OPINI

Presiden Jokowi Harus Pecat “Trouble Maker” Moeldoko!

Oleh: Mochamad Toha Belakangan ini Presiden Joko Widodo gelisah dengan manuver Kepala Staf Presiden Moeldoko terkait dengan upayanya mengkudeta Partai Demokrat. Sebab, gerakan Moeldoko ini tak lepas dari jabatan KSP. “Untuk proses bersih diri, Presiden Jokowi harus ganti Moeldoko karena dia sudah menjadi trouble maker nasional,” kata sumber FNN.co.id yang dekat dengan Istana. Moeldoko dinilai sudah kebablasan. Secara tersirat, Moeldoko memanfaatkan statusnya sebagai KSP, sehingga mencerminkan “diutus” Presiden Jokowi untuk merusak Partai Demokrat, memusuhi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pendirinya. Perlu dicatat, sebagai Presiden ke-6, SBY masih memiliki jaringan TNI di tiga matra (Darat, Laut, dan Udara) yang kuat. Begitu pula internasional, dia masih memiliki jaringan yang tersebar di dunia.Tapi sebaliknya, Moeldoko justru banyak musuhnya di TNI sendiri. Untuk mengamankan Jokowi dan keluarga, maka Jokowi harus bisa dan berani menggusur Moeldoko dari jabatannya sebagai KSP. Pada akhir pekan awal Maret lalu menjadi sesuatu yang mengejutkan bagi Partai Demokrat, Ketum DPP Partai Demokrat Agus Harymurti Yudhoyono (AHY) dan bahkan SBY sendiri. Di luar ekspetasi, Moeldoko, mantan KSAD dan Panglima TNI semasa SBY menjabat Presiden, ditetapkan sebagai Ketum Partai Demokrat hasil KLB Deli Serdang, Sumatera Utara. KLB yang bisa dikatakan sebagai upaya coup de etat AHY dari kursi Ketum Partai Demokrat seakan menjadi klimaks dari tudingan Partai Demokrat, orang-orang di lingkaran Jokowi ingin mengambil-alih Partai Demokrat. Meski sempat dibantah, sejak beberapa minggu sebelum KLB berlangsung, aroma kudeta tersebut sudah tercium. Dan KLB plus Ketum Moeldoko ini menjadi penegas, polemik kudeta Partai Demokrat benar adanya. Ironis, karena Moeldoko seakan menjadi “anak durhaka” dan nyata-nyata mengabaikan jiwa “korsa”. Sama-sama berlatar belakang militer, Moeldoko jelas-jelas menelikung seniornya: SBY, dan juniornya: AHY. Terang saja jika AHY dan SBY mencak-mencak melihat manuver KLB dan Moeldoko ini. Dan atas perilaku Moeldoko ini, Pemerintah yang akan kena getahnya. Terutama Presiden Jokowi. Maklum saja jika itu terjadi, mengingat Moeldoko sekarang masih menjabat sebagai KSP. Pada sisi lain, kisruh ini akan menjadi ujian bagi Pemerintah untuk tetap teguh pada peraturan atau tidak. Jangan terkejut jika pada akhirnya banyak alumni “Lembah Tidar” gethol melawan. Pasalnya, Presiden Jokowi sebelum mengangkat Moeldoko sudah diperingatkan para alumni Lembah Tidar: Moeldoko berpotensi rusak citra Presiden di penghujung pemerintahan. Tapi, Presiden Jokowi hanya berharap, para alumni Lembah Tidar harus membantu Jokowi. Konon, terkait dengan manuver Moeldoko ini, mereka sudah menyarankan supaya Presiden mencopot Moeldoko dari posisinya sebagai KSP. Dengan terbukanya “borok” mantan Panglima TNI yang dilantik Presiden SBY yang melakukan kesalahan itu, sehingga rakyat Indonesia tahu jika Moeldoko ini trouble maker Nasional. Nama yang dicalonkan sangat mungkin diajukan sebagai penggantinya yaitu Budi Gunawan (Kepala BIN) atau Tito Karnavian (Mendagri). Kedua Jenderal Polisi itu punya pendukung kuat di Polri. Dengan mengangkat BG atau Tito sebagai KSP, posisi Jokowi akan aman. BuzzerRp dipastikan diam. Sebab BG memiliki jaringan tim Siber di BIN. Sementara Tito memiliki jaringan tim Siber di Polri. Tak hanya itu. Dengan menempatkan KSAD Jenderal Andika Perkasa jadi Panglima TNI dan BG atau Tito di KSP akan memberi jaminan keamanan bagi Jokowi di dunia nyata maupun maya. “Mengingat panasnya suhu politik dan kondisi keamanan NKRI, sangatlah tepat jika Presiden Jokowi memilih Andika,” ujar sumber tadi. Penulis adalah Wartawan FNN.co.id

Penjelasan Dudung Tidak Rasional. Waspadai Gerakan KGB!

Oleh: Tjahja Gunawan SETELAH diungkap mantan Panglima Jend TNI (Purn) Gatot Nurmantyo, akhirnya Panglima Kostrad Letjen TNI Dudung Abdurachman, memberikan penjelasan soal raibnya diorama peristiwa G30S/PKI di Museum Darma Bhakti Kostrad. Patung tiga tokoh yang hilang di Museum Darma Bhakti Kostrad itu terdiri dari Jenderal TNI AH Nasution (Menko Hankam Kepala Staf Angkatan Bersenjata/KASAB), Mayjen TNI Soeharto (Panglima Kostrad), dan Kolonel Inf Sarwo Edhie Wibowo (Komandan RPKAD). Patung tersebut sebelumnya ada di dalam museum, tapi setelah Dudung Abdurrachman menjadi Pangkostrad tiba-tiba hilang. Alasannya, diambil oleh penggagasnya yakni Letjen TNI (Purn) AY Nasution, yang menjabat Pangkostrad pada tahun 2011 sampai 2012. Patung diorama tersebut menggambarkan adegan Mayjen Soeharto menerima laporan dari Komandan Resimen Para Komando RPKAD Kol. Sarwo Edhie Wibowo pada peristiwa G 30 S-PKI tahun 1965. Sementara Jend AH Nasution, yang selamat dari upaya penculikan PKI, duduk tidak jauh dari Soeharto dan Sarwo Edhie Wibowo. Benarkah patung tersebut, diambil oleh penggagasnya, Letjen TNI (Purn) AY Nasution sebagaimana disebutkan Pangkostrad Dudung Abdurrachman? Menurut saya, alasan Pangkostrad ini sangat tidak masuk akal dan terkesan dicari-cari. Membuat patung diorama dan ditempatkan di institusi TNI yakni Museum Darma Bhakti Kostrad, sudah sendirinya itu sudah menjadi milik negara. Pembuatan patung tersebut tentu sudah direncanakan matang dan pasti dibiayai dengan uang negara walaupun mungkin saja inisiatif pertamanya datang dari Pangkostrad waktu itu,.AY. Nasution. Katakanlah pembuatan patung itu murni inisiatif dan dibiayai AY Nasution, pertanyaannya mengapa patung diorama tersebut ditempatkan di Kostrad. Mengapa tidak disimpan di rumah pribadinya?. Jika itu aset pribadi, mengapa mantan Pangkostrad Letjen TNI (Purn) AY Nasution baru memintanya sekarang? Masih banyak pertanyaan lain dibalik berbagai alasan yang disampaikan Dudung Abdurrachman. Nah kalau Dudung sebagai Pangkostrad benar-benar tidak melupakan peristiwa sejarah pemberontakan G30S/PKI tahun 1965 sebagaimana penjelasan tertulisnya, seharusnya patung diorama tiga jenderal itu bisa dihadirkan kembali di Museum Darma Bhakti Kostrad. Jika tidak bisa diwujudkan, maka tidak salah kalau mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo menyebutkan bahwa TNI AD telah disusupi PKI. Pernyataan Gatot semakin memperkuat dugaan bahwa gerakan komunis sebenarnya tidak hanya menyusup ke TNI AD, tetapi juga masuk ke institusi lainnya termasuk ke Ormas-Ormas Islam Menurut Prof. Taufik Bahaudin, Guru Besar Universitas Indonesia, komunis gaya baru (KGB) terus bergerak dan menyusup ke berbagai lembaga pemerintahan, parpol dan sebagainya. Mereka tidak tampil langsung, namun menggunakan kepanjangan tangan melalui buzzer. KGB juga menyusup ke ormas-ormas Islam. "Banyak pejabat di Indonesia mendukung komunis gaya baru yang mengadopsi Partai Komunis China (PKC). Secara ideologi komunis tetapi menjalankan ekonomi secara kapitalis, " ungkap Taufik dalam acara bertajuk “Jelas, Semua Menjurus Bangkitnya Komunis Gaya Baru” yang ditayang melalui channel YouTube UI Watch beberapa waktu lalu. *Komunis Gaya Baru* Profesor Taufik yang juga Presiden Direktur National Leadership Center (NLC) itu menambahkan keberadaan komunis gaya baru di Indonesia berdasarkan hasil riset mahasiswa untuk mengambil gelar doktor di UI. “Komunis gaya baru ditampilkan olahan PKC, bungkusan di luar kapitalis tapi masih komunis seperti pengendalian satu partai, ada centra komite. Ciri yang jelas adalah mereka sangat anti agama. PKI gaya baru berorientasi ke PKC,” jelas Direktur Center Pengembangan Talenta dan Brainware UI ini. Sesungguhnya bagi PDIP sebagai partai penguasa saat ini, PKC sudah tidak asing lagi. PKC dan PDIP sudah akrab dan bahkan sudah menjalin kerja sama sejak lama. Tidak hanya PDIP, bahkan Presiden Jokowi pernah menerima kunjungan Song Tao, penasihat Hubungan Luar Negeri Presiden Republik Rakyat Cina (RRC) sekaligus Kepala Politbiro Hubungan Internasional PKC atau International Liaison Department of the CPC (IDCPC) di Istana Bogor, 20 September 2019. Setelah bertemu Jokowi, Song Tao menghadiri undangan makan siang dari Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri. Acara ramah tamah ini berlangsung di Hotel Mandarin Oriental, kawasan Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat. PDIP dan PKC memang sudah lama merajut kerja sama dan saling berkunjung. Bahkan sebelum Jokowi menjadi Presiden, sebagaimana dilaporkan Liputan6, sejumlah pengurus PKC datang ke Kantor DPP PDIP di bilangan Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Delegasi PKC yang dipimpin perwakilan Politbiro Li Yuan Chao disambut langsung oleh Megawati dan sejumlah pengurus teras PDIP kala itu. Kunjungan ini dalam rangka kerja sama antarpartai sekaligus agar hubungan Cina dan Indonesia lebih erat. Selain itu, PDIP juga ingin belajar sistem pengkaderan dari PKC serta pengalaman dan gagasan di bidang-bidang lain. "Kedatangan delegasi dari PKC ini sangat berarti selain untuk melakukan pembelajaran mengenai pembangunan kader akar rumput, juga untuk pengentasan kemiskinan," ujar Andreas Pareira, sebagaimana di kutip Merdeka. Tahun 2013, giliran PDIP yang mengirimkan delegasinya ke Cina. Mereka datang setelah diundang. Partai berlambang banteng bermoncong putih ini memberangkatkan 15 orang kader yang dipimpin Eva Kusuma Sundari. Eva, sebagaimana dikutip BeritaSatu, menjelaskan para kader PDIP akan mempelajari banyak hal dari PKC selama kunjungan yang berlangsung hingga 23 Oktober 2013. Megawati juga pernah ke Cina. Pada 12 Oktober 2015. Mengutip berita Kompas, dia meresmikan Gedung Pusat Kerja Sama Indonesia-Cina yang diberi nama Sukarno House. Saat itu dia didampingi para petinggi PKC wilayah Shenzhen. Dari sejumlah rangkaian peristiwa dan momen keakraban PDIP dengan PKC, tidak heran kalau beberapa waktu lalu Megawati menyampaikan ucapan khusus atas ulang tahun PKC. Dengan demikian, Indonesia dibawah Presiden Jokowi yang didukung PDIP, kiniudah seperti China yakni menganut paham ideologi komunis dan menjalankan ekonomi secara kapitalis. Wajar pula kalau kemudian simbol-simbol perlawanan terhadap PKI seperti diantaranya Patung Diorama tiga jenderal TNI mendadak hilang dari Museum Darma Bhakti Kostrad. Sangat boleh jadi nanti pengganti patung diorama di Kostrad adalah Patung Soekarno yang pernah dibangun Dudung Abdurrachman pada 7 Februari 2020, ketika dia menjabat sebagai Gubernur Akmil di Magelang, Jateng. Tidak salah memang membangun patung proklamator Soekarno. Tapi fakta sejarah menyebutkan bahwa proklamator itu dua orang yakni Soekarno-Hatta yang waktu itu juga sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI-1. Mengapa yang dibangun di Akmil Magelang hanya patung Soekarno? Di luar itu, yang jelas karir Dudung Abdurrachman (56) meroket. Setelah membangun patung Soekarno, Dudung langsung dilantik jadi Pangdam Jaya. Di posisi itu, Dudung yang juga kerap dijuluki jenderal baliho itu, hanya perlu waktu 10 bulan. Bulan Mei 2021 lalu, dia diangkat jadi Pangkostrad. Bahkan sekarang, dia digadang-gadang sebagai KSAD menggantikan Jend TNI Andika Perkasa. Terbukti bahwa kedekatan Dudung Abdurrachman dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, ikut mendongkrak karir militer Dudung Abdurrachman. *** *) Wartawan senior FNN

Partai Politik dan Kader Psikopat

Oleh: Yusuf Blegur Partai politik dan anggota legislatif korupsi sudah biasa. Partai politik dan parlemen yang menghasilkan UU dan kebijakan yang mengkhianati amanat dan menyengsarakan rakyat bukan hal baru. Partai politik melahirkan anggota legislatif yang berbuat asusila juga bukan hal yang tak pernah terjadi. Anggota DPR yang arogan tapi dungu mempermalukan dirinya sendiri, jika telusuri juga bukan jumlah yang sedikit. Itulah beberapa dari sekian banyak potret wajah dan perilaku partai politik beserta kadernya dengan segala peran antagonis dan catatan hitam yang sudah biasa dijumpai rakyat. Namun kali ini, ada yang jauh lebih buruk dan menakutkan dari semua itu. Saat partai politik dan kadernya yang bekerja di parlemen berubah menjadi sekumpulan orang dengan 'gangguan jiwa' dan mengidap 'penyakit sosial' yang akut. Ramai pemberitaan saat beberapa anggota DPRD DKI Jakarta berupaya menggelar rapat paripurna dengan agenda membahas Formula E. Sayangnya, rencana rapat paripurna yang akan digelar pada hari selasa tgl. 28 September 2021. Bukan hanya urung dilaksanakan, bahkan rencana rapat yang lagi-lagi diusung oleh PSI dan PDIP tersebut. Selain tidak disetujui dan dihadiri sebagian besar fraksi dan pimpinan DPRD lainnya. Menegaskan betapa PSI dan PDIP yang ada di parlemen Jakarta itu mempertontonkan perilaku kadernya yang seperti tidak berpendidikan, tidak punya kehormatan dan lebih buruk dari preman jalanan yang menghalalkan segala cara untuk memenuhi syahwat politiknya. Dengan kehadiran hanya 27 anggota yang tidak memenuhi quorum atau 1/2 + 1 dari keseluruhan anggota DPRD DKI yang berjumlah 105 orang. PSI dan PDIP melalui Ketua DPRD Prasetio Edi Marsudi yang berasal dari Fraksi PDIP. Telah memaksakan agenda paripurna Formula E tanpa persetujuan keseluruhan pimpinan dan anggota parlemen. Konyolnya, Ketua DPRD itu menyelipkan agenda dengan cara-cara yang menyalahi aturan. Tanpa sepengetahuan, pembahasan dan persetujuan seluruh anggota parlemen. Karena tidak sesuai dengan aturan dan tata tertib baik persidangan maupun pembahasan program DPRD DKI. Rencana pembahasan Formula E yang tiba-tiba diselipkan dalam agenda paripurna yang gagal itu. Bukan saja menjadi cacat prosedur dan mekanisme kerja DPRD. Melainkan juga menjadi konspirasi kejahatan konstitusi di lembaga legislasi insitusi negara. Tidak belajar dari proses sebelumnya berupa penolakan hak interpelasi dari mayoritas parlemen terkait program Formula E. Alih-alih sadar diri dan introspeksi. PSI dan PDIP malah semakin tidak waras dengan menggelapkan agenda sidang paripurna Formula E. Tanpa kehadiran 4 pimpinan DPRD DKI yaitu M Taufik (Gerindra), Suhaimi (PKS), Misan Samsuri (Demokrat) dan Zita Anjani (PAN). Mencerminkan Perilaku Edi Prasetyo Marsudi yang mewakili kepentingan PSI dan PDIP. Terkesan melalui Formula E, menyebar sikap permusuhan dan kebencian terhadap gubernur dan program pemerintahan pemerintah provinsi DKI. Perangai buruk itu semakin menegaskan betapa PSI dan PDIP memiliki dendam politik bahkan anti terhadap figur pemimpin Anies Baswedan. Dengan seabreg persoalan negara yang menyeluruh di pelbagai aspek kehidupan baik ekonomi, sosial, politik, hukum dan pertahanan keamanan negara. Sepertinya PSI dan PDIP tidak pernah melihat dan mengabaikan, semua krisis kenegaraan itu terasa dan ada di depan mata karena pemerintah pusat yang salah mengelola negara. PSI dan PDIP cenderung buta mata dan hati terhadap maraknya praktek oligarki dan borjuasi korporasi, kasus korupsi kakap, lumpuhnya demokrasi, ketidakadilan ekonomi dan hukum dan semua kejahatan institusi pemerintahan yang notabene mereka terlibat dan memimpin didalamnya. Atau memang PSI dan PDIP terlanjur menganggap seorang Anies Baswedan yang gubernur DKI Jakarta itu, memang telah menjadi seorang presiden RI?. Figur dengan kapasitas memimpin negara sehingga terus menerus disalahkan dan ingin dijatuhkan PSI dan PDIP?. Sepertinya PSI dan PDIP harus sabar menunggu waktu. Sembari memulihkan penyakit "psikopat" politiknya ke depan. Semoga cepat sembuh dan sehat kembali. Penulis, Pegiat Sosial dan Aktifis Human Luhur Berdikari.

Tersusupi Komunisme atau Wahabisme?

By M Rizal Fadillah ADA penjelasan dari Pangkostrad Letjen Dudung Abdurrahman bahwa hilangnya patung diorama penumpasan G 30 S PKI itu disebabkan diminta kembali oleh pembuatnya mantan Pangkostrad terdahulu Letjen Purn AY Nasution dengan alasan keyakinan bahwa membuat patung itu dosa. Bahwa benar sebagian ulama dan umat Islam meyakini dalil itu. Faham yang keras dalam menggemakan hal tersebut dikenal dengan Wahabisme. Salah satu upaya ulama Saudi Muhammad bin Abdul Wahhab dalam menegakkan tauhid adalah dengan menghilangkan dan menghindari patung. Sikap Pemerintah juga sering mendekatkan Wahabisme dengan radikalisme bahkan terorisme. Suatu hal yang semestinya dijernihkan. Buzzer yang anti Arab tentu menganggap Wahabisme adalah musuh negara. Jika ada penghancuran patung pasti buzzer wek wek itu akan berteriak keras mengecam dan menyebut sebagai tindakan radikal. Kini muncul alasan bahwa hilangnya patung diorama Museum Dharma Bhakti Makostrad disebabkan keyakinan ini. Nah ada Netizen ketika mendengar penjelasan Pangkostrad soal keyakinan AY Nasution itu berkomentar bahwa TNI telah terpapar Wahabisme. Adapula yang menyatakan apakah TNI tersusupi Komunisme atau Wahabisme? Pandangan nyinyir ini harus dijawab dengan penjelasan tegas dan pembuktian nyata bahwa Kostrad tidak terpapar atau tersusupi, dengan : Pertama, bahwa yang memberi penjelasan langsung adalah Letjen Purn AY Nasution mantan Pangkostrad tentang kebenaran pernyataan Pangkostrad Letjen Dudung Abdurrahman. Bukan Pangkostrad sendiri karena masyarakat dapat menganggap hal itu sebagai alasan yang dicari-cari. Kedua, harus terklarifikasi bahwa patung diorama sejarah tiga personal Letjen Soeharto, Kolonel Sarwo Edhi, dan Jenderal AH Nasution yang ada di Museum itu adalah milik pribadi yang "dititipkan" di Museum atau sumbangan pribadi untuk koleksi Museum ? Serta tentunya atas biaya siapa pembuatan patung diorama tersebut. Ketiga, jika diorama koleksi Museum tersebut, terlepas milik pribadi atau sumbangan, itu penting dalam konteks kesejarahan Kostrad mestinya ada rencana pembuatan kembali koleksi patung diorama serupa di Museum tersebut, kecuali jika keyakinan Pangkostrad dan seluruh jajaran sama, bahwa adanya patung itu dosa. Keempat, jika toleransi itu adalah keyakinan bersama bahwa patung itu dosa, maka Kostrad harus mencanangkan penghilangan patung-patung yang ada di berbagai tempat termasuk patung Bung Karno dan Jenderal Soedirman. Hal ini bakal menarik dan mengguncangkan. Mungkin akan ada yang beranggapan bahwa ini merupakan satu kesatuan dari paket penghancuran baliho. Sebenarnya belum cukup penjelasan dan pembuktian Pangkostrad yang dinilai terlalu enteng untuk suatu persoalan besar yang menjadi bahan kecurigaan yaitu skandal menghilangkan jejak sejarah penting heroisme Kostrad dalam membasmi PKI dan Komunisme. Ataukah perlu segera dibentuk Tim Pencari Fakta? Kita tunggu langkah berikut yang lebih nyata dari Pak Dudung dalam mewaspadai dan menumpas gerakan Komunis. Semoga tidak benar kecurigaan bahwa TNI itu telah tersusupi Komunisme. Pangkostrad adalah pejuang bukan pecundang atau petualang apalagi menjadi preman tukang kemplang. Rakyat pasti mendukung penjagaan wibawa Kostrad. Ada kekhawatiran Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) di bawah kepemimpinan Letjen Dudung Abdurrahman akan terseret ke lumpur atau kubangan politik yang hitam, pekat dan kotor. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Gugatan Yang Dapat Menimbulkan Kekacauan Hukum

By M Rizal Fadillah GUGATAN formil dan materil terhadap AD/ART Partai Demokrat dari kubu Moeldoko yang diklaim sebagai terobosan hukum menurut Yusril Ihza Mahendra kuasa hukum dari empat orang pimpinan Partai Demokrat yang dipecat karena ikut dalam Kongres Luar Biasa di Deli Serdang dapat membawa tiga implikasi besar, yaitu : Pertama, jika gagal dan ditolak oleh Mahkamah Agung atas dasar tidak ada kewenangan MA untuk menguji AD/ART Partai yang merupakan kompetensi internal, maka kredibilitas Yusril Ihza Mahendra tentu merosot. Pakar hukum yang mencoba menerobos tanpa dasar atau melabrak hukum. Kedua, uji formil materil yang dilakukan bukan persoalan murni hukum tetapi masuk area konflik politik. Keempat klien Yusril adalah personal kubu Moeldoko yang "kalah" dalam pertarungan politik dalam memperjuangkan Moeldoko untuk menjadi Ketum Partai Demokrat. Implikasinya baik menang atau kalah adalah terlibatnya Ketum PBB dalam konflik politik Partai Demokrat. Moral politik yang layak dipersoalkan. Ketiga, jika berhasil memenangkan gugatan dimana AD/ART dapat diintervensi oleh kewenangan MA dan diuji bertentangan atau tidak dengan Undang-Undang, maka banyak partai politik akan berada dalam posisi yang labil meskipun partai-partai tersebut sudah terdaftar secara sah di Kemenhukham. Asas kepastian, keamanan dan perlindungan hukum menjadi tergoyahkan. Bila AD/ART dapat diintervensi oleh Mahkamah Agung dengan alasan bertentangan dengan Undang-Undang maka bagaimana jika yang terjadi adalah AD/ART itu diduga bertentangan dengan aturan Konstitusi ? Lucu dan naif jika ternyata AD/ART Partai masuk ke dalam yuridiksi Mahkamah Konstitusi. Ada celotehan jangan jangan tata tertib persidangan juga bisa di Judicial Review ke Mahkamah Agung. Begitu juga dengan sidang sidang komisi di arena kongres atau rakernas. Mahkamah Agung dapat masuk ke dalam se dalam-dalamnya. Tanpa batas. Satu hal terpenting yang wajib menjadi catatan dan perhatian adalah bahwa AD/ART itu sebenarnya tidak termasuk susunan atau hierarkhi peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam UU No 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan. Lalu jika beralasan kekosongan hukum, mengapa AD/ART Partai bukan UU Parpol nya yang di uji materil ? Memang Yusril bukan menerobos tetapi mengada-ada. Mahkamah Agung seharusnya menolak gugatan Judicial Review dari advokat sekaligus Ketum PBB yang justru dapat menuai badai kontroversi baru baik dalam bentuk kekacauan hukum maupun kekacauan politik. Yang sedang dibela Yusril Ihza Mahendra adalah pembegalan brutal dan kudeta. Yusril baik menang ataupun kalah telah ikut menanggung dosa politik akibat membantu upaya kelompok yang ingin merebut kekuasaan dengan menghalalkan segala cara. Hukum yang telah dijadikan sarana bagi suatu kezaliman. Kekuasaan dan keuangan yang menentukan. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Charles Dickens Sindir Keras Yusril Ihza dan Moeldoko

By Asyari Usman UNTUK apa Yusril Ihza Mahendra (YIM) menggugat AD/ART Patai Demokrat (PD) ke Mahkamah Agung (MA)? Apa tujuannya? Apa yang dia dapat? Mengapa itu tidak dia lakukan terhadap partai-partai politik lainnya? Pastilah repot Pak Yusril menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Mengapa kerepotan? Karena langkah YIM menggugat AD/ART Demokrat adalah tindakan yang sangat aneh. Dan sangat mencurigakan. Mencurigakan? Ya, sangat! Sebab, bagaimanapun juga setiap langkah yang mengusik PD menjadi sulit dilepaskan dari Moeldoko –Kepala Staf Presiden (KSP). Dan, faktanya, YIM mengaku dia ditunjuk oleh orang-orang Moeldoko untuk menggugat AD/ART Demokrat pimpinan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Pak Yusril mengatakan gugatan ini akan membuat praktik demokrasi di Indonesia menjadi sehat. Pertanyaannya: mengapa harus dimulai dari AD/ART Demokrat AHY? Mengapa tidak dimulai dari partai terbesar lebih dulu, yaitu PDIP? Padahal, AD/ART PDIP malah banyak yang bertentangan tidak hanya dengan praktik demokrasi tetapi juga sangat mungkin bertentangan dengan UUD 1945. Apa pun yang dijadikan alasan oleh YIM, saya yakin seribu persen bahwa gugatan terhadap AD/ART Demokrat ini masih dalam rangkaian upaya untuk menyingkirkan AHY dari posisi ketua umum “Merci”. Lebih mengerucut lagi, saya yakin gugatan ini bukan untuk menyehatkan praktik demokrasi di tubuh PD melainkan untuk merintiskan jalan baru bagi Moeldoko dalam upaya merebut partai Pak Beye itu. Itulah tujuan Yusril yang sesungguhnya. Omong kosong untuk kemaslahatan demokrasi Indonesia. Yusril tidak perlu pura-pura lupa bahwa Jokowi sendiri melakukan pencurangan terhadap prinsip-prinsip demokrasi. Mana gugatan Yusril? Mohon maaf, ketika gugatan terhadap kecurangan Pilpres 2019 tempo hari didukung dan dibela oleh rakyat, Pak Yusril malah berada di kubu Jokowi. Dia ikut mempertahankan dugaan kuat kecurangan itu. Kembali ke gugatan terhadap AD/ART Demokrat AHY, hampir pasti langkah Pak Yusril itu dilatarbelakangi oleh “motif besar”. Pasti sangat besar. Motif besar itu menjadi dorongan ecstatic yang membangkitkan semangat juang Pak Yusril. Kebetulan sekali, Moeldoko mampu memberikan “motif besar” itu. Karena Pak Moeldoko memang memiliki “motif super besar”. Pak Yusril membanggakan gugatan ini. Yang pertama di Indonesia. Gugatan AD/ART partai politik (parpol). Kata Yusril, MA harus membuat terobosan karena tidak ada lembaga yang bisa melakukan uji formil dan materiil terhadap AD/ART parpol. Mulia sekali tujuan Pak Yusril. Yaitu, untuk memperbaiki pengelolaan parpol-parpol di masa yang akan datang. Supaya parpol tidak menjadi alat untuk kepentingan pribadi, keluarga atau kelompok kecil. Agar parpol hadir dan berkiprah untuk rakyat. Yang menjadi masalah adalah titik berangkat misi Pak Yusril ini. Mengapa Partai Demokrat? Bukankah mantan Menteri Hukum ini tahu bahwa Demokrat pernah mau diambil paksa oleh Moeldoko? Tentu publik akan menilai bahwa Pak Yusril, dalam gugatan ini, akan lebih banyak menampilkan profesinya sebagai lawyer (advokat) ketimbang sebagai seorang warga negara yang prihatin terhadap pengelolaan parpol. Artinya, akad antara Yusril dan Moeldoko tidaklah seperti bakti YLBHI untuk orang-orang lemah. Sebab, Moeldoko adalah orang kuat. Kuat posisi dan kuat dari segi likuiditas. Sehingga, gugatan ini tidak dapat menghindar dari sindiran penulis dan kritikus sosial Inggris, Charles Dickens, bahwa: “If there were no bad people, there would be no good lawyers” “Andaikata tak ada orang-orang brengsek, tidak akan ada pengacara yang hebat-hebat.”[] (Penulis wartawan ssenior FNN)

Bayi Silver, Kreativitas Biadab Dipertontonkan

Oleh Ady Amar *) Anakmu bukanlah milikmu mereka adalah putra-putri sang Hidup, yang rindu akan dirinya sendiri. -- Kahlil Gibran. Bayi-bayi yang terlahir itu tanpa bisa memilih orangtua mana yang dikehendaki. Lahir ke dunia tanpa punya pilihan menentukan siapa bapak dan ibunya. Tidak pula bisa memilih etnis apa, warna kulit, hidung mancung, rambut ikal dan pilihan-pilihan manusiawi lainnya. Bayi itu menerima saja tanpa punya pilihan, meski orangtua yang dihadirkan gembel sekalipun. Hidup pada pilihan-pilihan, itu tidak dikenal di kehidupan bayi-bayi yang terlahir. Justru hidup itu tanpa pilihan buatnya, pasrah dihadirkan padanya orangtua dengan kasta apa saja, yang ia tidak mungkin bisa menolaknya. Bahkan bayi yang terlahir pun tidak mampu protes atas kelahiran yang tidak sewajarnya. Kelahiran yang tidak dimulai dengan hubungan suami istri yang diikat oleh ikatan pernikahan. Ia tidak punya pengetahuan untuk menanyakan kehadirannya itu sah atau tidak. Maka dimulailah kehidupan bayi-bayi itu sejak awal ia dihadirkan ke dunia hari ke hari dan bulan ke bulan sampai ia memasuki masa kanak-kanak dan seterusnya. Maka bayi-bayi yang bertumbuh itu mulai mengenal dunia sebenarnya. Mengenal dengan benar orangtuanya. Jika orangtuanya itu baik, maka bayi itu tumbuh selayaknya. Mendapat hak hidup dan pendidikan sesuai kondisi yang ada. Tapi jika orangtuanya bermental gembel, maka kehidupannya akan ditularkan pada anak-anaknya. Semacam mata rantai kemiskinan yang tak hendak disudahi. Ini semacam lingkaran setan yang tak putus. Bayi Silver Mengenaskan Hidup makin sulit, ekonomi makin morat-marit di kalangan menengah ke bawah, makin tampak nyata. Indeks kemiskinan makin merosot. Pengangguran karena rasionalisasi pada perusahaan di mana-mana--nama lain dari pemutusan hubungan kerja--makin hadir dengan jumlah yang tidak kecil. Uang pesangon hanya untuk makan dengan keluarga seadanya, hanya cukup untuk 2-3 bulan saja. Tidak berupaya memojokkan kalangan menengah ke bawah, tapi ini fenomena yang ada, tentu tidak semata perihal ekonomi tapi juga pengetahuan yang dimiliki terbatas, itu biasanya anaknya bejibun. Sedikitnya punya 4 anak. Membuat anak itu bagi mereka seperti tamasya. Bahkan ada yang tiap tahun suara bayi dihadirkan di rumah petak dengan luas terbatas. Pemandangan itu sepertinya sudah jamak. Maka di beberapa kota besar karena himpitan ekonomi, sudah hal umum jika mudah ditemui persewaan bayi, dari mulai umur tiga bulan sampai setahunan. Tarif sewanya Rp 20 ribu sehari. Disewakan untuk mengemis di sembarang tempat, dan bayi-bayi yang digendongnya itu bagian dari pemancing rasa iba pengguna jalan yang melihatnya. Di terik matahari, debu jalanan, dan bahkan di malam hari dengan angin menggigil bayi-bayi itu digendong tanpa bisa memberontak. Hanya tangisan lirih, tanpa tahu makna protes tangisannya. Fenomena bayi-bayi yang disewakan itu mestinya bisa diakhiri dengan sanksi yang keras, baik bagi yang menyewakan maupun si penyewa. Tampaknya itu seolah jadi pembiaran dan negara tidak benar-benar hadir untuk mengakhiri praktik eksploitasi pada bayi-bayi yang tak berdosa. Dan sampailah pada peristiwa biadab sesungguhnya... Kabar yang disampaikan pengguna jalan yang melihat seseorang perempuan yang mengecat seluruh tubuh dan rambutnya dengan cairan silver. Fenomena ini sudah semarak di mana-mana, di kota/kabupaten Jawa khususnya. Tapi dominan laki-laki yang melakukannya, dengan tubuh tanpa baju, yang sekujur tubuh dan rambutnya dicat warna silver. Lalu muncul julukan "manusia silver". Saat pandemi Covid-19, manusia silver ini muncul di mana-mana bak jamur di musim hujan. Perempuan silver malam hari itu, menggendong bayi 10 bulan, yang juga sekujur tubuh bayi itu dilumuri cat silver, menjadi viral karena diberitakan seseorang yang kebetulan melihatnya. Itu di kawasan Pamulang, Tangerang Selatan (Tangsel). Ini tentu bukan semata eksploitasi terhadap bayi itu, tapi bagian dari kreativitas biadab untuk mencari sedikit uang dengan mengorbankan bayi tak berdosa itu. Bayi mungil dengan kulit yang masih sensitif itu harus dilumuri cat silver. Bagaimana rasa panas yang ditimbulkannya, dan pastilah iritasi pada kulit yang dimunculkan. Peristiwa tragis, hilangnya rasa kemanusiaan beradab. Bayi-bayi itu lahir tidak bertanya siapa bapakku, siapa ibuku. Ia pun tidak protes meski orangtuanya gembel sekalipun. Tapi melihat bayi-bayi yang dilecehkan itu, rasa kemanusiaanku, juga Anda pastilah, menyalak marah... Tapi pada siapa kata marah bisa ditumpahkan... Negeri ini tampak tidak hadir pada belahan penderitaan kemiskinan rakyatnya. Oh negeriku... Semuanya bereaksi sesaat, ramai-ramai bereaksi, kemudian hening membisu, menganggap kehadiran bayi silver itu hal biasa, seperti bukan lagi perbuatan biadab. (*) *) Kolumnis

Pangkostrad Itu Harus Membasmi Komunis

By M Rizal Fadillah PERISTIWA G 30 S yang didalangi PKI dengan memfitnah TNI dan mencoba untuk menggulingkan kekuasaan yang sah ternyata gagal. Pasukan elit pengawal Presiden Tjakrabirawa dikendalikan PKI untuk menculik dan membunuh para Jenderal. Pasukan ini menjadi garda terdepan dalam upaya kudeta. Kegagalan ini banyak disebabkan oleh kesigapan TNI untuk segera melakukan pengamanan. Pangkostrad Mayjen Soeharto memimpin operasi dan sukses menumpas pemberontakan. Dengan Supersemar 1966 Letjen Soeharto melakukan langkah lebih strategis seperti pembubaran PKI dan penangkapan mereka yang terlibat G 30 S PKI termasuk para Menteri. Setelah menjadi Presiden Jenderal Soeharto mantan Pangkostrad ini tetap konsisten untuk terus menumpas dan mewaspadai munculnya gerakan PKI yang telah berubah menjadi organisasi tanpa bentuk. Skrining ketat dilakukan untuk jabatan-jabatan birokrasi. Termasuk untuk menjadi anggota DPR/DPRD. Tap MPRS No XXV/MPRS/1966 menjadi acuan pembersihan. Peristiwa bersejarah sebagai awal dari penumpasan PKI itu tergambar dalam diorama di Museum Dharma Bhakti Makostrad. Pangkostrad Mayjen Soeharto menerima laporan dari Dan Resimen Parako AD (RPKAD) Kolonel Sarwo Edhi Wibowo. Di dekatnya duduk Jenderal AH Nasution yang baru selamat dari upaya pembunuhan PKI. Menurut mantan Panglima TNI Jenderal Purn Gatot Nurmantyo, diorama di Museum tersebut kini anehnya hilang atau dihilangkan. Gatot mencurigai adanya indikasi penyusupan anasir PKI di TNI sehingga monumen penting itu kini tiada. Menurutnya kewaspadaan atas kebangkitan PKI perlu ditingkatkan. Kini Pangkostrad adalah Letjen Dudung Abdurrahman mantan Pangdam Jaya. Diorama itu hilang saat Kostrad di bawah kepemimpinannya. Tidak terdengar amanat atau pernyataan dari Pangkostrad ini akan pentingnya kewaspadaan terhadap kebangkitan PKI. Yang muncul justru nyinyirnya pada radikalisme gerakan keagamaan. Statemen bahwa semua agama benar dalam pandangan Tuhan dikritik para ulama termasuk MUI. Dudung ini kontroversial sebagai Komandan TNI bukan berjasa menumpas PKI tetapi justru FPI. Mengambil alih komando penurunan baliho HRS di Petamburan. Mendampingi Kapolda Metro Fadil Imran pada konperensi pers 7 Desember 2020 sambil menggenggam samurai alat bukti bodong fitnah 6 syuhada pengawal HRS. Pangkostrad Dudung Abdurrahman perlu diminta keterangan tentang mobil Land Cruiser hitam di Km 50 yang terindikasi menjadi komandan dari penyiksaan dan pembunuhan keenam anggora Laskar FPI yang dikualifikasikan sebagai "unlawful killing" atau "crime against humanity". Pangkostrad semestinya belajar dari sejarah tentang konsistensi pemberantasan komunis. Bukan justru terus menerus menohok umat Islam dengan bahasa fanatisme, intoleran, atau radikal. Pembunuhan oleh aparat terhadap warga sipil umat Islam harus dibongkar oleh jajaran Kostrad. Jangan biarkan komunis menyusup pada aparat atau komandan komandannya. Penghilangan diorama Pangkostrad Mayjen Soeharto saat menerima laporan dari Dan RPKAD Kolonel Sarwo Edhi atas pembasmian anasir PKI sungguh memprihatinkan. Ada misteri dari menghilangnya diorama itu dan harus diusut tuntas termasuk motivasi yang melatarbelakanginya. Aspek pribadi, tekanan politik atau ideologi? Akankah muncul diorama baru dimana Pangkostrad Letjen Dudung Abdurrahman sedang menerima laporan dari Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurrahman atas pembunuhan enam laskar FPI, penurunan baliho HRS, penangkapan HRS, Shobri Lubis, Munarman, dan lainnya? Bagus juga rasanya. Asal tidak terbalik saja bahwa dahulu PKI yang ditumpas oleh TNI, kini justru FPI yang ditumpas oleh PKI. Pangkostrad harus mampu menjelaskan agar umat Islam tidak menjadi bulan-bulanan atau korban dari balas dendam PKI. Apakah Pangkostrad Dudung masih pro NKRI dan tidak pro PKI? Rakyat tengah menunggu bukti. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Semacam Pembantu Bertikai, Sang Bos Cuma Melihat Tanpa Reaksi

Oleh Ady Amar *) JUDUL opini di atas, itu hanya ibarat semata. Ibarat melihat persoalan yang terjadi, lalu mengandaikan atau mengibaratkan dengan Sang Bos yang tanpa respons apalagi menengahi para pembantunya yang tengah berseteru, bahkan sampai ke pengadilan segala. Itu hal yang tidak wajar, tidak semestinya. Itu yang tampak, jika kita melihat fenomena yang terjadi pada Partai Demokrat. Partai besutan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), atau setidaknya partai yang dibesarkannya, yang saat ini dipimpin anak sulungnya, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), tengah "disoalkan" keabsahan partai yang dipimpinnya oleh Moeldoko, yang "merasa" memiliki partai itu, sebagai Ketua Umum lewat KLB Partai Demokrat, di Deli Serdang, Sumatera Utara. Lalu hasil KLB itu dimintakan keabsahannya pada Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), dan ditolak. Tetap yang dianggap sah memimpin Partai Demokrat adalah AHY, yang terpilih lewat Kongres ke-5, di Jakarta (2020). Selesai. Ternyata belum selesai, kubu KLB mengajukan gugatan pada PTUN Jakarta, menggugat Menkumham agar menggugurkan putusan keabsahan Partai Demokrat pimpinan AHY. Pada Moeldoko saat ini melekat jabatan sebagai kepala Kantor Staf Presiden (KSP), ia orang dekatnya Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dan yang digugat adalah anak buah lainnya di kabinetnya, yaitu Menkumham, yang dijabat Yasonna Laoly. Kok bisa? Ya, realitanya demikian. Mungkin baru terjadi ada produk hukum sang menteri, yang itu representasi Presiden, yang coba ingin digusur oleh pembantu Presiden lainnya, Moeldoko. Tapi saat sidang PTUN akan dimulai, salah seorang penggugat dari kubu KLB Deli Serdang, Yosef Benediktus Badeoda, tiba-tiba mencabut gugatannya. Sehingga Majelis Hakim PTUN Jakarta menunda pelaksanaan sidang gugatan perkara Nomor 154/G/2021/PTUN-JKT antara pihak KLB Deli Serdang (penggugat) dan Menteri Hukum dan HAM selaku tergugat, serta DPP Partai Demokrat (tergugat II intervensi), Kamis/23 September. Entah mengapa harus dicabut gugatan itu. Bisa jadi karena lebih memilih judicial review ke Mahkamah Agung (MA). Prof. Yusril Ihza Mahendra, yang akan melakukan judicial review terhadap AD/ART yang dihasilkan lewat Kongres ke-5 Partai Demokrat ke MA. Katanya, bukan Moeldoko yang mengajukan judicial review itu, tapi dari 4 orang yang kebetulan ada di kubu KLB Deli Serdang. Sebenarnya jika disebut kubu Moeldoko, kan sama saja, karena KLB Deli Serdang itu mengangkat Moeldoko sebagai Ketua Umum. Judicial review itu langkah kubu Moeldoko melihat ada celah hukum untuk memenangkan, dan pula berharap ingin melepaskan stigma "pertarungan" satu kubu. Dengan judicial review AD/ART ke MA, seolah melepaskan Menkumham dalam masalah ini. Agar terkesan tidak bertengkar di rumah sendiri. Apa yang dihasilkan MA, itu tinggal diserahkan pada Kemenkumham untuk ditindaklanjuti. Langkah Moeldoko dengan pengacaranya, Prof Yusril Ihza Mahendra, pastilah sudah diperhitungkan. Dan ini terobosan baru, menggugat AD/ART sebuah partai oleh pihak lain, yang dianggap bisa masuk melalui pintu MA. Kenapa disebut "pihak lain", karena Menkumham menolak keabsahan Partai Demokrat hasil KLB, dan menganggap yang sah atas Partai Demokrat, itu yang hasil Kongres ke-5, yang diketuai AHY. Tapi, sekali lagi, semua kemungkinan sudah diperhitungkan oleh kubu Moeldoko, yang diwakili pengacaranya Prof. Yusril. Tinggal bagaimana MA menyikapi apakah permintaan judicial review itu diterima, dan lalu dibahas dan memutuskan sebagai produk hukum yang mengikat kedua belah pihak, atau sebaliknya menolak permintaan judicial review, itu karena tidak ada landasan hukum pada MA bisa mengujinya. Judicial review ke MA dalam uji formil dan materil terhadap AD/ART sebuah partai, pastilah akan menemui perdebatan di kalangan para ahli hukum tata negara sendiri. Setidaknya, Dr. Agus Riwanto, ahli hukum tata negara UNS, sudah menyampaikan pandangannya. Katanya, "AD/ART bukan objek uji materi ke MA, itu karena bukan produk perundang-undangan," sebagaimana detikcom mewawancarainya, Jum'at/24 September. Artinya, MA bukan ranah untuk itu. Semua berharap bahwa hukum tidak diseret pada masalah politik. Hukum harus berdiri tegak lurus dengan parameter hukum itu sendiri. Itu setidaknya yang diharapkan semua pihak yang berperkara. Kita lihat saja apa yang akan terjadi dengan nasib Partai Demokrat. Pertanyaan tidak terlalu penting muncul, ada di posisi mana, atau memihak pada siapa Sang Bos dalam "pertikaian" anak buahnya itu, tidak ada yang persis tahu. Tapi setidaknya, dengan membiarkan produk hukum dari pembantunya (Menkumham) yang ditorpedo oleh pembantu lainnya, itu seperti Sang Bos secara tidak langsung mempersilahkan produk hukumnya sendiri dikoreksi oleh pembantu lainnya. Gak mudeng ya... Setidaknya itu yang bisa dilihat. Adakah endingnya menuju Pilpres 2024, tentu perlu analisa yang lebih komprehensif dalam melihatnya... Wallahu a'lam.. (*) *) Kolumnis

Pengetahuan Pejabat Negara

Oleh Fauzul Iman SAAT Tuhan diprotes malaikat yang tidak percaya pada kemampuan manusia menjadi khalifah di muka bumi, Tuhan bergeming dari protes itu dan tetap saja Dia menciptakan manusia di muka bumi yang disiapkan menjadi khalifah. Rencana pendirian khalifah oleh Tuhan tentu tidak dilakukan sembarang. Respons tegas Tuhan pada para Malaikat, " Aku lebih tahu dari kalian" merupakan kapasitas-Nya dalam mentransendesi segenap pembekalan kompetensial yang disiapkan untuk seorang khalifah. Realitasnya Tuhan terbukti menciptakan seorang yang bernama Adam . Makhluk manusia pertama yang didesain menjadi khalifah ini tidak dibiarkan begitu saja sebagai jasad kosong yang membeku tanpa daya. Tetapi ke dalam jasadnya ditiupkan ruh oleh Tuhan . Ruh ini merupakan meta daya indrawi yang berisi spritualitas, kognisi /nalar dan saraf motorik yang berfungsi menggerakan segenap dimensi kehidupannnya. Tidak sampai di sini, Adam juga dibekali kualifikasi kompentensial oleh Tuhan berupa pendidikan untuk mengenali nama-nama (Q.S . 2 :31). Nasir Hamid dalam bukunya Mafhumu an-Nash Dirasat fi Ulum al-Quran memahami nama dalam teks adalah penanda/signifie yang memiliki signifaksi (magza) dengan kontek yang dihadapinya. Dengan kata lain, di balik nama/tanda /teks itu terkandung isyarat atau pengetahuan mendalam guna membangun perilaku dan kebudayaannya. Berakar dari cara Tuhan mendidik Adam AS melalui pengenalan nama/tanda , manusia sebagai generasi khalifah/pengganti Adam, sudah barang tentu pengetahuan mendalam dibalik tanda tadi sangat diperlukan guna membentuk perilaku dan kebudayaannya. Dalam konteks inilah siapapun yang diamanahi menjadi pemimpin atau pejabat negara agar tajam memahami di balik nama/tanda /isyarat sehingga tidak ambyar membangun opini atau mengambil keputusan. Memang terdapat perbedaan antara karakter malaikat dengan manusia. Malaikat diciptakan Tuhan bernalar monoton agar sepenuhnya patuh/tunduk menerima perintah-Nya tanpa membantah sedikitpun. Sebaliknya manusia diberi kekuatan nalar yang membuat ia sering ngeyel dengan banyak dalih. Bahkan demi mengejar pamrih manusia kerap bersikap carmuk dan menjilat. Terkadang demi membunuhi kebutuhan fragmatisnya manusia sangat setia mentaati perintah atasannya tanpa peduli dengan keresahan ataupun penderitaan bawahannya. Lamun dengan pendidikan dari Tuhan berupa pendidikan ruhaniah dan pengenalan nama /tanda, manusia yang diberi amanah sebagai khalifah atau pejabat negara tidak boleh menghindar dari penguasaan pada pengetahuan cerdasnya memahami dibalik nama atau tanda. Pendidikan Tuhan ini merupakan bukti dari daya jamin pengetahuanTuhan yang dinyatakan di depan para malaikat saat protes tidak sepakat menciptakan manusia di bumi karena tabiat manusia gemar melakukan kerusakan. Kenyataannya Tuhan merancang kearifan dengan mendirikan instrumen dan pranata sosialnya di muka bumi. Tidak mengherankan, menurut Komaruddin Hidayat dalam bukunya Imaginasi Islam : Sebuah Rekonstruksi Masa Depan Islam, dengan kelebihan manusia yang diberikan kemampuan instrumen dalam membaca di balik nama/tanda olah Tuhan, ia mampu membuat pranata sosial seperti berdirinya institusi - institusi termasuk institusi besar sejenis PBB . Tidak sedikit para pemimpin bangsa di dunia, demikian Komaruddin, yang mampu membaca makna dibalik tanda/ nama dengan cerdas berhasil memimpin dengan demokratis . Pemimpin itu bukan hanya karena cerdas memahamimya tapi juga berkomitmen menegakkan tanda-tanda itu seperti mematuhi pranata, aturan, sejarah, budaya dan sosiologi bangsa. Sungguh tidak lama ini amat disayangkan beberapa pejabat kita kerap melontarkan kalimat dan kebijakan yang mengabaikan kecerdasan dalam memahami di balik tanda. Padahal di balik tanda yang melekati seoarang khalifah atau pejabat negara seperti komitmen/pengetahuan pada aturan, pengetahuan pada sejarah, sosial dan budaya merupakan hasil pendidikan yang sangat niscaya. Kegelapan komitmen para pejabat pada pengetahuan dan pembacaan kontekstual terhadap konstitusi / undang-undang berakibat pada fatalnya mengutarakan opini /statemen dan rapuhnya setiap kebijakan yang dilahirkan di ruang publik. Keresahan dan kegaduhan yang baru-baru ini diluapkan publik melalu krittik pedas baik berupa celotehan mural, kritikan keras lewat medsos maupun kritik lewat jalur kelembagaan resmi oleh para cendekiawan. Ditambah dengan pembiaran para buzer yang makin beringas melakukan penghinaan dan fitnah harian terhadap para tokoh dan komunitas muslim. Semua itu terjadi akibat dari kedangkalan komitmen dan pengetahuan beberapa pejabat negara terhadap tanda-tanda atau dibalik tanda-tanda dimaksud. Pembiaran/pengabaian pada semua ini capat atau lambat tidak mustahil negara yang sangat kita cintai ini kelak berujung pada kehancuran. Nauzubillah! *) Guru Besar UIN Banten