Capres Independen: Solusi Gaduh Presidential Threshol
Kita tentu tidak ingin negeri ini gaduh berkepanjangan. Tetapi, bisa dipastikan pula kita juga tidak ingin membiarkan aturan yang nyata-nyata mengangkangi demokrasi menjadi kenikmatan segelintir kelompok, dan pada saat yang sama menginjak-injak hak warga negara lain.
Oleh: Tamsil Linrung, Ketua Kelompok DPD di MPR
BUKANNYA semakin baik, pascareformasi negara malah semakin rusak. Hutang menumpuk, demokrasi ambruk, ekonomi hancur, hukum tebang pilih, kohesivitas sosial merenggang, oligarki mekar, dan negara terkesan didikte asing. Di satu sisi pidato pemimpin bangsa menggelorakan semangat kemajuan, namun di sisi lain realitas acapkali memunggunginya.
Mahasiswa sampai menggelari presiden kita The King of Lip Service, raja pembohong.
Kualitas bangsa memang ditentukan oleh mutu kepemimpinan. Apa yang ada sekarang, itulah buah dari pilihan kita. Tetapi pilihan rakyat tidak terlepas dari cara kita membentuk sistem pemilihan presiden.
Jika sistemnya hanya memungkinkan memilih A atau B (dan maksimal C), rakyat tiada opsi kecuali memilih golput (golongan putih) yang justru semakin menyesatkan.
Pangkal soalnya ada pada aturan presidential threshold atau syarat ambang batas pengajuan calon presiden oleh partai politik. Saban menjelang pemilu, aturan ini ramai digugat di Mahkamah Konstitusi. Itu adalah sinyal bahwa presidential threshold penuh anomali, tidak adil, dan bahkan tidak relevan.
Hanya sepekan, sudah empat pihak yang mengajukan gugatan presidential threshold ke Mahkamah Konstitusi (MK). Penggugatnya berbagai pihak, dari kalangan oposisi seperti Presidium KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia), Gatot Nurmantyo hingga petinggi partai pendukung pemerintah Ferry Yuliantono, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra. Dua kolega saya di Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Fachrul Razi dan Bustami Zainudin, juga ikut menggugat.
Sebelumnya, presidential threshold telah beberapa kali digugat ke MK, antara lain oleh ekonom senior Rizal Ramli dan Faisal Basri, mantan Pimpinan KPK (Komisi Pemberatasan Korupsi) Busyiro Muqoddas dan Bambang Widjojanto, Ketua Partai Idaman H. Rhoma Irama, Waketum Partai Gerindra Habiburokhman, pakar komunikasi politik Effendy Ghazali, dan beberapa lainnya. Namun, gugatan mereka dimentahkan MK.
Di luar mereka yang berperkara di MK, tidak sedikit organisasi masyarakat sipil yang meminta presidential threshold dihapus atau menjadi nol persen. Sebut saja KNPI (Kominte Nasional Pemuda Indonesia) dan Perludem. Sejumlah partai juga menyuarakan penolakannya, seperti PAN, Demokrat dan PKS. Ketua KPK, Firly Bahuri menyatakan pemberlakuan Presidential Threshold berpotensi besar memicu korupsi, sementara mantan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono setuju nol persen. Pun, tidak sedikit pakar hukum tata negara menentang presidential threshold.
Dinamika itu menegaskan, ada problem mendasar pada aturan ambang batas pencalonan presiden. Plus-minusnya telah menjadi diskursus berpuluh tahun, sehingga dengan mudah kita temui di media massa. Saya sendiri telah beberapa kali menulis soal ini.
Kini, yang mendesak dilakukan adalah mencari jalan keluar. Secara hukum, menggugat ke MK adalah solusi paling popular.
Ada solusi lain jika presiden menginginkan. Presiden bisa berinisiatif menerbitkan Perppu (Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang)) sebagaimana tuntutan Ketua Dewan Kehormatan petinggi Partai Demokrat, Hinca Panjaitan.
Memang, dilemanya cukup ruwet. Perppu menuntut “kegentingan yang memaksa” sehingga debat soal indikator situasi genting dipastikan akan alot. Lagi pula, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarno Putri sering menyatakan, Jokowi adalah petugas partai. Sementara PDIP menolak dihapuskannya presidential threshold. Kolega saya di Badan Pekerja MPR, yaitu politisi PDIP Hendrawan Supratikno bahkan memandang angka ambang batas pencalonan presiden idealnya 30 persen, lebih tinggi 10 persen dari yang berlaku saat ini.
Jika Perppu tidak memungkinkan, solusi lainnya bisa diinisiasi DPR. Namun, agaknya sulit berharap lebih ketika presidential threshold telah membuai dan membuat nyaman partai-partai besar.
Saking sulitnya, anggota DPR sendiri bahkan menyerukan agar masyarakat sipil, pers, hingga mahasiswa ramai-ramai mengepung senayan. Seruan ini diajukan oleh Fadli Zon, anggota DPR dari Fraksi Grindra.
Kita tentu tidak ingin negeri ini gaduh berkepanjangan. Tetapi, bisa dipastikan pula kita juga tidak ingin membiarkan aturan yang nyata-nyata mengangkangi demokrasi menjadi kenikmatan segelintir kelompok, dan pada saat yang sama menginjak-injak hak warga negara lain.
Konstitusi menjamin setiap warga negara berhak dipilih dan memilih. Lalu apa solusinya? Mantan Pimpinan DPD, Laode Ida beberapa saat lalu menuliskan gagasan jalan tengah di salah satu media. Menurut Laode, aspirasi presidential threshold tidak realistis jika dikaitkan dengan representasi politik di Indonesia. Mengapa? Karena parpol yang tidak memiliki kursi di parlemen dipandang legitimatif mengusung pasangan calon presiden.
Laode lalu mengusulkan agar, pertama, parpol yang masuk parliamentary threshold otomatis sudah memiliki legitimasi hukum dan legitimasi rakyat untuk mengusung capres. Kedua, dengan melihat basis dukungan fraksi di MPR yang berarti DPD sebagai salah satu fraksi di MPR pantas dan legitimat untuk mengusung capres/cawapres.
Gagasan itu cukup rasional dan menarik didiskusikan. Namun, semakin 1aspiratif penyelenggaraan pemilu, tentu akan semakin berkualitas. Oleh karena itu, perlu upaya membuka saluran seluas-luasnya bagi partisipasi anak bangsa yang merasa punya kemampuan memimpin negeri.
Dalam perspektif itu, selain opsi capres/cawapres dari fraksi-fraksi di MPR (DPR dan DPD), layak dipertimbangkan opsi tambahan ketiga yakni Capres/Cawapres Independen. Capres Independen memungkinkan warga bangsa yang merasa siap dan mampu memimpin negeri mendapatkan salurannya.
Hal-hal teknis menyangkut kualifikasi, syarat, dan ketentuannya bisa dibicarakan dan diperketat melalui aturan perundangan. Bobotnya tentu harus sebanding dengan mereka yang maju melalui fraksi di MPR. Yang jelas, Capres independen meluaskan partisipasi politik rakyat dalam Pemilu.
Hal tersebut bukan tab. Sebab, dalam pemilihan kepala daerah, keabsahan calon kepala daerah independen telah kita sepakati. Lalu, kenapa hal yang sama tidak dilakukan dalam kontestasi kepemimpinan nasional? Bukankah substansinya sama?
Jika saluran partisipasi rakyat diperluas, silahkan parpol mengatur presidential threshold setinggi mungkin. Sebab, problem utama presidential threshold adalah mengebiri hak warga negara yang ingin maju, namun tidak mendapatkan dukungan parpol. Hal itu dapat dipecahkan melalui Capres independen.