Harga Sebuah Ekspektasi
Sejenak, selama 2 x 45 menit. Rakyat Indonesia mampu melupakan utang negara. Mengabaikan matinya demokrasi dan supremasi hukum. Termasuk semakin rusaknya sistem politik dan perilaku kekuasaan. Dalam waktu yang tidak lebih dari 2 jam, rakyat tak peduli melambungnya harga sembako di penghujung tahun.
Oleh: Yusuf Blegur, Pegiat Sosial dan Aktifis Yayasan Human Luhur Berdikari
SEMUA risis dan ketidakpastian masa depan yang melingkupi negara, buyar seketika saat menyaksikan Timnas Indonesia berlaga melawan Thailand dalam Turnamen AFC 2021. Seluruh pandangan, pendengaran dan perasaan terkonsentrasi dan tertumpahkan menyaksikan perseteruan Indonesia dan Thailand dalam laga sepak bola yang klasik itu.
Ada hal yang lebih menarik dan layak diangkat sebagai refleksi dan evaluasi kebangsaan, lebih dari soal olah raga khususnya sepak bola. Ini bukan tentang sekedar pertandingannya. Bukan hanya soal teknis dan strategis kesebelasannya. Juga bukan melulu soal performa pemain dan pelatihnya. Apalagi cuma soal menang kalahnya.
Brasil, Jerman, Perancis, Inggris, Italia dan seabrek timnas sepak bola hebat lainnya, pernah mengalami kekalahan. Tim-tim sepak bola papan atas itu biasa mengalami kemenangan dan kekalahan dalam turnamen bergengsi dan prestisius selevel olimpiade dan piala dunia. Kesebelasan-kesebelasan hebat yang dipuja dan memiliki fans sedunia sekalipun, tak bisa terhindar dari kekalahan. Ada saatnya penampilan mereka menunjukkan superioritas, namun ada waktunya mereka juga dipermalukan lewat ajang sepak bola.
Ini tentang sepak bola dan nasionalisme. Bagaimana sepak bola itu menampilkan eksistensi dan kebanggaan sebuah bangsa. Sebagai olah raga yang paling diminati dan memiliki penggemar terbesar di seluruh dunia, sepak bola dalam ajang internasional bukanlah cuma sebuah pertandingan. Ia menjadi pesan dan promosi suatu negara.
Tentang kebudayaan dan peradaban suatu bangsa. Sepak bola menjadi bahasa yang universal dalam pergaulan dunia. Relasi sosial antar bangsa di luar persoalan ekonomi, politik dan militer. Dunia sepak bola juga menjadi salah satu faktor yang sering dikorelasikan dengan "the nation of character building" pada suatu negara.
Sekat-Sekat Nasionalisme
Indonesia patut belajar dari negara-negara di belahan benua Afrika dan Amerika Latin. Beberapa dekade, bangsa mereka masih dianggap populasi penduduk terbelakang dan miskin. Betapapun mereka dianggap sebagai rakyat kelas rendah dalam soal pendidikan dan sarana prasarana terkait aspek SDM dan SDA. Tidak dalam sepak bola. Negara-negara Afrika seperti Afrika Selatan, Kamerun, Nigeria, Kenya, Ghana, Senegal, Maroko dll. Begitu Juga dengan negara-negara Amerika Latin seperti Brazil, Argentina, Chile, Paraguay, Ekuador dll.
Negara yang secara umum identik dengan gurun dan perbukitan tandus serta perkampungan dan pemukiman kumuh itu, merupakan gudang pemain berbakat dan istimewa dalam sepak bola dunia. Mereka para orang-orang kaya prestasi dan membanggakan sepak bola meski hidup di negara miskin. Sebagian besar penduduk dunia mengidolakan mereka, termasuk penggemar sepak bola di Indonesia.
Berbeda dengan negara dimari. Dalam hal sepak bola, rakyat Indonesia merupakan kebalikan dari negara-negara di Afrika dan Amerika Latin. Indonesia seperti menjadi langganan negeri pecundang dalam urusan sepak bola. Entah apa yang menyebabkan sepak bola nasional begitu terpuruk dalam dan berkepanjangan. Bukan hanya miskin prestasi, akan tetapi lebih banyak memalukan dan merendahkan bangsa.
Entah apa yang kemudian terus menggeluti wajah suram persepakbolaan nasional. Pencarian bibit, pelatihan dan pembinaan bukan tidak dilakukan. Meski belum maksimal, setidaknya pembentukan tim sepak bola dari usia dini hingga level profesional telah gencar dilakukan. Bukan hanya metode, pembinaan sepak bola telah menjadi seperti pendidikan kurikulum.
Menghadirkan pelatih berkelas dan berkarater sudah diupayakan. Struktur dan skema latihan telah mengacu pada sistem yang lebih modern. Termasuk kompetisi reguler sudah berjalan. Pemberian gaji dan fasilitas pemain serta pola makan bergizi dan bernutrisi untuk pemain juga sudah diprioritaskan. Inteligensi dan psikologi juga diberi sebagai salah satu model pendidikan dan pelatihan sepak bola. Apalagi yang kurang?.
Jika dibandingkan negara-negara di Afrika atau Amerika latin itu, mungkin sangat jauh berbeda, tapi mereka mampu mengangkat prestasi dan kebanggan negaranya. Mereka mungkin susah untuk sekedar mendapatkan tanah lapang untuk bermain sepak bola. Boleh jadi pemain-pemain dunia seperti mereka, sedari kecil hanya bisa bermain bola di jalanan atau gang-gang sempit.
Mereka kebanyakan lahir dari lingkungan dan keluarga miskin. Terkadang terjadi, saat tak mampu hanya untuk membeli seatu sepak bola yang layak. Tapi semangat mereka luar biasa. Ada spirit dan kekuatan yang mengobarkan mereka untuk berprestasi dan menempatkan negara mereka secara terhormat dan layak kedudukannya di dunia. Melalui sepak bola mereka mengenalkan negaranya menjadi disegani dan diteladani. Pemain-pemain sepak bola dunia itu mampu menginspirasi dan memotivasi.
Fenomena sepak bola Indonesia yang terus lekat dengan kelas bawah dan tim ayam sayur itu. Bisa dipastikan bukan kelemahan dan kesalahan para pemain, pelatih atau semua irisan yang bersentuhan dengan pembentukan sebuah tim nasional sepak bola.
Banyak faktor dan indikator yang menyebabkan perkembangan sepak bola nasional mangkrak. Tidak menutup kemungkinan berpotensi maju, tapi sayangnya prestasi sepak bola nasional boleh jadi dikorupsi. Ada manajemen dan regulasi yang salah. Bisa karena ada mafia bisa juga makelar dalam sepak bola nasional.
Mirip negara dan sistem politik, ada juga oligarki dalam sepak bola Indonesia. Mulai dari perekrutan pemain, pembentukan organisasi seoak bola, jual beli pemain, pengelolaan klub, pengaturan skor pertandingan, hingga praktek suap masih kental dalam dunia sepak bola Indonesia. Distorsi seperti menjadi tradisi di negeri ini, bahkan merambah ke wajah sepak bola nasional.
Mungkin agak nyeleneh, jika menghubungkan sepak bola dengan nasionailsme. Sepak bola menjadi terbatas dan sempit jika dibahas secara parsIal. Permainan bola lapangan hijau itu tak bisa dipisahkan dari persoalan negara. Baik buruknya prestasi sepak bola nasional juga menjadi cermin baik buruknya negara.
Pada satu sisi tertentu yang substansi, sepak bola dan pemerintah menjadi terintegrasi. Sepak bola Indonesia pernah mengalami prestasi puncak di era 1938 saat memakai nama Dutch East Indies. Meski masih dalam masa kolonial, Indonesia saat itu menjadi negara pertama di Asia yang lolos Piala Dunia.
Begitupun ketika era orde lama, timnas Indonesia berhasil menahan imbang Uni Sovyet 0-0 di Olimpide Melborne pada tahun 1956. Situasi kebangsaan yang jauh dari ideal, namun begitu patriotisnya timnas Indonesia.
Berada dalam cengkeraman kolonialisme dan imperialisme, kemudian baru menikmati kemerdekaan seumur jagung, timnas sepak bola Indonesia berhasil menggelorakan nasionalisme. Ada jiwa dan mentalitas yang ingin menunjukkan diri sebagai suatu negara bangsa yang merdeka, berdaulat dan bermartabat.
Tak ingin direndahkan dan ingin dipandang terhormat, menjadi energi besar yang merasuki pemain timnas Indonesia itu. Bak pahlawan di bidangnya pesebak bola tanah air merepresentasikan negaranya dengan penuh pengorbanan, totalitas dan pencapaian tujuan yang menggetarkan nasionalime dalam sepak bola.
Kembali pada hasil pertandingan timnas Indonesia melawan Thailand di final leg pertama Piala AFC 2021. Dengan hasil kekalahan 0-4 dari Thailand, memang bukanlah hasil yang mengejutkan. Bukan juga apriori atau skeptis terhadap sepak bola nasional. Ini lebih menyangkut soal mimpi dan harapan rakyat Indonesia terhadap timnas yang menjadi kebanggannya. Seakan Rakyat Indonesia, berharap menemukan kehormatan dan harga diri bagi negara bangsanya melalui sepak bola. Terutama ketika di negara-negara maju, sepak bola telah menjadi industri dan instrumen kapitalisme.
Apakah terlalu berlebihan? Atau juga ini menjadi kontemplasi kebangsaan? Ketika rakyat banyak menemukan negara sedang tidak baik-baik saja hampir di semua sendi kehidupan, rakyat Indonesia terlalu berharap pada timnas untuk mendapatkan kemenangan.
Meski nasionalisme pada akhirnya gagal menghidupkan daya juang timnas sepak bola Indonesia, rakyat memang harus bisa menerima dan membiasakan diri pada kenyataan pahit. Tangis, kekecewaan, penyesalan dan rasa frustasi mengiringi kekalahan timnas yang mempermalukan rakyat dan negara. Bukan, sekali lagi bukan kelemahan dan kesalahan pemain atau pelatih.
Hanya saja, sama seperti negara Indonesia tercinta, nasionalisme masih terkubur lelap seiring terpuruknya prestasi timnas. Atau mungkin saja terlalu besar mimpi bangsa ini memiliki kesebelasan yang tangguh di dunia. Begitu tingginya ekspektasi bangsa Indonesia terhadap timnas, sehingga hasilnya harus dibayar dengan kekecewaan dan kesedihan nasional.
Maka bijaklah sebisa mungkin, berhenti menumpahkan kekesalan dan mengumpat timnas. Setidaknya tidak sekeras dan sefatal saat menghujat rezim yang jauh lebih banyak kegagalannya. Bangun dari ekspektasi dan utopi, karena nasionalime masih belum tampak juga batang hidungnya di negeri ini. Lagi pula berharap kejayaan sepak bola nasional, akan senilai dengan upaya mewujudkan kemakmuran dan keadilan di ilusi Panca Sila.
Siapa yang tahu? (*)
Penulis, Pegiat Sosial dan Aktifis Yayasan Human Luhur Berdikari