakinan agama. Sebutan Kadrun, teroris, radikalis adalah peluru tembakan. Belum lagi penghina seperti Zhang dan Kace. Bagus juga Bonaparte membuat Kace tidak kece. Keempat, perlindungan dan persahabatan dengan RRC. Komunis butuh support global dan saat ini pengendali kekuatan global itu adalah Republik Rakyat China. Investasi dan "debt trap" RRC berimplikasi politik. Kerjasama Partai Politik dengan Partai Komunis China tidak boleh dianggap sederhana. Demikian juga PKC yang telah sukses menginjak Istana. Kelima, kepercayaan diri tokoh-tokoh minoritas untuk tampil di panggung politik akibat dukungan taipan. Setelah ekonomi dihabisi kini ruang politik dijajagi dan dikangkangi. Menjadi bagian dari kekuatan oligarki yang dominan mengendalikan negeri. Atmosfir untuk geliat komunis tengah diciptakan. Keenam, kehadiran TKA China di Indonesia. Mereka dipastikan berideologi komunis karena ketentuan hukum kewarganegaraan negeri China. Mendapat dukungan dan perlindungan dari warga China diaspora. Ada kekhawatiran para pekerja itu juga adalah tentara merah yang disusupkan. Ketujuh, adu domba antar agama dan golongan dengan menyembur fitnah. Konflik dibangun. Mendorong perkembangan faham sesat seperti Ahmadiyah, Syi'ah, Baha'i juga mistik-mistik dan Nabi Nabi palsu. Kedelapan, semangat untuk menghapus Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 karena dianggap menghalangi pengembangan Komunisme. Mendengungkan perlindungan keberadaan faham kiri termasuk sosialis komunis sebagai bagian dari HAM. Kesembilan, gerakan pelurusan sejarah dengan membangun citra bahwa pelaku kudeta itu bukan PKI tetapi Soeharto, PKI sebagai korban, skenario Amerika, serta mengangkat kasus-kasus pembunuhan kader PKI oleh TNI dan umat Islam. Ditambah dengan membangun isu rekonsiliasi dan rehabilitasi. Kesepuluh, banyak yang teriak komunis sudah tidak ada. Komunis sudah kompromi dengan Kapitalis, tunjukkan mana PKI atau Komunis di Indonesia, serta ungkapan serupa agar abai dengan faham Komunisme. Ryamizard Ryacudu menyatakan bahwa mereka yang teriak Komunis tidak ada itu sebenarnya adalah Komunis. Kewaspadaan terhadap gerakan Neo PKI, Neo Marxis, dan Neo Komunis harus terus ditingkatkan. Oligarkhi dan korporatoktatisme serta jurang kaya dan miskin yang semakin lebar membuka celah untuk tumbuh dan bangkit Komunisme. Penyusupan pada birokrasi, partai politik, dan instansi pemerintah lainnya adalah model gerakan tanpa bentuk dari PKI dan Komunis. Pilihan hanya waspada, tangkal, dan basmi atau kita yang babak belur dihabisi. Komunis adalah ideologi nir-moral dimana para pendukungnya adalah babi-babi yang buta. Komunis lebih dari sekedar ideologi, kini ia telah bermutasi menjadi pemain watak yang mahir bersembunyi. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Napoleon Bonaparte
By Asyari Usman SAYA mengenal Napoleon Bonaparte sejak 1973. Semasa duduk di kelas 3 SMP. Waktu itu, saya membaca sejarah dunia. Dulu ada pelajaran sejarah dunia dan sejarah Indonesia. Napoleon adalah seorang tokoh militer dan politik di Prancis. Dia menjadi cemerlang di masa Revolusi Prancis. Napoleon beberapa kali sukses memimpin perang semasa revolusi itu. Dia kemudian menjadi pemimpin Republik Prancis pada awal abad ke-19. Ketika itu, jabatan tertinggi di Prancis masih disebut “kaisar”. Dengan gelar “Napoleon I”, Kaisar Prancis itu memang terkenal lihai dalam strategi militer dan politik. Di mata sebagian rakyat Prancis, Napoleon Bonaparte dianggap sebagai pahlawan. Dialah yang mampu meluaskan kekuasaan ke sejumlah wilayah Eropa bagian barat. Setamat SMP, jarang sekali saya membaca atau bertemu nama Napoleon Bonaparte. Baru “berjumpa” lagi dengan Napoleon sewaktu ada kesempatan berkunjung ke Paris. Tiga atau empat kali. Soalnya lumayan dekat dari London –tempat saya bermukim lebih kurang 30 tahun. Alhamdulillah, dalam beberapa hari ini saya diingatkan kembali pada Napoleon Bonaparte oleh Napoleon Bonaparte versi Indonesia. Tak kalah hebat. Versi Indonesia itu adalah seorang inspektur jenderal. Bintang dua di kepolisian. Irjen Napoleon mendadak dinobatkan menjadi pahlawan. Banyak yang menyampaikan terima kasih secara terbuka di media sosial (medsos) atas keberanian dia melakukan “tindakan terukur” terhadap tersangka penista agama Islam, Muhammad Kece. Meme yang bertuliskan “Terima kasih Jenderal telah mewakili kami” beredar luas di medsos. Pelecehan dan penghinaan yang dilakukan oleh Kece terhadap Islam, Al-Quran, dan Nabi memang keterlaluan. Dia sudah lama murtad. Seenaknya menyebut Nabi dikelilingi jin, dsb. Lebih 400 rekaman video Kece yang melecehkan Islam. Kebetulan saja, Irjen Napoleon Bonaparte “jumpa” dengan Kece di rumah tahanan Bareskrim Polri. Kece ditangkap belum lama ini, sedangkan Irjen Napoleon sedang menjalani hukuman dalam kasus pencabutan “red notice” Interpol atas nama Djoko Candra –seorang koruptor yang menjadi burunan bertahun-tahun di luar negeri. Napoleon dihukum karena lalai mengawasi anak-buahnya yang menyebababkan “red notice” itu dicabut. Irjen Napoleon mengatakan dia melakukan “tindakan terukur” terhadap Kece karena dia tidak bisa menerima penghinaan terhadap Al-Quran dan Nabi. Kalau diamati foto Kece setelah “tindakan terukur” itu, memang dapat dilihat sejumlah bekas di wajahnya dengan berbagai “ukuran”. Misalnya, ada lebam yang kelihatannya berbentuk bundar berukuran 6-7cm dengan ketebalan yang lumrah. Mungkin sekali ini yang dimaksud “terukur” itu. Artinya, ada lebam-lebam yang “konvensional”. Kalau kita analisis laporan-laporan tentang suasana “sambutan” untuk Kece di rutan Polri, sebetulnya tindakan yang dialami oleh penista Islam itu dapat dikategorikan sebagai “amuk massa”. Dalam arti, bukan Pak Napoleon saja yang naik pitam waktu itu. Banyak napi lain yang juga mengekspresikan kemarahan mereka terhadap kelakuan Kece. Dahsyatnya, Irjen Napoleon Bonaparte tampil untuk mengambil alih semua tanggung jawab atas “amuk massa” itu. Beliau menulis surat terbuka yang ditujukan ke seluruh rakyat. Intinya, Napoleon tak bisa menahan emosinya ketika Nabi dan kita suci dihina. Begitulah hidup ini. Semula orang melihat Irjen Napoleon dengan stigma negatif. Karena memang hal buruklah yang membawa dia ke penjara. Tetapi, kini Napoleon menjadi buah bibir selepas beliau membut bibir berbuah. Dia disanjung dan didukung. Dipuja dan dibela. Wallahi a’lam.[] (Penulis wartawan senior FNN)
PPHN Harus Dibatalkan dan Digagalkan
By M Rizal Fadillah POKOK-Pokok Haluan Negara (PPHN) menjadi kontroversial karena tiga hal, pertama masalah yang krusial dilempar di masa pandemi, kedua MPR bukan lembaga tertinggi, dan ketiga diprediksi konten PPHN akan menggabungkan pola perencanaan Orla dan Orba. Masyarakat pun menanggapi dengan pro dan kontra. Partai Ummat dipimpin Ketua Umum Dr. Ridho Rahmadi mendatangi pimpinan DPD MPR untuk menyampaikan aspirasi tentang keberatan atas agenda pembahasan PPHN karena amandemen itu di samping membuka celah bagi perpanjangan masa jabatan Presiden, juga penetapan PPHN dinilai berlawanan dengan semangat reformasi. PPHN diusulkan agar tidak masuk dalam Konstitusi maupun Ketetapan MPR. Bambang Soesatyo Ketua MPR-lah yang memulai secara formal menyebut PPHN sebagai agenda utama MPR. Meski belum utuh kesepakatan fraksi tetapi kajian dan persiapan pembahasan PPHN sebagai pengganti GBHN terus digodok. Bambang Soesatyo pun terus rajin mensosialisasikan rencana tersebut. Mengapa pembahasan amandemen UUD 1945 tentang PPHN, yang disinyalir bakal menjadi kotak Pandora, harus dibatalkan atau digagalkan? Pertama, akan memunculkan problematika hukum. Meski MPR berhak melakukan amandemen tetapi MPR kini tidak berwenang menghidupkan GBHN meski dengan nama PPHN. Kewenangan MPR untuk menetapkan "garis-garis besar dari pada haluan negara" telah dicabut atau dihapus. Kedua, konsekuensi hukum amandemen PPHN adalah MPR menjadi lembaga tertinggi. Artinya MPR berkedudukan lebih tinggi dari Presiden. PPHN diamanatkan untuk dijalankan oleh Presiden. Pesiden sebagai Mandataris MPR konsekuensinya harus bertanggungjawab kepada MPR. Ketiga, bila PPHN berakar pada GBHN Orde Baru dan PNSB Orde Lama, maka reformasi menjadi terancam. Menghidupkan mayat akan berbau bangkai. Paradigma kenegaraan yang berorientasi ke depan prakteknya bergerak ke belakang. Indonesia maju untuk Indonesia mundur. PPHN adalah program undur-undur berbingkai Konstitusi. Kegerahan Partai Ummat yang merepresentasi kegerahan masyarakat adalah hal yang wajar dan patut didukung. Sudah semestinya mendapat perhatian DPD untuk awalnya, DPR selanjutnya. PPHN harus dibatalkan dan digagalkan. Amandemen terbatas menurut Bambang Soesatyo hakikatnya adalah amandemen tak terbatas. Batas-batas dari suatu kepentingan politik itu tipis. Tipis sekali. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
BPIP Makin Boros, Bubarkan!
By M Rizal Fadillah SETELAH didesak agar BPIP dibubarkan karena menjadi lembaga boros dan tidak berguna, kini malah BPIP akan mendapat kucuran dana ratusan milyar. Uang negara akan dialokasikan untuk lembaga yang dinilai mubazir. Badan yang sebenarnya perlu evaluasi apakah dibutuhkan atau tidak. Faktanya sepi kegiatan dan lebih banyak menggaduhkan. Terakhir soal lomba artikel naif dan Islamophobia "Menghormat Bendera Menurut Hukum Islam" dan "Menyanyikan Lagu Kebangsaan Menurut Hukum Islam". Bukan tidak penting bahwa Pancasila harus diperkuat oleh seluruh elemen, akan tetapi jika Pancasila hanya dijadikan alat kepentingan untuk penguatan kekuasaan maka hal ini menjadi berbahaya. Gerakan PKI dahulu tidak menarasikan mengubah Pancasila bahkan akan mengamankan atau membela Pancasila, tetapi dalam prakteknya justru menyimpang bahkan berkonspirasi untuk mengganti ideologi Pancasila tersebut. BPIP tidak dibentuk atas aspirasi rakyat melainkan kemauan dan kepentingan Pemerintah oleh karenanya dasar hukumnya adalah Peraturan Presiden. Tepatnya Perpres No. 7 tahun 2018. Anggaran terus meningkat tanpa adanya evaluasi terbuka. Dari 160 M (2020) menjadi 208,8 M (2021) dan 343,9 M (2022). Lonjakan tinggi untuk tahun depan ini aneh karena yang diajukan hanya 193,9 M namun setelah pembahasan justru ditambah 150 M sehingga total menjadi 343,9 Milyar. RUU BPIP sebagaimana RUU HIP diprediksi masih akan mengundang kontroversi. Implikasinya pada peran dan fungsi BPIP sendiri. Lalu penggunaan dana 343,9 Milyar menjadi tidak jelas. Personal Dewan Pengarah yang dipimpin oleh Ketum PDIP Megawati bergaji cukup besar. Sementara pekerjaan minim. Gaji buta namanya. BPIP sebagai lembaga boros, berdaya guna kecil dan tidak langsung menyentuh kepentingan rakyat harus dipertimbangkan eksistensinya. Di era pandemi keberadaan lembaga "politis" ini bukan lagi primer. Karenanya ide pembubaran layak diapresiasi. Apalagi jika Pancasila yang disosialisasikan semata bersandar pada perspektif kekuasaan. BPIP yang bukan menjadi tangan rakyat tetapi tunggangan Pemerintah. BPIP kehilangan urgensi setelah gagal konten. Materi RUU HIP yang tadinya dirancang menjadi bahan bagi kerja badan ini nyatanya gagal menjadi UU. RUU HIP memang tendensius dan dinilai tidak fungsional untuk merawat ideologi, justru sebaliknya merusak Pancasila. Wajar jika rakyat bereaksi untuk menggagalkan. 343,9 Milyar dialokasikan untuk BPIP yang semakin tidak jelas peran dan fungsinya, tidak memiliki standar pola dan materi pembinaan, serta lemah daya dukung eksistensinya. Di samping merupakan pemborosan atas uang negara, alokasi ratusan milyar ini juga rawan bagi terjadinya korupsi. BPIP makin boros : Audit dan bubarkan ! *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan.