Omicron Bergentayangan di Tengah Gonta-Ganti Kebijakan

Oleh Gde Siriana, Direktur Eksekutif INFUS dan Penulis Buku "Keserakahan di Tengah Pandemi

Melalui Menteri Kesehatan Budi Gunadi, Pemerintah Indonesia telah mengkonfirmasi ada satu virus Corona varian Omicron masuk ke Indonesia. Ada satu orang pasien di Wisma Atlit, seorang pekerja kebersihan, yang terkonfirmasi positif Covid-19 varian Omicron pada 15 Desember lalu. Pemerintah dilaporkan memutuskan untuk mengunci atau lockdown Rumah Sakit Darurat Covid-19 Wisma Atlet Jakarta.

Langkah yang diambil pemerintah dengan penguncian Rumah Sakit sesungguhnya sudah diatur dalam UU No.6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Pasal 56 menyebutkan bahwa karantina rumah sakit dilakukan setelah dibuktikan berdasarkan hasil konfirmasi laboratorium telah terjadi penularan penyakit. Pasal 57 mensyaratkan rumah sakit yang dikarantina diberi garis karantina dan dijaga terus menerus oleh Pejabat Karantina Kesehatan, serta seluruh orang, barang, dan/atau hewan yang berada di rumah sakit yang dikarantina tidak boleh keluar dan masuk rumah sakit. Sedangkan pasal 58 menjelaskan tentang kewajiban pemerintah, bahwa selama dalam tindakan karantina rumah sakit, kebutuhan hidup dasar seluruh orang yang berada di rumah sakit menjadi tanggung jawab Pemerintah pusat dan/atau Pemerintah Daerah.

Jika ditarik sedikit ke belakang, pada 19 November 2021, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy menyampaikan kepada masyarakat bahwa pemerintah akan memberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) Level 3 di seluruh Indonesia pada 24 Desember 2021 - 2 Januari 2022. Dijelaskannya, masyarakat tetap dapat merayakan Nataru namun dengan menaati aturan-aturan yang berlaku. Tujuan kebijakan tersebut untuk mengatur mobilitas masyarakat pada Nataru agar gelombang ketiga pandemi Covid-19 tidak terjadi. Jadi ini bisa dianggap ini merupakan antisipasi atau tindakan pro-aktif pemerintah.

Merespons kebijakan pemerintah pusat tersebut, maka acara International Youth Championship, yang bakal menghadirkan bintang-bintang sepakbola dari FC Barcelona, Real Madrid, dan Atletico Madrid batal digelar di Bali 2-9 Desember dan Jakarta 9-11 Desember 2021. Bahkan pada 2 Desember 2021, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan juga menerbitkan Keputusan Gubernur (Kepgub) Nomor 1430 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 3 Covid-19, yang sejak 6 Desember lalu diunggah di situs resmi Pemprov DKI.

Tetapi yang membuat masyarakat dan juga pemerintah daerah kaget adalah pada 7 Desember 2021, pemerintah pusat memutuskan untuk mengubah skema PPKM Level 3 selama periode libur Natal dan Tahun Baru (Nataru). Skema tersebut diubah menjadi pengetatan syarat perjalanan. Keputusan itu disampaikan Wakil Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional Jenderal TNI (Purn.) Luhut Binsar Panjaitan. Konsekuensinya, bukan hanya Gubernur DKI yang merevisi Kepgub PPKM Nataru, tetapi Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian juga harus mencabut Inmendagri Nomor 62 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Covid-19 Pada Saat Natal Tahun 2021 dan Tahun Baru Tahun 2022 dengan menerbitkan Instruksi Mendagri Nomor 66 Tahun 2021.

Ini bukan kali pertama terjadi Menteri senior berbicara saling bertentangan, padahal bersumber dari pemberi arahan yang sama, yaitu presiden. Pada 16 Juli 2021 di Yogyakarta, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengatakan Presiden Joko Widodo telah memutuskan memperpanjang penerapan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat hingga akhir Juli 2021. Menurut Muhajir, Presiden Jokowi, kata Muhadjir, juga menyampaikan bahwa keputusan memperpanjang PPKM darurat ini memiliki banyak risiko. Tetapi pada 17 Juli 2021, pernyataan berbeda disampaikan oleh Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, yang mengatakan pemerintah mengambil pilihan sulit terkait PPKM darurat, oleh karena itu, keputusan belum bisa ditentukan langsung.

Dari dua peristiwa tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa manajemen krisis pemerintah dalam menanggulangi pandemi tidak banyak belajar dari kegagapan merespon pandemi sebelumnya. Dari indikator 4T Manajemen Krisis pemerintah yang pernah penulis sampaikan dalam artikel sebelumnya yaitu Tanggap, Terstruktur, Teratur dan Terukur ternyata masih belum berjalan baik. Siapa yang berwenang menyampaikan informasi, apakah kebijakan sudah sudah diputuskan dengan indikator-indikator yang teratur dilakukan (testing, tracing treatment) dan terukur (capaian dan cakupan vaksinasi, herd immunitiy, serta kesiapan pengawasan pada akses keluar-masuk negara dan mobilitas warga). Sangat jelas bahwa kebijakan yang belum matang sudah disampaikan kepada masyarakat dan semestinya disampaikan langsung oleh Menteri Kesehatan, atau setidaknya oleh Ketua Gugus Tugas Covid-19 karena prioritas dalam pemberlakukan PPKM menyangkut kesehatan masyarakat.

Di dalam buku “Keserakahan Di Tengah Pandemi: Tinjauan Kritis Kepemimpinan Populis-Otoriter dan Oligarki di Indonesia”, penulis menarik kesimpulan bahwa ketidakpercayaan publik merupakan konsekuensi dari tidak tanggap dan lemahnya leadership presiden Jokowi merespon pandemi, yang bisa dilihat salah satunya dari tumpang-tindih dan gonta-ganti kebijakan yang membingungkan masyarakat. Di banyak negara dengan pemimpin populis seperti Presiden AS Donald Trump, Presiden Brazil Bolsonaro, PM India Narendra Modi, dan Presiden Filipina Duterte, memiliki kecenderungan yang sama, yaitu memiliki optimis yang tidak berdasar science (misalnya terlalu dini menyatakan pandemi akan berakhir atau ekonomi akan bangkit), kepemimpinan yang ‘plin-plan’, dan tidak jujur pada angka-angka statistik.

Banyak ahli pandemiolog di Eropa dan AS menyatakan bahwa badai Omicron sedang terjadi di sana disebabkan oleh 3 hal, yaitu: capain vaksinasi di sekitar 70% atau kurang, efikasi vaksin yang turun saat menghadapi serangan varian Omicron, serta lemahnya mitigasi atau mengendurnya pelaksanaan protokol kesehatan. Seharusnya ini menjadi perhatian besar pemerintah mengingat capaian vaksinasi kedua di Indonesia belum sebanyak di AS atau Eropa. Juga masih perlu dibuktikan efikasi vaksin Sinovac terhadap Omicron, yang mana paling banyak digunakan dalam vaksinasi di Indonesia. Apakah capaian-capaian itu telah berhasil membentuk imunitas komunal di atas 70%?

Meskipun banyak ahli menyatakan varian Omicron tidak memberikan dampak separah varian Delta, bukan berarti pemerintah dapat meremehkannya, karena serendah apapun dampaknya pada kesehatan masyarakat tetap akan berdampak memperlambat pemulihan ekonomi. Jangan terulang ketika di bulan Juli 2021 pemerintah bingung akan memperpanjang PPKM darurat atau tidak, justru yang terjadi rumah sakit collaps. Begitu juga dengan akhir tahun ini, ketika pemerintah sibuk bergonta-ganti aturan dan kebijakan, virus Omicron justru sudah bergentayangan di sekitar kita. (*)

443

Related Post