OPINI

Bukti Kegagalan Misi Buzzer Pemecah Belah Bangsa: Nussa Diserang, Nussa Makin Disayang! (1)

Oleh: Agi Betha Masih ingat betapa ganasnya gerombolan buzzer kalap menyerang Nussa? Tanpa malu-malu, berbagai fitnah, tudingan keji, dan ejekan yang bertubi-tubi, diproduksi untuk menghantam bocah cilik usia 9 tahun itu. Tapi ternyata kerja keroyokan kawanan hitam itu tidak ampuh memadamkan semangat Nussa untuk terus maju. Bocah yang salah satu kakinya disambung besi itu, malah kian kuat berlari kencang. Nussa pun terbang tinggi meninggalkan remeh-temeh makian komplotan manusia tua yang menjadi buzzer demi memakani keluarga. Mereka bermaksiat dengan cara menghujat, sebaliknya Sang Maha Pemilik Kebenaran melindungi korban dengan mengangkat derajat. Kerja hitam para pendengung, justru makin membuat Nussa melambung. Nussa, Si Bocah Animasi Yang Dipersekusi Sosok Nussa lahir ke dunia digital pada November 2018. Jadi meski digambarkan berumur 9 tahun, namun sesungguhnya umur serial animasi Nussa di platform media digital YouTube masih balita. Pembawaannya yang santun dan tutur katanya yang halus, membuat para orang tua jatuh cinta kepadanya. Nussa yang soleh dan sayang kepada Ummi, Abba, dan adiknya Rarra, adalah model yang diidamkan para ayah dan ibu muda untuk menemani masa tumbuh kembang anak mereka. Tapi sayang, cara berpakaian dua kakak beradik yang seperti santri, ternyata dipermasalahkan oleh Buzzer NKRI harga mati. Sebuah karakter khas para pendengung yang selalu kampanyekan keberagaman, tapi kenyataannya mereka benci perbedaan. Sebetulnya ada apa dengan pakaian Nussa dan Rarra di mata mereka? Apakah menghabiskan Dana Bansos? Pada Senin, 21 Juni 2021, tukang dengung Eko Kunthadi mencuit: “Apakah ini foto anak Indonesia? Bukan. Pakaian lelaki sangat khas Taliban. Anak Afganistan. Tapi film Nusa Rara mau dipromosikan ke seluruh dunia. Agar dunia mengira, Indonesia adalah cabang khilafah. Atau bagian dari kekuasaan Taliban. Promosi yg merusak!” Menyaksikan tuduhan sadis yang memicu suara pro dan kontra netizen itu, kontan Ernest Prakasa meretweet cuitan Eko dan menyindir telak. Komika, aktor, penulis skenario, sekaligus sutradara film-film laris itu menulis, "Belum kebagian jatah komisaris ya Mas? Semoga segera, amin!" Sementara Angga Sasongko, sang produser dan sutradara Nussa The Movie yaitu film Nussa versi layar lebar, membalas tegas stigma atas pakaian Nussa - Rarra yang dituliskan Eko itu dengan menulis, "Ah bac*t. Bukti enggak ada, diajak nonton enggak berani datang. Tapi ya sudah, saya enggak mau menghambat penghasilan Anda dengan menggoreng-goreng isu identitas dan polarisasi. Monggo dilanjut sampai kapalan." Tak berhenti di situ, Angga pun masih melanjutkan twit-war itu dengan menuliskan kalimat yang lebih menohok, "Saya sabar kok. Enggak overestimate orang macam Eko. Lah wong film terakhir saya yang nonton di bioskop 2,3 juta orang. Bayar lho. Yang ngeRT Tweet Eko Kuntadhi paling mentok ribuan, setengahnya bot." Sebelumnya pada Sabtu 19 Juni, Eko juga telah mencuitkan kalimat untuk menggiring opini followernya. Ia mengunggah gambar poster Nussa dan Rara yang memakai gamis dan berhijab, lalu disandingkan dengan foto seorang anak berbaju gamis sedang ikut demonstrasi. "Representasi pakaian pria Nussa - Rara. Akan seperti ini gambaran anak Indonesia di mata dunia?" cuitnya. Angga Sasongko pun membalas cuitan itu. "Ah elo ayam sayur, Eko. Diajak nonton dan diskusi langsung sama gue, enggak nongol hidung lo. Mengkonfirmasi untuk tidak datang. Ayam sayur kayak lo cuma berani sembunyi di balik jempol. Enggak cukup punya nyali dan intelektualitas buat berdebat," tulisnya. Perseteruan juga terjadi antara Angga dengan pendengung lainnya, Denny Siregar. Pada narasi di akun Youtubenya, Denny menuduh Nussa sebagai film propaganda Felix Siauw dan mempromosikan HTI atau radikalisme. Tapi perang di jagad twitter baru dimulai ketika Denny menuding mahasiswa yang mengkritik Presiden Joko Widodo tidak bersikap jantan. "Untuk adek mahasiswa, usahakan kalau mau mengkritik atau menghina Presiden sekalipun, pake nama sendiri bukan bersembunyi di balik nama institusi. Jantan dong. Masih remaja kok udah bencong," tulis Denny di Twitter pribadinya @Dennysiregar7. Kontan Angga terusik oleh diksi 'jantan' dan 'bencong' yang digunakan Denny. Menurutnya bencong dan mahasiswa lebih jantan dari Denny yang menolak undangannya untuk menonton dan berdiskusi tentang konten film Nussa. "Gak usah bahas soal jantan. Lu ngebac*tin dan fitnah film gue tanpa bukti dan belum nonton, eh diundang dateng buat nonton dan diskusi, kagak berani juga. Bersembunyi di balik jempol. Bencong dan mahasiswa itu jauh lebih berani dari ayam sayur kayak kamu," ujar Angga. Denny pun menjawab Angga dengan meledek, "Itu film Nussanya si Felix Siauw kapan tayangnya? Atau gak jadi?" Sambil menebar emoticon tertawa girang, Angga menjawab bahwa Nussa akan segera tayang di Bucheon, Korea Selatan. "Nussa bentar lagi udah World Premiere di Bucheon dong. Ngerti kan apa itu 'World Premiere'? (emoticon tertawa) Ini film kamu yang cerita dan judulnya plagiat, kapan tayang, Den? Udah ga sakit hati kan gue tolak idenya waktu itu?" balas Angga sambil memperlihatkan 2 poster film. Satu poster berjudul Marley dan bergambar seorang lelaki dengan anjingnya, dan satunya lagi adalah poster asli film Marley & Me yang dibintangi Owen Wilson, Jennifer Aniston, dan anjing di keluarga mereka yang bernama Marley. (Bersambung) Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

Sensasi Marah-marah Si Ratu Drama

Oleh Ady Amar *) MEMPERMALUKAN anak buah di depan khalayak, tampaknya itu jadi passion buatnya. Atau sebenarnya ia ingin menyampaikan pesan pada publik, bahwa ia sudah bekerja keras, dan itu tidak diikuti oleh bawahannya. Maka ia memantaskan bahwa kemarahan itu perlu disampaikan. Gaya mempermalukan anak buah di depan umum, itu memang kebiasaan Tri Rismaharini, Menteri Sosial RI. Biasa dipanggil dengan Risma. Kebiasaan itu dilakukan sejak ia menjabat sebagai Wali kota Surabaya. Suatu pemandangan yang biasa jika anak buah di bentak-bentak didepan umum, dan lalu awak media yang mengikuti kegiatannya mempublikasikannya. Bisa jadi itu keinginannya, setidaknya ada berita tentang "marah-marahnya" itu sampai pada publik. Risma tumbuh menjadi pribadi yang tidak punya empati pada bawahannya Jika ditemuinya telah buat kesalahan, maka kalimat dengan nada marah menghambur dari mulutnya, dengan diiringi mata melotot-lotot, seolah ia sedang memainkan lakon di panggung yang ditonton banyak orang. Pada awal mula Risma marah-marah, dan itu dimuat di televisi nasional, orang menyebut ia pemimpin tegas. Banyak yang terkagum melihat sikapnya, yang tidak menolerir sedikitpun kesalahan. Ia digadang berharap bisa sebagai pemimpin nasional. Tapi tampil dengan gaya yang berulang dan berulang, maka orang anggap ia tengah berakting. Akting dengan skenario yang diulang-ulang pastilah membosankan. Aneh jika hal itu tidak disadari Risma dan team pengarah lakunya. Norak kesan yang ditimbulkan. Seolah ia hanya bisa memerankan peran antagonis dengan mengandalkan anak buah yang diumpan untuk "dihajar" di depan publik. Berulangnya itu, seperti ada kepuasan dari diri Risma, jika ia bisa marah-marah. Kebiasaan yang diulang yang tanpa melihat orang lain suka, atau justru sebaliknya, malah muak. Risma seolah ingin jadi bagian yang terus diberitakan, dan sayang jika mengandalkan "akting" marah-marah. Gagal Kelola Emosi Orang lalu menyebut Risma itu bagai Ratu Drama (Drama Queen), karena kriteria untuk disebut demikian ada padanya. Disebut Ratu Drama, tentu jika memenuhi kriteria yang melekat pada diri seseorang. Pada Risma, itu tampak pada sikap marah-marah pada persoalan yang tidak semestinya ia harus marah besar. Ini sih sikap membesar-besarkan persoalan. Di samping tentu ada kriteria lainnya yang melekat pada diri seseorang untuk bisa disebut Ratu Drama. Setidaknya ada lebih dari lima kriteria menjadikan seseorang pantas disebut Ratu Drama. Sikap marah meledak-ledak tidak pada tempatnya, itu salah satunya. Padahal sikap andalan itu mencederai harkat seseorang, yang seolah dijadikan samsak hidup, dipermalukan dihadapan publik. Keluarga pun ikut menanggung beban malu. Risma tanpa sadar sebenarnya telah membangun suasana tidak kondusif pada bawahannya, yang bekerja dengan tekanan psikis. Maka jika Risma mengadakan kunjungan kerja ke daerah-daerah, akan disikapi dengan ketegangan suasana yang ditimbulkan. Ada ketakutan seolah tinggal terima giliran saja untuk dipermalukan, dan itu akan viral ke pelosok negeri. Entah sudah berapa kali Risma melakukan adegan marah-marah itu. Sebuah media menyebut tidak kurang dari 7 kali, ia melakukan adegan marah-marah. Tapi ada yang menghitung lebih dari itu. Tapi memang dari satu peristiwa ke peristiwa lainnya, ada intensitas narasi tidak wajar yang disampaikan Risma, dan terkesan intonasinya makin menaik dan sangat berlebihan. Terakhir saat di Gorontalo, beredar video si Ratu Drama, yang marah-marah sambil mendatangi bawahannya di kementerian Sosial, dan meluncur kalimat tidak sewajarnya, "Tak tembak kamu ya, kamu tak tembak ya." Pada video itu Risma juga menyampaikan, bahwa pihaknya tak pernah mencoret data penerima bansos dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Pihaknya justru memperbaiki dan menambah data tersebut secara berkala. Bisa jadi apa yang disampaikan Risma itu hal benar, tetapi mengapa mesti pakai narasi kasar dan dengan marah-marah segala. Risma sebagai pejabat tampak kurang mampu mengelola emosi dengan baik. Gampang tersulut dan meledak. Hal sama terus berulang, tidak salah jika orang menyebut itu bagian dari aktingnya. Dan jika akting marah-marah ini jadi andalan Risma, maka tidak mustahil kalimat marah-marah yang dibangunnya ke depan bisa jadi akan lebih kasar lagi. Risma seolah mengingatkan pejabat zaman kompeni dulu kala, yang wajib menebar teror dengan marah-marah guna menimbulkan ketakutan tersendiri pada rakyat negeri jajahan... Muak bagi mereka yang tidak suka melihat adegan demikian. (*) *) Kolumnis

Muktamar-34: Secara Etika, Muhaimin Masih “Bermasalah” (3)

Oleh: Mochamad Toha Seperti yang sempat disinggung dalam tulisan sebelumnya, Calon Ketum PBNU terkuat menjadi Ketum PBNU diantaranya adalah Abdul Muhaimin Iskandar, Yahya Cholil Staquf, dan Said Aqil Siradj. Mereka memang mempunyai kekuatan dari sisi finansial, kekuasaan, dan jabatan. Tetapi, belum memenuhi atau setidaknya belum memiliki konsep yang jelas bagaimana menata arah NU agar kembali ke khittahnya. Said Aqil Siradj alias SAS sudah jelas kiprahnya selama jadi Ketum PBNU. Berbagai manuver politik telah mewarnai saat memimpin warga Nahdliyin. SAS lebih banyak diam meski melihat rakyat tergencet ekonominya. Dia tampak lebih bangga saat NU menerima “hibah” lahan 10 ha di daerah Jonggol yang sebenarnya status hukumnya masih belum jelas, dan sedang “bermasalah” dengan rakyat terkait PT Sentul City Tbk. Siapapun yang terpilih menjadi Ketum PBNU diantara Ketum DPP PKB dan Katib Aam PBNU, SAS masih berpeluang menjadi Rois Syuriah PBNU. Baik Muhaimin atau Yahya yang terpilih, SAS bisa jadi Rois Syuriah. Bagaimana peluang Muhaimin alias Imin dan Yahya? Menurut informasi dari beberapa PWNU, sepertinya dalam hal ini Imin yang paling siap untuk mengkondisikan PWNU dan PCNU. Karena Imin mengerahkan seluruh pengurus PKB Kabupaten/Kota seluruh Indonesia untuk melakukan pendekatan kepada pengurus PWNU/PCNU di seluruh Indonesia. Sedekar mengingat saja, Muktamar ke-33 NU di Jombang, dinilai sebagian ulama, style atau gayanya sudah seperti Muktamarnya PKB. Karena ketua panitianya Saifullah Yusuf yang saat itu menjabat Wagub Jatim. “Muktamar NU di Jombang adalah Muktamar NU yang paling buruk/parah sepanjang digelarnya Muktamar NU. Di sanalah terjadinya money politic, premanisme, dan lain-lain,” kata seorang ulama NU. Sebelumnya, Ketua Panitia Pengarah Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama (NU) KH Ahmad Ishomuddin menyampaikan Muktamar ke-34 NU bakal diselenggarakan pada 23-25 Desember 2021 di Lampung. Kesepakatan itu diputuskan Komisi Bahtsul Masail Qanuniyah pada Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama yang menghasilkan 9 kesepakatan, salah satunya soal jadwal Muktamar NU Lampung. Dia menyebut forum itu juga menyepakati, untuk pemilihan Ketum PBNU dilakukan melalui pemungutan suara one man one vote, sedangkan untuk Rais Aam PBNU dilakukan secara perwakilan (ahlul halli wal aqdi). “Persis seperti Muktamar Ke-33 NU di Jombang,” kata Kiai Ishomuddin dalam konferensi pers secara virtual di Gedung PBNU, Jakarta, Ahad (26/9/2021). Yang juga perlu jadi pertimbangan lainnya sebelum menentukan pilihan diantara Imin dan Yahya adalah apakah mereka clean and clear selama menjabat di organisasi politik atau keagamaan. Ini bisa dilihat dari jejak digital Imin dan Yahya. Untuk lebih jelasnya, kita lihat satu per satu saja. Supaya lebih teliti dan cermat lagi. Bagaimana Imin bisa meraih jabatannya sebagai Ketum PKB. Imin memperoleh jabatan Ketum PKB dengan jalan “tidak terpuji”, yakni memunculkan konflik terlebih dahulu di internal parpol. Hingga menjelang wafatnya KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Imin sebenarnya masih “bermasalah” dengan keluarga Presiden RI ke-4 tersebut terkait konflik internal di PKB yang dibidani Gus Dur. Jejak digital banyak mencatat konflik tersebut. DetikNews pada Selasa, 8 April 2014, menulis, “Konflik dengan Muhaimin Terjadi Sampai Gus Dur Wafat”. Pihak keluarga menyebut, konflik antara Gus Dur dengan Imin itu benar-benar terjadi. Bahkan perseteruan itu berlangsung hingga Gus Dur wafat. Konflik itu ada sampai Gus Dur wafat. “Itu pernyataan (kubu Imin) direkayasa, diada-ada, keji, baik kepada Gus Dur, keluarga dan Gusdurian,” kata pengacara keluarga Gus Dur, Pasang Haro Rajagukguk, saat menggelar jumpa pers di Jalan Kuningan Timur No 12, Jakarta Selatan, Selasa (8/4/2014). Pasang Haro membeberkan rentetan konflik tersebut. Konflik pertama, saa Muktamar di Parung, Jabar, Imin membuat muktamar tandingan di Ancol dengan kepengurusan sendiri. Setelah itu, terjadi saling menggugat, sampai akhirnya Mahkamah Agung membatalkan kedua muktamar dan dikembalikan kepada hasil muktamar Surabaya pada 2005. “Tapi, kenyataannya Imin tidak melibatkan Gus Dur bahkan disingkirkan dan ditekan,” ungkap Pasang Haro. Pada saat putusan PTUN, muncullah pernyataan dari kelompok Imin bahwa Gus Dur meninggalkan PKB. “Itu menyakitkan. Setelah itu (Gus Dur) terjatuh dan pingsan di kamar mandi, sampai masuk rumah sakit berkali-kali,” ujar Pasang Haro. Pada pemilu 2009, kubu Imin memanfaatkan kebesaran dan ketokohan Gus Dur dengan memajang simbol Gus Dur di baliho. Saat itu Gus Dur menggugat dan dilupakan. Pada 2014, kata Pasang Haro, keluarga Gus Dur sudah mengultimatum PKB Imin untuk tidak memasang apapun tentang Gus Dur seperti foto dan suara. Tapi, pihak Imin tetap menggunakan simbol-simbol Gus Dur dalam setiap kampanye PKB. Istri alhamhum Gus Dur Ibu Sinta Nuriyah dan keluarga melalui pengacaranya pun melaporkan Imin ke Bawaslu. “Inti instruksi Gus Dur itu, Imin dan jajaran supaya tidak menggunakan atribut Gus Dur tanpa izinnya,” tegas Pasang Haro. Jadi, itulah “masalah” sebenarnya yang masih menyertai Imin hingga kini. Imin masih “berkonflik” dengan keluarga Gus Dur. Jadi, raihan jabatannya itu diperoleh melalui konflik internal PKB. Tak hanya itu. Terkait dengan korupsi yang melibatkan anggota PKB, Imin juga diperiksa KPK sebagai saksi kasus dugaan suap proyek di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Tujuannya untuk melengkapi berkas penyidikan dengan tersangka Direktur dan Komisaris PT Sharleen Raya (JECO Group), Hong Arta John Alfred. Dia datang untuk memenuhi panggilan sebagai saksi dari Hong Artha. “Mestinya diagendakan besok tapi karena besok saya ada acara, saya minta maju dan alhamdulillah selesai semuanya sudah saya beri penjelasan ya selesai,” katanya usai diperiksa KPK, dilansirVIVAnews, Rabu (29/1/2021). Dikonfirmasi materi pemeriksaan, Imin enggan membeberkannya. Ia cuma membantah pernah menerima uang suap dalam proyek tersebut. “Tidak benar,” kata Wakil Ketua DPR itu. Upaya KPK memanggil dan memeriksa Imin berkaitan dengan permohonan Justice Collaborator yang diajukan mantan politikus PKB Musa Zainuddin pada Juli 2019. Musa menganggap dirinya bukanlah pelaku utama dalam kasus korupsi proyek infrastruktur di Kementerian PUPR. Ia mengaku hanya menjalankan perintah partai. Sebelumnya, KPK menolak permohonan JC yang diajukan Musa Zainuddin. Menurut KPK, Musa belum memenuhi syarat menjadi saksi pelaku yang bekerja sama untuk membongkar kasus hukum. Meski demikian, KPK mempersilakan bila Musa ingin kembali mengajukan JC. Pihak lembaga antirasuah itu mengatakan Musa mesti membuka peran pihak lain dengan lebih terang. Musa dihukum 9 tahun penjara karena terbukti menerima suap Rp 7 miliar untuk meloloskan proyek infrastruktur Kementerian PUPR di Maluku dan Maluku Utara tahun anggaran 2016. Uang itu berasal dari Direktur Utama PT Windhu Tunggal Utama, Abdul Khoir. Dari penjara, mantan Anggota Komisi Infrastruktur DPR ini mengirimkan surat permohonan JC ke KPK pada akhir Juli 2019. Dalam surat itu, Musa mengaku bahwa duit yang ia terima tak dinikmati sendiri. Sebagian besar duit itu, kata dia, diserahkan kepada Sekretaris Fraksi PKB kala itu, Jazilul Fawaid sejumlah Rp 6 miliar. Musa menyerahkan uang itu di kompleks rumah dinas anggota DPR kepada Jazilul. Setelah menyerahkan uang pada Jazilul, Musa langsung menelepon Ketua Fraksi PKB Helmy Faishal Zaini. Ia meminta Helmy menyampaikan pesan kepada Imin bahwa uang Rp 6 miliar sudah diserahkan lewat Jazilul. Keterangan ini tak pernah diungkap di persidangan. Ia mengaku memang menutupi peran para koleganya karena menerima instruksi dua petinggi partai. Dua petinggi partai ini mengatakan, Imin berpesan agar kasus itu berhenti di Musa. “Saya diminta berbohong dengan tidak mengungkap peristiwa sebenarnya,” kata Musa. (Bersambung)

Kemarahan atau Frustasi Seorang Menteri Sosial?

Oleh: Yusuf Blegur Menurut hemat pikir penulis yang sudah puluhan tahun aktif sebagai Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) di Dinas Sosial Kota Bekasi. Hingga saat ini bersama Organisasi Sosial kemitraan Kementerian Sosial seperti TKSK, Tagana, Pendamping PKH, Karang Taruna, LLI, dll. Menggeluti dunia sosial dibawah naungan Kementerian Sosial, pada akhirnya menjadi berusaha mengerti dan memahami. Bahwasanya penanganan masalah sosial pada kementerian dengan spesialis mengurusi rakyat yang kehidupannya kurang beruntung itu. Pada esensinya sering menjumpai birokrasi dan mentalitas di dalamnya jauh lebih susah dan bermasalah ketimbang rakyat kecil yang layaknya lebih perlu diprioritaskan. Sosok Tri Rismaharini yang belakangan sering temperamen. Sejatinya menarik untuk menjadi bahan refleksi sekaligus evaluasi. Bukan saja buat Risma sendiri. Melainkan untuk para menteri dan pejabat lainnya terkait bagaimana bersikap dan berinteraksi dengan lingkungan kerjanya. Seketika Risma menyita perhatian publik. Perangainya mengundang pro dan kontra. Sebagian penuh kritik dan gugatan, sebagian lain ada yang memaklumi dan mendukung kemarahan Menteri Sosial RI itu. Berbekal Walikota Surabaya 2 periode yang dinilai sukses dan berprestasi. Tri Rismaharini bisa dibilang sangat menguasai ruang lingkup birokrasi. Sebagai pengambil keputusan, ia punya kemampuan untuk memenej program dan menghasilkan kebijakan publik yang terarah dan terukur. Begitupun sebaliknya, Risma terbiasa menghadapi masalah dan cara mengatasinya. Namun saat menjabat Menteri Sosial. Beberapa kali Risma menunjukan sikap yang tidak simpatik dan dianggap berlebihan. Mulai dari marah kepada bawahan, bersujud di kaki seorang tenaga kesehatan, menyapu halaman Syeikh di Padang Pariaman, dan masih banyak lagi kegiatan-kegiatan tak biasa seorang menteri yang disorot kamera. Dari semua itu yang paling banyak dan sering mendapat reaksi publik, saat Risma belakangan ini sering marah-marah dan menjadi viral. Ada dua hal yang menarik soal behavior Risma seperti itu dalam kapasitas Menteri Sosial. Boleh jadi ini merupakan representasi masalah yang sama para pejabat lainnya termasuk memungkinkan pada seorang presiden sekalipun. Pertama, tetap terkait soal pencitraan. Seiring era digitalisasi, sama seperti pemburu tahta lainnya. Risma memanfaatkan media sosial untuk menunjukkan siapa dirinya. Dalam hal ini Risma menyadari betul konsekuensinya. Aksinya di dunia maya itu bisa menjadi proses upgrading dan mendowngred figurnya. Kader Perempuan PDIP yang menjadi kesayangan Megawati Soekarno Putri, seperti berjudi mengharapkan mendapat apresiasi atau hujatan. Tergantung respon opini publik. Risma siap apapun resiko yang terjadi. Kedua, ini lebih substantif karena terkait masalah yang klasik dalam birokrasi pemerintahan. Fenomena Risma yang pernah didahului Ahok sang gubernur penista agama. Merupakan persoalan yang berkolerasi dengan personal dan sistem. Seperti yang dihadapi oleh negara ini sampai sekarang. Mana yang lebih utama menjadi sebab kebaikan atau keburukan suatu negara, personal atau sistem?. Di luar urusan panjat sosial. Perilaku Risma yang suka panjat darah itu (marah-marah dan memaki). Bisa diinterpretasikan sebagai sikap pemberontakannya terhadap sistem yang ada, khususnya terkait birokrasi di kementerian sosial. Atau mungkin juga itu bentuk rasa frustasi dari betapa begitu rusak dan bobroknya manajemen birokrasi yang menjadi leading sektor penanganan Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS). Kementerian Sosial yang menjadi baik buruknya wajah pemerintahan negara dalam menangani masalah utamanya kemiskinan rakyat. Memang terlanjur menyandang stigma kementerian paling marak korupsinya. Harusnya mengangkat tingkat kehidupan rakyat lebih baik dan menuju sejahtera. Lembaga pemerintahan yang pernah dibubarkan Gus Dur saat menjadi presiden ke-4 RI. Malah menjadi ladang subur perampokan uang rakyat. Risma juga masih ingat saat koleganya yang sesama kader PDIP dan menjadi menteri sosial sebelumnya melakukan korupsi bansos di tengah pandemi. Sebuah penghianatan wong cilik dari wong licik. Betapapun Tri Rismaharini berada dalam pusaran itu. Bisa ditarik konklusinya, bahwasanya Risma terlanjur terjebak diantara dia sebagai personal dan dia menjadi bagian dari sebuah sistem. Dengan catatan prihatin dari banyaknya Menteri sosial yang terjebak kasus korupsi sebelum Risma mendudukinya. Risma bukan saja dituntut mengelola karakter dirinya sendiri. Lebih dari itu Risma harus menghadapi sistem dan birokrasi yang dipimpin partai politik tempat ia dibesarkan dan bernaung di dalamnya. Sanggupkah Risma marah dan melawan atau memberontak dari keadaan dan sistem itu?. Tidak ada salahnya bagi Tri Rismaharini, untuk menyimak postulat ini. Dalam sistem politik yang sudah rusak hingga ke akarnya, sulit untuk seseorang membenahi atau memperbaikinya. Bahkan seseorang yang pikirannya baik dan suci sekalipun, ketika ada di dalamnya ia akan menjadi bagian dari kerusakan sistem itu sendiri. Untuk Tri Rismaharini yang entah sedang membangun citra. Atau sedang memberontak dan tulus membangun dan memperbaiki sistem dalam Kementerian Sosial. Kalau tidak sanggup melawan mainstream dan habit yang telah menjadi stelsel. Mulailah dari diri sendiri. Tentunya dengan sikap keteladanan. Terutama dari hal yang sederhana. Memancarkan atitude, sembari memberikan simpati dan empati. Terlebih pada sekecil-kecilnya pegawai dan serendah-rendahnya orang. Penulis, Pegiat Sosial dan Aktifis Yayasan Human Luhur Berdikari.

Dudung Tentara Radikal

By M Rizal Fadillah LETJEN TNI Dudung memiliki sikap yang kontroversial terutama yang berkaitan dengan perkembangan Komunis. Pernyataan bahwa PKI/Komunis tidak ada dan semua agama sama di depan Tuhan membuat hati miris. Apalagi sampai menghilangkan diorama sejarah pembasmian PKI yang merupakan kejahatan anti historis. Dudung adalah radikalis. Membuat pola dan gaya tentara berpolitik praktis. Lalu memojokkan sikap beragama yang fanatis. Dosa membuat patung dibuat sebagai alasan yang sepertinya logis. Padahal rakyat sama sekali tidak percaya pada kenaiifan yang bernarasi agamis. Penghilangan diorama pasti berefek kegembiraan pada aktivis Komunis. Pangkostrad Letjen TNI Dudung yang sebelumnya adalah Pangdam Jaya memang tokoh radikal yang dianggap gemar mengangkat isu radikalisme keagamaan. Istilah ekstrim kanan muncul kembali sementara ekstrim kiri tetap tenggelam. Untuk hal seperti ini wajar jika banyak yang bertanya-tanya. Dudungis adalah "faham" Dudung yang unik tetapi tidak simpatik khususnya kepada umat Islam. Ada empat karakter Dudungis, yaitu : Pertama, menyerang simbol tokoh agama termasuk obrak-abrik baliho HRS yang dinilai berlebihan. Radikalis yang masuk ke ruang politik praktis sekaligus melakukan kudeta atas Satuan Polisi Pamong Praja. Ketakutan bangsa, negara, dan tentara kepada Baliho direpresentasi oleh sikap dan karakter Dudung. Kedua, menyerang umat Islam dengan terus mempropagandakan isu radikalisme dan intoleran. Tidak pernah menyentuh radikal dan brutalnya PKI dan Komunis. Terkesan menafikan keberadaan dan pengembangan faham Komunis itu. Kostrad telah dibawa untuk mengurus isu atau pekerjaan yang bukan menjadi tugas pokoknya. Ketiga, memutar balikkan fakta saat tampil bersama Irjen Fadil Imran. Menuduh enam korban penembakan dan penganiayaan aparat sebagai penembak sehingga terjadi tembak menembak. Faktanya adalah keenam anggota Laskar FPI itu sengaja ditembak dan dibunuh dengan sadis. Di kilometer berapa saat itu Dudung berada ? Keempat, berdiplomasi dan menjilat melalui patung. Patung Soekarno dipasang di Akmil Magelang oleh Gubernur Akmil yang bernama Dudung, sementara patung Soeharto di Makostrad dibasmi di masa Pangkostrad yang bernama Dudung pula. Nuansa Orde Lama bangkit bersama Letjen TNI Dudung Abdurrahman. Dudung Abdurrahman bukan TNI teladan tetapi pribadi penuh kontroversi yang memendam misteri dari misi pribadi, kroni, atau elit tirani. TNI sebaiknya tetap netral dan jangan dipolitisasi. Dirgahayu TNI ke 76. Bersama rakyat TNI kuat. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Tsunami Liberalisasi dan Sekulerisasi

Oleh: Yusuf Blegur Bagai sepasang sejoli dalam hubungan terlarang. Maraknya penistaan agama Islam, penghinaan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam, pelecehan dan penganiayaan para ulama. Skenario perbuatan rendah dan keji itu dilakukan seiring sejalan dengan upaya beberapa tokoh, politisi dan pejabat negara memasarkan secara masal pola hidup liberal dan sekuler di negeri ini. Kedua fenomena itu seakan menjadi pasangan sejoli yang seiring-sejalan dan sehidup-semati dari penyelenggaraan negara yang mengangkangi keberadaan Tuhan. Meski dengan landasan Panca Sila dan salah satu isi Pembukaan UUD 1945 yang bernarasi "Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya". BETAPA akhir-akhir ini, negara terus mempertontonkan praktek-praktek kehidupan yang berorientasi pada materialisme. Seakan hidup ini diadakan hanya untuk memenuhi kebutuhan lahiriah, sementara aspek batiniah menjadi tidak penting lagi. Pemenuhan materiil ditempatkan sebagai alat untuk memenuhi kebahagiaan dan keberadaban. Standar kelayakan hidup hanya diukur pada status sosial yang tercermin dari kepemilikan kekayaan dan jabatan semata. Semua pola pikir dan perilaku, tidak lagi mengindahkan aturan dan norma. Bukan hanya terhadap konstitusi negara, bahkan nilai-nilai agama juga ikut dicampakkan. Negara terus mengambil peran dan posisi yang superior terhadap keberlangsungan hidup rakyatnya, hingga sampai pada hal kecil dan sepele. Dengan atau tanpa agama, negara tetap bersikeras mengatur dan mengelola hajat hidup rakyat. Dilain sisi, batas eksistensi sebuah negara dengan kekuatan kelompok tertentu seperti ideologi, aliran politik, sekte agama, bahkan pada korporasi bermodal besar dan transnasional, semakin tipis. Kesadaran yang tersisa, menangkap itu sebagai gejala adanya kekuatan yang sedang berupaya menguasai sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya ekonomi lainnya secara global. Negara melalui aparaturnya baik partai politik dan birokrasi pemerintah. Terus memproduksi gagasan pemikiran dan kebijakan yang kapitalistik. Rakyat dipaksa mengikuti regulasi yang bersumber pada semangat pemenuhan hawa nafsu. Hawa nafsu pada kebendaan dan hawa nafsu pada sesama manusia. Perlahan namun pasti, kehidupan rakyat terus mengalami kemunduran kualitas kemanusiaannya. Sementara keadaan negara yang seperti itu, merupakan rangkaian dari sistem global berazas kapitalisme yang mengedepankan liberalisasi dan sekulerisasi. Dimana kemampuan akal manusia pada intervensi penguasaan alam dan teknologi bukan hanya mereduksi, bahkan meniadakan keberadaan Tuhan. Agama telah menjadi formalitas dan tendensi kebendaan menjadi tuntunan dan tuntutan hidup. Negara perlahan namun pasti menggantikan peran agama. Tuhan semakin terpinggirkan dan jarang hadir dalam proses penyelenggaran kehidupan berbangsa dan bernegara. Atas nama globalisasi dan tata pergaulan internasional. Pemerintah tidak hanya sekedar menerapkan kehidupan yang liberal dan sekuler. Rakyat ditekan sedemikian rupa, agar terpisah dari keyakinan keagamaannya. Masyarakat boleh beragama dan tidak, namun kepatuhan terhadap negara harus ditempatkan di atas segala-galanya. Kekuasaan terus membangun dan mengokohkan sistem politik yang memisah relasi agama dari negara. Pada akhirnya hanya melahirkan masyarakat yang jauh dari nilai-nilai, baik secara sosiologis maupun hubungan yang bersifat transedental. Dalam sistem yang berorientasi pada kebebasan tanpa batas dan pencapaian materi tanpa ukuran. Masyarakat dibentuk tak ubahnya menjadi populasi pemburu kenikmatan biologis. Aspek-Aspek ilmu pengetahuan dan teknologi, hanya dijadikan kuda tunggangan untuk melampiaskan hasrat memiliki dan menguasai. Praktis, pemerintah mengalami kebuntuan dan kegagalan membangun negara kesejahteraan bagi rakyatnya. Keyakinan luhur yang mewujud dalam Panca Sila dan UUD 1945 sebagai komitmen dan konsensus nasional. Keberadaanya cukup dan pantas hanya sebatas simbol dan jargon. Tak pernah terpakai dan menjadi barang usang. Pemerintah dengan semua otoritas dan kewenangannya, seperti linglung dan kehabisan energi membangun negara bangsa. Rezim ini begitu sulit mengadakan kemakmuran dan keadilan. Akan tetapi begitu mudah mengeksploitasi rakyatnya. Termasuk menguras kekayaan alam, merampok uang negara dan bejibun hutang luar negeri yang membebani rakyat. Termasuk dalam upaya memanfaatkan era digitalisasi yang melahirkan keberlimpahan informasi. Alih-alih mendorong lebih banyak kemaslahatan dan mencerdaskan kehidupan masyarakat. Pemerintah justru menjadikan teknologi informasi itu menjadi alat melanggengkan kekuasaan dan menguatkan infiltrasi gerakan pembodohan melalui disinformasi dan dehumanisasi. Rekayasa informasi dan komunikasi baik di media mainstream maupun media sosial, lebih sukses menampilkan buzzer berbayar APBN, kamuflase berita, dan memicu disintegrasi sosial. Bencana Kemanusiaan dan Keagamaan Ketimbang membuat turunan dari nilai dan mewujudkan kehidupan beragama yang santun dan humanis. Pemerintah malah menghadirkan liberalisasi dan sekulerisasi sebagai landasan dan falsafah negara. Agama semakin dianggap sebagai candu bagi masyarakat. Agama menjadi penghambat produktifitas dan kemajuan peradaban manusia. Agama juga tidak segan-segan dijadikan alas kaki dari kapitalisme dan gaya hidup hedonisme. Politik oligarki, hegemoni dan dominasi borjuasi korporasi tampil menguasai panggung politik dan ekonomi nasional. Perdagangan hukum dan amputasi demokrasi menjadi menu sehari-hari kinerja politisi dan birokrasi yang konspiratif. Rezim kekuasaan secara intensif menggali jurang ketimpangan sosial. Konstitusi mudah dibeli, sebagian besar aparatur negara lebih suka menjual diri. Rakyat bukan hanya dirampok kekayaannya saja. Hak konstitusi dan asasinya juga turut diperkosa. Penganiayaan, perampasan dan pembunuhan tidak lagi dilakukan oleh para preman dan kriminal atau mafia dan koorporasi hitam. Aparat penegak hukum dan pimpinan institusi pemerintahan , cenderung melakukan hal yang sama. Melalui operasi intelijen yang tidak senyap dan telanjang, keamanan negara bisa menggunakan kekuatannya untuk menyakiti dan menindas rakyat. Dengan narasi jika diperlukan dan atas nama undang-undang. Demi stabilitas negara dan tegaknya kedaulatan hukum. Kini, negara tidak sekedar dalam keadaan tidak baik-baik saja. Indonesia telah larut menapak jalan kesesatan bernegara. Sebagai sebuah pemilik kedaulatan yang konstitusional, rakyat terus mengalami intimidasi dan teror dari penyelewengan dan penghianatan rezim kekuasaan. Pemerintah yang harusnya melindungi, mengayomi dan melayani rakyat. Akan tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Pemerintah bagai virus ganas yang bermutasi menjadi monster berbahaya, pembawa penyakit pandemi yang sesungguhnya, menggerogoti kesehatan dan keselamatan rakyat. Kenyataannya, liberalisasi dan sekulerisasi tak dapat dibendung di negeri ini. Ia seperti gelombang tsunami yang meruntuhkan moral dan aqidah umat. Bukan hanya berdampak menghasilkan banyak para pejabat dan pemimpin yang tuna susila. Negara juga agresif merusak fundamental keagamaan dan menghancurkan yang radikal dari rakyat, berupa hak asasi dan esensi kemanusiaannya. Tak luput juga, menghilangkan fungsi agama dalam mencerahkan kesadaran ideal spiritual dan rasional material mayoritas bangsanya. Setelah hilangnya akal sehat dan maraknya kebiadaban. Sembari menuju klimaks distorsi penyelengaaran negara. Mungkin, rakyat hanya bisa menunggu kehadiran Tuhan dan apa jawabanNya atas semua yang terjadi di republik ini. Semoga bukan bencana alam dahsyat atau tragedi kemanusiaan yang memilukan. Sebagai penegasan bahwa begitu lemahnya kekuasaan manusia di mata Tuhan. Penulis, Pegiat Sosial dan Aktifis Yayasan Human Luhur Berdikari

Sengkarut AD/ART: Yusril Vs Demokrat

Oleh: TM. Luthfi Yazid *) BERKENAAN dengan kehebohan pengajuan permohonan hak uji materi, Judicial Review (JR)/toetsingrecht atas Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Demokrat (PD) yang diajukan empat orang mantan kader PD “kubu Moeldoko” melalui kuasa hukumnya advokat Yusril Ihza Mahendra (YIM), saya ingin memberikan analisis Meskipun saya pernah satu skoci menjadi partner dan pendiri Yusril Ihza Mahendra and Partners Law Firm, yang akhirnya pecah (Majalah Tempo, 8 Juni 2003, hukumonline.com, 3 Juni 2003), namun dalam banyak hal saya tidak sependapat dengan YIM, antara lain saat sengketa Pilpres RI di MK 2019, dimana YIM menjadi salah satu kuasa hukum Jokowi-Ma’ruf dan saya menjadi salah satu kuasa hukum Prabowo-Sandi termasuk juga saya punya pandangan yang berbeda dengan YIM soal JR terhadap AD/ART Partai Demokrat. Pandangan saya ini tidak terkait dengan konflik pribadi saya dengan YIM (yang pernah terjadi), namun semata-mata karena panggilan intelektualitas. Bahwa sistem kepartaian di Indonesia haruslah dibenahi, saya sangat sepakat. Faktanya, memang, beberapa partai politik di tanah air cenderung oligarkis, elitis dan nepotis. Hal ini yang menghambat perkembangan demokrasi di tanah air serta upaya mewujudkan cita negara hukum sebagaimana amanat konstitusi. Jika niat Yusril yang juga menjadi Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) adalah untuk membenahi sistem kepartaian-- sebagai salah satu pilar demokrasi-- maka patut diapresiasi. Bagaimanapun, langkah YIM ini telah mengundang polemik. Ada yang pro dan kontra. Ada yang memuji langkah YIM yang dinilai cerdas yang akan membawa perbaikan kedalam sistem kepartaian dan ketatanegaraan ke depan. Akan tetapi ada yang mem-bully YIM dengan mengaitkan anak YIM yang maju Pilkada di Belitung dengan dukungan PD yang menggunakan AD/ART yang diajukan JR sekarang. Ada juga yang mengatakan bahwa upaya JR ini hanyalah untuk mendongkrak rating dirinya. Tidak ketinggalan Menkopolhukam Moh. Mahfud MD (MMD) juga menanggapi permohonan YIM dengan mengatakan bahwa permohonan YIM itu tidak ada urgensinya, tidak ada gunanya, tidak akan merubah kepemimpinan di PD. Ketuanya akan tetap AHY, kata MMD. Soal JR yang dilakukan YIM, ada beberapa catatan yang perlu dipertanyakan. Pertama, apa saja yang menjadi objek JR di MA? Kedua, apakah AD/ART partai politik termasuk objek JR di MA? Di manakah posisi AD/ART dalam hierarki peraturan perundang-undangan? Ketiga, apakah AD/ART partai politik adalah peraturan di bawah Undang-Undang (UU) yang dapat dimohonkan JR ataukah ia hanya sebuah kesepakatan perdata antara para pihak? Pada titik ini kita jadi teringat pemikiran John Austin seorang English Jurist yang terkenal dengan karyanya The Province of Jurisprudence Determined (1832). Austin pada intinya mengatakan bahwa norma itu hanya dapat dibuat oleh sebuah otoritas resmi yaitu negara. Dengan kata lain, perintah baru dapat dikatakan sebagai hukum hanya apabila perintah tersebut berasal dari negara. Norma harus memuat sanksi dan harus bersifat publik. Jika tidak, maka hal tersebut tidak dapat diangggap sebagai peraturan yang mengikat kepada publik. Apakah yang dilakukan YIM, sebagaimana klaimnya adalah sebuah terobosan hukum? Menurut saya yang dilakukan YIM bukanlah terobosan hukum, melainkan sebuah logical fallacy (kesesatan dalam berpikir). Apakah ini juga patut diduga sebagai “intellectual manipulation”?! Wallahu’alam bishawab! Mengacu pada pendapat Meuwissen, gagasan yang ditawarkan kepada publik haruslah jelas landasan normatif, landasan teoritik dan landasan filosofisnya. Seperti diketahui, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Jenis dan Hierarki Peraturan Perundang-Undangan adalah: 1. Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; 3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 4. Peraturan Pemerintah 5. Peraturan Presiden; 6. Peraturan Daerah Provinsi; 7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Selain Peraturan Perundang-Undangan tersebut, menurut ketentuan Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011, ada Peraturan Perundang-Undangan lainnya yang diakui keberadaanya serta mempunyai kekuatan hukum mengikat dan menjadi objek JR di MA. Singkatnya, objek JR di MA hanya terbatas pada peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang. Jika merujuk pada pendapat John Austin di atas serta mengacu pada hierarki Peraturan Perundang-Undangan yang ada di Indonesia, sudah sangat jelas menyebutkan objek yang dapat di JR. Maka, AD/ART partai politik tidak memiliki tempat untuk dijadikan objek JR. Setidaknya ada tiga aspek mengapa AD/ART bukanlah merupakan objek JR di MA yakni, eksistensi norma, relasi dan implikasinya. Aturan yang disepakati bersama dalam AD/ART itu tidak sama dengan norma hukum yang berlaku secara umum yang dikeluarkan oleh otoritas resmi (lihat kembali pendapat John Austin). Dalam konteks ini YIM gagal membedakan antara norma yang berlaku secara umum dengan kesepakatan yang memiliki keberlakuan secara khusus kepada para pembentuk dan anggotanya. AD/ART bukanlah merupakan aturan yang berlaku secara umum, tapi secara terbatas. Para pihak yang terlibat dalam pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tidak sama dengan para pihak yang membentuk AD/ART. Dalam merumuskan pembentukan Peraturan Perundang-Undangan ada peran eksekutif, legislatif dan yudikatif, sedangkan dalam pembentukan AD/ART murni diserahkan kepada para pembentuknya, sehingga hubungan antara pembentuk AD/ART diikat berdasarkan kesepakatan yang dituangkan dalam AD/ART tersebut. Implikasi pemberlakuan AD/ART tidak sama dengan implikasi pemberlakuan Peraturan Perundang-Undangan atau kebijakan publik, karena implikasi AD/ART hanya mengikat para pembentuk dan anggotanya saja (sifatnya internal). Jika mau ada perubahan atau perbaikan terhadap AD/ART, maka seharusnya dilakukan secara internal oleh para pihak yang memiliki legal standing dalam partai politik itu sendiri. Terkait dengan pendapat MMD, yang mengatakan apabila MA mengabulkan permohonan YIM, maka yang akan dirubah hanyalah AD/ART PD yang akan berlaku bagi pengurus dan anggotanya yang akan datang. Pada bagian ini saya tidak sependapat dengan Menkopolhukam MMD, karena jika MA sampai mengabulkan permohonan JR terhadap AD/ART PD maka ini akan membuka gerbang anarkisme hukum (legal anarchism), sebab setiap orang dapat mengajukan permohonan JR terhadap AD/ART partai politik atau organisasinya sehingga kepastian hukum dinafikan. Adalah suatu keniscayaan (taken for granted) bagi MA untuk menolak permohonan JR AD/ART PD yang tidak mempunyai dasar hukum sebagai objek uji-materi/JR. Jika pendapat MMD mau diterapkan, maka harus ada perubahan terlebih dahulu terhadap Pasal 7 dan Pasal 8 UU No. 12 Tahun 2011 dengan memasukkan AD/ART dalam hierarki Peraturan Perundang-Undangan. YIM dalam suatu wawancara di televisi mengatakan bahwa AD/ART merupakan quasi-regulasi. YIM juga merujuk pada UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Klaim YIM soal ini kembali saya tidak sependapat --karena sekali lagi saya pertegas-- AD/ART ini sifatnya adalah kesepakatan internal partai politik. Sedangkan yang dapat di-JR adalah regulasi yang dibuat oleh otoritas resmi untuk kepentingan umum. Kalau kita berpegang pada nilai konsistensi (lat: consistere) dan koherensi (lat:cohairere) dalam mewujudkan kepastian hukum, sebenarnya rule of the game-nya sudah jelas ada dalam Pasal 7 dan Pasal 8 UU No. 12 Tahun 2011. Kalau YIM memang mau memberikan terobosan hukum, seharusnya terobosan yang memberikan solusi, bukan melahirkan permasalahan baru. Terlebih lagi, dalam waktu dekat ini, bangsa Indonesia akan menghadapi pekerjaan yang sangat besar yaitu Pemilu serentak pada tahun 2024. Akan ada sekitar 272 kepala daerah yang akan habis masa jabatannya sebelum tahun 2024 sehingga sebagian besar daerah akan dipimpin oleh pejabat sementara. Ini persoalan serius bangsa yang harus disikapi. Akhirnya, akan seperti apakah putusan MA atas permohonan JR AD/ART PD yang diajukan YIM? MA adalah lembaga peradilan tertinggi dan sebagai the guardian of legal certainty, yang setiap putusannya memuat irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Artinya, ia bukan hanya mengemban amanat konstitusi untuk mewujudkan “kepastian hukum yang adil”, namun juga mengandung dimensi ilahiyah dimana pertanggungjawabannya juga kepada Tuhan Yang Maha Esa. Putusan MA dalam soal ini sangat menentukan arah dan jalannya demokrasi konstitusional di negeri ini.*** (*) Dr. TM. Luthfi Yazid, S.H., LL.M, alumnus School of Law, University of Warwick, United Kingdom, advokat dan Vice President Kongres Advokat Indonesia (KAI).

Judicial Review Tidak untuk AD/ART Partai

By M Rizal Fadillah TIDAK perlu pakar hanya untuk sekedar menanggapi pembelaan Dr. Fahri Bachmid terhadap Prof Yusril Ihza Mahendra yang melakukan pengajuan Judicial Review AD/ART Partai Demokrat ke Mahkamah Agung. Hasil uji dan pembuktian yang ditunggu atas Yusril adalah apakah benar terobosan atau hanya mengada-ada dalam hukum. Dr. Fahri Bachmid wajar membela Yusril karena di samping Fahri akan diajukan sebagai Saksi Ahli, partner dari Kantor Hukum Yusril sendiri, dan juga pengurus DPP Partai Bulan Bintang. Namun terlepas dari hal itu, argumen hukum yang disampaikan dalam menanggapi artikel penulis masihlah dapat diperdebatkan. Ada empat hal kekeliruan argumen Dr. Fahri Bachmid, SH MH, yaitu : Pertama, naif jika menganggap yang dipermasalahkan adalah soal Kuasa Hukum dari empat anggota Partai Demokrat yang dipecat. Semua juga tahu bahwa hal itu adalah hak Prinsipal yang sekaligus hak dari Kuasa Hukum. Meskipun, sebenarnya karena status keempatnya sudah bukan lagi anggota Partai Demokrat maka menjadi tidak memenuhi syarat Legal Standing untuk mempersoalkan AD/ART Partai. Kewenangan mengadili soal pemecatan ada pada Mahkamah Partai. Yang menjadi persoalan disini adalah kelirunya Yusril Ihza sebagai Kuasa Hukum untuk menggugat Judicial Review AD ART Partai Demokrat ke Mahkamah Agung. Kedua, AD/ART Partai bukanlah bentuk dari peraturan perundang-undangan yang bisa diiuji ke Mahkamah Agung. Semestinya yang diuji adalah Keputusan Kemenhukham yang mengesahkan AD/ART Partai tersebut dan itupun dalam tenggang waktu yang ditentukan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara. AD/ART Partai adalah aturan yang diproduk dalam sebuah Munas, Kongres, Muktamar atau sejenisnya, karenanya AD/ART hanya bisa digugat dalam ruang Munas, Kongres, Muktamar dan sejenisnya tersebut. Ketiga, apa yang dilakukan Yusril Ihza Mahendra bukanlah murni hukum meski bernama Uji Materil ke lembaga Yudisial, melainkan sebuah keterlibatan dalam sengketa politik antara kubu Moeldoko dengan kubu AHY. Keempat orang yang menguasakan kepada Yusril adalah anggota Partai Demokrat kubu Moeldoko yang kemudian dipecat. Moeldoko sendiri gagal mendapat pengesahan dari Kemenhukham. Keempat, bahwa anggapan terjadinya kekosongan hukum dengan narasi bahwa "peraturan perundang-undangan dalam hal penormaan luput menjangkau serta mengatur soal pelembagaan pranata pengujian norma AD/ART Parpol" tidaklah tepat. Peraturan perundangan undangan telah memberi kewenangan penuh soal AD/ART Partai kepada internal partai itu sendiri. Jika ngotot juga dengan pandangan bahwa ada kekosongan hukum, maka yang seharusnya diuji materil adalah UU Parpol bukan AD/ART Partai. Nah demikian Pak Fahri Bachmid tanggapannya. Terhadap pandangan Prof Yusril kepada Prof Mahfud MD yang telah menilai tak ada gunanya menggugat AD/ART Partai, nampak nya Pak Yusril Ihza tak perlu berucap dan meminta Pak Mahfud MD untuk "tidak ikut campur terhadap kisruh di tubuh Partai Demokrat" karena justru Pak Yusril sendiri yang sedang aktif ikut campur terhadap kisruh di tubuh Partai Demokrat. Meski dengan dalih sebagai Advokat yang berhak membela siapapun, akan tetapi sangatlah tidak etis jika seorang Ketua Umum sebuah Partai Politik ikut campur pada kisruh Partai Politik lainnya. Moral politik harus menjadi ruh dari praktek hukum agar tetap diakui sebagai pakar hukum bukan berubah menjadi pakir hukum. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Muktamar-34: Refleksi Gerak Organisatoris NU sebagai Jam’iyyah (2)

Oleh: Mochamad Toha KH Agus Solachul Aam Wahib Wahab alias Gus Aam, Ketum KKNU 1926/ NU Khittah 1926. Dhurriyat Hadratush Syech Mbah KH. Wahab Chasbullah ini merefleksi gerak organisatoris NU. Yakni, refleksi gerak organisatoris NU sebagai jam'iyyah yang mengemban misi melayani umat. Sebagaimana diketahui dan dipahami bersama bahwa NU adalah Jam' iyyatu Adlin Wa Amaanin, wa Islahin, dan Wa Ihsaanin. Menurutnya, NU adalah institusi yang bergerak didasarkan pada Pola Pikir, Pola Sikap, dan Perilaku yang berlandaskan kepada Nilai Kebenaran dan Keadilan, memperjuangkan Nilai-Nilai Keagamaan, Sistem Kebangsaan. Sistem Kemasyarakatan yang didasarkan kepada Nilai-Nilai Kebenaran dan Keadilan sesuai Muqadimah Qanun Assasi Hadratus Syech KH Hasyim Asy'ari, Pendiri NU. “Karena itu, setiap gerak organisasi NU wajib didasarkan pada kesadaran dan keinsyafan sebagai jam'iyyah yang mengemban amanah dakwah serta menjunjung tinggi ajaran,” ungkap Gus Aam. Ajaran atau paham ahlussunnah wal jama'ah sekaligus menjadikan Qanun Asasi NU sebagai rujukan aktivitas organisasi, dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut: Pertama, Sistim Politik yang dibawa oleh NU yaitu Politik Kebangsaan dan Politik Kerakyatan yang mengarah pada tegaknya Kebenaran dan Keadilan dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara dalam bingkai NKRI. “Inilah pondasi yang paling penting untuk membangun pilar pergerakan, sebagaimana dicanangkan oleh para pendiri NU,” lanjut Gus Aam. Seiring dengan dinamika politik di Indonesia yang tidak menguntungkan dalam proses demokrasi dan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, ternyata PBNU ikut terjebak dengan dinamika politik praktis dan pragmatis, terseret jauh kedalam kubangan politik praktis yang tidak menentu. Keadaan tersebut sangat merugikan jam'iyyah dan mengaburkan orientasi dakwah dan pelayanan terhadap umat sebagai tujuan utama dan penting yang menjadi bagian dari misi NU. Hal itu diperparah lagi dengan beberapa pernyataan Ketum PBNU KH Said Aqil Siradj yang tidak konsisten, yang justru seringkali membingungkan, mengecewakan, meruntuhkan marwah dan wibawa jam'iyyah. Serta berdampak pada stigma negatif di kalangan masyarakat pada institusi NU yang pada akhirnya menyakiti hati umat Islam dan berimplikasi kepada rapuhnya Ukhuwah Islamiyyah. Kedua, sikap dan kebijakan PBNU yang dibangun dengan sistem politik praktis mengacu pada (Ashabul Qorror) daripada Ashabul Haq Wal Adl itu, akhirnya PBNU mengalami disorientasi gerakan. “Lebih ingin menguasai umat dan bukan melayani umat. Hal demikian, tentulah sangat bertentangan dengan nilai-nilai khittah NU,” ungkap Gus Aam. Ketiga, Kebijakan lainnya yang sangat menyesatkan adalah bahwa khittah NU Mutaghoyyir Conditioning (sesuatu yang dapat berubah-ubah sesuai perkembangan) menyebabkan NU terjebak ke dalam arus pragmatisme dan materialisme. “Padahal Khittah NU itu adalah Tsabit/final yakni hanya berorientasi pada pencapaian ridlo Allah SWT,” lanjut Gus Aam. Akibatnya Gerakan NU dalam menegakkan ashabul haq wal adl (kebenaran dan keadilan) kurang tajam, tidak menggigit. Dan, bahkan bergeser kepada ashabul qorror. Selain menyebabkan terjadinya disorientasi, keadaan ini juga menimbulkan disharmoni dan disintegrasi di internal NU. “Tiga hal itulah, yang sekarang ini sedang dan terus terjadi dalam tubuh PBNU,” ujar Gus Aam. Dengan demikian untuk menjawab aspirasi jam' iyyatu adlin wa amaanin wa islahin dan wa ihsaanin diperlukan sosok figur yang dapat menjadi panutan dan suri tauladan sebagai simbol Kader NU. Serta memiliki visi kongkrit untuk mengatasi problem NU kini dan masa mendatang. “Dan bertanggung jawab serta kompeten dalam memimpin institusi NU,” lanjut Gus Aam. Hingga saat ini calon yang bakal maju Calon Ketum PBNU terkuat menjadi Ketum PBNU diantaranya adalah Abdul Muhaimin Iskandar, Yahya Cholil Staquf, dan Said Aqil Siradj. Gus Aam mengakui, ketiga Caketum PBNU tersebut memang mempunyai kekuatan dari sisi finansial, kekuasaan, dan jabatan. Tapi, mereka belum memenuhi atau setidaknya belum memiliki konsep yang jelas bagaimana menata arah NU agar kembali ke khittahnya. Oleh karena itu, sebagai salah satu cucu Pendiri, Inisiator, dan Penggerak NU, KH Wahab Chasbullah dan sebagai Ketum KKNU 1926/NU Khittah 1926, Gus Aam sangat berharap semoga di Muktamar NU Desember 2021 ini dapat mengadopsi kriteria Caketum PBNU yang dapat memungkinkan tercapainya tujuan NU, yaitu: Bersih (Clean); tidak pernah punya “dosa” masa lalu, terutama berkaitan dengan kasus-kasus dugaan korupsi yang hingga kini masih menggantung hingga kini. Tujuannya untuk dijadikan “sandera”. Memiliki visi politik yang merekatkan umat, menjadikan NU sebagai ormas yang juga mengayomi seluruh elemen pergerakan Islam, sekaligus terdepan dalam merajut ukhuwah Islamiyyah. Mampu menempatkan relasi kekuasaan dan organisasi, menjaga marwah jam'iyyah, serta mampu mengakselerasi aktivitas politik yang bertujuan pada penegakkan ashabul haq wal adl (Kebenaran dan Keadilan). Harus mempunyai target kinerja yang riil dan kongkrit. Misalnya: Berapa banyak Rumah Sakit yang akan didirikan; Berapa banyak universitas yang akan didirikan; Berapa banyak sekolah-sekolah/pondok pesantren yang akan didirikan; Berapa banyak pasar yang akan didirikan; Berapa banyak Koperasi yang akan didirikan; Berapa banyak Panti Asuhan yang akan didirikan. Harus mempunyai kompetensi dalam me-manage seluruh potensi SDM, SDA, dan Market yang ada di pondok pesantren dan masyarakat. Berilmu dan mengerti, memahami, dan sanggup melaksanakan ajaran atau paham ahlussunnah wal jama'ah, sanggup dan mampu membentengi ahlus sunnah wal jama'ah. Menurut Gus Aam, semua kriteria yang ditetapkan tersebut, intinya adalah dalam rangka merealisasikan visi melayani umat. “Inilah yang seharusnya dilakukan oleh PBNU di bawah kepemimpinan siapapun,” katanya. Karena itu, lanjutnya, setiap Caketum PBNU wajib memiliki kriteria yang sejalan dengan visi dan misi NU yakni menegakkan ajaran Islam menurut paham ahlussunnah wal jama'ah di dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). (Bersambung)

Muktamar-34: Perlu Pembenahan Total di PBNU (1)

Oleh: Mochamad Toha Gelaran Muktamar ke-34 Nahdlatul Ulama (NU) pada 23-25 Desember 2021 di Lampung bakal menarik. Dipastikan akan terjadi perebutan kursi Ketua Umum PBNU antara yang status quo dengan non status quo. Sebelumnya, Sabtu hingga Ahad (26/9/21), PBNU menggelar Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) NU di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta. Sejumlah kiai sepuh di Jawa Timur, sebelumnya, Senin (20/9/2021), telah mengadakan pertemuan di Pondok Pesantren Lirboyo, Kota Kediri. Intinya, meminta agar Muktamar ke-34 NU berlangsung pada 2021. Ada juga sebagian mengusulkan pada 2022, pertimbangannya Covid-19, seperti PWNU DKI Jakarta, PWNU Sumatera Selatan (Sumsel) dan PWNU Kalimantan Utara serta PP Fatayat NU. Soal waktu, menurut Prof Dr H Rochmat Wahab, MPd, MA, lebih cepat lebih baik. “Harapan para kiai sepuh Jawa Timur, logis,” katanya. “Kalau molor terus, kredibilitas dan wibawa organisasi ini semakin jatuh. Mundur bukan berarti berkualitas,” lanjut Prof Rochmat Wahab, Kamis (23/9/21). Soal pandemi Covid-19, kata Prof Rochmat Wahab, kini, kondisinya sudah melandai. Tentu, peserta Muktamar harus taat protokol kesehatan. “Ormas lain bisa melakukan, masak kita tidak bisa,” tegasnya. “Apalagi faktanya, syahwat politik pengurus NU sekarang semakin vulgar, ini berbahaya bagi NU ke depan,” tambah Ketua Tanfidziyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama DIJ masa bakti 2011-2016 ini. Prof. Rochmat Wahab kemudian menyebut, banyak hal yang harus segera mendapat koreksi dari perilaku oknum pengurus NU. Diam-diam, katanya, PBNU sekarang ini sudah ‘terbeli’. Dikatakan, pengurus NU lebih suka bersenang-senang dengan kekuasaan, jabatan. “Akhirnya NU seperti jadi stempel penguasa. Pengurus NU senang ketika Ormas ini mendapat lahan 10 hektar,” ungkapnya. “Sementara itu kita diam ketika ratusan warga NU dalam ancaman seperti dialami Rocky Gerung. Ini jelas bukan NU yang diinginkan Mbah Hasyim, Mbah Wahab, dan Gus Dur,” jelasnya. Lahan 10 ha yang dimaksud Prof Rochmat Wahab tersebut tak lain adalah sebagian tanah “sengketa” yang diakui milik PT Sentul City Tbk yang telah dihibahkan oleh Luhut Binsar Panjaitan. Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) itu telah menepati janjinya kepada almarhum Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid atau akrab disapa Gus Dur. Saat itu, ia mengusulkan untuk membuat sekolah bagi warga NU. Gus Dur setuju dan sangat antusias. Sejak itu, kata Luhut, ia mencari lahan yang pas untuk membangun Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia). “Dan akhirnya moment yang saya nanti-nantikan itu tiba, saya menepati janji yang saya buat dengan guru saya. Dengan didampingi salah satu putri Almarhum Gus Dur, Mbak Yenny Wahid,” kata Luhut, seperti dikutip dari akun sosial media Facebook, Kamis (21/1/2021). Menurut Luhut, tanah yang terletak di kawasan Jonggol itu merupakan milik Trenggono Ting, yang sebelumnya pernah menjabat sebagai Presiden Komisaris PT Sentul City. Luhut mengaku bahwa selama beberapa waktu saya mencari lahan/tanah yang pas untuk pembangunan Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia ini, sampai kemudian dalam satu kesempatan ia bertemu Trenggono Ting. “Saat bertemu lagi dengan teman saya bapak Trenggono Ting, pemilik PT Sentul City dan saya mengusulkan kepada beliau supaya menghibahkan tanahnya untuk dijadikan universitas NU,” jelas Luhut. Luhut ingin pembangunan infrastruktur tersebut tidak hanya membangun pendidikan fisiknya saja, “tetapi juga membangun pendidikan manusia khususnya warga Nahdliyin secara keseluruhan,” ujarnya. Kembali kepada Prof Rochmat Wahab, kondisi seperti ini berpotensi besar munculnya praktek politik uang. Padahal, ini harusnya kita lawan. Dan, ini sesuai keinginan kita membangun peradaban baru yang menjadi komitmen NU dalam memasuki Abad ke-2 kelahiran NU. “Sekarang ini momentumnya. Sangat tepat, bagi generasi muda NU (untuk) mengambil-alih estafet kepemimpinan NU ke depan. Bersihkan politik uang dalam segala proses suksesi kepemimpinan NU di semua level,” ujatnya. Jika kita bisa mewujudkan bersama-sama, maka, ini kontribusi besar bagi terbangunnya NU yang sejalan dengan Khitthah NU. Sekarang, lanjutnya, semua kader NU punya hak mencalonkan dan dicalonkan. “NU sebagai institusi membangun peradaban tinggi. Butuh kepemimpinan berintegritas, tanpa dibebani dosa masa lalu yang semakin menggurita,” terangnya. Sekarang, semua kader NU punya hak mencalonkan dan dicalonkan. Saat ini adalah waktu yang tepat melakukan filter atas calon-calon yang akan membangun NU ke depan. Sekaligus memberikan dukungan kepada kader-kader potensial yang bisa mengakselerasi kemajuan NU di masa-masa yang semakin sulit, di tengah-tengah era disrupsi (perubahan besar-besaran) ini. Tak kalah penting lagi, Prof Rochmat Wahab juga menyinggung pimpinan PBNU yang suka ‘liar’ mengobral wacana dan membingungkan umat. Ini bisa berakibat fatal, karena masih kacaunya pemahaman atas agama. Sangat merepotkan nahdliyin dalam menjaga martabat NU. Pimpinan NU itu kalau bicara harus memilih diksi yang tepat dalam mengartikulasikan gagasannya. “Jangan hanya ingin seperti Gus Dur, tetapi kecerdasan tidak sama dengan Gus Dur. Akibatnya, banyak kalimat yang tidak argumentatif (itu), justru membingungkan umat,” pungkasnya. (Bersambung) Penulis adalah Wartawan FNN.co.id