Joseph Suryadi Tak Senasib Samuel Paty
Oleh Ady Amar, Kolumnis
Joseph Suryadi jadi berita. Bukan berita baik, justru sebaliknya. Tidak perlu mengetahui apa agamanya, dan karenanya tidak perlu ada kemarahan yang coba disasarkan pada agama yang dianutnya. Apa yang dilakukan pastilah bukan perintah agamanya. Tidak sedikit pun ada hubungan dengan agamanya. Sebelumnya, ia pribadi yang tidak dikenal, kecuali oleh komunitasnya. Ia bukan siapa-siapa. Mungkin ia ingin terkenal lalu melakukan laku konyol.
Joseph Suryadi sudah ditangkap dan dipenjarakan. Ulahnya pastilah membuat keluarga kecilnya merasa menjadi tidak aman. Bahkan etnisnya pun jadi bahan cercaan, meski ulahnya sedikitpun tidak boleh ditautkan pada etnisnya. Joseph "bermain" tunggal, seorang diri. Karenanya, tidak ada sangkut paut dengan orang sekelilingnya.
Awal mendengar postingan kurangajarnya, belum sampai melihat postingannya, hati rasa mendidih. Jika bertemu dengannya sebelum kepolisian menangkapnya, pastilah ingin juga memperlakukannya seperti Ali Radhiyallahu Anhu ketika itu, membanting untuk menghabisi si yahudi tengil yang menghina Nabi Shalallahu Alaihi Wa Salam. Bisa jadi banyak pula yang berpikir sama, karena kegeraman, ingin main hakim sendiri.
Joseph Suryadi pastilah orang bodoh yang nekat memasuki wilayah sensitif agama dengan membuat karikatur menghina Nabi Muhammad dan Sayidah Aisyah Radhiyallahu Anha. Mungkin ia "berguru" pada Charlie Hebdo, mingguan kiri Paris, Perancis, yang kerap menampilkan karikatur Nabi, yang lalu menimbulkan reaksi keras dari kelompok yang memuliakan Nabinya.
Charlie Hebdo memang kerap menghina Nabi dengan karikatur jahatnya, itu bersandar atas nama kebebasan berekspresi. Tentu itu tidak bisa diterima. Menggambar Nabi saja yang baik-baik tidak diperbolehkan, apalagi dengan mengolok-olok dengan karikatur penghinaan/pelecehan.
Joseph Suryadi tersadar setelah postingan karikatur busuknya itu mengundang reaksi. Lalu ia melakukan adegan lapor pada polisi, bahwa ia kehilangan ponselnya. Tuturnya, ada orang iseng memakai ponselnya untuk mengupload karikatur yang tidak ia buat. Tentu polisi punya cara menerima setiap laporan yang masuk, dan lalu mengumumkan bahwa kehilangan ponsel itu cuma akal-akalan untuk tidak menjeratnya sebagai pelaku, tapi korban.
Samuel Paty
Charlie Hebdo, media yang mengagungkan kebebasan berekspresi. Seolah semua boleh dilakukan. Tampil membombardir kohesivitas hubungan antarsesama, dan bahkan sensitivitas agama (Islam).
Serasa tidak ada kapok-kapoknya, beberapa kali Charlie Hebdo menerima balasan penyerangan pada awak redaksinya. Tidak sedikit yang meregang nyawa oleh mereka yang merasa Nabinya dilecehkan. Rezim Macron tampak tidak berkehendak "mematikan" media itu. Dalilnya, itu bagian dari ekspresi kebebasan. Tapi anehnya, saat sang istri dibuatkan karikatur bagai nenek sihir, ia marah.
Sejak tahun 2006 setidaknya, Charlie Hebdo memuat karikatur kontroversial, yang awalnya mengambil dari surat kabar Denmark, Jylands-Posten. Dan terakhir di tahun 2020 peristiwa terulang, yang itu menyebabkan terpenggalnya kepala Samuel Paty.
Saat mengajar murid-muridnya di kelas, pada sekolah Conflans-Sainte-Honorive, Paty memperlihatkan karikatur Nabi Muhammad, yang dimuat Charlie Hebdo. Aksinya itu menyebar di jagat pemberitaan. Maka, Anzorov pemuda yang masih 18 tahun perlu mendatanginya. Ia tinggal di wilayah Eure, Evreux, menempuh perjalanan 88 km untuk menemui Paty. Lalu terjadilah pemenggalan kepala itu.
Abdullah Anzorov, pemuda asal Chechnya, Rusia. Sejak usia 6 tahun ia bersama orang tuanya bermukim di Perancis. Pemuda yang dikenal ramah, dan tidak punya riwayat kriminal, itu bisa melakukan tindakan eksekusi pada penghina Nabinya.
Anzorov pastilah tidak pernah membaca kitab karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, ash-Shaarimul Maslul alaa Syaatimir Rasuul. Dimana dalam Kitab itu tertulis pendapat semua madzhab yang sepakat, siapa pun yang melecehkan Nabi Muhammad, maka ganjarannya pidana hukum mati. Meski tidak membaca Kitab itu, ia melakukannya bersandar pada iman. Konsep yang sama sekali tak difahami non-muslim.
Charlie Hebdo di Paris, Perancis. Dan Samuel Paty, seorang guru yang di dalam kelas memperlihatkan karikatur penghinaan Nabi Shalallahu Alaihi wa Salam. Ulahnya ter- publish. Dan muncul kemarahan muslim, khususnya di Perancis, seolah tertebus oleh tindakan Anzorov.
Joseph Suryadi tak senasib Samuel Paty yang harus terpenggal kepalanya. Beruntung ia langsung diselamatkan dengan dipenjarakan. Kasusnya wajib diangkat ke pengadilan, dan hukuman setimpal perlu diberikan. Semua kita sama-sama jadi saksi, apakah keadilan bisa ditegakkan atau tidak. Itu agar tidak perlu muncul Anzorov lainnya yang mengambil alih peran jadi eksekutor jalanan. (*)