OPINI

Ulama Yang Dibunuh, Ulama Yang Dituduh

Seperti mengikuti tarikan napas, sepanjang itu ulama terus  mengalami penindasan. Oleh: Yusuf Blegur, Pegiat Sosial dan Aktivis Yayasan Human Luhur Berdikari TAK cukup dihina, dianiaya dan dikriminalisasi, penyerangan dan pembunuhan para imam masjid, ustadz serta ulama mulai dilakukan dengan modus kasar namun terencana dan terorganisir. Usai Islam dan umatnya dianggap lemah dan tak berdaya. Siasat jahat menyingkirkan pewaris nabi dan penjaga ahlak itu, kini dipertontonkan dengan telanjang. Islam memang telah membuktikan sekaligus mengingatkan melalui wahyu yang berisi \"Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang sampai kamu mengikuti agama mereka\", sebagaimana yang tertuang di Kitabullah Al Quran dalam surat Al Baqarah (1):120. Jauh sejak berabad-abad yang lalu hingga kini dan seterusnya.  Selama itu pula  umat Islam akan dimusuhi, diganggu, dan disingkirkan. Kemuliaan Islam sebagai agama Tauhid   dan agama  kemanusiaan memang telah lama menjadi ancaman sekaligus musuh besar bagi kepentingan-kepentingan penyembah berhala dan yang ingin menguasai dunia.  Tak cukup mendatangkan serangan dari luar, upaya penyusupan secara massif dan  terstruktur terus dilakukan dari dalam tubuh umat Islam sendiri. Semua kekuatan mulai dari agitasi dan propaganda, manipulasi data dan sejarah hingga menguasai ranah kultural dan struktural gencar dilakukan. Proyek penghancuran Islam dirancang sedemikian rupa dengan cara-cara yang halus dan kasar sekalipun. Operasi desislamisasi mampu dilancarkan dengan strategi politik maupun penggunaan kekuatan militer. Tentu saja dengan dukungan angaran yang tak terkira besarnya. Membunuh Populisme Islam Usai kegagalan sekulerisasi dan liberalisasi Islam dalam balutan globalisme. Islam di Indonesia terus menjadi persfektif dan proyeksi target politik ideologi kaiptalis dan ideologi komunis. Kedua produk pemikiran manusia yang secara substansi dan esensi berorientasi pada material juga  bersifat atheis itu. Memang memposisikan Islam sebagai penghalang  terbesar ambisi thogut  dunia. Setelah kriminalisasi ulama, khususnya pada Imam Besar  Al Mukarrom Al Habib Rieziq Syihab. Rezim tak pernah membiarkan seseorang  menjadi simbol pemimpin dan perlawanan rakyat di luar pemerintahan. Ulama kharismatik yang bervisi amar maruf nahi kunkar dan penggerak massa seperti Imam Besar Habib Rieziq Syihab itu. Bukan saja menjadi pemimpin umat Islam dan rakyat Indonesia pada umumnya. Keteguhan dan konsistensinya berdakwah, seiring waktu dinilai sebagai ancaman kekuasaan dan dianggap dapat menggulingkan rezim yang memang cenderung dibawah anasir kekuatan anti Islam.  Selain banyak lagi pemenjaraan ulama dan aktifis yang kritis terhadap rezim. Belakangan juga sering terjadi teror dan penganiyaan terhadap ulama. Bahkan sudah ada beberapa pembunuhan ulama yang terang-terangan dan terbuka. Habib Bahar Bin Smith  yang dianggap penerus Imam Besar Habib Rizeq Syihab juga mengalami hal serupa. Setelah bebas dari penjara dan harus bolak balik ke kepolisian menghadapai laporan tendensius dan politis. Sempat mengalami teror dikirimi kepala seekor Anjing. Boleh jadi Habib Bahar Bin Smith juga dapat terancam pembunuhan.  Tak lama berselang teror dan intimidasi oleh perwira TNI pada Habib Bahar Bin Smith. Lebih miris lagi, baru-baru ini tepatnya Jumat dini hari tanggal 31 Desember 2021. Di dalam Masjid Al Ikhwan Kelurahan Sepa, Kecamatan Belapa, Kabupaten Luwu - Sulawesi Selatan. Umat Islam dikejutkan dengan penganiayaan hingga menyebabkan kematian terhadap seorang imam masjid yang bernama Yusuf Daeng Palebba (72 tahun) oleh orang tak dikenal. Begitu keji dan laknatnya  pembunuhan imam masjid dilakukan di dalam masjid di wilayah NKRI dan  Panca Sila secara brutal. Rangkaian sikap permusuhan, kebencian dan sikap anti Islam tak bisa dipungkiri telah terintegrasi dan menjadi agenda yang dilakukan dengan sistem dan cenderung menggunakan institusi   yang berkepentingan. Sebagai mayoritas dinegerinya sendiri dan  terbesar di dunia. Umat Islam tak terhindarkan menjadi sasaran empuk konspirasi global. Tak cukup diformat sebagai potensi pasar internasional dan eksploitasi sumber daya alam.  Umat Islam kini diperburuk memasuki suasana intimidasi dan teror keagamaan. Islam telah berada dalam peperangan pemikiran (ghazwul fikri) dan kecenderungan program depopulasi. Mungkin sulit membuktikan secara    ilmiah  dan terkendala dalam mengeksplorasi data yang sarat statistik. Namun secara faktual dan kolerasinya  pada kehidupan umat Islam  yang nyata. Umat Islam khususnya di Indonesia, terus-menerus mengalami kedzoliman dan ketidak adilan. Kelemahan umat Islam di Indonesia menjadi equivalen dengan serangan luar yang begitu offensif dan progressif. Jumlahnya umat Islam memang mayoritas namun secara nilai masih minoritas. Tinggi dan mulia agamanya namun rendah dan buruk martabat umatnya. Seakan menegaskan kebenaran-kebenaran masa lampau yang disampaikan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam yang menjadi kesedihannya. Bahwasanya akan ada suatu massa, dimana umat Islam akan seperti buih di lautan. Sebuah kritik otokritik bersejarah yang visioner dari pembawa risalah yang agung. Betapa rapuhnya umat Islam di satu sisi, sementara begitu buasnya predator mengincar umat Islam di lain sisi. Pandemi yang menjadi  menjadi mega proyek sekaligus strategi global yang jitu fan efektif mereduksi Islam. Menjadi triger dari upaya merekonstruksi kemanusiaan dan ketuhanan dalam versi  poros tunggal dunia. Menjadi bagian dari skenario dan  berlangsungnya \'new age\'. Musuh-musuh Islam   menghancurkan sistem nilai yang selama ini sudah berjalan seperti demokratisasi, penegakan HAM, supremasi hukum,  kelestarian lingkungan,  isu negara kesejahteraan dan keadilan dsb. Isu-isu global yang selama ini mereka hembuskan dan kampanyekan sendiri. Namun mereka yamg mengingkari juga. Kekuatan yang melebur dalam kelompok \'non state\' dan muncul dalam kemasan zionis, freemassion-ilumminati, fundamentalis dan sekte agama-agama barat lainnya serta kekuatan komunis internasional. Nyata-nyata menguasai dunia, menghidupkan \"agama-agama\" dan \"Tuhan-Tuhan baru\". Membangun berhala-berhala dunia. Dalam situasi yang sedemikian itu, Islam menjadi keharusan untuk \'dilenyapkan\'. Kini, akankah kesabaran umat Islam ada batasnya?. Jauh sebelum bicara tentang jihad. Kesadaran kritis, ghiroh dan pembelaan terhadap umat, ulama dan agama Islam akan bersemi ditengah derasnya prises deislamisasi. Akankah umat Islam diam saat imam masjid, ustadz dan ulama dianiaya dan dibunuh?. Haruskah umat Islam membiarkan terus rangkaian  peristiwa  ulama yang dibunuh, ulama yang dituduh. Wallahu a\'lam bishawab. (*)

Kemanusiaan di Ambang Kehancurannya

Di sìnilah sejatinya Islam harus hadir atau tampil sebagai penyelamat (salvation). Meminjam slogan populer yang klasik Islam itu adalah Solusi (al-Islamu hallun). Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation TAK disangkal lagi bahwa dua tahun terakhir kehidupan manusia menghadapi tantangan yang luar biasa. Bahkan tidak berlebihan jika saya katakan tantangan itu telah melampaui imajinasi kemanusiaan kita (beyond our human imagination). Berbagai manipulasi kehidupan, termasuk alam, mengakibatkan perubahan iklim (climate change) yang dahsyat. Akibatnya bencana alam terjadi di mana-mana. Sebuah ancaman yang bukan main-main. Perubahan iklim adalah salah satu ancaman masa kini dan masa depan yang paling nyata. Belum lagi berbagai kekerasan masih terjadi di berbagai belahan dunia. Peperangan dan berbagai kekerasan terhadap kaum lemah terus terjadi. Mereka yang berjuang untuk mendapatkan hak-hak dasar manusianya semakin suram. Dari Rohingyah ke Uighur, dari India dan Kashmir ke Afghanistan, hingga ke Yaman, Suriah, Irak, dan tentunya Palestina. Covid 19 telah menimbulkan berbagai krisis (multi crisis) yang luar biasa. Begitu banyak yang meninggal, sakit, dan juga kehilangan sumber kehidupannya. Ekonomi bagi rakyat umum semakin berat akibat pandemi ini. Yang semakin disayangkan adalah karena di saat-saat sulit ini mereka yang kaya semakin kaya justeru di tengah kemiskinan yang semakin menjadi-jadi. Yang terburuk dari pandemi Covid 19 ini adalah dampak kejiwaan masyarakat. Di Amerika misalnya apa yang dikenal dengan “mental health crisis” menjadi pandemic beyond the pandemic (musibah di balik musibah). Di rumah sakit-rumah sakit misalnya, departmen yang paling ramai adalah “psychic Departement”. Ancaman Kemanusiaan Tapi dari sekian permasalahan yang dihadapi oleh manusia saat ini, tidak ada yang lebih berbahaya dari bahaya ancaman hilangnya kemanusiaan (humanity) manusia itu sendiri. Sebuah ancaman yang akan menghancurkan segala harapan dan capaian (achievement) manusia. Kemajuan material, ketinggian Ilmu dan teknologi, hingga kemampuan manusia menembus angkasa luar tidak akan bermakna ketika kemanusiaan manusia telah hilang. Sesungguhnya hilangnya “insaniyat” (kemanusiaan/humanity) manusia menjadikan seseorang nampak seperti manusia tapi secara hakikat bukan lagi manusia. Itu akan nampak dalam prilaku yang terkadang lebih jahat dari prilaku dunia binatang (kal-an’am bal hum adhollu). Ada beberapa indikasi ketika manusia kehilangan kemanusiaannya. Saya hanya akan menyebutkan tiga indikasi penting yang saling terkait. Pertama, manusia mengalami ketamakan hidup yang tak terkontrol. Hawa nafsu material dunianya tidak akan terbendung lagi. Sehingga dalam karakter mereka tidak lagi mengenal batas-batas mana yang baik dan mana yang buruk. Mereka akan melakukan apa saja untuk memenuhi tuntutan hawa nafsu dunianya yang tiada batas. Kedua, manusia mengalami sebuah keadaan yang menjadikannya kehilangan ketenangan dan ketentraman hidup. Keadaan itu yang digambarkan dalam Al-Quran dengan “al-khauf” (rasa takut) dan “al-hazan” (rasa sedih). Manusia akan selalu dibayang-bayangi oleh ancaman hari esok. Tapi sekaligus dibebani oleh kesedihan hari kemarin. Kedua penyakit ini disebutkan oleh Al-Quran terjadi ketika manusia tidak lagi berpegang kepada petunjuk Allah SWT. Ketiga, hilangnya kepuasan dalam hidup manusia (al-qona’ah). Kemajuan ekonomi dengan segala fasilitas dunia yang luar biasa tidak menjadikan manusia merasakan kepuasan dan ketenangan. Akibatnya manusia yang mencari kepuasan di tengah rimba dunianya bagaikan sedang memburu fatamorgana. Semakin diburu semakin menjauh. Situasi ini menjadikan manusia mencari dan mencari tanpa pertimbangan apapun. “Life style hewani” kerap terjadi akibat pencarian kepuasan yang tiada ujung itu. Intervensi Islam sebagai Penyelamat Di sìnilah sejatinya Islam harus hadir atau tampil sebagai penyelamat (salvation). Meminjam slogan populer yang klasik Islam itu adalah Solusi (al-Islamu hallun). Ada beberapa alasan dasar Kenapa Islam harus hadir sebagai penyelamat. Satu, karena memang konsep iman itu adalah konse aktif dan dinamis. Iman bukan angan-angan (tamanni) dan bukan juga khayalan (takhalli). Tapi sebuah kekuatan hati yang terekspresi dalam karya dan inovasi. Di sinilah iman akan hadir dengan solusi terhadap berbagai permasalahan hidup manusia. Dua, konsep Dakwah dalam Islam merujuk kepada komitmen perbaikan (in uriida illa al-Islah). Memperbaiki jiwa dna fitrah manusia agar kembali ke jalan Allah. Karenanya Dakwah bertujuan bukan sekedar menambah pengikut. Tapi membawa perbaikan dan solusi bagi berbagai permasalahan hidup manusia. Tiga, konsep Amar ma’ruf dan nahi mungkar menjadi sangat mendasar dalam tatanan ajaran Islam. Karena konsep ini akan mengawal nilai (value) hidup manusia yang baik hingga akhir. Jika tidak maka semua akan rusak dan hancur di tengah perjalanan hidupnya. Empat, bahwa memang tabiat iman itu Sebagai konsep dinamis adalah perubahan. Dan karenanya tabiat iman yang berkarakter perubahan itu menjadikan Islam harus selalu hadir untuk mengawal pergerakan hidup manusia ke arah yang positif dan lebih baik (khaer atau ahsan). Semua hal di atas menyimpulkan bahwa memang di tengah krisis yang melanda kehidupan manusia saat ini, dan dengan terancamnya kemanusiaan (insaniyat) manusia, Islam harus hadir sebagai solusi kehidupan dan peradaban. Persis ketika Islam hadir untuk membawa masyarakat jahiliyah ke alam yang terang benderang (min az-dzulimaat ila an-nur) di masa lalu. Itulah harapan dan doa kita di awal tahun 2022 ini. Amin!  New York City, 31 Desember 2021.  (Summary khutbah Jumat di kota New York). (*)

Dongeng Awal Tahun 2022: Harga Gas dan Kentut Rakyat

Oleh Gde Siriana, Penulis buku “Keserakahan Di Tengah Pandemi” PADUKA Prabu (PP) Dodo memasuki ruangan di mana para menteri telah menunggu. PP Dodo memanggil para pembantunya hadir dalam RATAS (Rapat Tak Tuntas) untuk membahas dampak kenaikan harga gas. Rapat segera dimulai. PP Dodo mempersilahkan kepala BRAN (Badan Riset Anti Nalar) menyampaikan temuannya.  Sayangnya ibu Ketua Dewan Pengarah BRAN tidak hadir. Tapi semua menteri paham jika ibu Ketua Dewan Pengarah BRAN tidak hadir dalam RATAS, dan mereka pun tidak mau cari tahu. Apalagi ikut campur terlalu jauh. Ibu Ketua Dewan Pengarah BRAN menolak memanggil Paduka Prabu, dan seringkali memplesetkan sebutan PP menjadi Petugas Party Dodo, yang menggambarkan posisi dan hubungan bathin keduanya. Apalagi di Dewan Pengarah BRAN, ibu Ketua punya anak buah setingkat menteri, itu sudah cukup bagi para menteri lainnya memahami posisi dan kekuatan politik Ibu Ketua Dewan Pengarah BRAN. Sebenarnya sih, para menteri dan juga rakyat jelata tidak paham dengan ucapan Ibu Ketua Dewan Pengarah BRAN soal Petugas Party, apakah yang dimaksud Party itu pesta atau partai. Meskipun arti pesta dan partai berbeda, tetapi telah disepakati oleh semua keluarga kerajaan dan kelompok Oligardan bahwa kedua kata itu bisa nyambung. Itulah kenapa kemudian Pemilihan Partai-partai yang 5 tahun sekali diadakan untuk mengisi Dewan Rakyat disebut Pesta Demokrasi, pestanya partai-partai. Apakah rakyat tidak protes pesta demokrasi itu maksudnya pesta partai-partai? Protes sih, tapi kelompok Oligardan ini kemana-mana selalu bawa pelicin. Itulah kenapa mereka disebut Oligardan. Dengan pelicin, semua urusan beres, sekeras apapun aturan, bakal beres dengan pelicin Oligardan. “Paduka Prabu. Ijinkan hamba menyampaikan hasil survei hamba setelah kenaikan harga gas. Hamba melihat di mana-mana orang lapar. Di pasar-pasar orang yang berjualan belum makan, karena sepi pembeli. Hamba masuk gang-gang pemukiman, orang di depan rumah hanya duduk-duduk karena belum makan, Paduka Prabu,”kata kepala BRAN membuka laporannya. “Kenaikan harga gas 17% telah menyebabkan kenaikan harga-harga sembako dan barang-barang. Daya beli rakyat menurun jauh akibat kenaikan harga gas. Ini berbahaya Paduka Prabu.” PP Dodo hanya tersenyum kecil. “Begini saudara kepala BRAN. Pertama, bukan sampeyan yang menentukan situasi berbahaya atau tidak. Itu urusan saya. Paham Sampeyan? Mmmh…Kedua, itu kan persoalan biasa. Saya sudah perintahkan para pendongeng (influencer) ngomong, kalau kenaikan harga terjadi itu bukan karena harga gas naik, tetapi akibat 4 faktor lain. Pertama karena momen pergantian zaman. Kan memang biasa terjadi naik harga setiap pergantian zaman…mmhh…sekarang zaman edan, besok zaman keblinger, catat yaa. Kedua, karena sekarang musim hujan, panen jadi terganggu. Ketiga, distribusi juga terganggu akibat musim hujan. Ke-empat, ada spekulan yang mau ambil untung. Saya kira penjelasan itu cukup untuk meredam kemarahan rakyat karena harga gas naik. Apalagi kalau yang menyampaikan nanti orang-orang yang sudah saya pilih menjadi rektor hehehe…” Para menteri lainnya ikut senyum-senyum melihat PP Dodo tertawa kecil. Setelah meneguk air putih dalam gelas di depannya, PP Dodo melanjutkan, “Menteri senior Opang akan kasih perintah kepada BUPANG (Badan Urusan Pangan) untuk menjual beras dengan harga murah, agar rakyat senang. Dalam waktu sebulan juga rakyat akan tenang kembali. Ini proses yang sudah biasa kita lakukan bertahun-tahun. Rakyat hanya marah sebentar. Mereka hanya butuh perhatian. Saya menjalankan apa yang dilakukan Kaisar Romawi Julius Caesar dulu. Kenyangkan rakyatmu dengan roti dan hibur rakyatmu dengan sirkus, maka rakyat tak perduli apa yang kau lakukan. Kenyangkan rakyat dengan beras gratis, hibur dengan tontonan para pendengung (Bazer). Itu kata Julius Caesar. Gini-gini, sebelum tidur saya masih suka dibacakan cerita-cerita jadul hahaha…” PP Dodo tertawa terpingkal-pingkal sendiri. Memaksa para menteri lainnya untuk ikut tertawa, bahkan ada menteri yang terlihat berupaya agar tertawanya paling keras sambil memukul-mukul meja. Suasana RATAS jadi gaduh sesaat. “Begini saudara-saudara Menteri”, PP Dodo melanjutkan. Suasana RATAS kembali hening. “Saya lebih senang dianggap ‘ndeso, orang kampung…orang kampung yang bodoh. Jadi saya bebas mau ngapa-ngapain. Mau pake sarung kek, pakai kostum apa aja saya jadi bebas. Mau lempar-lempar sembako dari kereta kuda atau moge saya sambil nonton rakyat berlari mengejar saya, saya juga gak peduli. Kalo saya dianggap orang pinteran seperti kalian semua, maka saya akan dibatasi oleh banyak aturannya orang-orang pinter. Begini salah, begitu gak cocok. Hanya orang bodoh yang paling sedikit dibatasi aturan, dan hanya orang bodoh yang bisa mendapatkan pengertian dari orang-orang pinter. Sama seperti perilaku orang gila. Coba sampeyan pikir, siapa yang tidak mau memahami perilaku orang gila?”  Para menteri terbengong-bengong. Mereka belum juga habis mencerna, lalu PP Dodo melanjutkan,”Jadi siapa yang lebih pinter, saya atau kalian dan para rektor? Kan sudah saya bilang, ini zaman edan, zamannya orang gila lebih pinter dari yang waras…Hahaha….” PP Dodo tertawa terpingkal-pingkal lagi. Kali ini para Menteri planga-plongo, bingung mau ikut tertawa atau tidak. Tapi ada sebagian yang ikut tertawa meski terlambat. Ketawanya garing, kata kaum milenial. Jayus kata kaum Gen-Z . Lalu PP Dodo melanjutkan, “Silahkan saudara kepala BRAN, apa usulannya sampeyan?” “Begini Paduka Prabu. Setelah hamba amati berhari-hari, rakyat yang belum makan akan kentut setiap satu jam sekali. Suara…”  “Beneran kentut?”, potong PP Dodo sambil memonyongkan mulutnya. “Kentut beneran Paduka Prabu. Suara kentutnya ada yang nyaring, ada yang nge-bass, ada yang sumbang. Ada juga yang panjang kentutnya.” “Mmmh…begitu ya. Lalu suara kentut yang seperti apa yang sampeyan suka?” tanya PP Dodo. “Suara kentut yang mirip suara motor di jalanan nanjak pakai gigi satu Paduka Prabu. Gimana ya, ada brebet-brebetnya gitu, seperti motor yang ring-seher nya sudah kena. Keren deh pokoknya, jadi seperti orkestra klasik Ludwig Van Beethoven, Paduka Prabu. Tapi saya langsung menjauh kalau suara kentutnya seperti tidak pakai filter, serasa terbawa ampas-ampasnya gitu, Paduka Prabu,” kata Kepala BRAN mendeksripsikan penelitian kualitatifnya dengan penuh semangat. PP Dodo spontan menutup hidungnya. Sambil mengernyitkan dahi dia bertanya lagi, “Lalu apa hubungannya kentut dengan naiknya harga gas?” “Begini Paduka Prabu. Saya punya ide. BRAN sudah punya peneliti hebat dan juga ada teknologinya untuk mengubah kentut yang jutaan kali per jam itu menjadi gas. Gas yang dihasilkan ini dapat digunakan rakyat untuk memasak. Jadi ini energi alternatif yang ramah lingkungan. Rakyat akan mendapatkan gas dengan harga jauh lebih murah dari kentut mereka sendiri,” jelas Kepala BRAN dengan sumringah. Apalagi dilihatnya wajah PP Dodo penuh rasa ingin tahu. Dilanjutkan Kepala BRAN, “Nanti setiap rumah akan didrop suatu alat yang akan ditempelkan ke bokong rakyat setiap mau kentut. Di dalam alat ini kentut akan dibekukan atau dipadatkan. Semacam proses sublimasi Paduka Prabu. Setiap hari akan ada petugas yang mengambil alat ini dari setiap rumah. Selanjutnya kentut beku ini akan dicairkan dan diuapkan lagi menjadi energi gas. Proses terakhir hasil gas ini akan dimasukkan ke tabung lalu dijual ke rakyat. Intinya ini penemuan baru. Bukan gas alam, tapi gas manusia. Filosofinya dari manusia untuk manusia, dari gas manusia menjadi energi gas. Penemuan ini nanti hamba patenkan atas nama Paduka Prabu. Gas Van Kentut (GVK). Eureka!”  Kepala BRAN menutup laporannya dengan meneriakkan Eureka sambil mengepalkan tangan kiri seperti halnya kepalan tangan para aktivis mahasiswa saat berunjuk rasa di depan istana kerajaan. PP Dodo dan para menteri tidak paham apa yang dimaksud Eureka. Tetapi Menteri Perusahaan Milik Kerajaan Eto membisiki PP Dodo, “Gampang Paduka Prabu, ini urusan kecil. Nanti produksi Urea-nya saya yang atur, perusahaan pupuk kan ada di bawah saya.” PP Dodo hanya manggut-manggut. Kepala BRAN melanjutkan,”Ingat Paduka, masa depan dunia akan memperebutkan pangan, air dan energi. Kerajaan kita akan menguasai dunia dengan GVK. Mereka boleh mengirim pesawat ulang-alik antariksa, tapi untuk tenaga pendorongnya mereka akan beli GVK karena lebih murah. Bahkan GVK ini dapat dikembangkan untuk menggerakkan mesin mobil kerajaan, yang dulu sempat Paduka Prabu promosikan tapi sekarang lenyap…entah ke…” PP Dodo tiba-tiba memotong omongan Kepala BRAN dengan nada marah. “Semprul. Sampeyan nyindir saya?” Kepala BRAN kaget, lalu coba menetralisir suasana. “Tidak Paduka Prabu. Mohon ampun, hamba tidak bermaksud menyindir Paduka Prabu. Justru hamba ingin membantu Paduka Prabu.” PP Dodo mengamati para menteri di sekitarnya yang kini semuanya menundukkan kepala. Tapi dia melihat ada tiga menteri yang sedang berbisik-bisik, yaitu Menteri Senior Opang, Menteri Perusahaan Milik Kerajaan Eto dan Menteri Pemandangan Alam Dino. Dia tahu ketiganya punya usaha tambang kayu bara. Mereka bertiga menguasai 90% kayu bara yang digunakan para penjual sate dan  jagung bakar di seluruh kerajaan. PP Dodo pernah bertanya kepada Menteri Pemandangan Alam Dino mengapa ikut-ikutan bisnis kayu bara. Menteri Dino menjelaskan bahwa kayu bara masih berhubungan dengan kementeriannya, sama-sama alam, bisa dipandangi, apalagi dinikmati.  “Adakah yang ingin disampaikan Menteri Senior Opang?” tanya PP Dodo dengan wajah mengarah kepada mereka bertiga. Menteri Senior Opang menoleh lalu membetulkan duduknya menghadap PP Dodo. Lalu dia menyampaikan usulannya. “Begini Paduka Prabu. Usulan Kepala BRAN ini amazing. Ini harus segera direalisasikan.” Kepala BRAN sumringah wajahnya. Senang betul rasanya didukung Menteri Senior Opang. Tiba-tiba terbayang jabatannya akan naik lagi. Ah, setidaknya bakal lama aku ini jadi Kepala BRAN, gumamnya dalam hati. “Tapi nanti Gas Van Kentut ini jangan dijual lokal Paduka Prabu,” kata Menteri Senior Opang melanjutkan. “Kita ekspor saja, harganya kan tinggi. Apalagi kerajaan kan perlu devisa untuk bayar utang. Dengan demikian kita untung dobel (kata e diucapkan seperti pada kata becek). Dalam negeri dapat sumber daya kentut gratis, lalu perusahaan kami bertiga bisa jual ekspor, devisanya bisa untuk bayar utang kerajaan. Mekanismenya nanti rakyat dapat sembako murah dari BUPANG, anak Paduka Prabu ikut untung dari saham perusahaan kami yang dia pegang, kerajaan bisa bayar utang luar negeri. Semua senang Paduka Prabu,” jelas Menteri Senior Opang dengan optimis sambil memelintir ujung kumis kecilnya.  Menteri Perusahaan Milik Kerajaan Eto ikut menimpali,”Ya ini nanti seperti yang kemarin-kemarin Paduka Prabu. Seperti kita jual masker ke luar negeri karena harganya lebih tinggi dari harga lokal. Nanti perusahaan-perusahaan milik kerajaan akan jual GVK kepada perusahaan kawan-kawan saya, mereka yang akan ekspor.” Tiba-tiba Ibu Menteri Solidaritas menyela dengan nada tinggi dan cempreng, berdiri sambil berkacak pinggang mengacungkan jari telunjuknya, “Lalu siapa yang subsidi sembako untuk rakyat? Anggaran kementerian saya tidak cukup lho bayarin sembako murah ke seluruh rakyat. Paling-paling hanya untuk dua….” Menteri Perusahaan Milik Kerajaan Eto memotong, “Tenang-tenang semua. Jangan panas dulu. Ini kan ada devisa dari ekspor GVK. Utang dibayar kan turun tuh utang. Jadi kita bisa tambah utang lagi untuk subsidi sembako rakyat. Semua bisa diatur. Yang penting semua senang. Bukan begitu Menteri Harta Kerajaan?” Ibu Menteri Harta Kerajaan membetulkan kacamatanya, memperhatikan laporan anak buahnya yang akan disampaikan kepada PP Dodo. “Kalau ngutang nambah terus kapan berkurangnya riba utang ini Paduka Prabu? Ini saja utang baru kita sudah habis buat bayar pokok utang dan ribanya. Daya tahan rakyat sudah lemah untuk dipalaki terus. Rakyat susah usaha karena tukang kredit yang biasa keliling kampung lebih suka beli SUK (Surat Utang Kerajaan) yang ribanya lebih tinggi dari riba Dosasitu. Semua berlomba beli SUK, Paduka Prabu. “Lho, bagus toh, kalu SUK dibeli banyak orang. Apa ibu Menteri Harta tidak suka?”, kata PP Dodo dengan mata agak melotot. “Bukan begitu Paduka Prabu. Ini SUK laku karena ribanya tinggi. Juga karena SUK dijamin oleh kerajaan. Tapi ribanya ini jadi beban berat kerajaan dalam waktu lama. Selain itu, uang yang seharusnya beredar di kalangan jelata untuk perputaran usaha, justru disedot oleh SUK. Akibatnya rakyat meminjam uang di Pinjol. Hamba gak tega lihatnya, Paduka Prabu. Sakitnya tuh di sini, hik..hik..” lirih suara ibu Menteri harta, sambil tangan kirinya menyentuh jantungnya sendiri, dan tangan kanannya mengusap air mata yang mulai menetes dengan sehelai tisu putih bersih. Suasana RATAS mendadak sunyi. Hening bikin pening. PP Dodo meneguk lagi air putih dalam gelas di hadapannya. Glek..glek..glek. Tandas. Lalu ia mulai lagi bicara pelan,”Pinjol itu apa ya?” Ibu Menteri Harta Kerajaan masih terisak-isak, diam tak menjawab pertanyaan PP Dodo. Lalu Menteri Perusahaan Milik Kerajaan Eto berinisiatif menjawab, “Pinjol itu Pinjaman Benjol, Paduka Prabu. Jadi kalau rakyat jelata yang utang gak bisa bayar utangnya, maka dia akan benjol-benjol. Tapi mereka lebih suka bunuh diri daripada benjol-benjol.” PP Dodo terkejut hingga kursinya agak mundur. “Lho, koq bisa begitu. Nanti kalo kita gak bisa bayar riba SUK, bisa benjol-benjol kita, berabe ini namanya.” “Gak begitu juga Paduka Prabu. Ini kan sesuai titah Paduka Prabu untuk memajukan start-up. Salah satunya ya.. dengan Pinjol ini. Bahkan setelah harga gas naik, akan banyak Pinjol-Pinjol baru. Pemiliknya juga sudah bersedia kasih saham untuk anak Paduka Prabu,” kata Menteri Eto berupaya menenangkan PP Dodo. Di ujung RATAS, PP Dodo bertanya lagi kepada Kepala BRAN. “Berapa anggaran yang sampeyan perlukan untuk realisasi proyek GVK?” “Awalnya BRAN dikasih anggaran 6 triliun. Tapi itu masih kurang banyak. Maka sesuai arahan ibu Ketua Dewan Pengarah, lembaga riset di kementerian ditarik semua ke BRAN, jadi anggarannya bisa nambah, jadi sekitar 10 triliun. Belum termasuk tahap berikutnya ambil alih lembaga riset di perguruan tinggi,” jelas Kepala BRAN dengan perlahan tapi penuh penekanan pada angka-angka anggaran. Baginya ini tahap yang ditunggu-tunggu. Masuk itu barang, gumamnya dalam hati penuh keceriaan. “Mmmh..jadi serius ini semua lembaga riset dilebur dalam BRAN?” tanya PP Dodo.  “Serius Paduka Prabu, begitu titah Ibu Ketua Dewan Pengarah,” jawan Kepala BRAN. “Apa sudah dicek, di Amerika yang demokratis atau China yang otoriter misalnya, apakah lembaga riset mereka juga dilebur jadi satu? tanya PP Dodo lagi. “Sudah. Mereka tidak dilebur Paduka Prabu. Di AS ada lebih dari 60 research agency milik pemerintah. Di China lebih banyak lagi, ada 150 lembaga riset milik pemerintah. Sampai hari ini tidak dilebur jadi satu lembaga riset.” “Lho, lalu BRAN ini nyontoh siapa?” tanya PP Dodo heran. “Menurut ibu Ketua Dewan Pengarah, ini cara kerajaan kita sendiri, tidak nyontoh siapa-siapa. Pembentukan BRAN sendiri sudah menjadi penemuan baru, new invention namanya, dilebur jadi satu. Begitu kata Ibu Ketua Dewan Pengarah,” jelas Kepala BRAN lagi. “Okeh, para menteri, kita sudahi dulu RATAS ini. Namanya juga Rapat Tak Tuntas. Saya mau lihat kembang api pergantian zaman sama cucu-cucu saya. Sebagai penutup saya berterima kasih kepada para menteri yang sudah mau bersama-sama saya, terpaksa atau tidak, sepanjang zaman edan yang mau kita lewati ini. Ingat ya besok ganti zaman, zamannya wong keblinger.” Setelah itu PP Dodo bersama para pengawal kerajaan meninggalkan ruangan, meninggalkan para menteri dengan banyak pertanyaan di kepala masing-masing. Mereka tidak juga beranjak dari kursi masing-masing. Bayangan esok hari zaman keblinger membuat mereka asyik dengan fantasi masing-masing, uang dan kekuasaan. (*)

Uang Buruh BPJS Ketenagakerjaan Buat Apa?

Penurunan program perumahan bagi buruh sangat janggal, bahkan dalam beberapa kasus di lapangan dari 100 buruh yang mengajukan pencairan kredit ke Bank hanya 3 yang berhasil. Oleh: Jajang Nurjaman, Koordinator CBA CENTER for Budget Analysis (CBA) meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit terkait pengelolaan uang buruh oleh BPJS Ketenagakerjaan. Sampai Agustus 2021 dana investasi buruh yang dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan mencapai Rp 514,74 triliun dan angka ini akan terus naik sampai akhir tahun dikisaran Rp 542,41 triliun. Harusnya dana ratusan triliun hasil dari jerih payah buruh bisa kembali dinikmati buruh bukan malah numpuk di Bank dan menghasilkan bunga, atau digunakan untuk urusan yang tidak ada kaitannya dengan buruh. Misalnya Fasilitas Manfaat Layanan Tambahan berupa program Kredit Pemilikan Rumah KPR bagi buruh pengelolaannya amburadul. Padahal program ini yang paling dibutuhkan oleh buruh tapi untuk pengajuan kredit saja para buruh seperti dikerjain oleh pihak bank dengan persyaratan berbelit-belit. Padahal dari ratusan triliun dana buruh yang dititipkan kepada BPJS Ketenagakerjaan program KPR ini nilainya hanya secuil dibandingkan total dana yang diikelola. Fasilitas MLT untuk rumah buruh dari 2017 sampai Agustus 2021 baru dikucurkan Rp 655,49 miliar. Dalam 5 tahun baru 2.384 rumah yang berhasil dinikmati buruh, bahkan dalam 3 tahun terakhir terus menurun. Jika 2017 ada 658 rumah KPR untuk buruh, kemudian 2018 mencapai 1.385, tahun 2019 anjlok menjadi 398 rumah, bahkan tahun 2020 hanya 82 rumah. Penurunan program perumahan bagi buruh sangat janggal, bahkan dalam beberapa kasus di lapangan dari 100 buruh yang mengajukan pencairan kredit ke Bank hanya 3 yang berhasil. Belum lagi fakta pekerja kontrak sudah dipastikan tidak bisa menikmati program KPR karena terbentur persyaratan di Bank, bahkan pekerja tetap juga banyak yang kesulitan mengajukan bantuan. Ini  benar-benar dzalim, padahal uang yang diikelola BPJS Ketenagakerjaan dan di simpan di Bank adalah hak buruh, tapi buruh seolah-olah harus ngemis ke Bank dan BPJS ketenagakerjaan. Hal ini tidak boleh terus berlanjut, ketidakbecusan BPJS Ketenagakerjaan dalam mengelola fasilitas MLT program KPR jika dibiarkan sangat merugikan buruh, bahkan berpotensi merugikan keuangan negara. BPK harus segera melakukan audit investigasi terkait pengelolaan dana investasi BPJS ketenagakerjaan yang mencapai Rp 514,74 triliun, khususnya program perumahan bagi buruh. (*)  

Sekarang Kita Ada di Mana?

Oleh: Yusuf Blegur,  Pegiat Sosial dan Aktivis Yayasan Human Luhur Berdikari Ketika kehidupan telah menampilkan kebenaran dan kejahatan saling berhadap-hadapan, maka ada dua kemungkinan yang bisa dilakukan. Memilih salah satu berdasarkan  keyakinannya atau mengambil jalan tengah, mencari posisi  yang aman bagi kepentingannya. Pilihan terhadap salah satu dari keduanya sama-sama memiliki konsekuensi dan risiko tersendiri. Begitupun yang tidak memilih satupun dari keduanya. Sikap diam dan ambigu dalam mengambil pilihan ini, terkadang memiliki peminat yang banyak dan menggumpal menjadi mayoritas. Meminjam terminologi Islam, pada narasi  Amar Maruf Nahi Munkar, maka sangat jelas sesuatu yang hak tak akan bisa dan tak akan pernah bercampur dengan yang batil. Jangan berupaya meskipun hanya dalam berpikir sekalipun, untuk mencoba  menyatukannya. Kebenaran dan kejahatan mengandung nilai, sifat, dan karakter berbeda. Keduanya sama sekali tidak memiliki unsur chemistry, kohesifitas  dan apalagi persenyawaan. Seperti  kata peribahasa, resan air ke air, resan minyak ke minyak.  Menegakkan kebenaran dan melawan kemungkaran merupakan suatu realitas yang dilandasi oleh pemaknaan identitas, eksistensi dan pencapaian tujuan  dalam kehidupan. Sebagaimana dalam kaidah moral dan agama. Ada pembeda dan petunjuk tentang jalan kemaslahatan dan jalan kemudharatan. Jika polarisasi pertarungan kebenaran dan kejahatan itu sudah sampai memasuki ranah friksi, benturan dan konflik. Biasanya memunculkan domain dan irisannya masing-masing. Penetrasinya juga membangun ruang konstelasi dan konfigurasi sendiri. Tentunya akan menampilkan pelaku, strategi dan wilayah pertarungannya. Peta konflik akan meliputi peperangan fisik, peperangan pemikiran dan peperangan aqidah atau keyakinan. Agama, ideologi, ekonomi dan politik biasanya paling rentan menjadi sasaran dan terdampak signifikan dari skenario konflik berkepanjangan. Seiring perkembangan jaman, karakterisik konflik tidak selalu direpresentasikan dengan penggunaan senjata atau kehadiran militer. Sejarah perang yang aliran hulu dan hilirnya mengacu pada kekuasaan. Menggunakan kekuasaan untuk mempertahankan dan  mendapatkan kekuasaan yang lebih besar lagi.  Kekuasaan yang menunggangi konflik akan sangat fleksibel memenuhi tuntutan jaman. Memenuhi setiap ruang interaksi dan dinamika yang luas. Instrumen digitalisasi juga mengalami dualisme. Selain memudahkan peradaban, juga rentan mengalami distorsi fungsi. Dalam era perang modern, frame digital menggerakan semua perangkat teknologi informasi dan komunikasi. Pengendalian strategi digital  pada akhirnya efisien dan efektif dalam mengelola kekuasaan, menciptakan konflik dan melumpuhkan pergerakan.  Melalui distribusi produk informasi, kampanye dan semua narasi agitasi dan propaganda. Rekayasa teknologi informasi dan komunikasi yang menyimpang. Sejatinya telah menjadi trend perang di era \'new age\'. Jejaring udara yang cepat dan memiliki daya jangkau luas dan optimal itu. Hasilnya bisa dirasakan dalam pelbagai pembentukan      opini publik yang masif, terstruktur dan sistematik. Pengorganisasian komunikasi dan informasi, dapat menjadi sihir massal yang menghipnotis, memengaruhi sekaligus mengendalikan kesadaran pikiran dan tindakan. Alhasil,   rasa permusuhan dan kebencian menjejali interaksi sosial. Kebohongan dan fitnah telah menjadi senjata paling modern  dan paling berbahaya bagi peradaban manusia. Tidak sedikit yang mengalami kelumpuhan akal sehat sehat dan keguguran iman, larut menopang kejahatan. Kamuflase dan manipulasi informasi  data yang sesat dan jahat. Bukan hanya berdampak pada penghancuran fisik semata. Daya rusaknya juga mampu menggerogoti nilai-nilai dan norma. Kejahatan informasi yang terus-menerus mengembangbiakan kebohongan dan fitnah. Perlahan tapi pasti menempatkan rasa permusuhan dan kebencian sebagai faktor akselerasi kehancuran negara, bangsa dan agama. Menyusuri Jalan Kesunyian Pada akhirnya, setiap pikiran, hati dan jiwa dituntut untuk mengambil posisi dan memainkan peran. Menunjukkan keberaniannya akan keberpihakan. Dalam fase tertentu tak bisa menghindar dan mengelak. Berada pada barisan kecil dan sedikit yang menggusung kebenaran  meski tertatih-tatih, atau menyusup dalam hiruk-pikuk istana kejahatan yang megah. Merasa terasing dan terkadang dikucilkan. Merupakan realitas dari kehidupan yang kuat memegang prinsip dan keyakinan. Hidup menjalani kesepian meski tengah berada di keramaian. Memiliki banyak ruang dan waktu tetapi seperti terisolasi.   Sering terjadi, kebersamaan itu berarti tak boleh ada yang berbeda. Penghormatan dan penghargaan harus dimaknai sebagai sikap tunduk dan lemah. Kekuatan selalu dimaknai dengan bilangan hitung. Semakin banyak semakin lazim dan dianggap kebenaran. Sementara yang diluar kebiasaan dan tradisi diangggap nyeleneh dan aneh. Bisa juga dianggap tidak logis dan rasional, jika tak bisa disebut sesat.  Penampakan wajah  sosial yang menggiurkan, mampu  mesona dengan kecantikannya. Indah dan menarik dari luar. Kedalaman batin dan relung sukma tak  begitu penting dan berarti. Semua yang tak elok dipandang dan memanjakan rasa, divonis sebagai hal yang buruk dan seperti penyakit. Begitulah potret realitas sosial  terpajang dan banyak diminati. Seperti itu hidup memberikan pilihan. Ada suguhan yang menggugah selera, ada juga tawaran penuh makna.  Bagai kebenaran dan kejahatan yang disajikan, hanya tinggal memesan menunya. Kalau memilih jalan kebenaran menjadi keharusan. Bisa dipastikan akan melangkah menyusuri jalan kesunyian. Air yang mengguyurnya hanyalah berupa hujan kebencian dan fitnah yang begitu deras.  Karena kenikmatan kebenaran itu sesungguhnya ada pada penderitaan menjalaninya. Terlebih saat virus kebencian begitu cepat menjalar dan fitnah merasuki bagai pandemi. Sambil  menunggu kesadaran dari mabuk hasrat yang tak berujung. Kita berusaha sadar. Sambil meronta membatin,  terbersit pertanyaan sekarang kita ada di mana? (*)

Fenomena Empat Nol

Empat nol adalah sepakbola gajah. Gajah Thailand yang gagah ngobrak-abrik gajah duduk atau gajah bleduk. Oleh: M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan INDONESIA dikalahkan Thailand 4-0 di leg pertama final kejuaraan AFF suzuki. Meski tidak mudah untuk mengalahkan Thailand namun dengan digunduli begitu tentu di luar dugaan. Memang terlihat Indonesia kalah kelas dalam permainan. Gol dicetak pada menit kedua oleh Chanatip Songkrasin.  Ia mencetak gol lagi pada menit 52. Gawang Indonesia dibobol lanjutan oleh Supachok dan Bordin Phala. Ada tiga fenomena menarik dari kekalahan ini.  Pertama, Ketum PSSI Mochamad Irawan atau Iwan Bule dinilai mengganggu konsentrasi pemain dengan video call yang akan masuk ke ruang ganti pakaian pada leg berikut. Efeknya ada Netizen yang minta agar Iwan Bule dilengserkan. Iwan dianggap mendahulukan pencitraan diri.  Kedua, perang dukun antara dua tim. Thailand menyiapkan dukun untuk membantu kemenangan. Indonesia demikian juga. Persatuan Dukun Nusantara (Perdunu) melakukan ritual dan jampi-jampi. Sentralisasi ritual dilaksanakan di Banyuwangi. Samar Wulu nama ritualnya.  Ketiga, janji atau ocehan Presiden yang akan memberi bonus Rp 12 miliar kepada pemain jika berhasil memenangkan pertandingan. Tidak jelas duit siapa dan duit apa yang akan diberikan sebagai bonus  tersebut. Tidak lazim berjanji seperti ini. Faktanya timnas kalah telak.  Empat nol adalah kenyataan pahit. Meski sesumbar di leg 2 Indonesia akan menang 5-O pun namun publik tetap pesimis. Mental pemain nasional  tidak terlalu hebat. Alih-alih sukses 5-O jangan-jangan justru kiper akan sering memungut bola di gawang sendiri.  Empat nol menguak budaya buruk bangsa yang memalukan yaitu mistis, materialistis, dan egosentris. Mistis dengan pedukunan yang tidak hanya untuk urusan klenik pengobatan, tetapi masuk ke ruang olahraga bahkan politik. Materialistis dengan Presiden yang cuma bisa memotivasi dengan duit, duit, dan duit. Egosentris, di kancah kebersamaan sempat-sempat jualan. Ketum PSSI yang berniat melanggar aturan soal kehadiran di ruang ganti dan flyer foto gede kampanye diri.  Empat nol adalah sepakbola gajah. Gajah Thailand yang gagah ngobrak-abrik gajah duduk atau gajah bleduk.  Tapi sebenarnya tidak masalah karena menang kalah itu hal biasa. Kalah 8-0 pun Indonesia pernah. Kini kita berprestasi hanya  kalah 4-0. Harapan selalu ada. Yang kelihatan hilang harapan adalah melekatnya budaya mistis, materialistis, dan egosentris itu.  Negara yang dipimpin oleh para figur mistis, materialistis, dan egosentris akan meruntuhkan martabat. Ketum PSSI dan Ketum NKRI saatnya diganti. Perlu penyegaran untuk membangun harapan ke depan.  Bandung, 31 Desember 2021. (*)

Wajah Giring (Jadi) Lebam-lebam

Oleh: Ady Amar, Kolumnis DROP Out (DO) sepertinya sudah  menjadi kata serapan, khususnya untuk penyebutan mahasiswa yang gugur hak-hak kemahasiswaannya oleh sebab-sebab tertentu. DO jadi lebih populer ketimbang kata \"gugur\", yang sebenarnya maknanya sama. Setidaknya dalam beberapa hari ini, kata DO memenuhi jagat pemberitaan. Dan itu menyasar Giring Ganesha, Ketua Umum PSI. Giring pernah sebagai mahasiswa Universitas Paramadina, jurusan Hubungan Internasional, dan ia di-DO. Bahkan di -DO tidak cukup sekali, bahkan sampai 2 kali. Pertama di-DO, lalu beberapa tahun kemudian ia mendaftar dan kuliah lagi pada jurusan yang sama, dan lagi-lagi di Wajah Giring (Jadi) Lebam-lebam. DO DO pada seseorang biasanya tidak terlalu jadi persoalan, meski itu mengena publik figur. Biasanya diberitakan sambil lalu, dan seketika dilupakan. Tapi khusus untuk Giring, meski DO itu terjadi beberapa tahun lalu, tapi justru setidaknya pekan ini dibicarakan dengan intensitas tinggi. Dibicarakan dengan olok-olok, dipelesetkan DO jadi Dikit Otak, Dasar Oon, dan seterusnya. Mengapa terjadi demikian. Tidak lain sepertinya itu yang memang diinginkan Giring. Bermula saat Giring \"membodoh-bodohkan\" dan bahkan kata \"pecat\" diumbar yang ditujukan pada Anies Baswedan. Saat menjadi Mendikbud Anies memang diberhentikan di tengah jalan oleh Presiden Jokowi. Apa karena Anies memang \"bodoh\" ia \"dipecat\" -- sengaja memakai narasi kasar Giring. Anies diberhentikan tentu bukan karena kinerjanya yang buruk. Justru Kemendikbud saat Anies memimpin, dianggap tiga kementerian paling terdepan, disamping Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Kementerian Agama. Mengapa Anies diberhentikan, cuma Jokowi-- dan orang sekelilingnya yang menghendaki Anies dicopot-- dan Tuhan saja yang tahu. Maka, Giring yang membodoh-bodohkan Anies, meski tidak menyebut nama tapi narasi \"bekas menteri pecatan\" itu pastilah merujuk pada Anies, dan itu diucap di depan Jokowi, saat perayaan ulang tahun ke-7 PSI. Lagak giring itu urakan, yang jauh dari kesantunan. Jika muncul tanggapan berbagai politisi itu hal wajar Orasi berapi-apinya itu sekadar mengumbar ketidaksukaan pada Anies. Berbangga bisa membuat Jokowi tertawa, meski mulut dan hidung tertutup masker, tapi gestur tubuh lewat dagunya bergerak naik turun menahan geli. Tidak jelas tertawa karena senang Giring bisa mencaci Anies yang punya elektabilitas tinggi bisa menggantikannya, atau entah sebab apa. Lagak Giring itu seperti buzzer kalap, yang punya tugas khusus memutar balikkan fakta sebenarnya. Anies Baswedan seperti biasanya bersikap tenang-tenang saja melihat berbagai serangan kalap semacam itu. Kali ini dari mantan mahasiswanya, mahasiswa DO yang pastinya tidak berprestasi. Menjadi absurd Anies yang mantan rektornya disebut bodoh dan ungkapan negatif lain yang tidak berdasar. Anies sih cuek bebek dengan orasi Giring, yang bak penjual obat salep gatal-gatal di alun-alun kabupaten, yang hadir di akhir \'70-an. Orang menyebut itu semata dendam Giring pada mantan rektornya, atau memang kebijakan partainya sudah bulat hadir \"mengganyang\" Anies dengan terus memproduk narasi jahat. Narasi tidak berdasar yang terus-menerus dijejalkan pada publik, berharap siapa tahu ada yang nyantol mempercayainya. Tapi tidak sedikit yang mau muntah dengan jejalan narasi yang dibangun itu. Publik sudah makin pintar, bro sis. Pola merendah-rendahkan Anies jangan diterus-teruskan, itu tidak efektif. Makin Mengkilap Anies tidak marah dengan olok-olok bualan para buzzer, termasuk yang berkumpul di PSI. Setidaknya gaya partai satu ini layak disebut menyerupai kerja buzzer dalam memproduk hal buruk yang tidak semestinya. Anies tidak marah, tapi tidak dengan mereka yang mengidolakannya. Yang lalu membalas dengan membongkar jejak Giring, mahasiswa 2 kali DO, tapi berbuat nekat membodoh-bodohkan mantan rektornya, Anies Baswedan. Maka respons pada Giring berhamburan seperti pesta olok-olok tanpa henti. Giring seperti membuka jejak kebodohan diri sendiri. Bermaksud menghajar Anies, tapi justru wajah Giring sendiri jadi lebam-lebam, seperti ditonjok ramai-ramai. Upaya membodoh-bodohkan Anies, justru 2 kali DO Giring tersebar luas. Orasi urakannya mendapatkan balasan menohok menyakitkan. Menyasar Anies dengan narasi jahat yang tidak sebenarnya, bukannya mendapat apa yang diharapkan. Tapi justru membuka jejak diri sendiri, memberi senjata orang untuk menyebut Giring si Dongok Original. Anies dihujat tidak meredup, justru makin mengkilap. Itu yang tidak disadari mereka yang ada di balik penggagas munculnya buzzer. Giring dan partainya PSI sepertinya memilih ada di pusaran itu. Bukan gagasan yang dihadirkan, dan sepertinya memang tidak punya gagasan yang bisa dijual, kecuali membidik Anies terus menerus. Hidup seperti tanpa tahu maksud dan tujuannya. Miris. (*)

Meski Omicron Tidak Membahayakan, Vaksinasi Anak 6-11 Tahun Dipaksakan

Mana suara dokter Indonesia, sementara kata Dr. Tifa, apalah arti nasib 26,5 juta anak Indonesia yang harus divaksin. Mereka korban keadaan. Oleh: Iriani Pinontoan, Wartawan Senior FNN PEMERINTAH melalui Kementrian Kesehatan didukung Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) hingga Ahad, 19 Desember 2021, sudah vaksin 500.000 anak Indonesia usia 6-11 tahun dari target 26,5 juta anak. Miskin edukasi cenderung menakut-nakuti dengan mutasi virus covid menjadi omicron, plus gabungan varian delta jadi delmicron, orang tua pun berkeinginan kuat agar anak segera divaksin. Vaksin apa, ya Sinovac. Setidaknya, ada lima alasan IDAI mengapa anak perlu divaksin. Pertama, anak rentan terinveksi corona. Kedua, sulit mengurus anak yang teriveksi virus corona. Ketiga, tingginya kematian anak akibat virus corona di Indonesia. Keempat, hadirnya varian omicron, dan terakhir, kelima, anak-anak harus segera bersekolah kembali. Data pertama dari Satgas Covid, anak terinveksi covid 10-12%. Alasan kedua, jika anak sakit betapa sulit mengurus karena harus pendampingan orang tua. Ketiga, IDAI mencatat ada 1.000 terinveksi covid wafat, keempat, varian omicron lebih cepat memular dan anak-anak rentan terinveksi. Terakhir, kelima, cluster penularan tatap muka membuktikan anak-anak harus segera vaksinasi. Kelima alasan ini belum tersosialisasi maksimal sudah dilakukan vaksinasi. Akbatnya, beberapa anak diperkirakan kena Kejadian Ikutan Paska Imunisasi (KIPI) atau Kejadian Ikutan Paska Vaksinasi (KIPVI). Epidemologi prediktif Dr. Tifauzia Tyassuma sama sekali tidak khawatir dengan kehadiran omicron. \"Saya jauh lebih khawatir dengan vaksinasi terhadap anak,\" katanya kepada FNN, Kamis (31/12/2021). Anak-anak sudah berjatuhan KIPVI hingga ada yang meninggal. Seperti biasa, kejadian pada orang dewasa, lansia dan ibu hamil, pemerintah hanya mencatat sebagai angka kematian semata. Bukan mencatat sebagai manusia yang wafat akibat KIPVI. Tidak ada penelitian dan pernyataan resmi. Pekan lalu, seorang anak usia 8 tahun divaksin bersama teman-teman sekelasnya di sekolah. Empat dari anak-anak ini KIPVI, kena demam tinggi tidak turun-turun pada suhu 39,5. Tiga dari mereka diberi paracetamol dan obat lainnya oleh dokter, 3 hari kemudian normal kembali. Satu-satunya yang demannya tidak turun terjadi pada Rara. Empat hari kemudian dirujuk ke rumah sakit, tapi disuruh pulang kembali sambil berobat jalan. Dua hari kemudian Rara jadi lemes di rumah dan minta kepada neneknya untuk ke rumah sakit. \"Rara enggak tahan, Nek,\" katanya. Salah satu rumah sakit daerah di Pasar Minggu akhirnya menerimanya. Dokter melakukan observasi dan mengatakan Rara kemungkinan KIPI. Neneknya lalu bercerita dan memuatnya di sosial media. Belum lagi ada yang wafat seusai divaksin di Sulawesi. Tuntutan Emak-emak Pekan ini viral vidio Babe Aldo dan emak-emak sedang diterima Kementrian Kesehatan menyampaikan kekhawatiran mereka tentang vaksinasi anak. Salah seorang emak keberatan anak-anak divaksin. Alasannya, imunitas dan antibodi anak cukup tinggi untuk melawan virus apapun termasuk virus corona. Belum ada penelitian yang menyebutkan anak penyebar virus corona. Di sisi lain, orang dewasa dan lansia dikejar-kejar untuk divaksin.Jika tidak,diancam tidak mendapat pelayanan publik, khususnya adminiatrasi. Salah seorang emak yang juga wartawati senior, Nina Bahri, bercerita pengalamannya ketika berwisata ke Padang dan dikejar-kejar aparat untuk seluruh penumpang bus wajib vaksin. \"Bapak-bapak, andai hari itu ada yang meninggal usai divaksin, saya akan viralkan ke seluruh dunia,\" katanya berapi-api.\" Apalagi, sekarang anak-anak dipaksa vaksin. Mereka generasi masa depan Indonesia. Seharusnya mereka dilindungi. Apa yang akan terjadi pada mereka kelak, tidak ada yang tahu. \"Jangan hanya ingin mempertahankan jabatan menteri, bapak-bapak seolah-olah tidak tahu. Kalau mau divaksin, periksa dulu. Apakah ada comorbid atau tidak. Jangan semua dipaksa. Apalagi anak-anak. Tanggungjawab bapak dunia akhirat lho,\" ujar Nina masih dengan nada tinggi. Sementara kata Dr. Tifa, apalah arti nasib 26,5 juta anak Indonesia yang harus divaksin. Mereka korban keadaan. \"Dan, ketika anak-anak menjadi korban sejak dini, sebagai generasi penerus bangsa, maka kita tinggal menunggu kehancuran negara,\" tandasnya. Mana suara dokter Indonesia, sementara kata Dr. Tifa, apalah arti nasib 26,5 juta anak Indonesia yang harus divaksin. Mereka korban keadaan. Dr. Tifa sejak awal pandemi adalah epidemiolog prediktif dengan pengikut sosial medianya ribuan hingga jutaan yang berseberangan dengan dokter pada umumnya. Prediksinya mendekati kebenaran. Prediksinya tentang pandemi, vaksinasi dan perubahan iklim dunia tidak meleset. Berkali-kali mengatakan tidak anti vaksin, tapi berkali-kali pula sosial medianya, khususnya facebook di- takedown. Khusus untuk vaksin covid, konon perlu waktu panjang untuk penelitiannya. Mana suara dokter Indonesia? (*)

Harga Sebuah Ekspektasi

Sejenak, selama 2 x 45 menit. Rakyat Indonesia mampu melupakan utang negara. Mengabaikan matinya demokrasi dan supremasi hukum. Termasuk semakin rusaknya sistem politik dan perilaku kekuasaan. Dalam waktu yang tidak lebih dari 2 jam, rakyat tak peduli melambungnya harga sembako di penghujung tahun. Oleh: Yusuf Blegur, Pegiat Sosial dan Aktifis Yayasan Human Luhur Berdikari SEMUA risis dan ketidakpastian masa depan yang melingkupi negara, buyar seketika saat menyaksikan Timnas Indonesia berlaga melawan Thailand dalam Turnamen AFC 2021. Seluruh pandangan, pendengaran dan perasaan terkonsentrasi dan tertumpahkan menyaksikan perseteruan Indonesia dan Thailand dalam laga sepak bola yang klasik itu. Ada hal yang lebih menarik dan layak diangkat sebagai refleksi dan evaluasi kebangsaan, lebih dari soal olah raga khususnya sepak bola. Ini bukan tentang sekedar pertandingannya. Bukan hanya soal teknis dan strategis kesebelasannya. Juga bukan melulu soal performa pemain dan pelatihnya. Apalagi cuma soal menang kalahnya. Brasil, Jerman, Perancis, Inggris, Italia dan seabrek timnas sepak bola hebat lainnya, pernah mengalami kekalahan. Tim-tim sepak bola papan atas itu biasa mengalami kemenangan dan kekalahan dalam turnamen bergengsi dan prestisius selevel olimpiade dan piala dunia. Kesebelasan-kesebelasan hebat yang dipuja dan memiliki fans sedunia sekalipun, tak bisa terhindar dari kekalahan. Ada saatnya penampilan mereka menunjukkan superioritas, namun ada waktunya mereka juga dipermalukan lewat ajang sepak bola. Ini tentang sepak bola dan nasionalisme. Bagaimana sepak bola itu menampilkan eksistensi dan kebanggaan sebuah bangsa. Sebagai olah raga yang paling diminati dan memiliki penggemar terbesar di seluruh dunia, sepak bola dalam ajang internasional bukanlah cuma sebuah pertandingan. Ia menjadi pesan dan promosi suatu negara. Tentang kebudayaan dan peradaban suatu bangsa. Sepak bola menjadi bahasa yang universal dalam pergaulan dunia. Relasi sosial antar bangsa di luar persoalan ekonomi, politik dan militer. Dunia sepak bola juga menjadi salah satu faktor yang sering dikorelasikan dengan \"the nation of character building\" pada suatu negara. Sekat-Sekat Nasionalisme Indonesia patut belajar dari negara-negara di belahan benua Afrika dan Amerika Latin. Beberapa dekade, bangsa mereka masih dianggap populasi penduduk terbelakang dan miskin. Betapapun mereka dianggap sebagai rakyat kelas rendah dalam soal pendidikan dan sarana prasarana terkait aspek SDM dan SDA. Tidak dalam sepak bola. Negara-negara Afrika seperti Afrika Selatan, Kamerun, Nigeria, Kenya, Ghana, Senegal, Maroko dll. Begitu Juga dengan negara-negara Amerika Latin seperti  Brazil, Argentina, Chile, Paraguay, Ekuador dll. Negara yang secara umum identik dengan gurun dan perbukitan tandus serta perkampungan dan  pemukiman kumuh itu, merupakan gudang pemain berbakat dan istimewa dalam sepak bola dunia. Mereka para orang-orang kaya prestasi dan membanggakan sepak bola meski hidup di negara miskin. Sebagian besar penduduk dunia mengidolakan mereka, termasuk penggemar sepak bola di Indonesia. Berbeda dengan negara dimari. Dalam hal sepak bola, rakyat Indonesia merupakan kebalikan dari negara-negara di Afrika dan Amerika Latin. Indonesia seperti menjadi langganan negeri pecundang dalam urusan sepak bola. Entah apa yang menyebabkan sepak bola nasional begitu terpuruk dalam dan berkepanjangan. Bukan hanya miskin prestasi, akan tetapi lebih banyak memalukan dan merendahkan bangsa. Entah apa yang kemudian terus menggeluti wajah suram persepakbolaan nasional. Pencarian bibit, pelatihan dan pembinaan bukan tidak dilakukan. Meski belum maksimal, setidaknya pembentukan tim sepak bola dari usia dini hingga level profesional telah gencar dilakukan. Bukan hanya metode, pembinaan sepak bola telah menjadi seperti pendidikan kurikulum.  Menghadirkan pelatih berkelas dan berkarater sudah diupayakan. Struktur dan skema latihan telah mengacu pada sistem yang lebih modern. Termasuk kompetisi reguler sudah berjalan. Pemberian gaji dan fasilitas pemain serta pola makan bergizi dan bernutrisi untuk pemain juga sudah diprioritaskan. Inteligensi dan psikologi juga diberi sebagai salah satu model pendidikan dan pelatihan sepak bola. Apalagi yang kurang?. Jika dibandingkan negara-negara di Afrika atau Amerika latin itu, mungkin sangat jauh berbeda, tapi mereka mampu mengangkat prestasi dan kebanggan negaranya. Mereka mungkin susah untuk sekedar mendapatkan tanah lapang untuk bermain sepak bola. Boleh jadi pemain-pemain dunia seperti mereka, sedari kecil hanya bisa bermain bola di jalanan atau gang-gang sempit. Mereka kebanyakan lahir dari lingkungan dan keluarga miskin. Terkadang terjadi, saat tak mampu hanya untuk membeli seatu sepak bola yang layak. Tapi semangat mereka luar biasa. Ada spirit dan kekuatan yang mengobarkan mereka untuk berprestasi dan menempatkan negara mereka secara terhormat dan layak kedudukannya di dunia. Melalui sepak bola mereka mengenalkan negaranya menjadi disegani dan diteladani. Pemain-pemain sepak bola dunia itu mampu menginspirasi dan memotivasi. Fenomena sepak bola Indonesia yang terus lekat dengan kelas bawah dan tim ayam sayur itu. Bisa dipastikan bukan kelemahan dan kesalahan para pemain, pelatih atau semua irisan yang bersentuhan dengan pembentukan sebuah tim nasional sepak bola. Banyak faktor dan indikator yang menyebabkan perkembangan sepak bola nasional mangkrak. Tidak menutup kemungkinan berpotensi maju, tapi sayangnya prestasi sepak bola nasional boleh jadi dikorupsi. Ada manajemen dan regulasi yang salah. Bisa karena ada mafia bisa juga makelar dalam sepak bola nasional. Mirip negara dan sistem politik, ada juga oligarki dalam sepak bola Indonesia. Mulai dari perekrutan pemain, pembentukan organisasi seoak bola,  jual beli pemain, pengelolaan klub, pengaturan skor pertandingan,  hingga praktek suap masih kental dalam dunia sepak bola Indonesia. Distorsi seperti menjadi tradisi di negeri ini, bahkan merambah ke wajah sepak bola nasional. Mungkin agak nyeleneh, jika menghubungkan sepak bola dengan nasionailsme. Sepak bola menjadi terbatas dan sempit jika dibahas secara parsIal. Permainan bola lapangan hijau itu tak bisa dipisahkan dari persoalan negara. Baik buruknya prestasi sepak bola nasional juga menjadi cermin baik buruknya negara. Pada satu sisi tertentu yang substansi, sepak bola dan pemerintah menjadi terintegrasi. Sepak bola Indonesia pernah mengalami prestasi puncak di era 1938 saat memakai nama Dutch East Indies. Meski masih dalam masa kolonial, Indonesia saat itu menjadi negara pertama di Asia yang lolos Piala Dunia. Begitupun ketika era orde lama, timnas Indonesia berhasil menahan imbang Uni Sovyet 0-0 di Olimpide Melborne pada tahun 1956. Situasi kebangsaan yang jauh dari ideal, namun begitu patriotisnya timnas Indonesia. Berada dalam cengkeraman kolonialisme dan imperialisme, kemudian baru menikmati kemerdekaan seumur jagung, timnas sepak bola Indonesia berhasil menggelorakan nasionalisme. Ada jiwa dan mentalitas yang ingin menunjukkan diri sebagai suatu negara bangsa yang merdeka, berdaulat dan bermartabat. Tak ingin direndahkan dan ingin dipandang terhormat, menjadi energi besar yang merasuki pemain timnas Indonesia itu. Bak pahlawan di bidangnya pesebak bola tanah air merepresentasikan negaranya dengan penuh pengorbanan, totalitas dan pencapaian tujuan yang menggetarkan nasionalime dalam sepak bola. Kembali pada hasil pertandingan timnas Indonesia melawan Thailand di final leg pertama Piala AFC 2021. Dengan hasil kekalahan 0-4 dari Thailand, memang bukanlah hasil yang mengejutkan. Bukan juga apriori atau skeptis terhadap sepak bola nasional. Ini lebih menyangkut soal mimpi dan harapan rakyat Indonesia terhadap timnas yang menjadi kebanggannya. Seakan Rakyat Indonesia, berharap menemukan kehormatan dan harga diri bagi negara bangsanya melalui sepak bola. Terutama ketika di negara-negara maju, sepak bola telah menjadi industri dan instrumen kapitalisme. Apakah terlalu berlebihan? Atau juga ini menjadi kontemplasi kebangsaan? Ketika rakyat banyak menemukan negara sedang tidak baik-baik saja hampir di semua sendi kehidupan, rakyat Indonesia terlalu berharap pada timnas untuk mendapatkan kemenangan. Meski nasionalisme pada akhirnya gagal menghidupkan daya juang timnas sepak bola Indonesia, rakyat memang harus bisa menerima dan membiasakan diri pada kenyataan pahit. Tangis, kekecewaan, penyesalan dan rasa frustasi mengiringi kekalahan timnas yang mempermalukan rakyat dan negara. Bukan, sekali lagi bukan kelemahan dan kesalahan pemain atau pelatih. Hanya saja, sama seperti negara Indonesia tercinta, nasionalisme masih terkubur lelap seiring terpuruknya prestasi timnas. Atau mungkin saja terlalu besar mimpi bangsa ini memiliki kesebelasan yang tangguh di dunia. Begitu tingginya ekspektasi bangsa Indonesia terhadap timnas, sehingga hasilnya harus dibayar dengan kekecewaan dan kesedihan nasional. Maka bijaklah sebisa mungkin, berhenti menumpahkan kekesalan dan mengumpat timnas. Setidaknya tidak sekeras dan sefatal saat menghujat rezim yang jauh lebih banyak kegagalannya. Bangun dari ekspektasi dan utopi, karena nasionalime masih belum tampak juga batang hidungnya di negeri ini. Lagi pula berharap kejayaan sepak bola nasional, akan senilai dengan upaya mewujudkan kemakmuran dan keadilan di ilusi Panca Sila. Siapa yang tahu? (*)   Penulis, Pegiat Sosial dan Aktifis Yayasan Human Luhur Berdikari

PKS Bagus Tolak Pindah Ibu Kota

Oleh M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan Di samping masih pandemi Covid 19 yang membutuhkan penanganan serius, juga perpindahan Ibukota dinilai tidak begitu penting. Karenanya PKS menolak perpindahan Ibukota Negara tersebut. Sikap ini bagus dan aspiratif karena perpindahan Ibukota Negara ke Kalimantan sejak awal memang diragukan urgensinya.  Entah PKS akan menjadi satu-satunya Partai atau Fraksi yang menolak atau akan menyusul Partai/Fraksi lainnya. Yang jelas sikap menolak akan mendapat dukungan rakyat. Perpindahan Ibukota dirasakan bukan demi kepentingan rakyat tetapi hanya ambisi segelintir elit politik pimpinan Presiden Jokowi.  Sebagaimana UU Cipta Kerja yang tergesa-gesa ditetapkan sebagai Undang-Undang, kini RUU Ibukota Negara menjadi prioritas bahasan DPR yang diprediksi akan diputuskan dengan tergesa-gesa pula. Suatu perundang-undangan yang sarat kepentingan, elitis, dan pragmatis biasa diputuskan dengan cepat, diam-diam, dan tidak cermat.  Penajam sendiri sebagai calon Ibukota diragukan kecocokannya sebagai Ibukota Negara. Tidak ada studi kelayakan yang terbuka dan dapat dipertanggung jawabkan kepada publik. Rakyat dibiarkan diam dan terpaksa menerima hasil pembelian \"kucing dalam karung\". Kucing penjelmaan dari perampok aset negara. Pemakan tanah dan peminum air milik rakyat Indonesia.  Kucing yang dengan sorot tajam dan bermata sipit siap menerkam mangsa serta mengoyak-ngoyak harga diri dan martabat bangsa dengan menginjak-injak kedaulatan Negara. Kucing investasi yang hanya mengeruk keuntungan besar dan menutup rapat pundi-pundi yang sengaja disimpan di luar negeri.  PKS yang menolak mungkin akan kalah telak. Akan tetapi sesungguhnya tidak ada kata kalah selama masih gigih untuk berjuang. Menjadi sunnatullah bahwa kegigihan berjuang itu cepat atau lambat akan memetik hasil. Hukumnya adalah bahwa kejayaan itu akan dipergilirkan. Semoga tetap istiqamah.  Jangan menjadi Partai plintat-plintut penjilat pantat penguasa. Memperebutkan hanya jabatan Menteri yang kursinya semakin reyot. Bersandar pada batang yang rapuh akan membuat penyandar jatuh.  Pengabdi kekuasaan selalu merasa kuat dalam menduduki singgasana, padahal sesungguhnya cukup dengan satu sentuhan saja singgasana itu akan roboh. Sentuhan pada ketepatan ruang dan momentum nya.  Mari kita dukung penolakan pindah Ibukota Negara dan dukung pula langkah melawan ambisi oligarkhi. Stop penggerusan dana rakyat yang dipakai sia-sia untuk proyek yang  bakal mangkrak.  PKS berjuang di Parlemen. Bantu PKS dan Partai/Fraksi penolak pindah Ibukota Negara. Dukung anggota Dewan yang masih memiliki pandangan sehat. Dorong untuk semakin banyak anggota Dewan yang benar-benar berbuat untuk kepentingan rakyat. Bukan yang berputar-putar hanya dalam usaha untuk menggemukkan diri dan partainya saja. (*)