Anies dalam Politik Kebangsaan atau Politik Keagamaan?
Seiring pesatnya popularitas Anies Baswedan, dan seiring itu pula rekatnya politik identitas Gubernur DKI Jakarta ini. Di satu sisi ia ini dikenal sebagai seorang yang liberal, dan di lain sisi dianggap intim dengan kekuatan Islam politik.
Oleh: Yusuf Blegur, Pegiat Sosial dan Aktivis Yayasan Human Luhur Berdikari
ADAGIUM politik adalah soal kepentingan, yang tidak bisa dihindari Anies yang memiliki trah Jawa dan Arab.
Mantan Rektor Universitas Paramadina dan penggagas Indonesia Mengajar itu, selain cucu dari pahlawan yang kental nasionalismenya, juga banyak mengenyam pemikiran pendidikan barat. Anies seperti sedang menari-nari dalam panggung politik besar Indonesia yang penuh kebhinnekaan dan kemajemukan.
Persoalan kebangsaan dan keagamaan memang tidak bisa dilihat dan dianggap sederhana. Ada aspek sejarah di mana ideologi dan politik memenuhi ruang itu. Diskursus mengenai agama dan negara atau kebangsaan tidak bisa dinilai secara hitam-putih tapi juga tidak bisa ditempatkan menjadi abu-abu.
Ada aspek kesadaran ideal spiritual dan kesadaran rasional materil yang dibutuhkan untuk menghadirkannya. Agama dan negara tidak bisa dilihat sebagai konsep hubungan yang sekuler ansih. Tetapi juga penting untuk meninjau lebih utuh konsep kekafahan keduanya jika dianggap sebagai pilihan terbaik atau solusi.
Menariknya, jika bicara figur Anies dan persfektif kepemimpinannya ke depan, perlu kejelian memetakan dan mengambil posisi dalam habitat politik kontemporer Indonesia. Beberapa cluster menawarkan kenyamanan hunian dan identifikasi sosialnya. Apakah figur Anies menjadi seorang yang Islami, Nasionalis, kapitalis atau Marxis sekalipun?
Apakah sosok Anies itu menyediakan dirinya untuk menjadi jamaah dari salah satu komunitas basis peradaban itu? Atau memandang semua itu sebagai sebuah proses yang terus bertumbuh dan dinamis. Termasuk memilih kelenturan dalam membangun pola interaksi diantara beberapa ideologi dan aliran politik itu.
Apakah taktis dan strategis atas nama sinergi dan elaborasi semua itu akan menjadi instrumen politik fundamental dalam proyeksi politiknya. Seperti Soekarno yang bermain-main dengan Nasakom.
Semua pasti ada konsekuensi dan resikonya sendiri. Akankah Gubernur Jakarta yang berada dekat di bibir halaman Istana negara itu mempunyai sikap tersendiri yang jauh dari mainstream dan keniscayaan politik praktis.
Rakyat menunggu aksi seorang Anies.
Apakah ia akan berdansa dengan serigala? Atau sekedar bercanda dengan Harimau? Mungkinkah Anies mampu berjarak dengan pertunjukkan sirkus binatang-binatang liar nan buas.
Maukah Anies merasakan keinginan hati dan keyakinannya meski dalam kesendirian menghindari kegaduhan pesta rakyat. Rakyat membutuhkan jawaban dan waktu Anies memang tak lama untuk menuntaskannya.
Akankah Anies memilih jalan ideal menempuh perjalanannya? Atau Anies lebih rasional meraih panggung kekuasaan.
Wallahu a'lam bishawab. (*)