Menyebut Buzzer Sebagai Aktivis Fitnah
Oleh Yusuf Blegur, Pegiat Sosial dan Aktivis Yayasan Human Luhur Berdikari
Para buzzer-buzer itu mungkin saja menganggap rezim ini berkuasa selamanya. Menikmati bayaran secara ekonomi dan dilindungi kekuasaan untuk jangka waktu yang lama. Mabuk dan terlena merusak tatanan nilai baik sosial, moral, dan agama. Buzzer-buzzer istana itu merasa nyaman mengais rupiah dengan cara fitnah dan membakar konflik sosial. Mereka tak sadar, tak ada pesta yang tak berakhir. Mereka lupa, sejatinya mereka berada dalam penantian hukuman sejarah dan pengadilan rakyat. Saat dimana kekuasaan rezim tak mampu lagi melindungi dirinya, apalagi diri mereka sendiri.
Banyak cara orang menjalani hidupnya. Mulai dari memilih aktifitas dan pekerjaan, menggeluti hobi hingga menjalani relasi dan interaksi sosial. Semuanya itu menjadi bagian tak terpisahkan dari eksistensi pribadI yang berkolerasi dengan keluarga, masyarakat, negara dan bangsa. Pada titik dan momen tertentu seseorang bisa menentukan hidupnya seberapa besar pengaruh dirinya pada sistem sosial yang ada. Menjadi orang biasa pada umumnya, orang berjiwa besar atau orang dengan pikiran kerdil dan picik sekalipun. Bercita-cita memberi kemaslahatan atau menimbulkan kemudharatan bagi masyarakat.
Ia bisa menentukan untuk menjadi pahlawah atau penghianat. Menjadi pemenang atau pecundang. Seperti kata orang bijak, 'jangan tanyakan apa yang negara berikan padamu, tapi tanyakan apa yang telah engkau berikian pada negara'. Menjadi manusia yang membangun atau menghancurkan negara.
Ketika seseorang berada dalam strukur sebuah sistem baik di lingkungan pemerintahan atau sektor swasta. Tentunya akan menghadapi kondisi dan dinamika yang berbeda, baik pada hubungan personal, menyikapi peraturan yang berlaku maupun menghadapi tantangan pekerjaan dan lingkungan yang ada. Begitu juga dengan orang yang menginginkan tetap berada di luar sistem. Menjadi lebih bebas, tanpa tekanan dan target tertentu. Dapat berimprovisasi sesuai dengan imajinasi dan keinginannya sendiri. Baik yang berada dalam 'comfort zone' maupun wilayah 'survivel", keduanya sama-sama dituntut untuk memiliki kemampuan lebih menyangkut adaptasi, kreatifitas dan inovasi serta kemampuan membangun inter relasi baik terhadap sesama, tanggung jawab pekerjaan dan dalam menyikapi lingkungannya.
Di luar kedua pilihan itu. Seiring trend digitalisasi yang menghasilkan kemudahan dan keberlimpahan informasi. Ada aktifitas dan pekerjaan yang dikenal sebagai pendengung atau lebih populer disebut buzzer atau influencer. Kecenderungan aktifitas yang membuat, mengembangkan sekaligus mengelola informasi. Deskripsi atau narasi yang dibangun bisa berupa produk pemikiran atau gagasan yang orisinil atau melakukan diskursus terhadap isu atau wacana yang sudah berkembang. Eksplorasi ide itu bisa mewujud sebuah tesis atau antitesis. Bisa juga menjadi kritik dan otokritik. Pada tema-tema tertentu pembahasannya bisa berlandaskan ilmiah bisa juga hanya sekedar debat kusir.
Dalam ranah dan akses terhadap kepentingan ekonomi dan politik. Peranan dan manuver para buzzer terkadang mengalami banyak penyimpangan. Tampilnya buzzer kuat menjadi alat agitasi dan propaganda bagi kepentingan kelompok tertentu. Bahkan dalam rangka membangun komunikasi yang masif dan membentuk opini publik yang luas. Buzzer pada akhirnya sering dipergunakan oleh kekuasaan. Bagi rezim, menciptakan dan memelihara buzzer menjadi salah satu instrumen dalam pencapaian tujuan politik tertentu. Sementara bagi para buzzer, aktifitasnya tidak lebih dari soal-soal ekonomi. Bertransformasi sebagai alat penghidupan. Buzzer-buzzer berbayar yang bergerilya dan menjelajahi komunikasi massa secara aktifitasnya. Bekerja fokus merancang, merekayasa dan menyebarkan informasi. Termasuk melakukan disinformasi jika diperlukan. Mereka dituntut efektif dan piawai melakukan kamuflase dan manipulasi informasi. Termasuk melontarkan hujatan, pelecehan, penistaan dan penghinaan pada target politik mereka. Buzzer-buzer berbayar anggaran besar ini, bersuara lantang tanpa malu, abai kesantunan dan tuna keberadaban. Mereka tak peduli apapun dampak dan resikonya. Betapaun aktifitas mereka penuh fitnah, melakukan pembelahan sosial, dan beepotensi memicu disintegrasi nasional.
Anti dan Menjadi Musuh Sosial
Media mainstream dan media sosial beberapa tahun belakangan ini diramaikan dengan kehadiran orang-orang seperti Ade Armando, Denny Siregar, Ade Permana (Abu Janda), Eko Kunthadi, dll. Kemunculan mereka yang lebih sering berkicau di media sosial, diidentifikasikan publik sebagai buzzer. Mereka juga dikenal sebagai buzzerRp atau buzzer berbayar. Tidak tanggung-tanggung secara terbuka, ada penegasan aktifitas mereka dibiayai APBN. Maklum, keberadaan dan eksistensi para buzzer ini marak mengiringi pilpres baik periode 2014 dan 2019. Buzzer-buzzer ini seperti menjadi sub koordinat dari pemerintahan yang dihasilkan pilpres yang dianggap paling tidak demokratis, penuh rekayasa dan memecah-belah bangsa. Polarisasi akibat pilpres itu masih menyala-nyala hingga saat ini.
Perangai buzzer, khususnya Ade Armando, Denny Siregar, Abu Janda dan manusia-manusia sejenisnya. Dianggap publik sudah melampaui batas-batas dan kepantasan. Terutama dalam soal etika, moral dan nilai-nilai keagamaan. Mereka seakan tidak lagi bisa mengelola otak dan mengatur mulutnya. Ade Armando cs, seperti mengalami cedera pemikiran yang parah. Orang-orang yang demi urusan perut semata, dapat mengabaikan harga diri dan martabatnya. Layaknya manusia yang miskin ahlak dan menantang Tuhan.
Merasa kebal hukum dan dilindungi rezim. Para buzzerRp ini angkuh dan jumawa bersilat lidah dan mengumbar permusuhan dan kebencian. Selain menjadi budak sekaligus pengecer program sekulerisasi dan liberalisasi agama, khususnya Islam. Buzzer-buzzer hina ini nekat merendahkan para ulama, tokoh bangsa, para intelektual dan akademisi negeri ini. Merasa paling pintar dan tahu banyak soal negara ini, sesungguhnya para buzzer ini sedang mempertontonkan kemunafikan dan kehinaan dirinya sendiri. Berbangga karena didukung pejabat dan bersama para pendukung rezim. Buzzer terus menyakiti rakyat yang nyata-nyata telah menjadi korban kekuasaan rezim tirani.
Pada akhirnya roda sejarah yang akan menentukan di titik mana kehadiran dan eksistensi para buzzer ini berhenti dan lenyap dengan sendirinya. Bersama rezim yang selama ini menjadi tempat bergelayutnya. Atau kelak, buzzer-buzzer akan dimakan dirinya sendiri. Oleh karma yang menjadi buah pikiran, ucapan dan tindakannya. Suatu saat gelombang fitnah yang disemburkannya akan tragis menerjang dan melumat sendiri para buzzer.
Hingga saat itu terjadi, rakyat hanya bisa prihatin dan berupaya mengingatkan untuk bertobat kepada para buzzer, aktifis fitnah itu. (*)