OPINI

Pemerintahan Bentukan Kaum Millenial

Politisi gaek yang berkubang di lumpur politik, miskin prestasi, bermoral rendah, dan penuh kosmetik politik, agaknya tidak menarik bagi mereka. Oleh: Djohermansyah Djohan, Guru Besar Ilmu Pemerintahan IPDN CHILE baru saja usai bikin pilpres. Hasilnya, kursi presiden dimenangkan oleh politisi milenial Gabriel Boric. Partai-partai yang mendukung kaum tua tumbang. Pemerintahan terbentuk oleh gerakan cerdas kaum milenial. Bagaimana dengan Indonesia?Orang Minang bilang, \"sekali air gadang, sekali tepian beralih\". Tidak ada yang abadi dalam kehidupan ini, termasuk di dunia pemerintahan. Habis Presiden SBY dari Partai Demokrat, naik Presiden Jokowi dari PDIP. Setelah itu, tahun 2024 tentu akan ada penggantinya lagi. Apakah ada peluang bagi politisi milenial?Walau tidak gampang, perubahan pemerintahan itu suatu keniscayaan. Sekuasa apapun sang pemimpin dan sedigjaya apapun partai, ada waktunya mereka selesai.Dalam sistem Pemerintahan demokrasi penentunya adalah rakyat yang berdaulat. Bukan penguasaan rezim atas aneka sumber daya, alat-alat kekuasaan, dan uang. Bahkan, tidak juga aturan main yang menguntungkan maupun para pelaksana pemilihan yang pro status-quo. Tinggal rakyat berdaulat macam apa yang akan membuat mimpi perubahan pemerintahan menjadi kenyataan. Teori klasik demokrasi bilang, pemilih itu mesti berpendidikan memadai setingkat paling kurang SLTA dan berpendapatan relatif sedang sekitar paling minim 6.000 US Dollar perorang. Jelas persyaratan itu masih jauh untuk kita dipenuhi. Rata-rata tingkat pendidikan manusia Indonesia kelas II SLTP dan income-nya masih belum mencapai 4.000 US Dollar. Atau dengan kata lain kaum kelas menengah yang bisa mendobrak perubahan pemerintahan belum terbentuk.Lalu, apakah masih ada jalan ? Dari fenomena pemerintahan yang terjadi dewasa ini, seperti terlihat dari kasus Chile, kaum milenial kita sebagai mayoritas pemilih (sekitar 100 juta) bisa menjadi faktor determinant.Keluguan, kewarasan, kejernihan perilaku, tidak terikat pada ideologi tertentu, relatif zero kepentingan, dan paling penting mereka tidak doyan politik uang akan mendorong mereka menjadi pemilih rasional. Mestinya, pemilih milenial ini diberi hak dua suara oleh negara, sedangkan pemilih \"kolonial\" cukup satu suara saja?Politisi gaek yang berkubang di lumpur politik, miskin prestasi, bermoral rendah, dan penuh kosmetik politik, agaknya tidak menarik bagi mereka.Jangan kaget bila pilihan mereka jatuh pada politisi lapangan/praktisi pemerintahan milenial atau mereka yang memiliki \"millenial style\". Bermoral tinggi, anti-korupsi, pro-rakyat bawah, kaya inovasi, cakap bekerja, dan suka berkolaborasi. Lebih dari itu, ada kerja nyata yg kasat mata, baik dalam pembangunan fisik maupun non-fisik, dan terbukti diapresiasi rakyat.Selamat datang perubahan pemerintahan yang dihela oleh pemilih milenial. Mereka hanya perlu membangun suatu gerakan yang untungnya sangat dimudahkan berkat kehadiran teknologi digital melalui media sosial. (*)

Gus Yahya dan Peluang Kader HMI Berkiprah di PBNU

Kader-kader HMI, sebagaimana kader-kader PMII, adalah kader-kader potensial yang layak untuk diakomodir dan diberi peluang yang sama untuk ikut merapikan dan membesarkan NU. Oleh: Tony Rosyid, Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa GUS Yahya Cholil Staquf telah terpilih menjadi Ketua Umum PBNU periode 2021-2026. Selamat, semoga NU semakin besar dan mengalami kemajuan di tangan keponakan KH Mustofa Bisri alias Gus Mus ini. Gus Yahya Cholil Staquf adalah kader HMI sewaktu kuliah di UGM Jogjakarta. Memang gak biasa, ada kader HMI bisa menjadi Ketua Umum PBNU.Tak biasa bukan berarti tak bisa. Tak biasa bukan berarti melanggar etika. Tak biasa itu hanya soal cara pandang manusia. Tapi sejarah punya logika yang dapat merubah kebiasaan itu. Sejarah selalu bergerak untuk merubah yang tak biasa menjadi biasa. NU adalah rumah besar milik warga Nahdhiyin dari berbagai etnis, kelompok dan organisasi mahasiswa. Selama mereka beribadah cara NU, berpaham keislaman ala NU, menganut tradisi NU dan punya latarbelakang keluarga dan komunitas NU, maka mereka adalah warga NU. Meski tak punya KTA NU, karena NU tidak obral KTA.Banyak kader HMI adalah warga NU, sebagaimana almarhum Rozi Munir, Syaifullah Yusuf (Gus Ipul), bahkan Nusron Wahid sebelum mendirikan PMII Cabang UI, kabarnya ia adalah kader HMI. Dan Gus Yahya Cholil Staquf, yang saat ini terpilih menjadi Ketua Umum PBNU di Muktamar Lampung 22-23 Desember adalah kader HMI.Selama ini, HMI seperti kurang mendapatkan tempat di struktur kepengurusan NU. Seolah kalau sudah menjadi kader HMI, NU-nya luntur. Ini yang mesti diluruskan.Beberapa kader HMI yang terakomodir di kepengurusan NU umumnya adalah mereka yang masih memiliki \"darah biru\" alias keluarga atau putra Kiai. Padahal, perkaderan di HMI tidak mengenal \"darah biru\" atau \"darah putih\". HMI adalah organisasi perkaderan yang memiliki tradisi egaliter dan dialektika yang kuat. Tradisi berpikir dan berkarir juga menjadi ciri khas HMI. Sementara, tradisi perjuangan menjadi masalah, atau bahkan cenderung punah, di hampir semua organisasi ekstra kemahasiswaan. Di organisasi ekstra mahasiswa, dan juga organisasi masyarakat pada umumnya, para kader bukan hanya ingin belajar dan berjuang, tetapi seringkali menjadikan organisasi itu sebagai instrumen untuk berkarir. Nilai-nilai perjuangan organisasi cenderung luntur seiring dengan semakin besar kesempatan organisasi tersebut untuk dijadikan sebagai alat bergaining. HMI memiliki pola perkaderan yang ketat dan sistematis, mulai Basic Training (LK 1), Intermediate Training (LK 2), Advance Training (LK 3) sampai Senior Course. Training ini menjadi syarat secara berjenjang untuk menduduki posisi struktural di Komisariat, Korkom, Cabang, Badko hingga PB HMI. Soal ini, HMI sangat ketat dan disiplin.Kader-kader HMI, sebagaimana kader-kader PMII, adalah kader-kader potensial yang layak untuk diakomodir dan diberi peluang yang sama untuk ikut merapikan dan membesarkan NU. Saya tidak tahu, Gus Yahya Cholil Staquf sudah sampai dimana training-nya dulu di HMI. Tapi, pengalamannya selama mengabdi di kepengurusan NU tidak diragukan.Saya teringat kata-kata Prof. Dr. Komaruddin Hidayat: Organisation is the first university. Banyak mahasiswa yang justru dimatangkan oleh aktifitasnya di organisasi, bukan di dalam kelas reguler.Dengan posisinya sebagai Ketua Umum PBNU, diharapkan Gus Yahya Cholil Staquf bisa mengakomodir para kader HMI yang Nahdhiyin, dan memberi porsi yang sama dengan kelompok-kelompok lainnya. Secara kualitas, para kader HMI tidak kalah kualitasnya, dan tidak kalah komitmen ke-NU-annya dengan kader-kader lain.Saatnya Gus Yahya Cholil Staquf mencairkan hubungan kader-kader HMI yang NU dengan kader-kader lainnya di rumah besar yang bernama NU. Sehingga NU betul-betul akan menjadi tempat yang nyaman untuk seluruh warga NU tanpa diskriminasi, dengan peluang yang sama bagi kader dan warganya untuk membesarkan NU. Jakarta, 26 Desember 2021

Stop Budaya Ikut-ikutan!

Toleransi bukanlah mencampuradukkan semua simbol agama. Konsepsi dasarnya adalah masing-masing berjalan pada rel ajarannya. Menghormati akan adanya perbedaan bukan dengan memaksakan persamaan atau menyatukan. Inilah yang salah dalam menerapkan makna toleransi di negeri ini pada saat ini. Oleh: M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Keagamaan SEORANG Guru Besar berceritra pengalaman menguji dalam sidang tertutup di kampus sebuah Perguruan Tinggi Negeri. Ketika promovendus menyampaikan paparan desertasinya ia memulai dengan salam lengkap kekinian \"Assalamu\'alaikum wr wb, salam sejahtera bagi kita semua, shalom, om swastyastu, namo buddhaya, salam kebajikan\". Guru Besar itu minta Sidang ditunda. Diminta promovendus mengulang salam., karena tahu bahwa yang bersangkutan, maupun peserta sidang seluruhnya adalah muslim. Salam lintas agama ini menjadi budaya yang dikembangkan dan disosialisasikan. Kadang tidak sesuai tempat. Bahkan bagi para pejabat seolah wajib untuk bersalam seperti ini. Padahal hal tersebut tidak memiliki landasan aturan yang jelas. Nampaknya ada ketakutan baru jika tidak bersalam lengkap maka dianggap intoleran, fanatik, bahkan radikal. Salam keagamaan berdampak pada keimanan karena berkaitan dengan keyakinan dan tanggung jawab ketuhanan. Bagi muslim itu ada syariat yang bisa berkategori haram, halal, atau syubhat. Memasuki domain keagamaan orang lain bukan hal ringan, ada konsekuensi keagamaan pada masing-masingnya.Toleransi bukanlah mencampuradukkan semua simbol agama. Konsepsi dasarnya adalah masing-masing berjalan pada rel ajarannya. Menghormati akan adanya perbedaan bukan dengan memaksakan persamaan atau menyatukan. Inilah yang salah dalam menerapkan makna toleransi di negeri ini pada saat ini. Dalam kaitan \"ikut-ikutan\" maka ajaran Islam menggaris bawahi prinsip \"man tasyabbaha biqaumin fahuwa minhum\" (barangsiapa ikut-ikutan pada budaya suatu kaum, maka ia adalah bagian dari kaum itu). Oleh karenanya budaya ikut-ikutan tanpa dalil yang mendasarinya merupakan perilaku buruk dan terlarang. Tasyabbuh atau budaya ikut-ikutan dapat membahayakan keimanan jika yang diikuti itu adalah ritual atau dogma keagamaan umat lain. Membahayakan pikiran atau mindset ketika yang diikuti dapat membalikkan akal sehat, seperti toleransi yang dimaknai sinkretisme. Bisa juga membahayakan karakter atau kepribadian dimana identitas diri menjadi hilang. Muslim yang menjadi bukan muslim. Karenanya salam lintas agama yang dibudayakan masif baik kepada institusi birokrasi maupun komunitas publik dengan tanpa memperhatikan penghormatan pada perbedaan keyakinan keagamaan, akan menjadi langkah kontra produktif dan rentan perpecahan. Pemaksaan sistematis adalah upaya yang tidak sehat. Stop sinkretisme salam dari shalom hingga namo buddhaya. Hindari mencampurkan baurkan salam sejahtera dengan om swastyastu. Demi kebajikan bangsa maka tempatkanlah salam keagamaan pada proporsinya. Wassalamu \'alaikum warahmatullahi wabarakaatuh. Bandung, 26 Desember 2021. (*)

Skandal AH-Rifa Handayani Sengaja Diungkap Sekarang?

Meskipun skandal ini sudah dilaporkan ke Bareskrim Mabes Polri, ironisnya media online dan mainstream tidak ada yang menulis beritanya. Mereka takut tak dapat iklan raksasa? Oleh: Mochamad Toha, Wartawan FNN JELANG akhir Tahun 2021, tiba-tiba muncul skandal lawas yang diduga dilakukan pimpinan parpol besar berinisial “AH”. Rifa Handayani, wanita bersuami ini mengaku pernah memiliki hubungan spesial dengan Menteri Kabinet Indonesia Maju berinisial AH. Dalam wawancara eksklusif dengan Hersubeno Arief, wartawan senior FNN di saluran YouTube Hersubeno Point tersebut, Rifa membeberkan awal mula perkenalannya dengan sang menteri. Rifa mengungkapkan, momen perkenalan terjadi di sebuah konser Jennifer Lopez alias J-Lo di kawasan Ancol pada 2012. Setelah itu, menteri berinisial AH yang diduga Airlangga Hartarto tersebut mulai menjalin komunikasi dan hubungan khusus. Keduanya saling tukar nomor pin Black Berry. Setelah perkenalan tersebut, akhirnya mereka menjalin komunikasi dan berhubungan khusus hingga tahun 2013. Itu diungkap Rifa Handayani, pada Sabtu, 18 Desember 2021. Pada 2013, Rifa mulai mendapat ancaman dari sosok yang disebut sebagai “tetangga” AH yang belakangan diketahui tak lain adalah Yanti K Isfandiary, istri AH sendiri. Karena tak nyaman, akhirnya dia blokir kontak BlackBerry Messenger dari AH. Namun pagi harinya, AH meng-invite kontak BBM Rifa lagi. Akhirnya diterimalah invite itu. “Saya tanya ke AH, itu ada apa (teror ke saya). AH bilangnya tolong jangan dijawab (teror itu). Tolong itu jangan dilayanin. Saya tanya itu siapa? Itu tetangga saya, tapi saya tahu (kalau) AH itu sebutan istrinya,” katanya. Ternyata setelah AH kontak Rifa, teror dari nomor istri AH itu tak berhenti. Malah makin menjati-jadi, terus menerornya, bukan cuma di WA tapi juga teror ke akun media sosial Path milik Rifa. Setelah dua bulan diteror terus dan menyembunyikan masalah ini dari suaminya, akhirnya Rifa membuka rahasia perselingkuhannya dengan AH ke suaminya. Ia memutuskan buka suara karena dia tak nyaman terus-menerus diteror. Rifa takut dia benar-benar dibunuh oleh orang-orang suruhan AH. Karenanya, sejak saat itu ia memilih untuk memutuskan hubungan dengan AH dan memblokir saluran komunikasi mereka. Tiba-tiba pada pertengahan Juni 2013 masalah datang. “Saya mendapat teror dan intimidasi dari “tetangga” AH tadi, dan saya blok nomor AH,” tutur Rifa. Skandal AH dan Rifa kembali terkuak pada 2016. Ia mengaku dituduh memeras keluarga AH. Menurut Rifa, awal skandal, suaminya mendapat telepon dari AH. Saat itu, AH meminta maaf Yudha, suami Rifa. Ia sendiri sudah terus-terang tentang hubungannya AH itu sebelum akhirnya AH telepon Yudha. Belakangan, rekaman percakapan telepon AH dengan Yudha beredar dalam grup-grup WhatsApp. “Hallo. Hallo. Ini dengan Pak Yudha?” sapa AH pada Yudha. “Iya, dengan siapa ini?” sahut Yudha. “Dengan Airlangga...” jawab seseorang di telepon yang akhirnya mengaku sebagai Airlangga. “Oohh, dengan Pak Airlangga Hartarto. Pak Airlangga sudah terima surat saya?” timpal Yudha memastikan. “Iya, sudah terima. Kita kan maunya kalau ada persoalan kita selesaikan secara silaturahmi begitu. Artinya, kalau ada persoalan tidak perlu kita besar-besarkanlah. Masalah keluarga ini kan masing-masing kembali ke keluarganya,” ujar Airlangga kepada Yudha. Itulah sepenggal dialog dalam telepon antara orang yang mengaku sebagai Airlangga dengan Yudha. Selain minta maaf, AH pun menyatakan apa yang disangkakan oleh suami Rifa (selingkuh) itu tidak benar. “Setelah itu si AH telfon suami saya dan dia minta maaf. Suami saya tanya apa benar kamu kejar istri saya, AH jawab itu tidak benar semuanya. Tidak benar istri anda yang menggoda saya, kata AH,” jelas Rifa. Kemudian, lanjut Rifa, AH menyampaikan nada-nada “mengancam” karena terbawa emosi. Karena mendengar alasan itu, Rifa dan suami mengajak AH dan istrinya bertemu untuk menyelesaikan secara kekeluargaan. Sayangnya, tawaran Yudha untuk bertemu kedua belah pihak dengan istri-istrinya itu tak digubris AH. AH mengatakan, ancaman ini cuma emosional saja, harap dimaklum. “Jika memang betul begitu, bapak bisa membuat surat yang isinya seperti bapak bilang, bagaimana? Agar di surat itu saya menjaga keselamatan istri saya,\" kata Rifa mengulangi seperti disampaikan oleh suaminya. Mengapa AH menolak tawaran tersebut? Rifa mengaku, kala itu persoalan ini sudah pula dilaporkan ke DPP Partai Golkar dan Dewan Kehormatan DPR. Namun, semua upaya itu tidak direspon sama sekali. Tiba-tiba Rifa Handayani didampingi kuasa hukumnya melaporkan adanya ancaman dan teror dari AH dan istrinya ke Mabes Polri, Desember 2021 ini. Ia juga meminta perlindungan kepada Komnas HAM. \"Saya telah diancam dan saya merasa terintimidasi. Ancaman-ancaman itu semua melalui media sosial, melalui media elektronik, WhatsApp,” kata Rifa Handayani. “Karena perihal tersebut, saya merasa jiwa saya terancam. Saya tertekan dan merasa terhina. Diduga perbuatan-perbuatan itu dilakukan oleh AH dan YA. Maka dari itu, saya meminta perlindungan hukum kepada pihak-pihak yang berwajib,” ujar dia. Apakah laporan Rifa Handayani ini terkait dengan nama AH yang digadang-gadang bakal ikut kontestasi Pilpres 2024 sebagai Capres? Apalagi laporan Rifa ini dilakukan pada akhir 2021. Terlepas dari spekulasi politik, “Kalau pengakuan Rifa adalah kebenaran, maka Menteri AH harus bertanggung jawab dan mengklarifikasinya, bukan saja soal perselingkuhannya, tapi juga praktik teror, ancaman, intimidasi dan fitnah kepada Rifa,” ujar Ade Armando dikutip dari Cokro TV, Selasa 21 Desember 2021, mengomentari kasus tersebut. Ade Armando mengatakan, mungkin saja Rifa dimanfaatkan kelompok anti AH, tapi tegasnya, pengungkapan kebenaran itu tak harusnya dipengaruhi pertimbangan subjektif seperti itu. Nah dari kasus skandal ini, Ade penasaran dengan AH. Pertama, apa benar AH berselingkuh? Ini penting karena AH statusnya sebagai pejabat publik penting. “Apakah AH tahu teror dan intimidasi terhadap Rifa? Kalau tahu kenapa AH membiarkan?” tanya Ade. Ia berharap, semoga kasus ini tidak berlarut-larut. Selanjutnya yang tak kalah penting diungkap adalah kenapa AH menolak tawaran pertemuan 4 pihak yaitu AH beserta istrinya bertemu dengan Rifa beserta suaminya. Menurut Ade Armando, mungkin saja Rifa diperalat mengumbar skandal perselingkuhan dengan AH bertahun-tahun lalu. Sangat mungkin laporan Rifa ini berlatar kepentingan politik menjatuhkan nama Menteri AH. Namun demikian, lanjut Ade, nggak bisa juga publik mengabaikan begitu saja versi pengakuan dari Rifa. Meskipun skandal ini sudah dilaporkan ke Bareskrim Mabes Polri, ironisnya media online dan mainstream tidak ada yang menulis beritanya. Mereka takut tak dapat iklan raksasa? Fakta mengejutkan ini secara politik sangat memalukan negara. Kalau saja peristiwa ini terjadi di Korea Selatan dan Jepang, Pak Menteri tersebut akan mundur dari jabatannya. Juga mundur dari parti yang dipimpinnya. Selanjutnya Si Menteri itu melakukan bunuh diri. Menebus rasa malu pada keluarga, rakyat, dan konstituennya di parpol. Sementara kalau ini terjadi di Eropa, Si Menteri ini akan melakukan undur diri dari jabatan (sebelum dipecat Presiden atau Perdana Menteri). Pun mundur dari partai politik dan dunia politik. Demikian pula di AS. Sementara jika terjadi di Korea Utara, Si Menteri tidak boleh mundur. Tapi harus dipecat dan dipermalukan secara politik dan kenegaraan. Sehingga, citra dirinya rusak dan tidak membawa korban baru, karena kekuatan jabatan negara yang didapat. Kondisi hampir sama, terjadi di RRC. Pertanyaannya, dengan peristiwa menghebohkan, viral, dan memalukan ini untuk citra kedaulatan negara dan parpol itu di Indonesia, apa yang akan dilakukan Presiden Joko Widodo: menyelamatkan citra kepemimpinan yang adil dan bersih pada periode kedua atau terakhir ini? Demikian pula apa yang akan dilakukan oleh Menteri AH itu? Melakukan mundur diri dari kabinet, mundur dari parpol, atau berdiam diri sok bersih walau moralnya sudah terbukti b***t dan mempermalukan kabinet? Hanya waktu yang akan menjawab semua fakta yang sudah tersebar luas di medsos tersebut. (*)

Shin Sayangkan Dua Gol Singapura yang Bersumber dari "Set Piece"

Jakarta, FNN - Pelatih tim nasional Indonesia Shin Tae-yong menyayangkan terjadinya dua gol Singapura ke gawang skuadnya yang bersumber dari bola mati atau \"set piece\" saat kedua tim bersua pada laga leg kedua semifinal Piala AFF 2020 di Singapura, Sabtu malam.\"Sebelum pertandingan saya sudah mengingatkan kepada pemain bahwa Singapura kuat dalam situasi \'set piece\'. Oleh karena itu, sebisa mungkin jangan bikin kesalahan. Namun, ternyata kami kurang fokus dan datanglah dua gol dari sana,\" ujar Shin dalam konferensi pers virtual sesudah pertandingan yang diikuti di Jakarta.Dua gol Singapura dalam laga yang digelar di Stadion Nasional dan dimenangkan Indonesia 4-2 itu memang lahir dari bola mati. Gol gelandang Song Ui-young membuat gol pada menit ke-45+4 memanfaatkan kemelut hasil tendangan bebas. Sementara gol kedua Singapura datang dari sepakan bebas langsung Shahdan Sulaiman (74\').\"Ini memang bukan laga yang mudah bagi kami. Para pemain kami juga masih muda jadi masih sulit mengendalikan pertandingan. Meski begitu, saya merasa kedua tim sudah bekerja sangat keras,\" tutur Shin.Juru taktik asal Korea Selatan itu pun berjanji akan membenahi pertahanan skuadnya saat terjadi situasi bola mati mengingat mereka akan melawan Thailand atau Vietnam di final.Tim nasional Indonesia berhasil melaju ke final Piala AFF 2020 setelah menundukkan Singapura, yang diperkuat delapan pemain karena tiga nama dikartu merah, dengan skor 4-2 pada laga leg kedua semifinal Piala AFF 2020 di Stadion Nasional, Singapura, Sabtu malam.Gol-gol Indonesia dalam partai yang harus melewati babak tambahan tersebut dibuat oleh Ezra Walian, Pratama Arhan, bunuh diri bek Shawal Anuar dan Egy Maulana Vikri. Sementara Singapura mempersempit jarak skor berkat gol Song Ui-young dan Shahdan Sulaiman.Adapun dua pemain Singapura yang diusir wasit yaitu Safuwan Baharudin, Irfan Fandi dan kiper Hassan Sunny.Indonesia berhak ke partai puncak karena leg pertama tuntas dengan skor 1-1. Bagi skuad \"Garuda\", itu menjadi final keenam sepanjang keikutsertaan di Piala AFF setelah sebelumnya mencatatkan pencapaian serupa pada tahun 2000, 2002, 2004, 2010 dan 2016. Dari lima kesempatan sebelumnya, Indonesia gagal meraih juara.Nantinya, di final, Indonesia akan melawan pemenang partai semifinal lainnya yang mempertemukan Thailand dan Vietnam. Laga leg kedua semifinal tersebut digelar pada Minggu (26/12). Pada leg pertama, Thailand menang 2-0. (mth)

Selamat untuk Nahdhotul Ulama!

Satu di antaranya adalah upaya Membangun hubungan diplomasi dengan negara penjajah. Upaya ini pastinya “self paradox” (bertentangan pada dirinya). Karena di mana saja ada ketidak-adilan akan ada keresahan bahkan kekerasan. Dan, karenanya tiada Perdamaian tanpa keadilan (no justice, no peace). Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation SEBAGAI Muslim Gambar Indonesia, saya tentu sangat bahagia dan bangga bahwa negeri ini tidak saja menyandang predikat sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar dunia. Atau yang biasa disebut “the largest Muslim country in the world” (negara Muslim terbesar dunia). Kebanggaan saya semakin sempurna ketika sadar bahwa negeri ini adalah negeri yang hebat, kuat dan berkemajuan serta menjunjung tinggi nilai-nilai universal seperti HAM, Toleransi dan kerukunan antar kelompok masyarakat, kesetaraan jender, dan tentunya nilai-nilai keadilan universal lainnya. Dan semua itu dapat terjadi karena peran signifikan masyarakat madani (civil society) yang kuat. Di negeri Indonesia peranan dinamis masyarakat madani itu terpatri pada kekuatan dan soliditas organisasi-organisasi masyarakat yang ada. Semua mengenal bahwa Indonesia adalah rumah bagi dua organisasi massa terbesar dunia, Nahdhotul Ulama dan Muhammadiyah. Kedua organisasi ini kerap dikenal sebagai wajah dan warna masyarakat Muslim Indonesia. Nahdhotul Ulama baru saja menyelesaikan perhelatan akbar lima tahunan. Berbeda dengan lima tahun lalu yang dipenuhi dengan kekisruhan dan bahkan aksi yang kurang layak sebagai organisasi agama dan Ulama. Kali ini perhelatan yang disebut Muktamar itu relatif berjalan lancar, sukses dan Semoga berkah. Satu agenda terpenting dari Muktamar NU adalah pemilihan Rais Aam (yang sebenarnya juga berarti Ketua Umum) dan Ketua Umum (Arabnya Rais Aam) Tanfidziyah atau pelaksana harian Pengurus Besar Nadhotul Ulama (PBNU). Terpilih sebagai Rais Aam adalah KH Miftahul Akhyar dan Ketua Umum Tanzfidiyah PBNU KH Yahya Cholil Staquf. Satu lagi keunikan NU saat ini adalah karena Ketua Mustasyarnya adalah KH Ma’ruf Amin yang juga Wakil Presiden Republik Indonesia. Sehingga dengan sendirinya dapat dikatakan NU benar-benar menjadi spirit (semangat) bagi roda perjalanan bangsa dan negara tercinta. Peranan Global Muslim IndonesiaSalah satu hal yang menjadi penekanan Ketua PBNU terpilih, Yahya Staquf, dalam pidato perdananya adalah bagaimana ke depan NU akan ikut memainkan peranan signifikan dan ikut menentukan warna dunia. Tentu lebih khusus warna dunia dalam hubungan antar masyarakat beragama (interfaith communities). Bagi saya hal ini menjadi sangat sifinifikan karena memang secara invisibile (tidak nampak) dunia menunggu peranan signifikan terpenting dari dunia Islam dalam upaya mewujudkan ketertiban dan perdamaian dunia yang tentunya membawa kepada kemakmuran yang berkeadilan. Dan, dari sekian banyak kemungkinan itu, Indonesia seharusnya dapat menjadi lokomotif dalam memainkan peranan tersebut. Selain memang sebagai negara Muslim terbesar dunia, Indonesia juga dikenal sebagai satu dari segelintir dunia Islam yang demokratis. Bahkan, Indonesia dikenal sebagai negara Demokrasi ketiga dunia setelah India, Amerika dan Indonesia. Juga karena posisi strategis Indonesia baik secara ekonomis maupun perpolitikan dunia.Sesuai amanah Konstitusi tentunya harapan untuk Umat Islam memainkan peranan itu menjadi amanah besar. Apalagi bagi organiasi-organisasi besar yang dikenal oleh dunia. NU dan Muhammadiyah beserta organisasi-organisasi massa lainnya harus berani maju ke garda terdepan untuk memainkan peranan itu. Dan, karenanya penyampaian pertama dan utama Yahya Staquf dalam pidato penutupan Muktamar itu penting untuk dimaknai. Tentu dengan sebuah “khusnu dzonni” (positif mind) bahwa memang tujuan itu adalah untuk mewujudkan ketertiban dan Perdamaian dunia yang berlandaskan kepada keadilan universal.Saya menekankan “keadilan universal” karena ada upaya-upaya untuk, yang mungkin saja dengan niat baik, membangun “so called peace” (apa yang disebut Perdamaian) dengan mengindahkan (tidak menghiraukan) asas keadilan universal. Sebuah harapan damai yang saya anggap “mirage peace” atau Perdamaian fatamorgana.Satu di antaranya adalah upaya Membangun hubungan diplomasi dengan negara penjajah. Upaya ini pastinya “self paradox” (bertentangan pada dirinya). Karena di mana saja ada ketidak-adilan akan ada keresahan bahkan kekerasan. Dan, karenanya tiada Perdamaian tanpa keadilan (no justice, no peace). Semoga Nadhotul Ulama di bawah kendali Gus Yahya dijaga Allah dalam hidayah keislaman dan semangat ukhuwah dalam iman dan insaniyat. Saya yakin, Nahdhotul Ulama yang berdiri untuk kejayaan Umat dan kemanusiaan tidak akan melupakan nilai-nilai perjuangan siapapun dalam upaya mendapatkan hak keadilan itu. Jika tidak maka NU dapat dianggap mengkhianati amanah Konstitusi dan tentunya yang terpenting adalah amanah  Islam dan ikhuwah islamiyah…semoga. Saya akhiri sebagai kader Muhammadiyah: “Nashrun minallah wa fathun qariib”. Tapi juga sebagai saudara NU: “Wallahul muwaffiq ilaa aqwamit thoriiq”. New York City, 24 Desember 2021. (*)

Anies dalam Politik Kebangsaan atau Politik Keagamaan?

    Seiring pesatnya popularitas Anies Baswedan, dan seiring itu pula rekatnya politik identitas Gubernur DKI Jakarta ini. Di satu sisi ia ini dikenal sebagai seorang yang liberal, dan di lain sisi dianggap intim dengan kekuatan Islam politik. Oleh: Yusuf Blegur, Pegiat Sosial dan Aktivis Yayasan Human Luhur Berdikari   ADAGIUM politik adalah soal kepentingan, yang tidak bisa dihindari Anies yang memiliki trah Jawa dan Arab. Mantan Rektor Universitas Paramadina dan penggagas Indonesia Mengajar itu, selain cucu dari pahlawan yang kental nasionalismenya, juga banyak mengenyam pemikiran pendidikan barat. Anies seperti sedang menari-nari dalam panggung politik besar Indonesia yang penuh kebhinnekaan dan kemajemukan. Persoalan kebangsaan dan keagamaan memang tidak bisa dilihat dan dianggap sederhana. Ada aspek sejarah di mana ideologi dan politik memenuhi ruang itu. Diskursus mengenai agama dan negara atau kebangsaan tidak bisa dinilai secara hitam-putih tapi juga tidak bisa ditempatkan menjadi abu-abu. Ada aspek kesadaran ideal spiritual dan kesadaran rasional materil yang dibutuhkan untuk menghadirkannya. Agama dan negara tidak bisa dilihat sebagai konsep hubungan yang sekuler ansih. Tetapi juga penting untuk meninjau lebih utuh konsep kekafahan keduanya jika dianggap sebagai pilihan terbaik atau solusi. Menariknya, jika bicara figur Anies dan persfektif kepemimpinannya ke depan, perlu kejelian memetakan dan mengambil posisi dalam habitat politik kontemporer Indonesia. Beberapa cluster menawarkan kenyamanan hunian dan identifikasi sosialnya. Apakah figur Anies menjadi seorang yang Islami, Nasionalis, kapitalis atau Marxis sekalipun? Apakah sosok Anies itu menyediakan dirinya untuk menjadi jamaah dari salah satu komunitas basis peradaban itu? Atau memandang semua itu sebagai sebuah proses yang terus bertumbuh dan dinamis. Termasuk  memilih kelenturan dalam membangun pola interaksi diantara beberapa ideologi dan aliran politik itu. Apakah taktis dan strategis atas nama sinergi dan elaborasi semua itu akan menjadi instrumen politik fundamental dalam proyeksi politiknya. Seperti Soekarno yang bermain-main dengan Nasakom. Semua pasti ada konsekuensi dan resikonya sendiri. Akankah Gubernur Jakarta yang berada dekat di bibir halaman Istana negara itu mempunyai sikap tersendiri yang jauh dari mainstream dan keniscayaan politik praktis. Rakyat menunggu aksi seorang Anies. Apakah ia akan berdansa dengan serigala? Atau sekedar bercanda dengan Harimau? Mungkinkah Anies mampu berjarak dengan pertunjukkan sirkus binatang-binatang liar nan buas. Maukah Anies merasakan keinginan hati dan keyakinannya meski dalam kesendirian menghindari kegaduhan pesta rakyat. Rakyat membutuhkan jawaban dan waktu Anies memang tak lama untuk menuntaskannya. Akankah Anies memilih jalan ideal menempuh perjalanannya? Atau Anies lebih rasional meraih panggung kekuasaan. Wallahu a\'lam bishawab. (*)

Perang Opini dan Realitas Kelapa Sawit Indonesia

Sejauh ini, tanaman kelapa sawit --terlepas dari kampanye negatif yang terus digencarkan-- sudah menunjukkan potensinya yang luar biasa. Kenyataan ini perlahan-lahan mengubah kesadaran manusia. Interaksi yang intens antar individu pun makin memperbaiki kualitas pengelolaan perkebunan kelapa sawit Oleh: Mochamad Husni, Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Sahid SEBAGAI praktisi komunikasi yang bekerja di perusahaan perkebunan kelapa sawit, saya sering memanfaatkan kesempatan berdiskusi di hadapan mahasiswa untuk memeriksa sejauh mana persepsi mereka tentang komoditas yang menjadi core business tempat saya bekerja.Sebagian besar positif. Tapi pernah pula saya temui mahasiswa yang mengutip berita dengan isi yang menggugat tata kelola tanaman yang tumbuh subur di Indonesia ini. Di antara beragam opini kontradiktif yang bertebaran di media massa, mana yang harus dipercaya publik?Ini tentu bukan sekadar pertanyaan yang ingin memastikan perihal benar dan salah. Jawaban yang diberikan harus komprehensif. Sebab, implikasinya sangat panjang. Tidak semata-mata persoalan image dan reputasi industri kelapa sawit Indonesia. Strategi pembangunan nasional bisa dikoreksi. Apalagi sekarang ini tengah dirumuskan roadmap atau peta jalan pembangunan industri kelapa sawit nasional, senafas dengan keinginan Presiden Joko Widodo bahwa kelak sektor komoditas unggulan ini setop mengekspor bahan mentah (Crude Palm Oil/CPO). Di balik keinginan itu tentu ada harapan agar hilirisasi industri kelapa sawit bisa memberi added value dan memperkuat dampak positif terhadap neraca perdagangan Indonesia. Ketika merenung-renungkan pertanyaan seputar kebenaran dalam industri kelapa sawit, ingatan saya melambung pada buku lama yang ditulis Peter Ludwig Berger, Social Contructions of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge. Buku lawas yang ditulis sosiolog Amerika tahun 1966 bersama sosiolog Jerman bernama Thomas Luckmann ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan sangat baik oleh Hasan Basari. Diterbitkan LP3ES tahun 1990 dengan judul \"Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan\". Teorinya masih sangat relevan. Sebagai pisau analisis, pendekatan yang digunakan masih tajam membedah fenomena era post truth seperti sekarang.Kendati Berger dan Luckman menulis buku tersebut lebih dari setengah abad lalu, “teorinya hingga hingga kini masih tetap relevan untuk dijadikan semacam alat analisis atau sebagai objek kajian bagi studi-studi ilmu sosial, khususnya sosiologi dan ilmu komunikasi di berbagai perguruan tinggi di Indonesia,” tulis Alex Sobur ketika memaparkan paradigma konstruktivis Berger dalam buku \"Filsafat Komunikasi: Tradisi dan Metode Fenomenologi\", terbitan Rosda Karya, 2013. Memang, paparannya tetap mampu menjernihkan pandangan ketika digunakan untuk menepis kebingungan publik di tengah perang opini tentang kelapa sawit Indonesia yang masih terjadi hingga hari ini.Konstruksi sosial Social contruction atau konstruksi sosial seperti yang dipaparkan panjang lebar Peter Berger bersama Thomas Luckmann, secara sederhana dapat dipahami sebagai penyusunan, pembentukan, terbangunnya sesuatu, sebagai hasil atau buah dari aktivitas sosial (masyarakat). Ketika kedua sosiolog itu menggunakan frase social construction of reality, “sesuatu” dalam pemikiran mereka merujuk pada realitas. Seperti apakah realitas industri kelapa sawit Indonesia? Apakah sama persis dengan opini-opini maupun publikasi yang bisa ditemukan masyarakat di media massa dan forum-forum diskusi? Apakah kelapa sawit sejahat virus atau bakteri hingga sebuah produk makanan harus diberi label palm oil free saat di-display di supermarket? Sedemikian buruk itukah realitas tentang kelapa sawit? Di sinilah arti penting pendekatan Berger dan Luckmann. Mereka mendefinisikan realitas atau kenyataan sebagai suatu kualitas yang terdapat dalam fenomena-fenomena. Fenomena ini memiliki keberadaannya (being) sendiri dan sama sekali tidak tergantung pada kehendak manusia. Fenomena-fenomena itu nyata (real) dan memiliki karakteristik yang spesifik. Berger dan Luckmann memandang bahwa realitas atau kenyataan itu dibangun secara sosial. Artinya, individu-individu dalam masyarakat-lah yang sebenarnya membangun masyarakat. Karena itu, pengalaman individu tidak dapat terpisahkan dengan masyarakat. Manusia sebagai pencipta realitas sosial yang objektif melalui momen dialektis yang melibatkan tiga proses yaitu: eksternalisasi, obyektivasi, dan internalisasi. Keseluruhan proses ini berlangsung secara simultan dan terus menerus. Dialektikanya dipicu oleh karakter dasar manusia sebagai makhluk sosial (organisme) yang mau tak mau pasti berinteraksi dengan sesama maupun alam semesta. Interaksi-interaksi itu kemudian melahirkan kesadaran. Dalam tahap eksternalisasi, maka nilai-nilai, norma, etika, dan segala bentuk maupun cara dalam memperlakukan individu lain serta alam sekitar (termasuk kelapa sawit) terekam dan menjadi pengetahuan individu. Obyektivasi berlangsung ketika pengetahuan individual itu bertemu dengan pengetahuan individu lainnya. Maka, tidak perlu heran ketika petani-petani kelapa sawit memahami komoditas yang ia budidayakan sebagai realitas yang baik dan bermanfaat. Pemerintah kabupaten yang wilayahnya mekar serta berkembang pesat tentu merekam dalam ingatan mereka tentang begitu banyak dampak positif perkebunan kelapa sawit bagi kesejahteraan masyarakat. Begitu juga dengan konfirmasi dari pemerintah pusat yang melihat langsung betapa devisa negara menjadi sehat berkat ekspor kelapa sawit ke pasar global. Sebaliknya, pemahaman berbeda mungkin saja muncul pada individu-individu lain. Semua bergantung pada interaksi dan pengalaman-pengalaman kongkrit mereka ketika bersentuhan dengan kelapa sawit, individu-individu lain dan alam sekitar mereka. Mungkin saja opini mereka tentang tanaman menjadi sangat negatif. Penjelasan Berger dan Luckmann ada di ranah ilmu sosiologi. Kendati begitu, kajian komunikasi berada di posisi yang tak kalah penting. Eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi berlangsung melalui perantaraan berkat kemampuan manusia berkomunikasi.Bahasa, menurut Berger dan Luckmann, “merupakan instrumen pokok untuk menciptakan realitas”, seperti ditulis Alex Sobur yang mengutip disertasi Ibnu Hamad yang berjudul “Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa: Sebuah Studi Critical Discourse Analysis terhadap Berita-Berita Politik”. Di dalam studinya yang mengaitkan paradigma konstruksi sosial dengan media itu, Hamad sampai pada kesimpulan bahwa seluruh isi media, tiada lain merupakan realitas yang telah dikonstruksikan (constructed reality). Pembuatan berita di media, menurutnya seperti ditulis Sobur, pada dasarnya adalah menyusun realitas-realitas hingga membentuk sebuah cerita atau wacana yang bermakna. Itu sebabnya, karena realitas sosial merupakan hasil konstruksi sosial –seperti ditulis Sobur-- maka kebenaran realitas sosial bersifat relatif. Semua bisa benar, semua juga berpeluang mengandung ketidakbenaran. Termasuk, opini-opini yang banyak dikonsumsi publik mengenai kelapa sawit Indonesia.Pekerjaan Rumah Berger dan Luckmann tentu tidak berkepentingan dengan status benar atau salah. Sebagai sosiolog, analisisnya dapat kita gunakan untuk secara jernih memahami sebaran informasi di ranah publik yang kadang membingungkan. Yang pasti, dialektika terus bergulir. Bersamaan dengan itu, ia akan memperbaharui pengetahuan dan kesadaran individu-individu dan masyarakat. Satu hal yang amat menarik adalah penegasan Berger dan Luckmann perihal manusia sebagai organisme. Sebagai organisme, manusia mempunyai kebutuhan-kebutuhan dasar yang harus mereka penuhi untuk keberlangsungan hidup mereka. Pangan, energi, dunia yang lestari, merupakan sederet daftar yang tak bisa ditiadakan. Di antara sekian banyak ciptaan Tuhan di bumi, tentu manusia akan sampai pada penemuan tentang makhluk terbaik yang paling pas dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu. Sejauh ini, tanaman kelapa sawit --terlepas dari kampanye negatif yang terus digencarkan-- sudah menunjukkan potensinya yang luar biasa. Kenyataan ini perlahan-lahan mengubah kesadaran manusia. Interaksi yang intens antar individu pun makin memperbaiki kualitas pengelolaan perkebunan kelapa sawit yang sesuai dengan prinsip-prinsip sustainability. Seperti ditegaskan Hamad bahwa media juga berperan dalam mengkonstruksi realitas sosial, maka perhatian kita terhadap media tidak boleh dilupakan. Berita-berita ataupun opini tentang dampak positif kelapa sawit yang selama ini mungkin baru beredar di sekitar petani, sentra-sentra perkebunan kelapa sawit, kawasan-kawasan eks transmigrasi yang berubah menjadi pusat pemekaran wilayah akan semakin banyak dikonsumsi publik berkat pemberitaan media.Seiring dengan interaksi langsung antarindividu, masyarakat dan alam yang akan menanamkan kesadaran baru tentang kelapa sawit, sosialisasi di media massa dari mereka yang telah meyakini kelapa sawit sebagai kebaikan akan menggeser relativitas kebenaran yang terkandung dalam kelapa sawit. (*)

Giring Meracau

Meracau bisa dimaknai luas, dan itu serupa seorang yang bicara penuh kebohongan, bahkan sampai pada aromah fitnah. Meracau tak menentu dan penuh kebohongan, pastilah fitnah, itu yang ditampilkan Giring Ganesha, Ketua Umum PSI. Oleh Ady Amar, Kolumnis BUKAN cuma orang mabuk yang jika bicara meracau. Pastilah tidak jelas apa yang diomongkan. Terus pede meracau, meski orang lain ngelus dada tanda ibah melihatnya. Dan yang meracau tak merasakan kehadirannya tak disuka, bahkan mengganggu. Meracau bisa dimaknai luas, dan itu serupa seorang yang bicara penuh kebohongan, bahkan sampai pada aromah fitnah. Meracau tak menentu dan penuh kebohongan, pastilah fitnah, itu yang ditampilkan Giring Ganesha, Ketua Umum PSI. PSI diinisialkan dengan olok-olok, dan itu melatarbelakangi aktivitas partai yang hadir cuma menyoroti Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dengan tidak semestinya. Maka, muncul inisial PSI yang dipelesetkan dengan Partai Seputaran Ibu kota. Inisial yang meski tampak olok-olok, sepertinya memang pantas disematkan pada partai yang tidak mampu membangun langkah visioner, sebagaimana karakter khas anak muda. Yang dilakukan sebaliknya, cuma nyinyir pada prestasi yang dihadirkan Anies Baswedan. PSI seperti tidak mampu beranjak dari isu itu ke itu saja. Seperti tidak ada isu strategis lain bisa dimuncul-kembangkan. Membutakan hati dalam melihat pembangunan kota Jakarta dengan penilaian sebaliknya. Menyerang dengan narasi meracau bak sedang mabuk. Narasi yang dibangun diseputaran Anies itu pembohong, intoleran, pengusung politik identitas, jual ayat saat kampanye... dan seterusnya. Sepertinya tidak beranjak dari itu. Tidak mampu mengungkap pada kasus apa Anies berbohong, intoleran dan seterusnya. Yang penting meracau, berharap siapa tahu ada yang percaya fitnah yang ditebarkan. Bernyanyi di Hadapan Jokowi Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkekeh, meski tak tampak giginya karena tertutup masker, mendengar \"nyanyian\" Giring Ganesha, dalam Pembukaan HUT PSI ke-7. Nyanyian meracau Giring tampaknya disukai Jokowi, ia terhibur melihat dialektika Giring yang jauh dari kesantunan. Giring memang tidak menyebut nama seseorang yang disasar dalam pidatonya. Meski tidak muncul nama disebut, tapi pastilah yang disasar itu Anies Baswedan. Apa yang disampaikan Giring, itu sama dengan pernyataan sensasional sebelumnya yang menyebut Anies pembohong. Giring dan partainya tampil bak buzzer, yang tidak mampu melihat kekurangan yang dianggap lawan politiknya. Dan karenanya, terpaksa memakai penilaian terbalik. Maka, saat menilai prestasi dan kemajuan yang telah ditorehkan Anies Baswedan, ia menyatakan dengan penilaian sebaliknya. Saat menyatakan Anies pembohong dan intoleran, itu sebenarnya tanpa disadari ia tengah memberi sebuah panduan bahwa apa yang disampaikannya bisa dimaknai sebaliknya. Giring sedang meracau, dan pasti yang keluar dari mulutnya itu hal-hal tidak sebenarnya. Dan adab kesantunan tidak menjadi penting dikedepankan. Terpenting nekat dalam meracau. Giring tidak suka pemimpin yang suka berbohong dan intoleran, dan itu pastilah Anies yang disasarnya. Jika ditanya, memangnya Anies berbohong dan intoleran pada hal apa, pastilah ia tergagap tanpa bisa memberi bukti khas para buzzer yang cuma pintar ngoceh di dunia maya. Sikap Giring yang meracau, itu tentu seperti biasanya setidaknya belum ditanggapi Anies, tapi beberapa elit partai politik menyesalkan sikapnya yang jauh dari budaya kesantunan. Tidak demikian dengan Jokowi, yang justru tampak menikmati ocehan meracau Giring itu. Memang duduk, berdiri dan melangkah jadi asyik, jika sama-sama dalam satu barisan, satu frekuensi. (*)

Menggiring Pembohong

Ketua Umum PSI Giring Ganesha mulai pandai bersilat lidah. Di depan Presiden Jokowi ia menyebut Indonesia akan suram apabila dipimpin oleh seorang pembohong. Padahal ia sedang mngadu pada sosok bergelar  \"The King of Lip Service\". Oleh M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan TIGA rasa muncul setelah membaca berita sambutan Giring Ganesha Ketum PSI di depan Jokowi. Tiga rasa itu adalah kaget, sedih, dan lucu. Kaget karena beraninya Giring menyebut \"pembohong\" untuk seseorang di depan figur bergelar \"The King of Lip Service\". Sedih karena sebuah partai \"milenial\" terhimpit dalam sesak nafas puja puji dewa. Lucu karena bermindset terbalik. Sepatu jadi topi dan topi sebagai sepatu.  Terbalik melihat seolah-olah Jokowi adalah Presiden terbaik padahal rakyat memandang sebagai sosok Presiden terburuk. Sulit melihat prestasi signifikan dari kepemimpinannya.Yang mudah untuk diinventarisasi adalah berbagai kegagalan dan sikap inkonsistennya.  Tampaknya nama Giring Ganesha berkaitan dengan peristiwa dulu saat menggiring gajah besar-besaran di Lampung. Kini dalam acara Ultah PSI di hadapan Jokowi Giring ingin menggiring sebutan pembohong ke arah Anies Gubernur DKI dengan nada kekhawatiran bahwa Anies akan menjadi pengganti Jokowi. Bagai mengajukan proposal siap menghantam figur intoleran, pembohong, sentimen agama, ayat-ayat dan sebutan lainnya itu.  Sayang giringan pembohong untuk Anies tidak rasional dan tidak berbasis fakta, sebaliknya justru yang ramai di media diberi predikat pembohong adalah yang ada di depan Giring sendiri yaitu Jokowi \"The King of Lip Service\" julukan yang diberikan oleh BEM UI.  Giring menggiring kebohongan soal Jokowi terbaik atau Anies pembohong. PSI yang dipimpinnya menjadi partai genit sok kritis yang memandang Anies Gubernur yang harus terus disalahkan dan dipojokkan. Ada nuansa pesanan dan kendali. Kekhawatiran dan gemetarnya Giring oleh Anies bukan hal mustahil menjadi pertanda kebenaran akan terjadi apa yang ditakutinya. Dulu Fir\'aun takut ada anak lelaki yang akan menjatuhkannya. Maka ia berusaha keras menutup peluang itu dengan membunuh setiap bayi laki-laki yang dilahirkan. Ternyata ramalannya terbukti. Laki-laki yang meruntuhkan kekuasaannya itu berada tidak jauh dari Istananya sendiri. Musa \"the messenger\" menenggelamkan Fir\'aun \"si pembohong sombong\" bersama seluruh kroninya.  Pidato Giring yang menyodok Anies Baswedan habis-habisan hanya memberi cap diri bahwa PSI adalah partai islamophobia yang menafikan bahkan melecehkan ayat-ayat. Partai penggiring kebohongan baru di kancah perpolitikan bangsa Indonesia. (*)