OPINI

Shin Sayangkan Dua Gol Singapura yang Bersumber dari "Set Piece"

Jakarta, FNN - Pelatih tim nasional Indonesia Shin Tae-yong menyayangkan terjadinya dua gol Singapura ke gawang skuadnya yang bersumber dari bola mati atau \"set piece\" saat kedua tim bersua pada laga leg kedua semifinal Piala AFF 2020 di Singapura, Sabtu malam.\"Sebelum pertandingan saya sudah mengingatkan kepada pemain bahwa Singapura kuat dalam situasi \'set piece\'. Oleh karena itu, sebisa mungkin jangan bikin kesalahan. Namun, ternyata kami kurang fokus dan datanglah dua gol dari sana,\" ujar Shin dalam konferensi pers virtual sesudah pertandingan yang diikuti di Jakarta.Dua gol Singapura dalam laga yang digelar di Stadion Nasional dan dimenangkan Indonesia 4-2 itu memang lahir dari bola mati. Gol gelandang Song Ui-young membuat gol pada menit ke-45+4 memanfaatkan kemelut hasil tendangan bebas. Sementara gol kedua Singapura datang dari sepakan bebas langsung Shahdan Sulaiman (74\').\"Ini memang bukan laga yang mudah bagi kami. Para pemain kami juga masih muda jadi masih sulit mengendalikan pertandingan. Meski begitu, saya merasa kedua tim sudah bekerja sangat keras,\" tutur Shin.Juru taktik asal Korea Selatan itu pun berjanji akan membenahi pertahanan skuadnya saat terjadi situasi bola mati mengingat mereka akan melawan Thailand atau Vietnam di final.Tim nasional Indonesia berhasil melaju ke final Piala AFF 2020 setelah menundukkan Singapura, yang diperkuat delapan pemain karena tiga nama dikartu merah, dengan skor 4-2 pada laga leg kedua semifinal Piala AFF 2020 di Stadion Nasional, Singapura, Sabtu malam.Gol-gol Indonesia dalam partai yang harus melewati babak tambahan tersebut dibuat oleh Ezra Walian, Pratama Arhan, bunuh diri bek Shawal Anuar dan Egy Maulana Vikri. Sementara Singapura mempersempit jarak skor berkat gol Song Ui-young dan Shahdan Sulaiman.Adapun dua pemain Singapura yang diusir wasit yaitu Safuwan Baharudin, Irfan Fandi dan kiper Hassan Sunny.Indonesia berhak ke partai puncak karena leg pertama tuntas dengan skor 1-1. Bagi skuad \"Garuda\", itu menjadi final keenam sepanjang keikutsertaan di Piala AFF setelah sebelumnya mencatatkan pencapaian serupa pada tahun 2000, 2002, 2004, 2010 dan 2016. Dari lima kesempatan sebelumnya, Indonesia gagal meraih juara.Nantinya, di final, Indonesia akan melawan pemenang partai semifinal lainnya yang mempertemukan Thailand dan Vietnam. Laga leg kedua semifinal tersebut digelar pada Minggu (26/12). Pada leg pertama, Thailand menang 2-0. (mth)

Selamat untuk Nahdhotul Ulama!

Satu di antaranya adalah upaya Membangun hubungan diplomasi dengan negara penjajah. Upaya ini pastinya “self paradox” (bertentangan pada dirinya). Karena di mana saja ada ketidak-adilan akan ada keresahan bahkan kekerasan. Dan, karenanya tiada Perdamaian tanpa keadilan (no justice, no peace). Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation SEBAGAI Muslim Gambar Indonesia, saya tentu sangat bahagia dan bangga bahwa negeri ini tidak saja menyandang predikat sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar dunia. Atau yang biasa disebut “the largest Muslim country in the world” (negara Muslim terbesar dunia). Kebanggaan saya semakin sempurna ketika sadar bahwa negeri ini adalah negeri yang hebat, kuat dan berkemajuan serta menjunjung tinggi nilai-nilai universal seperti HAM, Toleransi dan kerukunan antar kelompok masyarakat, kesetaraan jender, dan tentunya nilai-nilai keadilan universal lainnya. Dan semua itu dapat terjadi karena peran signifikan masyarakat madani (civil society) yang kuat. Di negeri Indonesia peranan dinamis masyarakat madani itu terpatri pada kekuatan dan soliditas organisasi-organisasi masyarakat yang ada. Semua mengenal bahwa Indonesia adalah rumah bagi dua organisasi massa terbesar dunia, Nahdhotul Ulama dan Muhammadiyah. Kedua organisasi ini kerap dikenal sebagai wajah dan warna masyarakat Muslim Indonesia. Nahdhotul Ulama baru saja menyelesaikan perhelatan akbar lima tahunan. Berbeda dengan lima tahun lalu yang dipenuhi dengan kekisruhan dan bahkan aksi yang kurang layak sebagai organisasi agama dan Ulama. Kali ini perhelatan yang disebut Muktamar itu relatif berjalan lancar, sukses dan Semoga berkah. Satu agenda terpenting dari Muktamar NU adalah pemilihan Rais Aam (yang sebenarnya juga berarti Ketua Umum) dan Ketua Umum (Arabnya Rais Aam) Tanfidziyah atau pelaksana harian Pengurus Besar Nadhotul Ulama (PBNU). Terpilih sebagai Rais Aam adalah KH Miftahul Akhyar dan Ketua Umum Tanzfidiyah PBNU KH Yahya Cholil Staquf. Satu lagi keunikan NU saat ini adalah karena Ketua Mustasyarnya adalah KH Ma’ruf Amin yang juga Wakil Presiden Republik Indonesia. Sehingga dengan sendirinya dapat dikatakan NU benar-benar menjadi spirit (semangat) bagi roda perjalanan bangsa dan negara tercinta. Peranan Global Muslim IndonesiaSalah satu hal yang menjadi penekanan Ketua PBNU terpilih, Yahya Staquf, dalam pidato perdananya adalah bagaimana ke depan NU akan ikut memainkan peranan signifikan dan ikut menentukan warna dunia. Tentu lebih khusus warna dunia dalam hubungan antar masyarakat beragama (interfaith communities). Bagi saya hal ini menjadi sangat sifinifikan karena memang secara invisibile (tidak nampak) dunia menunggu peranan signifikan terpenting dari dunia Islam dalam upaya mewujudkan ketertiban dan perdamaian dunia yang tentunya membawa kepada kemakmuran yang berkeadilan. Dan, dari sekian banyak kemungkinan itu, Indonesia seharusnya dapat menjadi lokomotif dalam memainkan peranan tersebut. Selain memang sebagai negara Muslim terbesar dunia, Indonesia juga dikenal sebagai satu dari segelintir dunia Islam yang demokratis. Bahkan, Indonesia dikenal sebagai negara Demokrasi ketiga dunia setelah India, Amerika dan Indonesia. Juga karena posisi strategis Indonesia baik secara ekonomis maupun perpolitikan dunia.Sesuai amanah Konstitusi tentunya harapan untuk Umat Islam memainkan peranan itu menjadi amanah besar. Apalagi bagi organiasi-organisasi besar yang dikenal oleh dunia. NU dan Muhammadiyah beserta organisasi-organisasi massa lainnya harus berani maju ke garda terdepan untuk memainkan peranan itu. Dan, karenanya penyampaian pertama dan utama Yahya Staquf dalam pidato penutupan Muktamar itu penting untuk dimaknai. Tentu dengan sebuah “khusnu dzonni” (positif mind) bahwa memang tujuan itu adalah untuk mewujudkan ketertiban dan Perdamaian dunia yang berlandaskan kepada keadilan universal.Saya menekankan “keadilan universal” karena ada upaya-upaya untuk, yang mungkin saja dengan niat baik, membangun “so called peace” (apa yang disebut Perdamaian) dengan mengindahkan (tidak menghiraukan) asas keadilan universal. Sebuah harapan damai yang saya anggap “mirage peace” atau Perdamaian fatamorgana.Satu di antaranya adalah upaya Membangun hubungan diplomasi dengan negara penjajah. Upaya ini pastinya “self paradox” (bertentangan pada dirinya). Karena di mana saja ada ketidak-adilan akan ada keresahan bahkan kekerasan. Dan, karenanya tiada Perdamaian tanpa keadilan (no justice, no peace). Semoga Nadhotul Ulama di bawah kendali Gus Yahya dijaga Allah dalam hidayah keislaman dan semangat ukhuwah dalam iman dan insaniyat. Saya yakin, Nahdhotul Ulama yang berdiri untuk kejayaan Umat dan kemanusiaan tidak akan melupakan nilai-nilai perjuangan siapapun dalam upaya mendapatkan hak keadilan itu. Jika tidak maka NU dapat dianggap mengkhianati amanah Konstitusi dan tentunya yang terpenting adalah amanah  Islam dan ikhuwah islamiyah…semoga. Saya akhiri sebagai kader Muhammadiyah: “Nashrun minallah wa fathun qariib”. Tapi juga sebagai saudara NU: “Wallahul muwaffiq ilaa aqwamit thoriiq”. New York City, 24 Desember 2021. (*)

Anies dalam Politik Kebangsaan atau Politik Keagamaan?

    Seiring pesatnya popularitas Anies Baswedan, dan seiring itu pula rekatnya politik identitas Gubernur DKI Jakarta ini. Di satu sisi ia ini dikenal sebagai seorang yang liberal, dan di lain sisi dianggap intim dengan kekuatan Islam politik. Oleh: Yusuf Blegur, Pegiat Sosial dan Aktivis Yayasan Human Luhur Berdikari   ADAGIUM politik adalah soal kepentingan, yang tidak bisa dihindari Anies yang memiliki trah Jawa dan Arab. Mantan Rektor Universitas Paramadina dan penggagas Indonesia Mengajar itu, selain cucu dari pahlawan yang kental nasionalismenya, juga banyak mengenyam pemikiran pendidikan barat. Anies seperti sedang menari-nari dalam panggung politik besar Indonesia yang penuh kebhinnekaan dan kemajemukan. Persoalan kebangsaan dan keagamaan memang tidak bisa dilihat dan dianggap sederhana. Ada aspek sejarah di mana ideologi dan politik memenuhi ruang itu. Diskursus mengenai agama dan negara atau kebangsaan tidak bisa dinilai secara hitam-putih tapi juga tidak bisa ditempatkan menjadi abu-abu. Ada aspek kesadaran ideal spiritual dan kesadaran rasional materil yang dibutuhkan untuk menghadirkannya. Agama dan negara tidak bisa dilihat sebagai konsep hubungan yang sekuler ansih. Tetapi juga penting untuk meninjau lebih utuh konsep kekafahan keduanya jika dianggap sebagai pilihan terbaik atau solusi. Menariknya, jika bicara figur Anies dan persfektif kepemimpinannya ke depan, perlu kejelian memetakan dan mengambil posisi dalam habitat politik kontemporer Indonesia. Beberapa cluster menawarkan kenyamanan hunian dan identifikasi sosialnya. Apakah figur Anies menjadi seorang yang Islami, Nasionalis, kapitalis atau Marxis sekalipun? Apakah sosok Anies itu menyediakan dirinya untuk menjadi jamaah dari salah satu komunitas basis peradaban itu? Atau memandang semua itu sebagai sebuah proses yang terus bertumbuh dan dinamis. Termasuk  memilih kelenturan dalam membangun pola interaksi diantara beberapa ideologi dan aliran politik itu. Apakah taktis dan strategis atas nama sinergi dan elaborasi semua itu akan menjadi instrumen politik fundamental dalam proyeksi politiknya. Seperti Soekarno yang bermain-main dengan Nasakom. Semua pasti ada konsekuensi dan resikonya sendiri. Akankah Gubernur Jakarta yang berada dekat di bibir halaman Istana negara itu mempunyai sikap tersendiri yang jauh dari mainstream dan keniscayaan politik praktis. Rakyat menunggu aksi seorang Anies. Apakah ia akan berdansa dengan serigala? Atau sekedar bercanda dengan Harimau? Mungkinkah Anies mampu berjarak dengan pertunjukkan sirkus binatang-binatang liar nan buas. Maukah Anies merasakan keinginan hati dan keyakinannya meski dalam kesendirian menghindari kegaduhan pesta rakyat. Rakyat membutuhkan jawaban dan waktu Anies memang tak lama untuk menuntaskannya. Akankah Anies memilih jalan ideal menempuh perjalanannya? Atau Anies lebih rasional meraih panggung kekuasaan. Wallahu a\'lam bishawab. (*)

Perang Opini dan Realitas Kelapa Sawit Indonesia

Sejauh ini, tanaman kelapa sawit --terlepas dari kampanye negatif yang terus digencarkan-- sudah menunjukkan potensinya yang luar biasa. Kenyataan ini perlahan-lahan mengubah kesadaran manusia. Interaksi yang intens antar individu pun makin memperbaiki kualitas pengelolaan perkebunan kelapa sawit Oleh: Mochamad Husni, Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Sahid SEBAGAI praktisi komunikasi yang bekerja di perusahaan perkebunan kelapa sawit, saya sering memanfaatkan kesempatan berdiskusi di hadapan mahasiswa untuk memeriksa sejauh mana persepsi mereka tentang komoditas yang menjadi core business tempat saya bekerja.Sebagian besar positif. Tapi pernah pula saya temui mahasiswa yang mengutip berita dengan isi yang menggugat tata kelola tanaman yang tumbuh subur di Indonesia ini. Di antara beragam opini kontradiktif yang bertebaran di media massa, mana yang harus dipercaya publik?Ini tentu bukan sekadar pertanyaan yang ingin memastikan perihal benar dan salah. Jawaban yang diberikan harus komprehensif. Sebab, implikasinya sangat panjang. Tidak semata-mata persoalan image dan reputasi industri kelapa sawit Indonesia. Strategi pembangunan nasional bisa dikoreksi. Apalagi sekarang ini tengah dirumuskan roadmap atau peta jalan pembangunan industri kelapa sawit nasional, senafas dengan keinginan Presiden Joko Widodo bahwa kelak sektor komoditas unggulan ini setop mengekspor bahan mentah (Crude Palm Oil/CPO). Di balik keinginan itu tentu ada harapan agar hilirisasi industri kelapa sawit bisa memberi added value dan memperkuat dampak positif terhadap neraca perdagangan Indonesia. Ketika merenung-renungkan pertanyaan seputar kebenaran dalam industri kelapa sawit, ingatan saya melambung pada buku lama yang ditulis Peter Ludwig Berger, Social Contructions of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge. Buku lawas yang ditulis sosiolog Amerika tahun 1966 bersama sosiolog Jerman bernama Thomas Luckmann ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan sangat baik oleh Hasan Basari. Diterbitkan LP3ES tahun 1990 dengan judul \"Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan\". Teorinya masih sangat relevan. Sebagai pisau analisis, pendekatan yang digunakan masih tajam membedah fenomena era post truth seperti sekarang.Kendati Berger dan Luckman menulis buku tersebut lebih dari setengah abad lalu, “teorinya hingga hingga kini masih tetap relevan untuk dijadikan semacam alat analisis atau sebagai objek kajian bagi studi-studi ilmu sosial, khususnya sosiologi dan ilmu komunikasi di berbagai perguruan tinggi di Indonesia,” tulis Alex Sobur ketika memaparkan paradigma konstruktivis Berger dalam buku \"Filsafat Komunikasi: Tradisi dan Metode Fenomenologi\", terbitan Rosda Karya, 2013. Memang, paparannya tetap mampu menjernihkan pandangan ketika digunakan untuk menepis kebingungan publik di tengah perang opini tentang kelapa sawit Indonesia yang masih terjadi hingga hari ini.Konstruksi sosial Social contruction atau konstruksi sosial seperti yang dipaparkan panjang lebar Peter Berger bersama Thomas Luckmann, secara sederhana dapat dipahami sebagai penyusunan, pembentukan, terbangunnya sesuatu, sebagai hasil atau buah dari aktivitas sosial (masyarakat). Ketika kedua sosiolog itu menggunakan frase social construction of reality, “sesuatu” dalam pemikiran mereka merujuk pada realitas. Seperti apakah realitas industri kelapa sawit Indonesia? Apakah sama persis dengan opini-opini maupun publikasi yang bisa ditemukan masyarakat di media massa dan forum-forum diskusi? Apakah kelapa sawit sejahat virus atau bakteri hingga sebuah produk makanan harus diberi label palm oil free saat di-display di supermarket? Sedemikian buruk itukah realitas tentang kelapa sawit? Di sinilah arti penting pendekatan Berger dan Luckmann. Mereka mendefinisikan realitas atau kenyataan sebagai suatu kualitas yang terdapat dalam fenomena-fenomena. Fenomena ini memiliki keberadaannya (being) sendiri dan sama sekali tidak tergantung pada kehendak manusia. Fenomena-fenomena itu nyata (real) dan memiliki karakteristik yang spesifik. Berger dan Luckmann memandang bahwa realitas atau kenyataan itu dibangun secara sosial. Artinya, individu-individu dalam masyarakat-lah yang sebenarnya membangun masyarakat. Karena itu, pengalaman individu tidak dapat terpisahkan dengan masyarakat. Manusia sebagai pencipta realitas sosial yang objektif melalui momen dialektis yang melibatkan tiga proses yaitu: eksternalisasi, obyektivasi, dan internalisasi. Keseluruhan proses ini berlangsung secara simultan dan terus menerus. Dialektikanya dipicu oleh karakter dasar manusia sebagai makhluk sosial (organisme) yang mau tak mau pasti berinteraksi dengan sesama maupun alam semesta. Interaksi-interaksi itu kemudian melahirkan kesadaran. Dalam tahap eksternalisasi, maka nilai-nilai, norma, etika, dan segala bentuk maupun cara dalam memperlakukan individu lain serta alam sekitar (termasuk kelapa sawit) terekam dan menjadi pengetahuan individu. Obyektivasi berlangsung ketika pengetahuan individual itu bertemu dengan pengetahuan individu lainnya. Maka, tidak perlu heran ketika petani-petani kelapa sawit memahami komoditas yang ia budidayakan sebagai realitas yang baik dan bermanfaat. Pemerintah kabupaten yang wilayahnya mekar serta berkembang pesat tentu merekam dalam ingatan mereka tentang begitu banyak dampak positif perkebunan kelapa sawit bagi kesejahteraan masyarakat. Begitu juga dengan konfirmasi dari pemerintah pusat yang melihat langsung betapa devisa negara menjadi sehat berkat ekspor kelapa sawit ke pasar global. Sebaliknya, pemahaman berbeda mungkin saja muncul pada individu-individu lain. Semua bergantung pada interaksi dan pengalaman-pengalaman kongkrit mereka ketika bersentuhan dengan kelapa sawit, individu-individu lain dan alam sekitar mereka. Mungkin saja opini mereka tentang tanaman menjadi sangat negatif. Penjelasan Berger dan Luckmann ada di ranah ilmu sosiologi. Kendati begitu, kajian komunikasi berada di posisi yang tak kalah penting. Eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi berlangsung melalui perantaraan berkat kemampuan manusia berkomunikasi.Bahasa, menurut Berger dan Luckmann, “merupakan instrumen pokok untuk menciptakan realitas”, seperti ditulis Alex Sobur yang mengutip disertasi Ibnu Hamad yang berjudul “Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa: Sebuah Studi Critical Discourse Analysis terhadap Berita-Berita Politik”. Di dalam studinya yang mengaitkan paradigma konstruksi sosial dengan media itu, Hamad sampai pada kesimpulan bahwa seluruh isi media, tiada lain merupakan realitas yang telah dikonstruksikan (constructed reality). Pembuatan berita di media, menurutnya seperti ditulis Sobur, pada dasarnya adalah menyusun realitas-realitas hingga membentuk sebuah cerita atau wacana yang bermakna. Itu sebabnya, karena realitas sosial merupakan hasil konstruksi sosial –seperti ditulis Sobur-- maka kebenaran realitas sosial bersifat relatif. Semua bisa benar, semua juga berpeluang mengandung ketidakbenaran. Termasuk, opini-opini yang banyak dikonsumsi publik mengenai kelapa sawit Indonesia.Pekerjaan Rumah Berger dan Luckmann tentu tidak berkepentingan dengan status benar atau salah. Sebagai sosiolog, analisisnya dapat kita gunakan untuk secara jernih memahami sebaran informasi di ranah publik yang kadang membingungkan. Yang pasti, dialektika terus bergulir. Bersamaan dengan itu, ia akan memperbaharui pengetahuan dan kesadaran individu-individu dan masyarakat. Satu hal yang amat menarik adalah penegasan Berger dan Luckmann perihal manusia sebagai organisme. Sebagai organisme, manusia mempunyai kebutuhan-kebutuhan dasar yang harus mereka penuhi untuk keberlangsungan hidup mereka. Pangan, energi, dunia yang lestari, merupakan sederet daftar yang tak bisa ditiadakan. Di antara sekian banyak ciptaan Tuhan di bumi, tentu manusia akan sampai pada penemuan tentang makhluk terbaik yang paling pas dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu. Sejauh ini, tanaman kelapa sawit --terlepas dari kampanye negatif yang terus digencarkan-- sudah menunjukkan potensinya yang luar biasa. Kenyataan ini perlahan-lahan mengubah kesadaran manusia. Interaksi yang intens antar individu pun makin memperbaiki kualitas pengelolaan perkebunan kelapa sawit yang sesuai dengan prinsip-prinsip sustainability. Seperti ditegaskan Hamad bahwa media juga berperan dalam mengkonstruksi realitas sosial, maka perhatian kita terhadap media tidak boleh dilupakan. Berita-berita ataupun opini tentang dampak positif kelapa sawit yang selama ini mungkin baru beredar di sekitar petani, sentra-sentra perkebunan kelapa sawit, kawasan-kawasan eks transmigrasi yang berubah menjadi pusat pemekaran wilayah akan semakin banyak dikonsumsi publik berkat pemberitaan media.Seiring dengan interaksi langsung antarindividu, masyarakat dan alam yang akan menanamkan kesadaran baru tentang kelapa sawit, sosialisasi di media massa dari mereka yang telah meyakini kelapa sawit sebagai kebaikan akan menggeser relativitas kebenaran yang terkandung dalam kelapa sawit. (*)

Giring Meracau

Meracau bisa dimaknai luas, dan itu serupa seorang yang bicara penuh kebohongan, bahkan sampai pada aromah fitnah. Meracau tak menentu dan penuh kebohongan, pastilah fitnah, itu yang ditampilkan Giring Ganesha, Ketua Umum PSI. Oleh Ady Amar, Kolumnis BUKAN cuma orang mabuk yang jika bicara meracau. Pastilah tidak jelas apa yang diomongkan. Terus pede meracau, meski orang lain ngelus dada tanda ibah melihatnya. Dan yang meracau tak merasakan kehadirannya tak disuka, bahkan mengganggu. Meracau bisa dimaknai luas, dan itu serupa seorang yang bicara penuh kebohongan, bahkan sampai pada aromah fitnah. Meracau tak menentu dan penuh kebohongan, pastilah fitnah, itu yang ditampilkan Giring Ganesha, Ketua Umum PSI. PSI diinisialkan dengan olok-olok, dan itu melatarbelakangi aktivitas partai yang hadir cuma menyoroti Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dengan tidak semestinya. Maka, muncul inisial PSI yang dipelesetkan dengan Partai Seputaran Ibu kota. Inisial yang meski tampak olok-olok, sepertinya memang pantas disematkan pada partai yang tidak mampu membangun langkah visioner, sebagaimana karakter khas anak muda. Yang dilakukan sebaliknya, cuma nyinyir pada prestasi yang dihadirkan Anies Baswedan. PSI seperti tidak mampu beranjak dari isu itu ke itu saja. Seperti tidak ada isu strategis lain bisa dimuncul-kembangkan. Membutakan hati dalam melihat pembangunan kota Jakarta dengan penilaian sebaliknya. Menyerang dengan narasi meracau bak sedang mabuk. Narasi yang dibangun diseputaran Anies itu pembohong, intoleran, pengusung politik identitas, jual ayat saat kampanye... dan seterusnya. Sepertinya tidak beranjak dari itu. Tidak mampu mengungkap pada kasus apa Anies berbohong, intoleran dan seterusnya. Yang penting meracau, berharap siapa tahu ada yang percaya fitnah yang ditebarkan. Bernyanyi di Hadapan Jokowi Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkekeh, meski tak tampak giginya karena tertutup masker, mendengar \"nyanyian\" Giring Ganesha, dalam Pembukaan HUT PSI ke-7. Nyanyian meracau Giring tampaknya disukai Jokowi, ia terhibur melihat dialektika Giring yang jauh dari kesantunan. Giring memang tidak menyebut nama seseorang yang disasar dalam pidatonya. Meski tidak muncul nama disebut, tapi pastilah yang disasar itu Anies Baswedan. Apa yang disampaikan Giring, itu sama dengan pernyataan sensasional sebelumnya yang menyebut Anies pembohong. Giring dan partainya tampil bak buzzer, yang tidak mampu melihat kekurangan yang dianggap lawan politiknya. Dan karenanya, terpaksa memakai penilaian terbalik. Maka, saat menilai prestasi dan kemajuan yang telah ditorehkan Anies Baswedan, ia menyatakan dengan penilaian sebaliknya. Saat menyatakan Anies pembohong dan intoleran, itu sebenarnya tanpa disadari ia tengah memberi sebuah panduan bahwa apa yang disampaikannya bisa dimaknai sebaliknya. Giring sedang meracau, dan pasti yang keluar dari mulutnya itu hal-hal tidak sebenarnya. Dan adab kesantunan tidak menjadi penting dikedepankan. Terpenting nekat dalam meracau. Giring tidak suka pemimpin yang suka berbohong dan intoleran, dan itu pastilah Anies yang disasarnya. Jika ditanya, memangnya Anies berbohong dan intoleran pada hal apa, pastilah ia tergagap tanpa bisa memberi bukti khas para buzzer yang cuma pintar ngoceh di dunia maya. Sikap Giring yang meracau, itu tentu seperti biasanya setidaknya belum ditanggapi Anies, tapi beberapa elit partai politik menyesalkan sikapnya yang jauh dari budaya kesantunan. Tidak demikian dengan Jokowi, yang justru tampak menikmati ocehan meracau Giring itu. Memang duduk, berdiri dan melangkah jadi asyik, jika sama-sama dalam satu barisan, satu frekuensi. (*)

Menggiring Pembohong

Ketua Umum PSI Giring Ganesha mulai pandai bersilat lidah. Di depan Presiden Jokowi ia menyebut Indonesia akan suram apabila dipimpin oleh seorang pembohong. Padahal ia sedang mngadu pada sosok bergelar  \"The King of Lip Service\". Oleh M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan TIGA rasa muncul setelah membaca berita sambutan Giring Ganesha Ketum PSI di depan Jokowi. Tiga rasa itu adalah kaget, sedih, dan lucu. Kaget karena beraninya Giring menyebut \"pembohong\" untuk seseorang di depan figur bergelar \"The King of Lip Service\". Sedih karena sebuah partai \"milenial\" terhimpit dalam sesak nafas puja puji dewa. Lucu karena bermindset terbalik. Sepatu jadi topi dan topi sebagai sepatu.  Terbalik melihat seolah-olah Jokowi adalah Presiden terbaik padahal rakyat memandang sebagai sosok Presiden terburuk. Sulit melihat prestasi signifikan dari kepemimpinannya.Yang mudah untuk diinventarisasi adalah berbagai kegagalan dan sikap inkonsistennya.  Tampaknya nama Giring Ganesha berkaitan dengan peristiwa dulu saat menggiring gajah besar-besaran di Lampung. Kini dalam acara Ultah PSI di hadapan Jokowi Giring ingin menggiring sebutan pembohong ke arah Anies Gubernur DKI dengan nada kekhawatiran bahwa Anies akan menjadi pengganti Jokowi. Bagai mengajukan proposal siap menghantam figur intoleran, pembohong, sentimen agama, ayat-ayat dan sebutan lainnya itu.  Sayang giringan pembohong untuk Anies tidak rasional dan tidak berbasis fakta, sebaliknya justru yang ramai di media diberi predikat pembohong adalah yang ada di depan Giring sendiri yaitu Jokowi \"The King of Lip Service\" julukan yang diberikan oleh BEM UI.  Giring menggiring kebohongan soal Jokowi terbaik atau Anies pembohong. PSI yang dipimpinnya menjadi partai genit sok kritis yang memandang Anies Gubernur yang harus terus disalahkan dan dipojokkan. Ada nuansa pesanan dan kendali. Kekhawatiran dan gemetarnya Giring oleh Anies bukan hal mustahil menjadi pertanda kebenaran akan terjadi apa yang ditakutinya. Dulu Fir\'aun takut ada anak lelaki yang akan menjatuhkannya. Maka ia berusaha keras menutup peluang itu dengan membunuh setiap bayi laki-laki yang dilahirkan. Ternyata ramalannya terbukti. Laki-laki yang meruntuhkan kekuasaannya itu berada tidak jauh dari Istananya sendiri. Musa \"the messenger\" menenggelamkan Fir\'aun \"si pembohong sombong\" bersama seluruh kroninya.  Pidato Giring yang menyodok Anies Baswedan habis-habisan hanya memberi cap diri bahwa PSI adalah partai islamophobia yang menafikan bahkan melecehkan ayat-ayat. Partai penggiring kebohongan baru di kancah perpolitikan bangsa Indonesia. (*)

Demi Marwah NU, KPK Harus Usut Dugaan Politik Uang di Muktamar

Patut diduga, dugaan praktik politik uang dalam Muktamar ke-34 NU karena elit politik ikut bermain, dan ingin menang. Oleh: Jajang Nurjaman, Koordinator CBA CENTER for Budget Analysis (CBA) meminta KPK turun tangan mengusut dugaan praktik politik uang dalam ajang Muktamar ke-34 Nahdlatul Ulama (NU). KPK harus menyelidiki aktor utama serta sumber dananya dari mana saja.Muktamar ke-34 NU terancam rusak marwahnya karena dugaan praktik politik uang. Diduga beberapa Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) ditawari Rp 50 juta. Angka ini jika dikali dengan total suara sah sekitar 219 totalnya mencapai Rp25.950.000.000 perkiraan uang yang siap dibagi-bagikan oknum tim sukses  di ajang muktamar itu.Jika dugaan politik uang benar-benar terjadi, muktamar NU tidak ada bedanya dengan pemilihan ketua umum partai politik, dimana jual beli suara lazim terjadi. Praktik politik uang sangat berbahaya karena bisa melahirkan pemimpin yang tidak berintegritas dan bahkan bisa merugikan keuangan negara.Patut diduga, dugaan praktik politik uang dalam Muktamar ke-34 NU karena elit politik ikut bermain, dan ingin menang. Mentang-mentang sudah banyak duit, dan jadi pejabat, mereka mempengaruhi pengurus NU daerah dengan memberikan duit, dan lalu melakukan karantina seperti warga kena Covid 19.Pengurus dan tokoh NU harus sadar bahaya praktik politik uang dan jangan sampai tergoda dengan bujuk rayuan oknum tim sukses, atau politisi busuk. Jangan sampai Muktamar ke-34 NU melahirkan pemimpin yang tidak berintegritas karena tidak siap kalah dan akhirnya menghalalkan segala cara.Akan menjadi aib bagi warga Nahdlatul Ulama jika pengurusnya tergoda uang haram dalam acara sakral. Jangan sampai pengurus NU selesai muktamar dari Lampung dan pulang ke kampung masing-masing malah membawa aib dan aroma busuk karena menerima uang haram seperti korupsi uang kardus durian, yang sampai sekarang, bau kardus durian, tidak hilang-hilang lantaran penciuman umat sangat tajam tidak bisa diakalin. (*)

Pidato Revolusioner, Kelakuan Kontra-Revolusioner

Kebohongan bercampuraduk dengan kejahatan. Mengandalkan rekayasa dan konspirasi, memanfaatkan kepolosan rakyat. Jadilah ia boneka oligarki. Ngomongnya ke sana, kelakuannya ke sini. Oleh: Yusuf Blegur,  Pegiat Sosial dan Aktivis Yayasan Human Luhur Berdijari MEMANG mahal harga sebuah integritas. Tidak semua orang bisa membeli atau memilikinya. Satunya kata dan perbuatan itu,  tak dapat dirasakan dalam sebatas pidato dan hanya beraneka model pencitraan. Media massa dan pelbagai upaya  pembentukan opini tak akan mengubah watak seseorang yang sebenarnya. Betapapun topeng digunakan, tetap tak dapat menyembunyikan wajah aslinya.  Apalagi cuma mengandalkan kekuatan kapital dan akses politik yang memaksa seorang figur tampil dengan kepalsuan. Kebohongan bersama kejahatan semakin bercampur, mengandalkan rekayasa dan konspirasi, memanfaatkan kepolosan rakyat. Jadilah ia boneka oligarki. Ngomongnya ke sana, kelakuannya ke sini. Segudang janji mulai dari kampanye hingga menjabat presiden. Semua hanya berupa pepesan kosong. Mirisnya lagi, saat mengemban amanat sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Dengan  situasi dan kondisi negara yang begitu amburadul. Pemimpin yang cenderung lebih sering cengengesan dan planga plongo itu,  terkesan sibuk panjat sosial. Masih gemar pencitraan, terasa masih menjalani kampanye pilpres. Sementara sikapnya selalu diam atau pergi lari menghindar saat menghadapi masalah negara, persoalan di lingkungan pemerintahannya dan atau problem yang terkait dengan dirinya.  Entah dalam keadaan  tidak sadar atau memang sebatas itu kemampuannya, hanya publik yang bisa menilai. Rakyat Indonesia belum mengalami amnesia, sehingga mampu merekam jejak   rezim selama lebih dari 7 tahun ini. Menjanjikan ekonomi meroket. Membatasi utang negara.  Menolak impor pangan dan kebutuhan industri lainnya. Mengadakan mobil nasional ESEMKA berseliweran di tanah air. Rakyat juga menyimak, dengan bangganya presiden mengatakan kangen di demo dan menyimpan uang di kantongnya sebesar 11ribu triliun. Masih banyak lagi bualan presiden  yang sampai terbawa dalam mimpi rakyat. Namun kenyataannya tak pernah mewujud. Malah saat rakyat sekarat karena pandemi, rezim semakin bejat memanfaatkanya untuk bisnis menumpuk cuan dan mepanggengkan kekuasaan.  Rasanya, rakyat sudah terlalu kenyang menikmati makanan instan ideologi dan politik. Rakyat butuh makanan pokok dengan nutrisi yang tinggi untuk kemakmuran dan keadilan. Bukan jampi-jampi dan sihir massal kekuasaan. Rakyat memang rapuh dan lemah. Begitu mudahnya terombang-ambing dan dipermainkan rezim. Namun, cepat atau lambat akan ada perubahan. Karena tidak ada yang abadi, selain perubahan itu sendiri. Seperti boneka dan sekumpulan mainan anak-anak dikeranjang besar yang tersimpan di gudang. Seperti itulah pejabat presiden dan konco-konco-konconya terlihat lucu dan menghibur. Pantas saja rakyat tak bisa berharap banyak. Hanya bisa menikmati hiburan sesaat. Setelah itu usang, rusak dan tidak bisa dipakai lagi. Boleh disimpan dimasukan dalam kotak kardus atau bisa juga dibuang. Rakyat semakin jumud dan mendesak untuk menentukan dan memilih pemimpinnya sendiri. Dengan penampilan apa adanya namun jujur dan lebih nyata. Cerdas dan berwibawa, namun lebih utama mampu mengemban amanat penderitaan rakyat. Pemimpin berani dan tegas yang dicintai rakyatnya. Bukan yang  pidatonya revolusioner, namun kontra revolusiober tindakannya. (*)

Ibu Kota Hantu?

Pada saat banyak gedung-gedung hantu di kota-kota besar di Indonesia, saya khawatir IKN baru di Kaltim itu akan menambah daftar kota hantu baru. Hanya para hantu yang cukup berani untuk datang ke Kota Hantu. Oleh: Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS dan Rosyid College of Arts and Maritime Studies, Gunung Anyar, Surabaya SEJAK dua minggu ini, DPR bersama pemerintah sedang kejar tayang untuk meloloskan RUU Ibu Kota Negara sebagai pijakan hukum bagi pemindahan Ibu Kota Negara dari DKI Jakarta ke sebuah kawasan hutan seluas 180.000 ha di perbatasan Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Penajam Pasir Utara, Kalimantan Timur. Biaya pemindahan IKN ini semula diperkirakan sekitar Rp 500 Triliun, sebagian besar dari swasta yang menginginkan return on investment.Disebut bahwa alasan pemindahan IKN ini adalah karena DKI Jakarta sudah tidak layak lagi sebagai IKN, sekaligus untuk memeratakan pembangunan yang Indonesia Sentris. Hemat saya, baik secara teknikal, spasial, temporal dan finansial rencana pemindahan IKN ini berpotensi menjadi monumen kegagalan berskala raksasa yang akan ditinggalkan oleh rezim saat ini. Resiko keterlambatan dan cost overrun selalu mengancam proyek-proyek mercusuar semacam ini yang kalau dihentikan akan menyebabkan femonena dilematis too big to stop. Secara teknikal, kawasan IKN baru itu terancam bahaya laten kekurangan air bersih. Secara geoteknik, jaringan jalan dan bangunan-bangunan beton maupun baja yang akan dirancangbangun di atas kawasan gambut itu memerlukan rekayasa pondasi yang lebih mahal. Pasokan listrik memerlukan pembangkit baru yang situasinya kini justru over supply. Disamping sebagai lingkungan fisik, ibu kota negara adalah lingkungan sosio-kultur yang penting. Aspek ini yang dilupakan sama sekali oleh rencana IKN baru ini. Jakarta menyimpan nilai sentimental yang tak tergantikan. Marwah sejarah itu tidak ada di hutan Kalimantan Timur. Secara spasial, ketimpangan antara Kawasan Barat dan Kawasan Timur Indonesia ini disebabkan oleh obsesi pertumbuhan tinggi selama Orde baru hingga hari ini telah menyebabkan pembangunan terkonsentrasi pada wilayah dengan kepadatan infrastruktur seperti listrik, air bersih dan jaringan transportasi terintegrasi serta dekat dengan pasar yang besar. Untuk memeratakan pembangunan, yang diperlukan adalah penyebaran kawasan industri. Artinya, perlu dilakukan relokasi industri dari Jabodetabek Punjur ke kawasan-kawasan baru di Kawasan Tengah dan Timur Indonesia sebagai sumber bahan baku dan bahan mentah berbasis agromaritim ataupun pertambangan.  Relokasi industri itu harus didahului oleh penyiapan kawasan-kawasan pertumbuhan baru itu dengan prasarana yang cukup: energi -terutama listrik dan gas-, air bersih, dan jaringan jalan ke hinterland kawasan-kawasan baru tersebut untuk memperbesar pasar. Juga diperlukan kebijakan transmigrasi yang progresif agar warga muda trampil sudi bekerja di kawasan-kawasan baru tersebut. Penguatan sektor kemaritiman menjadi kunci dalam pemerataan pembangunan di negara kepulauan dengan bentang alam seluas Eropa bercirikan Nusantara ini. Itu berarti diperlukan pengadaan armada kapal niaga dan perikanan dalam jenis dan jumlah yang cukup, serta tata kelola pemerintahan maritim yang efektif. Saat ini satu pemerintahan maritim dengan satu tanggungjawab belum ada sama sekali, termasuk perundang-undangannya. Sudah banyak kementrian dan lembaga yang memiliki tugas dan wewenang di laut, tapi belum ada satu pemerintahan maritim. Pemerintahan maritim ini mutlak bagi ketertiban dan keamanan operasi-operasi di laut sebagai upaya mempersatukan Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Secara temporal, saat ini justru sedang terjadi keruntuhan bisnis property yang dipicu oleh China. Salah satu pengembang terbesar China, yaitu Evergrande telah mengalami gagal bayar dan memicu kemarahan para investornya. Ini telah merembet ke Indonesia. Kebutuhan property telah menurun sebelum pandemi dan makin turun selama pandemi. Sudah banyak ditemukan apartemen-apartemen dan mal-mal hantu serta rumah-rumah hantu. Banyak hotel-hotel berbintang dijual, juga rumah-rumah mewah di kota-kota besar. Secara finansial, pemindahan IKN itu mengandung paparan resiko yg besar sekali, termasuk ancaman keruntuhan sistem keuangan global yg dipicu oleh krisis property China. Hutang pemerintah dan swasta nasional saat ini telah mencapai Rp 10 ribu Triliun lebih. Pada saat banyak gedung-gedung hantu di kota-kota besar di Indonesia, saya khawatir IKN baru di Kaltim itu akan menambah daftar kota hantu baru. Hanya para hantu yang cukup berani untuk datang ke Kota Hantu. Di samping itu, setiap investasi publik hanya akan value for money jika birokrasinya bersih dan operatornya kompeten. Setahu saya birokrat dan operator hantu tidak memenuhi kualifikasi itu. Jika ini yang terjadi maka investasi besar itu hanya akan value for ghost monkeys yang sekarang banyak menghuni hutan beton di Jakarta. (*)

Biar Kembali Greget KPK Mesti Kembali Periksa Kasus Cak Imin

Oleh: Jajang Nurjaman, Koordinator CBA Bulan Desember ini masih dalam suasana perayaan Hari Anti Korupsi Sedunia (Hakordia), momentum ini juga seharusnnya jadi ajang pembenahan bagi Aparat Penegak Hukum terkait pemberantasan korupsi khususnya Komisi Pemberntasan Korupsi (KPK). Agar Hakordia tidak sebatas perayaan semata tapi tindakan nyata.Menjelang akhir 2021 semangat pemberantasan korupsi terasa hampir padam, KPK Contohnya saat ini kurang greget bahkan berpuas diri dengan kasus-kasus kecil yang terjadi di daerah. Ditambah dengan jumlah OTT yang baru 7 kali di tahun 2021, sama buruknya dengan jumlah OTT di tahun 2020 yang hanya 7 kali.Dibandingkan tahun-tahun sebelumnya sebelum era Firli Bahuri kinerja KPK sangat buruk, untuk OTT di tahun 2019 bisa sampai 21 bahkan di tahun 2018 mencapai 30. Terkait tangkapan juga KPK di era sebelum Firli sanggup menjerat nama-nama besar bahkan sekelas Ketua Umum Partai Politik, misalnya 15 Maret 2019 KPK saat itu melakukan OTT dan tangkapannya bukan ecek-ecek tapi sekelas Romahurmuziy atau Romi dicokok saat menjabat Ketum Parpol.Sebelum Romi, Setya Novanto saat itu sebagai Ketum Parpol juga dicokok KPK dan divonis April 2018. Mirisnya setelah KPK dipimpin Firli Bahuri sejak 2020, jumlah OTT dan target tangkapan sangat mengkhawatirkan. OTT di 2021 hanya tercapai di satu digit serta tangkapan hanya sekelas pejabat daerah seperti DPRD, Kepala Dinas, Bupati, paling banter Gubernur itupun hanya satu.Oleh karena itu, kinerja KPK yang masih buruk sebaiknya membuka kasus-kasus lama yang melibatkan nama besar yang belum tuntas. Sebagai contoh, kasus kardus durian di mana nama Muhaimin Iskandar disebut-sebut. Selain kasus kardus durian, nama Muhaimin Iskandar juga disebut-sebut dalam kasus suap pembahasan anggaran optimalisasi di Direktorat Jenderal Pembinaan Pembangunan Kawasan Transmigrasi pada Kemenakertrans 2014 yang saat ini bernama Kementerian Ketenagakerjaan. Serta nama Muhaimin Iskandar juga disebut-sebut dalam kasus korupsi proyek pembangunan jalan yang digarap Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) tahun 2016.Center for Budget Analysis (CBA) meminta KPK untuk kembali ke marwahnya dalam memberantas korupsi. Salah satu langkah real dengan memanggil dan memeriksa Muhaimin Iskanda terkait kasus-kasus yang menyeret namanya. (*)