OPINI

Mensos Risma Salah Jabatan, Dia Bagus Pimpin Bakamla, BNN, atau Satpol PP

By Asyari Usman KELIHATANNYA Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak memahami keinginan Tri Rismaharini. Beliau ini tampaknya lebih cocok memimpin lembaga atau instansi yang lingkup tugasnya keras-keras. Misalnya, Bakamla (Badan Keamanan Laut), BNN (Badan Narkotika Nasional), atau bahkan Satpol PP. Kecocokan jabatan ini terlihat dari karakter Bu Mensos yang telah ditunjukkannya sejak duduk sebagai walikota Surabaya. Watak utama Bu Risma adalah marah-marah. Terutama di depan kamera. Terakhir, Risma mengamuk di tengah rapat dengan pemprov Gorontalo, beberapa hari lalu (1/10/2021). Seorang pemdamping penyaluran Bansos, entah bagaimana, mengatakan bahwa Kemensos menghapus data Bansos yang kemudian menyebabkan distribusi tak tepat sasaran. Risma langsung naik pitam. Dan mengucapkan “Tak tembak kamu, ya!” (Saya tembak kamu, ya!). Mungkin Risma setengah bercanda soal “Tak tembak kamu, ya!”. Tetapi, bisa juga serius. Nah, kalau serius dan Risma kebetulan sedang pegang pistol atau AK-47, RPG, dlsb, tentu tak terbayangkan peristiwa yang akan terjadi. Bisa selesai semua peserta rapat. Marah bertensi tinggi sudah berkali-kali dipamerkan oleh Bu Risma. Tapi, apakah ini tidak baik? Kalau dilihat sepintas memang tidak baik. Karena itu, beliau harus diistirahatkan. Namun, kalau dilihat dari kebutuhan lain pemerintah dalam upaya menegakkan kedaulatan negara, memberantas ancaman bangsa, atau upaya untuk merapikan jalan raya dan pasar, maka sesungguhnya Bu Risma sangat potensial untuk diberi jabatan lain. Bu Risma tak suka duduk sebagai pejabat di belakang meja. Dia tidak nyaman duduk di kantor berjam-jam. Dia tidak bisa diam kalau melihat suasana lalulintas dan pasar yang semrawut. Karena itu, Pak Jokowi perlu segera melakukan perombakan kabinet. Tempatkan Bu Risma sebagai Kepala Bakamla. Instruksikan agar dia segera pergi ke Kepulauan Natuna. Laporan-laporan media menyebutkan banyak sekali kapal ikan China (RRC) ukuran besar mengacak-acak laut utara Natuna. Mereka bagaikan tak menghiraukan kedaulatan Indonesia di sana. Kalau marah-marah Bu Risma disalurkan di laut Natuna dan Laut China Selatan (LCS), dijamin ratusan atau ribuan kapal China dan Vietnam itu akan tunggang-langgang melarikan diri. Sebab, Bu Risma tidak akan sekadar ancam “Tak tembak kamu, ya!” Beliau pastilah akan langsung berondong kapal-kapal pencuri ikan itu. Jabatan keras lainnya untuk beliau adalah Kepala BNN. Ancaman narkoba terhadap bangsa ini sangat menyeramkan. Ada lebih empat juta pemakai. Para Bandar narkoba demikian kuat dan berkuasa. Mereka selalu bisa lolos dalam kejaran. Entah kenapa. Ratusan atau mungkin ribuan oknum penegak hukum terlibat kejahatan narkoba. Bayangkan kalau Bu Risma duduk sebagai Kepala BNN. Pasti bergelimpangan para bandar sabu yang selama ini bebas-lepas merusak bangsa ini. Bu Risma tidak akan ancam-ancam tembak saja. Dia akan hancurkan jaringan narkoba yang terkenal kuat itu. Zero toleransi seperti di Filipina. BNN adalah salah satu penyaluran positif watak marah-marah Bu Risma. Tempat terbaik lainnya untuk Bu Mensos adalah KPK. Di sini pun Bu Risma bisa sangat dahsyat. Kawan-kawan beliau di PDIP pasti akan takut mengikuti jejak Juliari Batubara. Dijamin Bu Risma akan marah-marah ke Jokowi karena KPK dikebiri. Dia juga akan memarahi Bu Mega yang membiarkan UU KPK direvisi oleh DPR, termasuk fraksi PDIP. Ada satu lagi posisi yang juga cocok. Yaitu, kepala Satpol PP. Tapi jangan pula Satpol PP kabupaten/kota. Buatkan Satpol PP internasional. Supaya Bu Risma bisa menutup pasar-pasar yang menjual binatang eksotik (kelelawar, ular, lipan, dll) seperti di Wuhan itu. Yang diduga menjadi sumber virus Covid-19. Di dalam negeri, Bu Risma sebagai kepala Satpol PP akan menertibkan dengan keras para pedagang yang menggunakan badan jalan. Juga membasmi bangunan liar. Tugas ini tidak mudah. Perlu orang yang cepat marah seperti Bu Mensos.[] (Penulis wartawan senior FNN)

Pita Putih di Lengan, Bagai Menyambut Oposan dengan Karpet Merah

Oleh Ady Amar *) PEEMINTAAN Amien Rais pada sahabatnya, Syafii Maarif, pada suatu kesempatan tampaknya bersambut. Permintaan agar Pak Syafii lebih berani bersikap tegas... Istilah Pak Amien, lebih sering benahi hal yang mungkar. Jangan hanya amar ma'ruf saja. Apakah permintaan Pak Amien, itu yang lalu membuat Pak Syafii bersikap, atau memang sikap itu keluar dari dirinya, tanpa kendali orang lain. Bersikap lantaran tidak tahan melihat pegawai KPK dipecat dengan sewenang-wenang. Menanggapi pemecatan 57 pegawai KPK, memaksa Pak Syafii berkomentar yang lebih "nahi mungkar". Ia menyebut, bahwa sebenarnya keputusan untuk melakukan pemecatan terhadap Novel Baswedan cs. itu memang tidak beres sejak awal. Menurutnya, Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) dalam hal ini cuma digunakan alasan saja. Tambahnya, perlakuan terhadap pegawai KPK itu kental dengan nuansa dimensi politik tertentu. Pak Syafii memang tidak sampai meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk bersikap tegas. Mengambil peran yang dipunya, menganulir keputusan pemecatan para pegawai KPK dengan bersandar pada temuan Ombudsman dan Komnas HAM. Ombudsman telah menemukan banyak kecacatan administrasi, serta didapati sejumlah temuan pelanggaran hak asasi manusia oleh Komnas HAM. Entah mengapa Presiden Jokowi tidak bersandar pada temuan dua lembaga kredibel itu. Diamnya itu bisa dibaca, ia bersepakat dengan pimpinan KPK dengan langkah pemecatan itu. Meski tidak sampai mendesak Presiden Jokowi, setidaknya Pak Syafii telah bersikap, bahwa ada ketidakadilan dalam proses pemecatan pegawai KPK, dan itu sarat politik. Tanggapannya itu sudah cukup menjelaskan sikap beliau ada di mana. Jangan meminta berlebih pada Pak Syafii. Skenario Tuhan Nafsu pimpinan KPK menyingkirkan mereka, itu bisa terlihat dengan jadwal pemecatan yang semula berakhir tanggal 1 November, dimajukan tanggal 30 September 2021. Tanggal dan bulan pilihan Firli Bahuri, Ketua KPK dan komisioner lainnya pada tanggal 30 September, mengingatkan pada peristiwa kelam mengerikan, peristiwa G30S/PKI. Peristiwa dibantainya 7 Jenderal dan 1 perwira oleh PKI. Tampaknya mereka khilaf memakai tanggal dan bulan itu. Atau bisa jadi itu skenario Tuhan, yang menyamakan pemecatan itu dengan peristiwa kelam negeri ini. Pilihan tanggal dan bulan pemecatan itu menegaskan, adanya "pembunuhan" atas mereka yang mendedikasikan diri pada pemberantasan korupsi, yang dibalas dengan pemecatan sewenang-wenang. Meminjam istilah Pak Syafii Maarif, "kental dengan nuansa dimensi politik". Presiden Jokowi memang tidak bersikap atas pemecatan 57 pegawai KPK itu. Tapi dihari akhir tanggal pemecatan, lewat Kapolri ada tawaran pada pegawai KPK yang tidak lulus TWK, yang akan ditampung di Polri sebagai ASN. Itu konon ide murni Presiden Jokowi. Tawaran itu tampaknya belum direspons pegawai KPK, bersedia atau tidaknya mereka dengan tawaran itu. Tawaran itu memang bukan solusi yang mengenakkan. Mereka yang dipecat itu tidak sedang mencari pekerjaan, tapi melawan kesewenang-wenangan pemecatan dengan dalih tidak lulus TWK. Pita Putih di Lengan Pegawai KPK yang dipecat itu mengenakan pitah putih di lengan kiri, dan bunga mawar di tangan sebagai simbol matinya semangat pemberantasan korupsi di Indonesia. Pemandangan itu tampak di hari akhir mereka harus meninggalkan markas KPK. Tragis memang, mereka yang berdiri di garis paling depan dalam upaya pemberantasan korupsi harus tersingkir. Pemandangan menyesakkan tampak saat pegawai KPK yang lulus TWK, melepas kawan yang "dikorbankan" dengan mengharukan. Lambaian tangan tanda perpisahan, dengan suara lirih terucap, "Sampai jumpa teman-teman..." Tampak diantara mereka ada yang menyeka air mata. Mereka yang tersingkir itu sejatinya pahlawan. Mengabdi belasan tahun dengan sarat prestasi, tapi jasanya diakhirkan dengan pemecatan semena-mena. Akal sehat menyebut, mereka memang tidak diinginkan. Muncul rumor, itu kemenangan lobi dari mereka yang ingin melemahkan KPK. Dimulai dari revisi UU KPK, dan berlanjut pada "dibabatnya" pegawai KPK yang bekerja sepenuh hati, dan itu lewat pintu TWK. Mereka yang dipecat itu, pastilah akan tetap konsen bekerja untuk pemberantasan korupsi. Entah dengan cara apa dan di mana mereka akan bergerak. Medan juang pada proyek kebaikan, itu tidaklah hanya dibatasi oleh tembok dalam gedung KPK. Di luar gedung KPK karpet merah dibentangkan, disediakan untuk mereka melangkah dan bahkan menari bersama elemen bangsa lainnya, yang memilih berseberangan sebagai penyeimbang pemerintah pada kebijakan-kebijakan yang dibuat. Itu setelah parlemen bersetubuh erat dengan kekuasaan, sulit bisa diharapkan fungsi kontrolnya menajam. Kelompok penyeimbang, biasa orang menyebut oposan, seolah mendapat amunisi dengan hadirnya 57 pegawai KPK yang terzalimi. Berharap mampu menggerakkan kesadaran masyarakat akan hak-haknya. Selamat datang para pahlawan sebenarnya, selamat berjuang di tempat yang lebih luas untuk bersuara apa yang bisa disuarakan, yang suara itu mustahil tersekat, terkekang oleh tembok birokrasi. (*) *) Kolumnis

Risma Perlu Beristirahat ke Pantai

By M Rizal Fadillah TIDAK bisa berubah karakter nih orang sejak menjabat Walikota hingga menjadi Menteri Sosial, marah marah melulu sehingga kegaduhan demi kegaduhan selalu terjadi. Di Bandung marah-marah, di Tangerang marah marah, dan terakhir di Gorontalo marah-marah pula. Rasanya setiap datang ke suatu daerah maka siap siap untuk menerima semprot dan wajah buram Bu Risma. Di Gorontalo aktingnya lebih dahsyat pake tunjuk-tunjuk dan teriak tembak segala, lalu menyuruh keluar bawahannya itu. Gubernur Rusli Habibie tidak dapat menerima sikap Risma yang dinilai kurang adab. Ia keberatan warganya dimaki-maki dan dinistakan. Risma memang keterlaluan. Orang tentu bertanya apakah ini adalah cara mendidik, atau tidak mampu mengendalikan emosi, atau memang sakit ? Untuk kaitan dengan adab hal ini sudah dinilai "su'ul adab" (adab buruk) yang tidak pantas untuk dilakukan oleh seorang pemimpin. Pemimpin seyogyanya arif dan bijaksana. Kehebatan tidak diukur oleh kerasnya teriakan dan panjangnya telunjuk. Kini Risma seperti biasa ramai dikecam publik. Adab kewanitaan, adab sosial, dan adab kepemimpinan dipersoalkan. Jokowi pun didesak untuk memecat pembantunya yang gemar marah-marah ini. Setelah Juliari Batubara menjadi pesakitan di Lapas karena kasus korupsi kini penggantinya didesak agar segera out. Kalau Presiden diam saja atau tidak mereaksi atas kekecewaan dan desakan publik ini, maka pilihan menjadi pecat Risma atau pecat Jokowi. Dahulu rekor kepemimpinan marah marah dipegang Ahok, kini nampaknya Risma mampu memecahkannya. Dalam ilmu kesehatan marah meledak-ledak adalah ciri dari gangguan mental. Bisa stress atau depresi. Nah Risma perlu menenangkan fikiran sejenak, Presiden Jokowi hendaknya menganjurkan agar Risma untuk berekreasi ke pantai atau hiking ke gunung. Lupakan Bansos dulu. Berfoto-foto selfi lah. Itu jika tidak mampu untuk memecat Menteri dari PDIP tersebut. Akan tetapi sebenarnya rakyat akan lebih bahagia jika memang Risma segera dirumahkan. Berhentikan. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Mengendus Bau Amis Komunis

Oleh: Yusuf Blegur Jangan sekali-sekali melupakan sejarah". Saat membahas dinamika politik dan pemerintahan, aksioma itu kerap terdengar melintasi waktu dan generasi. Bangsa yang besar adalah bangsa yang mau belajar dari sejarah dan menghargai para pahlawannya. Menjadi pertanyaan penting dan mendasar bagi negara dan bangsa ini. Bagaimana menyikapi sejarah yang penuh kontroversi dan catatan hitam putih para pelakunya?. Pada bagian dan sisi sejarah yang mana, rakyat dapat bersandar dan berpijak?. Dapatkah obyektifitas terlepas fakta baik dan buruk yang menyertainya, dapat diungkap dengan jujur?. Sepanjang kelahiran dan berdirinya Republik Indonesia, negara seakan tidak berdaya bahkan untuk sekedar menulis dan merangkai sejarah berdasarkan kenyataan yang sebenar-benarnya terjadi. Rakyat dari generasi ke generasi, tidak pernah mengenyam kemurnian sejarah. Penulisan dan pemahaman sejarah selama ini, sangat ditentukan oleh selera dan kepentingan kekuasaan yang silih berganti. Alhasil, banyak peristiwa dan tema-tema penting bersejarah menjadi pasar raya tafsir bagi rakyat pada umumnya dan generasi berikut khususnya. Penyusunan dokumentasi sejarah menjadi sangat penting, tak kalah hebat dengan penguasaan ekonomi, politik dan hukum bagi suatu pemerintahan. Selain menentukan arah perjalanan bangsa, rekayasa sejarah mutlak dibutuhkan kekuasaan untuk menjadi tafsir dan sejarah yang menguntungkan rezim kekuasaan tertentu usai melewati jamannya. Selain mengelola kehidupan negara dan rakyatnya, serta membentuk nilai-nilai peradaban. Kekuasaan atau suatu pemerintahan tidak bisa mengabaikan kemasan dari rangkaian perilaku dan peristiwa penting yang ditorehkannya. Sebagaimana ungkapan yang terkenal, "the winner take's it all". Termasuk menulis fakta atau manipulasi sejarah?. Sejarah Hitam Pengaruh dan Kekuatan Ideologi Sebagai sebuah negara bangsa yang majemuk. Indonesia tentu saja tak luput dari pertarungan ideologi dan aliran politik. Bukan saja telah mewarnai sejarah, faham-faham kebangsaan itu masih hadir dan menjadi realitas politik kekinian. Meskipun begitu, betapapun tingginya dinamika internal kebangsaan, Indonesia masih kental dalam pengaruh dan determinasi kekuatan global. Setidaknya terinternalisasi ideologi kapitalisme yang liberalistik dan sosialisme Marxis. Meskipun dunia telah melewati era perang dingin, banyak negara termasuk Indonesia belum mampu keluar dari jejak dan cengkeraman kedua kekuatan dunia tersebut. Runtuhnya Uni Soviet dan kebangkitan komunisme Tiongkok. Dalam wujud yang lebih modern dan populis. Sejatinya kapitalisme dan komunisme masih menjadi pemain yang sama dalam dominasi dan hegemoni tata pergaulan internasional. Indonesia sendiri masih menjadi sub koordinat dari polarisasi kekuatan blok barat dan blok timur yang pernah mengelola pertarungan ideologi pada masa perang dingin. Keadaan dunia hingga saat ini belum mengalami perubahan secara substansi terkait kedua ideologi besar itu, yang berujung pada praktek-praktek kolonialisme dan imperialisme modern. Meski tampil lebih menyesuaikan jaman seiring perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan populasi dunia. Kedua kekuatan yang direpresentasikan oleh persaingan Amerika Serikat dan RRT beserta para sekutunya masing-masing. Kini bertransformasi dalam "proxy war" dan perang asimetris. Indonesia menjadi negara yang tidak luput dari konstelasi itu. Pola pemerintahan yang berada dalam kekuasan oligarki dan borjuasi korporasi skala besar dan transnasional menjadi indikator bahwa negara sudah dalam pengaruh perang penguasaan ekonomi, politik, sosial dan budaya. Perang memperebutkan sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya ekonomi lainnya. Menjadikan kekuatan baik oleh negara maupun "non state". Membatasi ruang gerak rakyat dan menutup akses pada pengambilan kebijakan publik. Rakyat hanya diorientasikan sebagai pasar. Kondisi demikian memaksa pemerintah atau otoritas negara melumpuhkan demokrasi, mengebiri HAM, dan mengusung hukum yang berlandaskan kekuasan otoriterian dan kediktatoran. Kedua ideologi kontemporer dunia itu, bukan hanya menjadikan manusia berorientasi pada materialisme. Lebih dari itu, ideologi-ideologi yang menopang liberalisasi dan sekulerisasi. Telah mencabut akar relius dari setiap pikiran dan jiwa umat manusia. Populasi dunia dipaksa mengikuti satu aturan, dimana hanya ada penguasaan dari yang kuat kepada yang lemah. Superioritas kalangan kaya terhadap kaum miskin. Di pelbagai belahan dunia, hanya ada eksploitasi manusia atas manusia dan eksploitasi bangsa atas bangsa. Menempatkan harta, kekuasan dan kebendaan lainnya, menggantikan posisi Tuhan. Baik kapitalis dan sosialis, bercermin dari pengaruhnya pada proses penyelenggaraan kehidupan rakyat di Indonesia. Kedua ideologi besar itu terbukti gagal membangun negara kesejahteraan. Tidak mampu membangun masyarakat yang dapat memenuhi kemakmuran dan keadilan sosial. Bukannya kesejahteraan umum, kapitalisme yang rakus dan sosialisme yang atheis, justru menciptakan penderitaan dan kesengsaraan panjang rakyat Indonesia. Bercak Darah Komunisme Terlepas polemik sejarah dan kiprah sosialisme marxisme yang bermanifestasikan komunis. Partai Komunis Indonesia (PKI) memang menjadi salah satu kekuatan politik yang berpengaruh bagi Indonesia. Saat masih dalam koloni Belanda dan jepang, maupun setelah kemerdekaan. PKI menjadi entitas politik yang dianggap paling progresif revolusioner. Setidaknya oleh seorang Soekarno yang menjadi pemimpin dan menentukan arah perjalanan bangsa Indonesia, termasuk PKI. Kedekatan bahkan perlindungan Soekarno terhadap PKI. Menjadi hubungan 'simbiosis mutualisme' diantara keduanya. PKI ingin menghidupkan Indonesia dengan ideologinya, sementara Soekarno ingin melanggengkan kekuasaan sembari menggelorakan anti kapitalisme yang menjadi induk kolonialis-imperialisme dunia. Sebuah persentuhan ideologi dan hubungan yang intim antara Soekarno dan PKI. Kemesraan hubungan yang menguatkan ambisi gagasan 'Marcht Vorming' Soekarno. Sayangnya, konspirasi gerakan tanpa kelas berbasis pemikiran Karl Marx dengan nasionalis sekuler. Mendapat reaksi keras dan resistensi dari kekuatan militer khususnya angkatan darat dan kalangan Islam. Terlebih PKI juga pernah memiliki jejak rekam yang sangat buruk dan fatal. Pernah melakukan penghianatan terhadap perjuangan dan tujuan revolusi Indonesia. Memecah organisasi Serikat Islam dengan melahirkan faham komunis dan melakukan pemberontakan tahun 1926. Bahkan saat Indonesia baru saja merdeka dan masih menghadapi kekuatan fasis yang ingin menjajah kembali. PKI melakukan pemberontakan tahun 1948. Gerakan politik dan kekuatan bersenjata yang seperti menikam dari belakang bagi kemerdekaan RI yang baru seumur jagung. Bahkan yang paling memilukan pada saat tragedi G 30 S/PKI Tahun 1965. Apapun motif dan latar belakang peristiwanya. Betapapun peristiwa itu memunculkan multi tafsir dan asumsi konspirasi dibelakangnya. Semua pemberontakan dan penghianatan PKI yang ingin mengganti Panca Sila dan menjadikan Indonesia sebagai negara komunis. Bukan saja polarisasinya mengorbankan elit politik, militer dan pemimpin bangsa. Lebih tragis lagi, gerakan PKI telah memicu konflik, membuat konfigurasi dan irisan politik yang mengakibatkan korban rakyat tak berdosa. PKI menimbulkan permusuhan, konflik dan perpecahan sesama anak bangsa. Bahkan, hingga menyebabkan kematian rakyat yang tak terhingga. Peristiwa 1965 dan relasinya dengan PKI, menjadi salah satu tragedi kemanusiaan paling besar pada abad 20. PKI menjadi partai terlarang dan dianggap negara sebagai bahaya laten. Gerakan ideologi yang tak pernah mati. Tanpa bentuk dan menjalar ke segala lini. Kini, 56 tahun setelah peristiwa tahun 65. Suasana yang jauh dari nilai-nilai Panca Sila dan implementasi UUD 1945. Kehidupan bernegara dan berbangsa yang semakin terpinggirkan dari cita-cita proklamasi kemerdekaan. Rakyat Indonesia seperti kembali kepada masa-masa pertentangan ideologi dan politik seperti menjelang terjadinya peristiwa G 30 S/PKI. Kehidupan rakyat morat-marit, sementara para pemimpin sibuk mengurus jabatan dan memperkaya diri. Disintegrasi sosial semakin menganga lebar. Sikap permusuhan dan kebencian mewarnai hampir seluruh lapisan masyarakat. Penguatan Komunis juga disinyalir dengan maraknya kebijakan politik dan penggunaan aparatur negara yang bertindak represif dan cenderung memusuhi pemimpin dan umat Islam. Kriminalisasi Ulama dan umat Islam terus meningkat sejalan dengan pembiaran tindakan-tindakan penistaan dan penodaan agama Islam oleh kalangan tertentu. Mungkinkan selain kemiskinan dan ketidakadilan yang terus tajam meroket dalam kehidupan masyarakat. Penindasan dan upaya destruktif terhadap pemimpin dan umat Islam, menjadi siklus sejarah yang berulang dari kebangkitan komunis yang sangat anti Islam. Rasanya, seperti Amerika Serikat dan China yang kepentingannya terhadap Indonesia begitu besar. IIdeologi kapitalis dan komunis, keduanya sama-sama menganggap Islam adalah kekuatan yang besar yang menjadi musuh utama dan penghalang tujuan mereka. Jika saja para komprador dan agen kapitalis-komunis itu ada di Indonesia. Terutama ketika mereka berwujud politisi, birokrat, pengusaha bahkan sebagai ulama sekalipun. Mereka semua akan berkata tidak menginginkan populisme Islam berkembang luas. Mereka akan menyuruh ketaatan pada konstitusi ketimbang syariat Islam. Islam akan dianggap bertentangan dengan Pancasila dan sebagai penghambat kemajuan negara. Mereka akan menyuruh menjadi warga negara yang baik pada negara daripada mengamalkan nilai-nilai Islam. Mereka akan terus membangkitkan bagaimana rakyat hidup memisah relasi negara dari agama. Tentu saja dengan terus-menerus melakukan penangkalan aqidah umat Islam. Menyelimuti pikiran dan jiwa umat Islam dengan liberalisasi dan sekulerisasi. Upaya deislamisasi semakin gencar dan dirancang secara terstruktur, sistemik dan masif. Semua fenomena itu cepat atau lambat akan menjadi triger dan melahirkan perlawanan atau mungkin pemberontakan yang lebih hebat lagi. Akankan Indonesia kembali ke titik nadir seperti pada periode kelam dan hitam sebelumnya?. Mungkinkah akan ada tragedi kemanusiaan dan banjir darah yang lebih besar lagi?. Saatnya membuka mata hati dan pikiran. Sembari mengendus bau amis komunis. Penulis, Pegiat Sosial dan Aktifis Yayasan Human Luhur Berdikari.

Anies Baswedan dan Pemimpin Otentik

Oleh: Abdurrahman Syebubakar MASALAH utama yang mendera bangsa Indonesia tidak terletak pada tataran teknis-teknokratis tatakelola negara. Tetapi, lebih soal kelembagaan politik ekstraktif yang bersekongkol dengan pony capitalism (kapitalisme palsu), meminjam istilah Joseph Stiglitz (2015). Hasil persilangannya menjadi lahan subur oligarki - pola persekongkolan jahat antara penguasa dan pemodal, untuk menguasai sumberdaya negara. Seperti yang diungkap Jeffrey Winters, seorang Indonesianis dan teoritikus oligarki ternama asal Amerika Serikat, para oligark lah yang paling berkuasa di Indonesia karena memiliki uang yang lentur dan serbaguna. Modal finansial yang mereka miliki dapat dimanisfestasikan ke dalam bentuk-bentuk kekuasaan lainnya, seperti jual beli jabatan dan produk hukum-politik. Para oligark ini sangat ekstraktif, menguasai dan membiayai partai politik, media massa, perguruan tinggi, think-tank, ormas, lembaga keagamaan, dan lain lain. Monopoli penguasaan sumberdaya ekonomi dan politik berakibat pada meningkatnya ketimpangan dan kemiskinan multidimensi (sosial, ekonomi dan politik). Ketiga dimensi ketimpangan dan kemiskinan ini saling mempengaruhi secara negatif, seperti lingkaran setan. Alhasil, dari waktu ke waktu, yang terjadi bukan berkurangnya tingkat kemiskinan dan ketimpangan, tetapi pemiskinan dan peminggiran rakyat kecil. Ratusan juta penduduk miskin dan tidak mampu makin menderita dengan kondisi ketimpangan yang sangat akut, di mana segelintir orang super kaya menguasai kekayaan negara hampir secara mutlak. Rakyat kecil makin tidak berdaya di hadapan para pengambil kebijakan dan pemodal, dan makin tersisih dari proses politik. Untuk mengatasi berbagai tantangan tersebut, dibutuhkan pemimpin otentik, yang tidak saja kompeten pada tataran teknis operasional. Tetapi yang jauh lebih penting, memiliki visi alternatif, dan mampu menerjemahkan visi tersebut ke dalam pilihan kebijakan yang tepat. Selain itu, tipe pemimpin otentik berbekal tekad dan keberanian politik yang kuat untuk membongkar sistem ekstraktif yang tidak berkeadilan, dan melawan anasir-anasir jahat di balik sistem tersebut. Serta mampu memandu rakyat meninggalkan sistem politik ektsraktif menuju demokrasi substantif dan bersenyawa dengan paradigma pembangunan manusia, yang menempatkan rakyat sebagai agen pembangunan. Lantas, pertanyaannya, siapa sosok yang memenuhi semua atribut pemimpin otentik, atau setidaknya, paling dekat dengan tipe pemimpin ideal tersebut? Tanpa menegasikan keterbatasannya, dan dalam konteks perbandingan diantara sejumlah “aspiran capres” yang ada saat ini, jawabannya adalah Anies Baswedan. Jejak intelektual dan kepemimpinan Anies dapat ditelusuri jauh ke belakang, sejak remaja. Saat di SMA, pada 1985, Anies terpilih sebagai Ketua OSIS se-Indonesia. Di perguruan tinggi, ia menjadi Ketua Umum Senat UGM pada 1992, dengan sejumlah gebrakan, diantaranya menginisiasi gerakan mahasiswa berbasis riset. Ketika berusia 38 tahun, pada 15 Mei 2007, Anies yang baru merampungkan studi doktoralnya di Northern Illinois University AS dilantik menjadi rektor Universitas Paramadina, dimana ia menginisiasi Gerakan Indonesia Mengajar yang melibatkan anak-anak muda untuk mengajar di pelosok daerah. Anies tercatat sebagai rektor termuda se-Indonesia kala itu. Pada 2008, Anies masuk dalam 100 Intelektual Publik Dunia versi Majalah Foreign Policy. Ia disejajarkan dengan intelektual dunia paling berpengaruh abad ini, Noam Chomsky dan para penerima hadiah nobel seperti Al Gore, Muhammad Yunus, dan Amartya Sen. Nama Anies juga hadir dalam daftar Young Global Leaders pada Februari 2009 yang dianugerahkan oleh World Economic Forum. Setahun kemudian, pada April 2010, Majalah Foresight yang terbit di Jepang memasukkan Anies sebagai salah satu dari 20 tokoh pembawa perubahan dunia untuk 20 tahun ke depan, bersama sejumlah pemimpin dunia termasuk Vladimir Putin (Perdana Menteri Rusia), Hugo Chavez (Mantan Presiden Venezuela), dan David Miliband (Menteri Luar Negeri Inggris). Di tahun yang sama, Anies menyabet sejumlah penghargaan bergengsi, diantaranya, dari The Association of Social and Economic Solidarity with Pacific Countries (PASIAD) pemerintah Turki atas prakarsanya melahirkan Gerakan Indonesia Mengajar, Penghargaan Yasuhiro Nakasone dari Mantan Perdana Menteri Jepang Yasuhiro Nakasone yang diberikan kepada tokoh-tokoh visioner yang memiliki daya dobrak untuk abad 21, dan penghargaan dari The Royal Islamic Strategic Studies Center Jordania, sebagai 500 tokoh Muslim paling berpengaruh di dunia. Masih panjang daftar penghargaan dan beasiswa yang diterima Anies, baik dari dalam maupun luar negeri, serta posisi prestisius yang diembannya sebelum menjabat Mendikbud pada pemerintahan Jokowi-JK. Kendati berhasil melahirkan berbagai terobosan untuk memajukan dunia pendidikan, Anies diberhentikan oleh Presiden Jokowi karena alasan politis. Namun perjalanan kepemimpinan politik Anies tidak berhenti. Pada 2017, ia terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta setelah menang secara dramatis, melawan cagub petahana Ahok, yang didukung episenterum kekuasaan dan para taipan. Sejak memimpin Ibukota, Anies mampu mendemonstrasikan model kepemimpinan berbasis ilmu pengetahuan (knowledge-based leadership) bercorak transformatif dan demokratis, di atas fondasi karakter intelektual, karakter moral dan karakter kinerja. Tanpa mengesampingkan adanya persoalan klasik Ibukota, seperti banjir dan polusi udara, di bawah kepemimpinan Anies, dengan berbagai terobosan kebijakan dan strategi pembangunan, kondisi Jakarta jauh lebih baik, dibandingkan era sebelumnya. Secara fisik, Jakarta berubah drastis, makin tertata dan indah. Sarana publik seperti jalan raya dengan Jembatan Penyeberangan Orang (JPO), halte, dan trotoar, dibuat semenarik dan senyaman mungkin bagi seluruh lapisan masyarakat, termasuk kelompok lansia, dan penyandang disabilitas. Taman kota dan tempat bermain anak bertaburan di berbagai penjuru ibukota. Selain itu, dengan spirit kolaborasi dan menghadirkan kesetaraan serta kebersamaan, transportasi umum di Ibukota makin terintegrasi, baik secara fisik, maupun sistem pembayaran. Stasiun kereta api telah terhubung dengan sejumlah moda transportasi publik termasuk MRT, Transjakarta, Jaklingko, bajaj, ojek pangkalan dan ojek online.Sehingga, masyarakat memilih menggunakan transportasi umum secara rasional karena terjangkau baik rute, biaya, maupun waktu tempuh. Sebagai wujud kepedulian terhadap lingkungan, pemprov DKI Jakarta menyediakan Jalur Speda yang hingga kini, mencapai sekitar 96 km, dan akan terus ditambah hingga lebih dari 170 km pada akhir 2021. Kombinasi sarana publik yang aman dan nyaman dengan transportasi umum yang terintegrasi dan ramah lingkungan berkontribusi terhadap berkurangnya tingkat kemacetan di Jakarta. Berdasarkan Indeks Lalu Lintas yang dirilis TomTom, pada tahun 2017, Jakarta menempati peringkat ke-4 sebagai kota termacet di dunia, kemudian turun ke posisi 7 (2018), posisi 10 (2019), dan posisi 31 (2020). Yang sangat penting, seperti terungkap dalam data BPS (2021), kualitas demokrasi Jakarta meningkat tajam selama 4 tahun terakhir, dengan indeks demokrasi yang sangat tinggi mencapai skor 89,21, jauh melampaui indeks demokrasi nasional sebesar 73,66. Indeks pembangunan manusia (sebagai gabungan indikator ekonomi, pendidikan dan kesehatan) juga tumbuh positif, mencapai 80,77 pada 2020, yang sekaligus menjadikan DKI Jakarta sebagai satu-satunya provinsi dengan status capaian pembangunan manusia yang sangat tinggi (IPM ≥ 80). Pada saat yang sama, tingkat kemiskinan di Jakarta terus berkurang sebelum COVID-19. Proporsi penduduk miskin di Jakarta pada September 2019 hanya 3.4 persen, turun dari 3.8 persen pada 2017. Lebih jauh, tekad dan keberanian politik Anies melawan super taipan, dengan menghentikan proyek reklamasi 17 pulau di Teluk Jakarta yang bernilai 500 triliun, patut diacungi jempol. Sebab, para super taipan ini merupakan agen sentral oligarki, yang mengatur jalannya pusat kekuasaan ekonomi politik dan menjadi induk berbagai masalah struktural yang dihadapi bangsa Indonesia. Dengan berbagai capaian kuantitatif dan kualitatif tersebut, Anies tidak saja melampaui janji-janji politiknya, tetapi juga menunjukkan kualitas kepemimpinan otentik, yang menjadi kebutuhan mendesak bagi bangsa Indonesia. Dan karena kinerja gemilang serta reputasi intelektualitas dan integritasnya, Anies bertabur penghargaan bergengsi dari dalam dan luar negeri selama memimpin Ibukota. *) Ketua Dewan Pengurus IDe

Penguatan DPD Mendorong Amandemen Komprehensif

Sebagai anak kandung reformasi, DPD lahir dari komitmen kita membangun demokrasi yang lebih baik, meninggalkan sentralisme pembangunan menuju desentralisme. Sebagai kanal aspirasi daerah, DPD diharapkan berperan optimal memperjuangkan kepentingan daerah. Oleh: Tamsil Linrung TANGGAL 1 Oktober 2021, tepat 17 tahun usia Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sejuta ungkapan filosofis biasanya diurai menyambut usia ini. Tapi, kita tak butuh itu. Yang lebih urgen dilakukan adalah bagaimana merefleksi sejarah perjalanan DPD demi pembenahan fundamental. Kita tak akan pernah berubah menjadi lebih baik bila tidak menyadari jatidiri sendiri. Sepanjang hayatnya, DPD seperti ada dan tiada. DPD ada karena eksistensi lembaganya. DPD tiada karena lembaga legislatif ini justru tidak terkoneksi pada ranah pengambilan keputusan legislasi nasional. Ini tragis, lebih dari sekadar menyedihkan. Bagaimana mungkin sebuah lembaga tinggi negara tidak memiliki otoritas terhadap fungsi dasarnya? DPD mengembang amanah demokrasi. Lembaga ini adalah simbol kekuatan otonomi daerah, kekuatan demokratisasi kita. Di sanalah desentralisasi mekar. Di sanalah kepentingan daerah diperjuangkan agar terakomodir dalam setiap pengambilan keputusan dan kebijakan nasional. Namun, di sana pula relasi ketatangeraan kita terlihat pincang. Sebagai lembaga legislatif, DPD wajib mengembang optimalisasi check and balances, di samping menjalankan fungsi-fungsi legislasi. Namun, sulit mengoptimalkan mekanisme check and balances ini dalam situasi kewenangan yang tidak sebanding dengan kewenangan lembaga tinggi negara lainnya. Untuk membenahinya, tak ada jalan lain kecuali berpulang kepada perubahan konstitusi. Kita tahu, konstitusi bukan kitab suci yang final dan mengikat. Terbuka peluang mengoreksinya demi perbaikan bangsa ke depan. Untuk kepentingan itu, kelompok DPD di MPR tengah menfinalisasi usul perubahan kelima UUD 1945. Sejumlah gagasan yang mengedepan, muncul sebagai respon DPD atas kebutuhan kontitusional negara yang semakin kompleks, selain menjawab tuntutan masyarakat daerah yang ingin DPD diperkuat. Kelompok DPD berpendapat, amandemen UUD 1945 sebaiknya komprehensif, tidak parsial. Kelompok DPD menyadari persis kelemahan DPD. Namun, perbaikan konstitusi harus memotret kelemahan-kelemahan konstitusionalitas kita secara luas. Setidaknya ada empat hal yang akan diusulkan. Pertama, revitalisasi Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Pasca empat kali amandemen, Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) ditiadakan. Peniadaan tersebut mengakibatkan pelaksanaan pembangunan tidak lagi sepenuhnya dalam koridor arah dan visi besar bangsa. UU Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang disahkan guna mengatasi bolong itu, nyatanya tidak mampu mengintegrasi pembangunan secara nasional. Pembangunan yang dilakukan lebih dominan ditentukan oleh visi dan misi presiden yang, sayangnya, seringkali politis. Kedua, penataan kewenangan MPR. Gagasan ini bukan ide baru karena telah muncul dalam rekomendasi MPR 2014 – 2019. Namun, saat ini penguatan kewenangan MPR menemukan momentum paling tepat sebagai konsekuensi usulan PPHN di atas. Bila kita bersepakat mengatur PPHN dalam UUD 1945, tentu konsekuensi logisnya harus ada lembaga negara yang berwenang menyusun dan menetapkan PPHN. Di sinilah urgensi penambahan kewenangan MPR, yakni menetapkan haluan negara yang akan menjadi pedoman pembangunan bagi penyelenggara negara dalam merencanakan dan merealisasikan pembangunan. Ketiga, penataan kewenangan DPD. Sebagai anak kandung reformasi, DPD lahir dari komitmen kita membangun demokrasi yang lebih baik, meninggalkan sentralisme pembangunan menuju desentralisme. Sebagai kanal aspirasi daerah, DPD diharapkan berperan optimal memperjuangkan kepentingan daerah. Selama ini DPD berusaha bekerja sebaik mungkin di tengah belenggu kewenangan yang terbatas. Bila kewenangan ini dikuatkan secara proporsional, upaya-upaya konstitusionalitas DPD dipastikan akan lebih baik. Lagi pula, kewenangan yang berimbang dengan kedudukan dan fungsi DPD adalah hak konstitusional DPD yang semestinya tidak dikebiri oleh konstitusi. Penguatan fungsi dan kewenangan DPD semakin menemukan urgensinya bila dikaitkan dengan gagasan PPHN. Sebagai anggota MPR, kedudukan DPD setara dengan DPR. Namun fungsi dan kewenangannya yang tidak berimbang dapat mereduksi dialektika politik yang sehat antara DPR dengan DPD. Oleh karena itu, revitalisasi PPHN harus disertai penguatan kewenangan DPD, agar check and balances menjadi kuat dalam perumusan, perencanaan, dan implementasi PPHN. Juga agar kepentingan daerah dapat diperjuangkan untuk sebesar-besarnya diakomodir dalam PPHN. Keempat, calon presiden dan wakil presiden perseorangan. Selama ini pengusung calon presiden dan wakil presiden mutlak melalui partai politik. Tidak tersedia mekanisme atau saluran politik lain bagi anak bangsa yang memiliki potensi namun tertolak oleh partai politik. Kita tahu, musabab penolakan itu bisa bermacam-macam. Ya politik, pragmatisme, dan lain-lain. Situasi itu jelas mencedarai demokrasi, memancung prinsip dasar perwujudan hak politik rakyat dan asas kedaulatan rakyat. Presiden perseorangan adalah upaya DPD membuka keran seluas-luasnya bagi partisipasi politik rakyat untuk berkompetisi dan berkontribusi bagi kemajuan bangsa. Memang, yang harus dirumuskan kemudian adalah syarat calon presiden independen. Bobot, kualifikasi, dan prosedurnya harus sebanding dengan syarat calon presiden yang diusung parpol. Misalnya saja, bila calon presiden partai atau gabungan partai otomatis telah mendapat rekomendasi dan jaminan parpol, maka untuk sebanding dengan syarat ini, calon presiden independen harus melalui fit and proper test. Soal-soal teknis seperti ini bisa diatur di tingkat UU di kemudian hari. Empat substansi usul perubahan konstitusi tersebut adalah yang berkembang di DPD hingga saat ini. Keseluruhannya adalah materi muatan konstitusi karena terkait dengan penataan kelembagaan negara, baik wewenang maupun pengisian jabatan. Kelompok DPD sebagai bagian dari MPR, secara konstitusional memiliki wewenang mengajukannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 37 UUD NRI 1945. Kini, yang menjadi pekerjaan rumah bagi Kelompok DPD adalah menggalang penambahan dukungan guna memenuhi syarat minimal pengajuan usul amandemen UUD 1945. Ini akan diperjuangkan demi persembahan kami untuk ulang tahun ke-17 DPD RI. Dirgahayu. Penulis adalah Ketua Kelompok DPD di MPR

Mewaspadai Komunis Dalam Menunggangi Kebhinnekaan

By M Rizal Fadillah KEBHINNEKAAN dalam arti keragaman itu adalah sunnatullah baik bersuku-suku, berbangsa-bangsa, bahasa, hingga agama dan ideologi. Keragaman yang ada di Negara Kesatuan Republik Indonesia sudah diterima dan tidak menjadi permasalahan. Komunis adalah salah satu faham atau ideologi yang mewarnai keragaman itu. Hanya saja penting untuk dicatat bahwa komunis merupakan faham atau ideologi sesat, merusak, dan membahayakan. Kategorinya adalah munkar dan kriminal yang harus dicegah dan ditindak sebagaimana kemungkaran lainnya seperti LGBT, korupsi, mencuri, atau membunuh. Tiga karakter Komunis yang bertentangan dengan nilai-nilai Agama dan juga Pancasila adalah pertama, menyembah berhala materi faham yang semata duniawi dan mempertuhankan benda. Kedua, nir-moral tidak berbasis nilai, bahkan menghalalkan segala cara. Ketiga gemar berkonflik karena akar filosofinya adalah dialektika, menciptakan masyarakat tanpa kelas melalui konflik antar kelas. Kebhinekaan dalam pandangan Komunis itu tidak berujung "tunggal Ika" tetapi memaksakan kehendak dan selalu ingin menguasai. Sebagai entitas politik, Komunis tidak pernah berkontribusi untuk mewujudkan tujuan Negara sebagaimana dalam pembukaan UUD 1945. Sejarah mencatat PKI selalu berontak dan menumpahkan darah baik pada tahun 1948, maupun tahun 1965. Bahkan sejak tahun 1926. Karena merusaknya faham Komunis ini maka organisasi PKI dan pengembangan faham Marxisme/Leninisme dan Komunisme menjadi terlarang (Tap MPRS No XXV/MPRS/1966). Bahkan terancam pidana untuk penyebarannya (UU No 27 tahun 1999). Terma kebhinekaan menjadi alasan aktivis PKI dan Komunis bersemangat untuk mencabut kedua aturan penting di atas. Menurutnya negara RI menjamin perbedaan dan melindungi HAM. Terjadi salah kaprah dalam memaknai HAM. Gerakan Komunis justru merupakan pelanggaran HAM. Mengepak sayap kebhinekaan tanpa kejelasan arah akan sangat berbahaya, apalagi mengepakkan sayap untuk melindungi Komunisme. Pertama, doktrin "revolusi mental" yang dikembangkan sebagai doktrin "cuci otak" untuk menjauhkan agama. Sejak Hegel, Marx, Chen Duxiu hingga Aidit. Mao Ze Dong mengkombinasikan dengan "revolusi kebudayaan". Kedua, mengepakkan sayap hingga jauh ke RRC dan bersahabat erat dengan negara hegemonik RRC yang bercita-cita membangun imperium baru di negara "jajahan" adalah keluru. Indonesia lupa pada sejarah kelam peran RRC dalam mendukung PKI. Ketiga, semburan fitnah dengan isu radikalisme, intoleran, anti kebhinekaan yang ditujukan kepada umat beragama khususnya umat Islam dilakukan untuk menutupi kejahatan dirinya. Membalikkan sejarah seolah PKI adalah korban. Perlu rekonsiliasi dan pengakuan eksistensi. Kini rakyat Indonesia khususnya umat Islam harus memiliki alertness dan awareness terhadap eskalasi komunisme dan bangkitnya PKI baru. Langkah umat dan masyarakat yang utama adalah mempertahankan Tap MPRS XXV/MPRS/1966 dan penegakkan UU No 27 tahun 1999, sosialisasi komunis sebagai hakekat dari ancaman tantangan hambatan dan gangguan dan (ATHG), serta waspada pada pola semburan fitnah umat yang dituduh radikal, intoleran dan anti kebhinekaan. Di atas semua itu gagalnya G 30 S PKI adalah karena "hands of God" kekuasaan Ilahi, padahal PKI telah mampu meneror rakyat dan menyusup di semua lini termasuk TNI dan Istana. Sejarah itu tidak boleh berulang. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Jika Sudah Divaksin Tidak Perlu Swab Lagi!

Oleh: Mochamad Toha Data hingga Sabtu, 28 Agustus 2021, jumlah warga Indonesia yang sudah divaksinasi COVID-19 dengan dosis lengkap (dua kali suntikan) sebanyak 34.702.821 orang. Jumlah tersebut setelah ada tambahan 581.618 orang divaksinasi pada Sabtu itu. Data Satuan Tugas Penanganan Covid-19 yang diterima ANTARA pada hari itu menyebut sebanyak 61.222.258 orang telah menjalani vaksinasi Covid-19 dosis pertama atau bertambah sebanyak 786.703 orang. Pemerintah Indonesia menargetkan sasaran vaksinasi Covid-19 sebanyak 208.265.720 orang. Meski telah mendapat vaksin Covid-19, masyarakat diminta untuk tetap disiplin melaksanakan protokol kesehatan untuk mencegah penularan dan penyebaran Covid-19. Prokes itu mencakup memakai masker, mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir, menjaga jarak, menghindari kerumunan dan juga mengurangi mobilitas. Kasus positif Covid-19 di Indonesia bertambah 0.050 orang, sehingga total 4.066.404 orang sampai 28 Agustus 2021 lalu. Kasus sembuh Covid-19 mengalami penambahan 18.594 orang menjadi 3.707.850 orang. Sedangkan kasus meninggal akibat Covid-19 bertambah 591 orang menjadi 131.372 orang. Indonesia masuk peringkat keempat dunia dari jumlah orang yang divaksin Covid-19. Setidaknya, sudah 33 persen penduduk dunia divaksin Covid-19. Paling banyak adalah India yang memvaksin penduduknya. Setidaknya, data per 26 Agustus 2021 di India sudah ada 468 juta orang yang menerima vaksinasi Covid-19. Paling tidak sudah di sana sudah ada 136,2 juta warga yang sudah mendapatkan dosis lengkap Covid-19. Lalu, masih ada 331 juta yang baru dapat suntikan pertama berdasarkan data yang dihimpun Our World Data. Setelah India ada Amerika Serikat yang sudah ada 202,9 juta penduduk yang divaksin. Disusul dengan Brasil yang mampu memvaksin 132 juta orang penduduknya. Posisi Indonesia ada di peringkat empat dengan 59,4 juta penduduk sudah divaksin per data 26 Agustus 2021. Data ini tentu bersifat dinamis. Ini mengingat terus terjadi dinamika dalam penyuntikkan vaksin Covid-19. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin memerkirakan vaksinasi Covid-19 tembus 300 juta suntikan dosis pertama akhir 2021. Hal ini diperhitungkan dari laju kecepatan vaksinasi seiring dengan semakin banyaknya pasokan vaksin yang tersedia. “Perkiraan kami di akhir tahun (2021), mungkin bisa mencapai di angka sekitar 300 jutaan suntikan (dosis 1),” ujar Budi pada saat rapat bersama anggota DPR RI pada Rabu, 25 Agustus 2021. Selanjutnya, “Bergerak di angka 400 juta, sesudah ditambah target anak-anak usia 12-17 tahun, yang mana kita bisa selesaikan sekitar Januari atau Februari 2022,” lanjut Menkes Budi. Program vaksinasi nasional sejak 13 Januari 2021 terus berjalan demi mengejar target 208 juta populasi Indonesia. Target dalam jangka dekat sudah ada 100 juta suntikan hingga akhir 2021. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut, total anggaran program vaksinasi yang meliputi pengadaan, perawatan, insentif tenaga kerja hingga testing dan tracing Covid-19 mencapai Rp 130,03 triliun. “Total anggaran vaksinasi dan perawatan serta testing tracing Covid-19 itu tahun 2021 ini adalah Rp130,03 triliun,” katanya dalam akun instagram pribadinya @smindrawati di Jakarta, seperti dilansir Antara, Rabu (31/03/ 2021 21:38 WIB). Sri Mulyani merinci anggaran Rp130,03 triliun itu meliputi pengadaan dan program vaksin Covid-19 Rp58,18 triliun, testing dan tracing Rp9,91 triliun, serta perawatan (therapeutic) dan insentif nakes Rp61,94 triliun. Untuk anggaran kesehatan pada 2022 fokus guna mendukung penanganan pandemi Covid-19, terutama mempercepat vaksinasi Covid-19. Anggaran kesehatan pada Rancangan APBN 2022 yaitu sebesar Rp255,3 triliun. Itu setara dengan 9,4 persen dari total belanja negara. “Hal ini jauh lebih tinggi dari amanat Undang-Undang sebesar 5 persen dari APBN,” kata Sri Mulyani dalam Rapat Paripurna DPR RI Ke-3 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2021-2022 di Kompleks Parlemen, Senayan, Selasa (24/8/2021). Fokus anggaran itu, lanjutnya, untuk penanganan pandemi Covid-19 dalam bidang kesehatan yang biayanya diperkirakan mencapai Rp115,9 triliun pada tahun depan. Anggaran itu akan mendanai program vaksinasi, 3T (testing, tracing, dan treatment), klaim biaya perawatan pasien, obat-obatan, dan insentif tenaga kesehatan. Di antara alokasi itu, Sri Mulyani menyatakan bahwa vaksinasi Covid-19 menjadi fokus pemerintah melalui berbagai upaya akselerasi. Dia mengklaim bahwa per Juni 2021, target vaksinasi 1 juta dosis setiap hari telah tercapai. Hal itu diharapkan dapat berlanjut dan meningkat di 2022. Pemerintah telah meminta bantuan berbagai pihak seperti pemerintah daerah (pemda), TNI/Polri, dan BKKBN untuk mendukung percepatan vaksinasi menuju target kekebalan komunal. Yang menarik, mengapa meski sudah vaksin 2 kali, bagi warga yang akan bepergian selalu wajib tes swab Antigen atau PCR? “Jika sudah divaksin sebetulnya tidak perlu swab dan PCR lagi,” tegas Dr. dr. Hisnindarsyah, SE, MKes, MH, CFEM, dokter di salah satu rumah sakit di Tanjung Pinang. Mungkin itu hanya untuk meyakinkan, memang sedang tidak dalam fase infeksius saja saat dalam perjalanan karena antigen dan PCR hanya uñtuk mengetahui adanya virus atau sisa virus yang ada di dalam tubuh. Tujuannya, “Mungkin untuk meminimalisasi penularan pada lingkungan di sekitar. Ini hanya asumsi saya saja yang berusaha mengikuti cara berpikir mereka,” lanjut Dokter Hisnindarsyah. Selama ini, “Saya belum menemukan alasan ilmiahnya. Menurut saya itu terlalu berlebihan,” tegasnya. Pernahkah Anda membayangkan risiko tes swab hidung yang ternyata bisa menyebabkan cedera? Selama ini kita tidak pernah berpikir akan risikonya bila petugas yang melakukan tes swab dengan pelatihan minimal. Meski masih dianggap aman, tes usap hidung dan nasopharing (tes swab) bukannya tanpa risiko. Menurutnya, individu yang melakukan tes swab dengan pelatihan minimal, mempunyai risiko cedera yang jauh lebih tinggi daripada yang dilakukan oleh nakes terlatih. Apalagi jika tes swab ini dilakukan oleh orang awam, ini sangat beresiko. “Beberapa kasus telah menunjukkan kemungkinan cedera intrakranial ketika tes tidak dilakukan dengan tehnik dan prosedur yang benar,” ungkapnya. Komplikasi yang bisa timbul seperti mulai dari patahnya tangkai swab jika dilakukan oleh orang yang tidak profesional (biasanya oleh perorangan atau mandiri), terjadinya mimisan (epistaksis) atau perdarahan hidung karena cara yang tidak benar atau gangguan menelan. “Bahkan juga dapat beresiko terjadinya kebocoran dari cairan serebrospinal (CSF), ensefalokel, dan meningitis,” lanjut Dokter Hisnindarsyah. Penulis adalah Wartawan FNN.co.id

Ungkit-Mengungkit, Sindir-Menyindir

Oleh Ady Amar MENGUNGKIT bahwa yang lalu pernah diminta bantuan, dan membantunya. Tapi protesnya, kok tega orang yang dibantunya itu justru berbuat tidak semestinya. Tanyanya lagi penuh protes, apa sudah lupa pada bantuan yang diberikan pada saat yang lalu. Mustahil lupa, karena bantuan itu diminta belum setahun lalu. Maka, mengungkit jasa bantuan yang pernah diberikan, itu jadi satu kewajaran. Masa sih bantuan yang pernah diberikan itu dilupakan, dan harus dibalas dengan sikap tidak mengenakkan. Itu seperti menusuk dari belakang oleh kawan yang pernah dibantu. Mengibah saat ingin dibantu, tapi lalu melupakan seolah itu tidak pernah terjadi. Adalah hal biasa jika membantu karena memang patut dibantu, atau membantu karena diminta untuk membantu, itu hal manusiawi. Tapi memang menjadi menyakitkan, jika seseorang yang pernah dibantu tiba-tiba menyerang dan bersekongkol dengan pihak musuh untuk menghabisi. Maka mengungkit, artinya menyampaikan pada khalayak, bahwa sebenarnya yang menyerangnya saat ini, adalah orang yang dulu pernah datang meminta bantuan, dan dibantu sesuai apa yang diharapkan. Semata agar khalayak memahami, agar berhati-hati dengan manusia satu ini. Tidak cukup di situ, tapi tersirat ingin memberi penekanan, bahwa manusia satu ini memang tidak punya empati sedikit pun. Lebih jauh lagi, agar manusia satu ini sebaiknya dijauhi, agar sakitnya "tuh di sini" tidak mengena pada lainnya. Bisa jadi seseorang yang disebut manusia satu ini, kerap melakukan hal demikian. Artinya, mudah lupa pada jasa seseorang, itu seperti sudah jadi tabiatnya. Hanya saja pihak lain tidak mengungkitnya, hanya memendam saja, cari celah untuk membalas jika waktunya tiba. Menohok Yusril Sindir-menyindir para politisi di negeri ini, itu hal yang biasa. Itu cara komunikasi yang tidak langsung menunjuk pada lawan. Tapi berharap yang disasar faham, bahwa sindiran itu ditujukan padanya, bahwa ada hal yang tidak etis dilakukan dan itu menyakitkan. Beberapa bulan lalu mengakui keberadaan Partai Demokrat, bahkan meminta rekom dari Partai Demokrat, yang ditandatangani Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Hari ini malah mempersoalkan produk kongres yang memilih AHY, itu yang disampaikan Jansen Sitindaon lewat akun Twitternya (Senin, 27 September). Lanjutnya, "Saran saya kepada partai-partai lain: hati-hati kepada keluarga ini. Jangan lagi pernah memberi rekom kepada mereka. Nanti ujungnya kalian digugat lagi! Salam." Sindiran itu jelas ditujukan pada Yusril Ihza Mahendra, yang pada bulan Desember 2020, datang menemui AHY. Meminta rekom Partai Demokrat untuk sang anak, Yuri Kamal, yang akan maju pada Pilkada Belitung Timur. Seolah Jansen merasa diri bukan politisi, pura-pura tidak faham pada adagium "tidak ada kawan abadi, yang ada kepentingan abadi". Atau memang ia menyadari dan hanya mengungkit sambil menyindir seorang Yusril, yang meminta rekom Partai Demokrat, tapi tidak lama kemudian justru ia juga yang menggugat AD/ART Partai Demokrat, produk kongres yang memilih AHY. Langkah Yusril Ihza Mahendra saat ini memang mendampingi empat mantan kader Partai Demokrat, sebagai pengacara, mengajukan Judicial Review atas AD/ART Partai Demokrat hasil Kongres ke-5, 2020, ke Mahkamah Agung (MA). Mendapat serangan dari Partai Demokrat seolah jadi pribadi "tidak tahu diri", Yusril pun tidak mau kalah mengungkit, bahwa tanpa dukungannya dulu, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tak akan menjadi presiden. Ungkit Yusril atas jasa Partai Bulan Bintang yang dipimpinnya, yang saat itu berkoalisi dengan Partai Demokrat, SBY bisa maju sebagai Capres dan lalu menjadi Presiden RI ke-6. Ungkitan Yusril yang seolah tanpanya SBY tidak akan jadi Presiden, itu ditampik Dr. Refly Harun, pakar hukum tata negara. Katanya, tanpanya SBY tetap bisa maju sebagai Capres, bisa maju tanpa bantuan PBB. Kursi yang didapat Partai Demokrat sebagai syarat untuk bisa mengajukan calonnya sendiri sekalipun itu sudah memenuhi syarat. Minimal mendapat 21 kursi DPR, seseorang bisa maju sebagai Capres. Bisa maju diajukan sendiri oleh partainya atau bisa maju dengan koalisi. Partai Demokrat mendapat 26 kursi DPR saat itu, artinya jumlah kursi yang didapat sudah lebih dari cukup dari persyaratan yang ada. Maka, ungkitan Yusril itu mengada-ada saja, tidak berdasar. Justru dengan "nebeng" koalisi dengan Partai Demokrat, Yusril dapat keuntungan tersendiri, ia lalu dapat jatah sebagai Menteri Sekretaris Negara (Mensekneg). Hati-hati kepada keluarga ini, sindir Jansen Sitindaon, meski tidak menyebut nama Yusril Ihza Mahendra, tapi itu pastilah ditujukan padanya, yang pernah dibantu meski melupakan, dan bahkan menyerang balik Partai Demokrat. Ungkit mengungkit dan sindir-menyindir pun tampaknya jadi hal yang umum dikalangan politisi. Itu cara lain komunikasi yang dibangun seolah tidak sarkastis, tapi cukup menohok. (*) *) Kolumnis

Kita Bukan Bangsa Keledai

By M Rizal Fadillah KELEDAI (donkey, himar) digambarkan sebagai hewan yang bodoh tapi keras kepala. Kebodohan keledai diungkap oleh penulis Yunani Homer dan Aesop. Untuk bergerak dengan beban berat, keledai dipasangi wortel depan mulutnya. Dibohongi oleh majikannya. Pepatah untuk kebodohannya ialah "a donkey fall in the same hole twice". Bangsa Indonesia telah mengalami pengalaman pemberontakan dan penghianatan PKI dua kali yaitu pada September 1948 dan September 1965. Keduanya berdarah dan biadab. Korban adalah santri ulama dan tentara. PKI senantiasa mencari celah atas kelengahan pemimpin bangsa. Istana yang dapat dipengaruhi dan ditunggangi. Kini geliat terasa kembali meski PKI telah dibubarkan dan dilarang. Mereka sendiri menyatakan bergerak tanpa bentuk. Artinya penggalangan melalui penyusupan di organisasi kemasyarakatan, organisasi politik, birokrasi, istana, maupun TNI-Polri. Para taipan yang menjadi bagian dari oligarkhi patut untuk diwaspadai. Akankah bangsa ini mengalami kembali bencana politik untuk yang ketigakalinya akibat gerak dan aksi kaum Komunis yang abai diwaspadai ? Mungkin saja jika memang antisipasi elemen bangsa ini lemah. Agar tidak menjadi bangsa keledai yang bukan saja dua kali tetapi berulangkali terperosok dalam lubang yang sama, maka perlu upaya antara lain : Pertama, pemahaman sejarah yang harus terus diperkuat terutama untuk generasi muda yang sama sekali tidak mengalami peristiwa kejahatan dan penghianatan PKI. Tayangan film Penghianatan G 30 S PKI itu penting dan konstruktif. Tidak terpengaruh oleh pandangan kaum reaksioner seperti Ilham Aidit (Putera DN Aidit), Effendi Simbolon (kader PDIP) atau Hilmar Farid (Direktur Kebudayaan Kemendikbud ristek) yang menyerang tayangan dan yang menyatakan Hari Kesaktian Pancasila tidak relevan. Ada juga Iman Brotoseno (Direktur Utama TVRI) yang membela Gerwani. Kedua, pertahankan dan jalankan Ketetapan MPRS No XXV/MPRS/1966 yang melarang PKI dan penyebaran faham Marxisme/Leninisme dan Komunisme. Ketetapan ini menegaskan bahwa tidak ada hak hidup untuk PKI dan Komunisme. Kemudian tegakkan UU No 27 tahun 1999 yang memberi sanksi 12 tahun, 15 tahun, dan 20 tahun bagi penyebar faham Marxisme/Leninisme dan Komunisme. Perbesaran ancaman jika mengakibatkan kerusuhan dan dalam rangka mengganti ideologi negara. Kerjasama dengan organisasi dan partai berhaluan Komunis juga dilarang. Ketiga, mengingat PKI dan Komunisme bergerak dan disebarkan diam-diam, maka antisipasi masyarakat, khususnya umat Islam harus dilakukan dengan lebih gesit dan strategis. Front-front anti komunis harus dibangun kembali, laskar dan brigade keumatan turut membantu aparat untuk mengamankan target-target klasik PKI dan gerakan komunisme seperti ulama, tokoh masyarakat, dan tempat-tempat ibadah. Mewaspadai adu domba dan pengembangan mistisisme, faham sesat, serta kemaksiatan lainnya. Jangan biarkan PKI dan Komunisme memanfaatkan keakraban Pemerintah dengan Negara RRC, menggencarkan tuduhan kepada umat beragama sebagai radikal, intoleran, dan anti-kebhinekaan, serta menunggangi program moderasi beragama demi penipisan keyakinan keagamaan. Bangsa indonesia sudah terperosok dua kali dan tidak boleh untuk ketiga kalinya. Kita ini bukan bangsa keledai. Sejarah itu penting. George Santayana filosof Spanyol-Amerika menyatakan "mereka yang tidak mengambil hikmah sejarah, ditakdirkan untuk mengulanginya". Nabi Muhammad SAW pernah bersabda "seorang mu'min tidak masuk ke dalam lubang yang sama dua kali" (HR Bukhori). *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan