OPINI

Bahaya Sekterianisme/Pengelompokan

Realita ini sesungguhnya digambarkan dalam Al-Quran: “Dan taatilah Allah dan rasulNya. Dan janganlah kamu berselisih (berpecah) yang menyebabkan kamu gagal dan kekuatanmu hilang” (Al-Anfal: 46). Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation DALAM sebuah ceramahnya yang sangat menggugah, Sheikh Hamzah Yusuf, salah seorang prominent Imam (Imam Besar) di Amerika Serika mengutip sebuah pernyataan Ali bin Abi Thalib sebagai berikut: “Being with the group with its impurities is better than sectarianism with purifies” Pernyataan ini kira-kira dapat diterjemahkan bahwa “Bersama kelompok yang menyeluruh (besar) dengan segala kekurangannya itu lebih baik daripada menggabungkan diri dengan kelompok kecil yang (terkadang) merasa lebih suci”. Pernyataan Ali Karroma Allahu wajhahu (Semoga Allah memuliakannya) ini menjadi sangat krusial dan penting ketika tendensi perpecahan Umat semakin besar. Perpecahan (tafriiq) dan bukan ikhtilaf (perbedaan) tanpa diragukan lagi menjadi penyakit terbesar Umat masa kini. Perpecahan Umat yang nampak di hadapan mata kita itu menjadi sangat terasa ketika Umat ini bagaikan sepotong daging empuk yang diperebutkan oleh anjing-anjing yang kelaparan. Dan mungkin saja  anjing-anjing itu telah berubah menjadi srigala yang berbulu domba. Atau juga menjelma bagaikan buaya-buaya liar yang terbiasa mengeluarkan airmata (buaya). Di mana-mana Umat ini menjadi sasaran empuk. Menjadi objek yang menarik untuk diperebutkan. Tidak tanggung-tanggung para buaya dan srigala liar itu rela bekerjasama demi memangsa sepotong daging yang empuk dan lezat itu. Di sisi lain perpecahan itu menjadikan Umat ini bagaikan onggokan gabus di tengah lautan luas. Terombang-ambing oleh pergerakan ombak seiring arah perjalanan angin. Tidak punya nilai (harga atau kehormatan) dan tidak punya posisi yang jelas. Realita ini sesungguhnya digambarkan dalam Al-Quran: “Dan taatilah Allah dan rasulNya. Dan janganlah kamu berselisih (berpecah) yang menyebabkan kamu gagal dan kekuatanmu hilang” (Al-Anfal: 46). Kata “tanaazu’” itu sendiri berasal dari kata “naza’a-yanza’u” yang artinya mencabut atau menarik sesuatu. Artinya kata tanaazu’ di sini bukan sekedar berselisih paham dalam arti berbeda pandangan. Tapi sebuah sikap yang memecah belah akibat perbedaan yang ada. Dan karenanya Islam tegas bahwa di satu sisi menghormati perbedaan/keragaman, termasuk perbedaan  opini dalam banyak hal adalah hal biasa. Tapi tegas melarang tendensi memecah atau berpecah dari kelompok besar keumatan. Tentu kata “keumatan” ini dapat dipahami pada tingkatan yang berbeda. Ada keumatan pada tingkat global, tingkat nasional, dan juga pada tataran lokal (Komunitas). Secara global Umat ini dengan segala ragam perbedaan yang ada di dalamnya, termasuk perbedaan nasional kenegaraan (nation state), hendaknya tetap menjaga persatuan keumatan secara global. Semua anggota Umat terikat oleh satu ikatan ukhuwah imaniyah (innamal mu’minuuna ikhwah). Secara nasional juga demikian. Bangsa Indonesia dengan “Persatuan Indonesia” pada Pancasila sebagai falsafah negara hendaknya menjadi landasan bagi semua tetap berada dalam berisan kesatuan NKRI. Demikian halnya pada tataran lokal (Komunitas). Komunitas Muslim di mana saja harus memperhatikan kebersamaan besar (umum) ketimbang kecendeungan-kecenderungan kelompok yang menjadi benih-benih perpecahan di antara anggota Komunitas di lokalitas masing-masing. Dan kalau kita merujuk kembali ke surah Al-Anfal: 46 tadi, ketaatan seharusnya menjaga Umat ini dari perpecahan. Dengan sama-sama membangun ketaatan Umat itu akan tetap bersatu. Walau mungkin saja ada perbedaan-perbedaan penafsiran. Tapi sangat disayangkan justeru seringkali “atas nama ketaatan” terjadi sikap dan prilaku yang cenderung memecah belah dengan pengelompokan-pengelompokan (tafriiq yang melahirkan firqah). Biasanya sebagian besar anggota Komunitas yang ikut dalam pengelompokan (firqah) itu “innocent” (korban ketidak tahuan) saja. Mereka tidak tahu jika di balik pengelompokan itu ada pribadi-pribadi egoistik yang berkarakter sektarianis (sectarian). Penggerak atau motor dari pengelompokan itu seringkali dilakukan oleh pribadi-pribadi yang punya dorongan egoistik. Kelompok-kelompok yang ada biasanya jadi sarang persembunyian dari kekecewaan-kekecewaan karena hal-hal tertentu. Kalau di masa Rasulullah SAW ketika itu biasanya didorong oleh kemunafikan. Bahkan mereka mendirikan masjid untuk memecah belah Umat. Masjid mereka ini dikenal dengan “masjid Dhiror” atau “masjid yang membawa marabahaya”. Karenanya masjid yang didirikan karena dorongan kekecewaan dan balas dendam pada waktu itu adalah masjid dhiror yang terbangun oleh jiwa-jiwa kemunafikan. Semoga kecenderungan seperti ini dijauhkan dari kita semua. Amin! New York City, 3 Januari 2021. (*)

Tidak Anti Vaksin Tapi Pro Kebenaran

  Rata-rata produk vaksin dijual kepada negara, dan menjadi pengeluaran negara, dan menjadi mandat dari Badan Kesehatan Dunia kepada setiap Pemerintah Negara yang menjadi anggotanya. Oleh: Dr. Tifauzia Tyassuma, President of Ahlina Institute, Penulis Buku Best Seller Body Revolution, Nutrisi Surgawi 7 Colors Garden DALAM dua tahun ini, saya menelusuri ratusan buku, yang khusus menulis tentang Anti-vax, dan ratusan buku tentang vaksinasi yang ditulis oleh orang-orang yang kemudian diberi label sebagai Antivaxxer sekaligus Pseudoscientist atau Ilmuwan Palsu. Mereka adalah para Ilmuwan, doktor, profesor, dokter, peneliti, yang bekerja di laboratorium, di pabrik farmasi, di dunia vaksinasi, yang memahami betul sejarah dan perkembangan vaksinasi, karena mereka adalah orang-orang yang betul-betul terlibat di dalamnya, merencanakan penemuannya, dan menjalankan pembuatannya. Mereka bukan orang-orang yang biasa-biasa saja. Mereka para ilmuwan yang betul-betul hebat di bidangnya. Bidang pembuatan vaksin. Mengapa mereka kemudian disebut Anti-Vaxxer atau Pseudoscientist? Apakah gelar mereka palsu? Apakah tulisan-tulisan hebat mereka dalam jurnal-jurnal ilmiah tidak bermutu? Apakah penelitian-penelitian yang mereka lakukan abal-abal? Tidak! Mereka disebut demikian, karena secara terbuka, membuka sejarah vaksinasi, termasuk sejarah kelamnya. Mereka menceritakan bagaimana cara pembuatan vaksin dengan detail, termasuk kandungan-kandungan di dalamnya. Mereka sampaikan bagaimana vaksin baru diujicobakan pertama kali dalam tubuh manusia, sebagai suatu Human Experimental, dan apa saja efek samping hingga efek mematikan yang terjadi selama puluhan tahun. Mereka secara terbuka juga menyampaikan, bisnis vaksin merupakan bisnis yang sangat menguntungkan selama dua ratus tahun, yang dinikmati segelintir orang saja. Rata-rata produk vaksin dijual kepada negara, dan menjadi pengeluaran negara, dan menjadi mandat dari Badan Kesehatan Dunia kepada setiap Pemerintah Negara yang menjadi anggotanya. Sehingga vaksin, tanpa perlu diberi biaya marketing yang besar, sudah memiliki marketnya sendiri, para bayi baru lahir, ibu hamil, pasangan mau menikah, orang-orang yang akan bepergian. Tak akan ada habis-habisnya itu tambang vaksin mengeluarkan raturan triliun tanpa perlu dikeruk dan dibor. Dan, para dokter selalu senang hati akan memasarkannya kepada pasien-pasien mereka dengan penuh semangat. Pro-Truth Dengan membaca ratusan buku dan ribuan jurnal (yang tidak usah saya sebutkan berapa ratus dan berapa ribu tepatnya. Kecepatan membaca buku in English, 500 halaman 90 menit dan non English 500 halaman 3 jam, dan membaca jurnal 20 jurnal per hari, silakan dihitung dikalikan 24 bulan). Membaca buku dan jurnal adalah pekerjaan utama saya sebagai penulis dan peneliti berbasis lieratur, termasuk observasi, pengamatan langsung di lapangan, adalah cara saya, dedikasi saya, menjadi seorang Pro-Truth. Vaksin, terlepas dari sejarah kelamnya, terlepas dari kandungan logam dan bahan haramnya, terlepas dari efek samping KIPVI (Kejadian Ikutan Paska Vaksinasi ) yang ringan maupun yang mematikan adalah produk kesehatan berbasis teknologi yang memberi manfaat tidak sedikit. Beberapa vaksin, mampu mengeradikasi sejumlah penyakit infeksi yang mematikan, semisal Variola (cacar), Polio, dan Diphteri, dan menurunkan risiko sejumlah penyakit lainnya, seperti BCG untuk TB, DPT untuk Pertusis dan Tetanus, dan Hepatitis. Sejumlah vaksin lainnya masih menunggu sejarahnya, apakah memang bermanfaat atau tidak. Sebab, vaksin Variola, vaksin Cacar, memerlukan waktu 200 tahun hingga Cacar menjadi lemah, tidak lagi mematikan, dinyatakan punah oleh WHO pada 1980. Tetapi belakangan Bill Gates dan WHO sendiri menyatakan, Variola akan bangkit sebagai Pandemi berikutnya, setelah Coronavirus. Jadi ya memang belum punah. Artinya, Virus Cacar masih bergentayangan di seluruh permukaan bumi, menunggu waktu untuk menjadi Pandemi. Vaksin Polio, memerlukan waktu 70 tahun, hingga membuat Polio tidak lagi mematikan, tidak lagi membuat lumpuh. Tetapi sampai dengan hari ini, tidak ada satupun negara ataupun lembaga yang bisa mengklaim bahwa Polio sudah punah di negaranya. Kasus polio masih banyak di negara-negara ketiga, termasuk Indonesia. Karena itu, ketika Vaksin Baru, yaitu Vaksin Coronavirus, memasuki masa Human Eksperimental-nya, dimulai pada awal 2021, sejumlah ahli, dokter dan ilmuwan yang hati nuraninya tak bisa berbohong, selama dua tahun ini menggunakan berbagai media untuk menyampaikan warning kepada umat manusia, melalui facebook, twitter, instagram, youtube, youmaker, buku, jurnal, video, yang beredar di seluruh dunia. Siapa yang getol memberikan mereka cap Anti-Vaxxer dan Pesudoscientist? Kalau Anda perhatikan, rata-rata mereka ini dokter-dokter atau spesialis yang baru lahir, sedang genit-genitnya pakai jas putih dan mondar-mandir kesana kemari dengan stetoskopnya. Doktor-doktor muda yang sedang semangat, seperti anak itik baru keluar dari cangkangnya. Sedang memuja gelarnya, dan sedang senang-senangnya menghujat orang lain. Dan, ilmuwan-ilmuwan muda yang sedang senang-senangnya namanya dimuat di jurnal berbasis Scopus. Yang bacaannya mungkin beberapa buku, dan beberapa jurnal. Dokter dan Peneliti yang seusia atau di atas saya, lebih banyak terpekur, diam, semoga juga sedang tafakur. Saya memilih untuk bicara. Walaupun dalam ruang gerak serba terbatas. Ancaman berkarung-karung saya terima, membuat harus akrobat juga dalam menyampaikan apapun. Saya memilih sosial media. Bukan media mainstream, karena kesel banget setiap kali diundang TV, ternyata cuma jadi iklan-getter, bicara cuma 4 menit dan diserobot-serobot. Lebih lama pasang bulu mata di belakang panggung daripada bicara di depan kamera. Kesel, kan? Makanya saya malas sekalipun diundang ke TV-TV lagi. Yang penting kebenaran sudah saya sampaikan. (*)    

Kematian Ustad Abdul Aziz yang Menginspirasi

Model dakwah Ustad Aziz itu memadukan ilmu berreferensi klasik dengan fenomena aktual. Untuk itu dia sering mengajak diskusi saya terkait isu-isu aktual. Meminta pandangan saya tentang fenomena yang berkembang di masyarakat. Oleh: Anwar Hudijono, Veteran Wartawan Tinggal di Sidoarjo TENTU saja saya kaget begitu mendengar kabar seorang sahabat terbaik, Ustad Abdul Aziz meninggal. Tapi saya bersyukur karena dia meninggal pada saat memberikan tausiyah usai Shalat Ashar di Masjid Aisyah, Jalan Teluk Nibung, Surabaya, Ahad, 2 Januari 2022. Momentum kematiannya insya’ Allah termasuk sangat baik. Ustad Abdul Aziz, pengasuh Pengajian Assalam di TVRI Jawa Timur. Dia seorang pendakwah papan atas Surabaya. Jamaahnya meliputi banyak kalangan. Mulai komunitas majelis taklim, jamaah masjid sampai pejabat dan selebriti. Saya berkawan dengan almarhum mulai kelas 1 Pendidikan Guru Agama Atas (PGAA) Mujahidin, di jalan Tanjung Perak Barat, Surabaya. Saya pindah dari PGAA Al-Islam Mojorejo, Caruban, Kabupaten Madiun selepas dari tahanan Orde Baru dalam kasus rencana melakukan aksi demonstrasi Kebijakan 15 November (Kenop 15) 1978 terkait kebijakan ekonomi. Tapi baru menggelar rapat aksi bersama sekitar 40 pelajar se-Caruban, sudah keburu dibekuk aparat. Jadilah penghuni sel tahanan mulai Polsek Caruban, Polres, dan Kodim Madiun. Terakhir di Rumah Tahanan Militer (RTM) Jl. Yos Sudarso Madiun bersama tahanan politik PKI dan Komando Jihad. Di antara pengajar di PGAA Mujahidin adalah Ustad Prof Dr Rum Rowi, ulama Jatim. Ustad Muhadjir Sulthon, penemu metode belajar Al Quran, Al Barqi. Ustad Hasun, imam legedaris Masjid Mujahidin. Talenta Ustad Aziz menjadi mubaligh sudah terlihat sejak PGAA. Kalau berdiri di atas mimbar terlihat wibawa. Tangannya merentang merangkul mimbar. Suaraya berat menggelegar. Vokalnya mantap seperti Bung Karno. Sejak muda kalau berpidato tidak bawa krepekan. Hafalannya kuat. Kemampun olah vokalnya ini juga diasah sebagai penyiar Radio Mujahidin yang kemudian berganti nama menjadi Radio PTDI dan terakhir Radio Suara Perak Jaya. Radio yang terkenal dengan alunan lagu Panggilan Jihad untuk  pembukaan dan penutupan acara. Lagu karya Buya Hamka itu benar-benar menggetarkan jiwa. Model dakwah Ustad Aziz itu memadukan ilmu berreferensi klasik dengan fenomena aktual. Untuk itu dia sering mengajak diskusi saya terkait isu-isu aktual. Meminta pandangan saya tentang fenomena yang berkembang di masyarakat. Saya juga beruntung mendapatkan wawasan bagaimana memandang fenomena aktual dalam perspektif agama. Apalagi setelah saya jadi veteran wartawan saya harus melakukan transformasi keilmuan. Jika wartawan melihat fenomena aktual dengan referensi pakar, buku, kini dalam transformasi keilmuan harus belajar dengan perspektif Al Quran dan Hadits. Dengan meninggalnya dia, saya kehilangan mitra diskusi pelbagai masalah kehidupan, sekaligus tempat saya belajar agama. Jujur saja, saya ingin meninggal dalam momentum yang sangat baik seperti Aziz ini. Status husnul khotimah atau tidak memang hanya Allah yang tahu, tetapi secara kasat mata tak bisa diingkari itu sangat baik. Betapa tidak baik. Bakda Shalat Ashar berjamaah. Pas saat memberikan tausiyah. Sangat mungkin dia masih dalam kedaan berwudhu. Konon siapa yang mati dalam keadaan jaga wudhu, Allah mengharamkan api neraka menjilat dirinya. Di kubur, Allah mengharamkan jazadnya bagi cacing dan serangga. Cara kematian Ustad Abdul Aziz sangat menginspirasi. Rabbi tawaffani musliman wa alhiqni bis-shalihin. (Ya Tuhan,wafatkanlah aku dalam keadaan muslim dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh). Rabbi a’lam. (*)

Bahar Smith dan Terorisme Negara

Oleh M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan LANGKAH Danrem 061 Suryakancana Brigjen TNI Achmad Fauzie mendatangi Habib Bahar Smith mengancam akan membubarkan pengajian dan ultimatum agar menghadiri panggilan Kepolisian adalah teror petinggi TNI yang berbau premanisme. Pekerjaan yang di luar kompetensinya. Dalih dalam rangka pengawasan PPKM dinilai mengada-ada dan tidak rasional. Prosedur hukum diabaikan atau dikesampingkan. Terorisme negara.  Teror lain kepada Bahar Smith adalah pengiriman tiga kepala anjing. Di samping hal ini menunjukkan perilaku primitif, juga dapat dimaknai sebagai ancaman serius. Apabila obyektif dan jujur Polisi segera mengusut siapa pengirim kepala anjing tersebut. Jika dibiarkan maka patut diduga ada kolaborasi sistematik yang mengarah pada terorisme negara. Moga ungkapan Kapolri \"potong kepala busuk\" tidak diterjemahkan dengan \"potong kepala anjing\". Konon saat Bahar Smith dipanggil ke Kepolisian, akan ada aksi jalanan yang mengingatkan dahulu saat Habib Rizieq Shihab diperiksa di Mapolda. Saat itu ormas yang dikenal binaan mantan Kapolda Anton Charliyan digerakkan untuk membuat tekanan psikologis.  Adakah model seperti ini bagian dari terorisme negara? Mungkin bagi Smith sendiri tekanan atau teror-teror tersebut bisa tidak berarti karena baginya mati pun sudah masuk dalam kalkulasi. Risiko pribadi berdasarkan keyakinan keagamaan. Persoalannya adalah publik atau rakyat kini sedang disuguhi tontonan yang memuakkan. Bagaimana entitas negara menjadi pecundang oleh ulah atau sikap seorang warga negaranya. Begitu panik dan kehilangan kepercayaan diri sehingga gaya preman dan koboy harus ditampilkan.  Kembalilah pada upaya memulihkan kedaulatan hukum, jangan hukum dikoyak-koyak oleh kepentingan politik atau oleh ketakutan dan kebencian. Hukum jangan memilih dan memilah-milah sekedar untuk menghukum siapapun yang tidak sejalan. Keragaman yang dibungkam oleh keseragaman. Otoritarian.  Demokrasi memang bukan dewa tetapi kita kadung menyepakati bahwa sistem ini yang dipilih. Sila keempat Pancasila mendasari model dan pelaksanaan demokrasi. Karenanya perbedaan  termasuk pandangan, gaya dan cara da\'wah Habib Bahar Smith tidak perlu dianggap berbahaya apalagi merusak. Jika dipandang biasa dan bagian dari keragaman mungkin bangsa ini akan menjadi semakin dewasa. Tak perlu ada kriminalisasi.  Tujuan negara antara lain adalah untuk melindungi segenap tumpah darah yang . membuat warga nyaman menjalankan tugas dan fungsinya. Termasuk berdakwah. Bila ada hal keliru patut untuk diluruskan dengan persuasif. Langkah represif digunakan hanya jika suatu perkataan atau perbuatan itu benar-benar destruktif.  Habib Bahar bukan teroris karenanya tidak layak diambil tindakan \"counter teror\" yang merusak  citra negara. Terorisme negara harus dihindari dan dieliminasi. Apalagi kepada umat Islam yang dirasakan semakin terpojokkan di bawah rezim ini. Penzaliman itu sangat dirasakan dan tentu merugikan umat, bangsa dan negara. (*)

Eijkman Korban Ngawurisme

Oleh Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar Riset Operasi dan Optimasi Institut Teknologi 10 November (ITS) Surabaya BONGKAR pasang kementrian dan LPND kini menimbulkan korban lagi. Kali ini korbannya Lembaga Biologi Molekuler Eijkman yang melegenda itu. Ini terjadi setelah Kemenristek dilebur ke dalam Kemendikbud, sementara fungsi riset dan inovasi dikelola oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional. Hemat saya, perombakan ini mubazir karena tidak mengubah proses-proses bisnis utama yang terjadi di kabinet secara signifikan, bahkan setelah ada KSP segala serta beberapa Menteri Koordinator. Bahkan penguatan oligarki parpol yang mendukung rezim saat ini, serta adanya Kemenko kesimpangsiuran kebijakan masih sering terjadi. Akar masalahnya satu biaya politik yang makin tinggi menyebabkan pengelolaan kementerian menjadi sangat dirundung ego sektor. Koordinasi mensyaratkan kesimetrian informasi lintas-sektor, sedangkan ego-sektor merupakan resep bagi inefisiensi koruptif yang justru diharapkan parpol. Ketidaksimetrian informasi membuka insentif untuk tata kelola yang buruk dan dissinergi.  Akar masalah lainnya adalah peleburan Dikti ke dalam Kemendikbud. Dikti dianggap perpanjangan Dikdasmen. Padahal tugas universitas berbeda dengan persekolahan yang kini memonopoli sistem pendidikan nasional. Di negara maju, tradisi kampus jauh lebih tua daripada tradisi sekolah dan tugas universitas adalah knowledge creation and innovation. Sekolah hanya merupakan instrumen teknokratik penyiapan buruh yang cukup trampil menjalankan mesin-mesin pabrik sekaligus cukup dungu untuk setia bekerka pada kepentingan pemilik modal, terutama asing yg sanggup memberi gaji besar. Menempatkan perguruan tinggi sekedar kelanjutan SMA adalah keliru. Kebijakan Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka jadi lelucon. Peleburan Dikti ke Kemendikbud menguatkan agenda penjongosan sekaligus pendunguan nasional. Kekuatan kontrol setelah parlemen lumpuh dan media massa hanya menjadi corong pemerintah hanya tinggal perguruan tinggi. Namun kekuatan kontrol berbasis kampus itu kini hilang sama sekali. Perguruan tinggi bukan lagi lembaga yang memiliki kemerdekaan untuk menyatakan pendapat yang berbeda dengan kebijakan pemerintah. Alasan pokok perguruan tinggi memiliki keistimewaan memberi gelar akademik mulai dipertanyakan. Kampus kini disibukkan untuk memperbaiki lulusan SMA yang tidak mandiri dan tidak dewasa serta melakukan hampir semua hal kecuali yang penting bagi penciptaan pengetahuan dan inovasi.  Pengalaman saya selama 30 tahun lebih di universitas dan menjadi mitra kerja berbagai kementrian menunjukkan bahwa pemerintah sering terlalu percaya diri untuk menerima masukan pakar mandiri dari kampus. Apalagi banyak anggota eksekutif dan legislatif kini memburu gelar akademik hingga jabatan profesor. Hampir-hampir tidak pernah ada hasil penelitian perguruan tinggi digunakan dalam perumusan kebijakan Pemerintah. Proyek-proyek penelitian juga dijadikan instrumen korupsi melalui banyak kick back yang berujung di kantong anggota parlemen lagi. Bahkan kini pakar dari universitas sering dipandang sebelah mata oleh birokrat.  Keterpaduan penelitian yang sudah lama diwacanakan oleh Dewan Riset Nasional hingga hari ini masih sekedar mimpi di siang bolong. Posisi DRN makin lemah selama lima tahun terakhir. Ini menjelaskan mengapa kapasitas inovasi bangsa ini makin tertinggal. Saya ragu apakah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN yang diamanahkan dalam UU no. 19 tentang SisNas Iptek) yang langsung di bawah Presiden akan mampu mengorkestrasikan banyak lembaga riset yang jauh lebih tua seperti LIPI, LAPAN, BPPT, LBM Eijkman dsb. Apalagi jika Dewan Pengarah BRIN diambil dari kalangan politikus atau bahkan Ketua Partai berkuasa.  Dengan mengambil kesempatan yg dibuka oleh pandemi Covid-19 sebagai  public health emergency of international concern, sulit menolak kesan kecenderungan ngawurisme pemerintah saat ini. LBM Eijkman yang semestinya paling kompeten untuk menetapkan apakah status pandemi ini layak diteruskan, malah dilemahkan.  Seperti persekolahan tidak pernah dirancang untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai prasyarat budaya bagi bangsa merdeka, BRIN tidak dirancang untuk membangun kedaulatan iptek yang diperlukan untuk melengkapi bangsa merdeka itu dengan iptek untuk bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Para peneliti bangsa ini akan diposisikan sebagai pemulung iptek, jika bukan jongosnya. Wis pokok-e awuren wae! Rosyid College of Arts, Gunung Anyar, 2/12/2022.

BRIN: Riset dalam Kendali Kuasa Gelap?

Oleh  Gde Siriana,  Penulis Buku “Keserakahan di Tengah Pandemi” KATE Dibiasky (Jennifer Lawrence), seorang mahasiswi kandidat doktor astronomi, bersama profesornya Dr. Randall Mindy (Leonardo Di Caprio), ketika sedang melakukan penelitian mengenai pergerakan benda-benda luar angkasa, menemukan sebuah komet besar seukuran gunung Everest yang mengorbit di dalam tata surya, yang berada pada jalur tabrakan langsung dengan Bumi. Dengan bantuan Dr. Oglethorpe (Rob Morgan) dari NASA (Badan Antariksa AS), Kate dan Dr. Randall menghadap Presiden Orlean (Meryl Streep) dan putranya yang penjilat sekaligus Kepala Staf, Jason (Jonah Hill).  Presiden acuh tak acuh, dan tidak ingin membuat kepanikan di masyarakat. Lalu mereka bertiga memulai tur media dalam siaran The Daily Rip untuk memperingatkan manusia. Tetapi media tidak perduli dan menganggapnya hanya sebagai hiburan sensasional. Dengan data-data yang akurat Kate, Dr. Randall dan Dr. Oglethorpe berhasil meyakinkan Presiden Orlean untuk melakukan tindakan menghadang komet dengan nuklir agar hancur sebelum masuk tata surya bumi. Tetapi ketika senjata nuklir telah diluncurkan tiba-tiba operasi dibatalkan Presiden Orlean akibat seorang milyarder super kaya Peter Isherwell (Mark Rylance) yang juga penyumbang terbesar kampanye presiden berhasil mempengaruhi presiden untuk tidak menghancukan komet karena mempunyai kandungan alam (emas dan tembaga) yang bernilai ekonomis tinggi. Presiden Orlean dan Peter memilih untuk menuntun komet mendarat di bumi tanpa kehancuran komet. Sayangnya operasi tersebut gagal dan bumi hancur musnah. Itu adalah kisah dalam film Don’t Look Up, produksi tahun 2021. Bergenre komedi, film ini secara satire mengingatkan kita, bahwa kekusaan tanpa kontrol, dan riset-riset yang dikendalikan oleh kepentingan bisnis adalah sangat berbahaya, yang berdampak fatal bagi kehidupan manusia. Setelah menonton film ini saya jadi teringat dengan BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) yang menciptakan kontroversi karena diprotes kalangan peneliti dan masyarakat umum. Dalam webinar bertajuk The Kickoff Pameran Riset & Inovasi Ritech Expo 2021 (3/11/2021), Plt Deputi Pemanfaatan Riset dan Inovasi IPTEK BRIN Mego Pinandito mendorong industri untuk memanfaatkan sumber daya periset maupun infrastruktur yang dimiliki BRIN untuk melakukan riset. Tujuannya agar kontribusi pendanaan riset dari sektor swasta nantinya bisa semakin besar. Saat ini, 80 persen kontribusi riset masih didanai pemerintah, sementara swasta baru 20 persen. Tidak saja aspek pendanaan swasta, Mego menjelaskan fasilitas BRIN adalah bagian dari industri yaitu unit risetnya industri, sehingga boleh digunakan industri. Menarik untuk mengamati struktur BRIN. Sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 78 Tahun 2021 yang telah dilansir pada 24 Agustus 2021, struktur organisasi BRIN terdiri dari kepala BRIN, wakil kepala BRIN, inspektorat utama dengan tiga inspektorat, sekretariat utama dengan lima biro, dan tujuh deputi. Kemudian, tiga unit pendukung yaitu Pusat Data dan Informasi (Pusdatin), Pusat Pelayanan Teknologi (Pusyantek), dan Politeknik Teknologi Nuklir. Ketujuh deputi akan fokus untuk melakukan pelayanan eksternal dan terkait infrastruktur riset. Sedangkan sekretariat utama akan melayani pelayanan administrasi dan internal, serta infrastruktur perkantoran. Terkait aktivitas riset, akan dilakukan dan dieksekusi oleh organisasi riset. Menariknya, Ketua Dewan Pengarah BRIN dijabat Megawati Soekarnoputri yang juga Ketua Umum PDIP, dan di bawahnya ada dua ex-officio Menteri Keuangan dan Menteri PPN/Kepala Bappenas. Tujuh Deputi BRIN akan membawahi tujuh organisasi riset (OR) yaitu OR Tenaga Nuklir, OR Penerbangan dan Antariksa, OR Pengkajian dan Penerapan Teknologi, OR Ilmu Pengetahuan Hayati, OR Ilmu Pengetahuan Kebumian, OR Ilmu Pengetahuan Teknik, dan OR Ilmu Pengetahuan Sosial Humaniora. Pembentukan organisasi riset dilakukan sejak proses integrasi empat lembaga pemerintah non kementerian (LPNK), yaitu Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), dan 44 unit penelitian dan pengembangan yang tersebar di kementerian/lembaga lain.  Penggabungan lembaga-lembaga riset ini disertai penggabungan anggaran tentunya, yang untuk tahun 2022 Kepala BRIN Laksana Tri Handoko mengharapkan akan ada anggaran Rp 10,5 triliun untuk BRIN. Hal lainnya adalah setiap lembaga riset universitas maupun Lembaga Penelitian Non-Kementrian (LPNK) akan dimudahkan dalam mendaftarkan usulan riset mereka di Sistem Informasi Manajemen Prioritas Riset Nasional atau SIM-PRN. Terlepas dari persoalan nasib peneliti Eijkman setelah berintegrasi dengan BRIN yang menjadi berita heboh awal tahun 2022, saya mengkritisi kelembagaan BRIN pada 3 faktor strategis, yaitu : Kemandirian Lembaga Lembaga riset, sebagaimana halnya perguruan tinggi, dalam perannya dalam penyelenggaraan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, memiliki kemandirian dan kebebasan untuk menjalankan proses-proses yang meliputi penelitian, pengembangan, pengkajian dan penerapan teknologi. Ini diakomodasi dalam UU Sisnas IPTEK No.11 tahun 2019. BRIN, seperti halnya perguruan tinggi tidak layak dipimpin oleh orang-orang yang berlatar belakang Partai Politik dan bukan dari kalangan peneliti, apakah sebagai kepala lembaga atau ketua dewan pengarah. BRIN semestinya tidak di bawah pengaruh serta kendali kekuatan politik tertentu dan kekuasaan. Integrasi BRIN meliputi semua penelitian-penelitian yang merupakan aset negara, ditambah lagi dengan anggaran yang cukup besar, yang dapat melebihi Rp10 triliun jika semua lembaga penelitian di perguruan tinggi kemudian juga dilebur ke dalam BRIN. Jadi dalam hal ini ada dua isu besar terkait integrasi BRIN, yaitu konsentrasi kekuasaan dan  anggaran negara yang besar. Semestinya Presiden Joko Widodo dan Ibu Megawati Soekarnoputeri sebagai Ketua Dewan Pengarah BRIN memahami ini, jangan sampai upaya memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi berada dalam kuasa gelap (shadow-state). Sangat mungkin di kemudian hari, seorang pebisnis besar, setelah mendapatkan gelar doctor honoris causa lalu memimpin BRIN, tanpa integritas dan track record sebagai peneliti. Efektifitas dan Kinerja Penelitian Dari dua negara besar dengan sistem pemerintahan yang berbeda, AS dan China, tidak ada di kedua negara itu meleburkan semua lembaga risetnya ke dalam satu lembaga. Di AS, ada sekitar 70 lembaga riset milik negara, dan di China sekitar 150 lembaga penelitian milik negara. Lembaga riset memiliki bentuk dan struktur organisasi yang khas. The Policy Institute pada King’s and RAND Europe mengatakan bahwa \'perekat\' yang menciptakan unit penelitian berkinerja tinggi adalah budaya penelitian, nilai-nilai yang mendasari dan kepemimpinan.  Itulah mengapa lembaga penelitian tidak cocok untuk disatukan. Tetapi pemerintah dapat berfungsi sebagai fasilitator yang menciptakan kompetisi penelitian yang sehat, dan menyediakan anggaran yang dibutuhkan. Jadi sebenarnya BRIN tidak perlu meleburkan semua lembaga riset yang telah ada menjadi organisasi riset di bawahnya. BRIN cukup menjadi fasilitator dan koordinator dari semua upaya riset nasional, dan menyerahkan semua penelitian dan pengembangan teknologi kepada setiap lembaga riset. Bahkan seharusnya BRIN fokus mengembangkan fungsi litbang di setiap perguruan tinggi agar lebih maju. Di AS misalnya NASA menduduki peringkat 43, kalah dari lembaga riset perguruan tinggi. Jadi dalam hal ini saya melihat isunya adalah bukan Re-Organisasi yang diperlukan, melainkan Revitalisasi IPTEK nasional. Dalam militer kita juga bisa melihat, karena kekhasannya, maka angkatan darat, angkatan laut dan angkatan udara tidak digabung dalam satu struktur organisasi di mana setiap angkatan hanya menjadi unit tempur berbeda. Meskipun ada Panglima TNI yang memegang komando tertinggi TNI tetapi pengembangan setiap angkatan tetap di bawah kendali setiap kepala staf angkatan. Dalam UU Sisnas IPTEK No.11 tahun 2019 pasal 13 (2) dijelaskan bahwa penyelenggaraan ilmu pengetahuan dan teknologi dilakukan secara meluas oleh perseorangan atau kelompok, badan usaha atau perguruan tinggi, lembaga pemerintah atau swasta. Intinya tidak ada satu lembaga yang memonopoli ilmu pengetahuan dan teknologi. Keamanan Data Penelitian Menyerahkan pendanaan riset negara kepada sektor swasta memiliki potensi riset dikendalikan oleh pihak swasta atau industri. Proposal-proposal riset sangat mungkin lebih banyak datang dari dunia usaha karena terbuka pintu BRIN bagi swasta untuk mengunakan fasilitas BRIN. Meskipun komersialisasi hasil riset itu dapat dinikmati masyarakat tetap saja konteksnya adalah profit bisnis. Jadi pada poin ini isunya adalah Riset yang Sales-Oriented. Lembaga riset memiliki etika ilmiah yang menuntut kejujuran dan integritas dalam semua tahap praktik ilmiah. Sistem etika ini memandu praktik sains, mulai dari pengumpulan data hingga publikasi dan seterusnya. Yang paling dikuatirkan adalah bocornya data-data penelitian negara selama ratusan tahun sejak era kolonial kepada pihak swasta atau asing, misalnya spesimen-spesimen penyakit langka khas Indonesia, yang kemudian pihak swasta atau asing membuat vaksinnya lalu kemudian dijual kepada pemerintah Indonesia. Serta resiko hilangnya koleksi-koleksi langka seperti tumbuh-tumbuhan yang kemudian penelitian dilakukan oleh pihak swasta dan asing lalu dipatenkan atas nama mereka. (*)

Tahun Baru Rezim Baru

Belum pernah sepanjang republik  berdiri, jelang pergantian tahun dipenuhi begitu banyak persoalan krusial dan membahayakan eksistensi sekaligus keberadaan  negara bangsa. Suasana kebatinan rakyat diliputi emosi, luka dan kepedihan yang menyayat jiwa. Hampir 2 periode perjalanan  pemerintahan, perilaku kekuasaan cenderung  memastikan Indonesia menuju negara gagal.  Cukup satu tahun rezim pencitraan mampu memporak-porandakan kehidupan rakyat. Menggerus pondasi negara dan mengikis pilar-pilar kebangsaan. Oleh: Yusuf Blegur Pegiat Sosial dan Aktivis Yayasan Human Luhur Berdikari Bukan hanya  oligargi  yang menyuburkan korupsi. Rezim boneka yang lebih condong ke komunisme Tiongkok ini, semakin mengukuhkan pemerintahannya yang anti demokrasi. Mengandalkan represi dan menggunakan tangan besi dalam menjalankan roda pemerintahan. Tak cukup membentuk dinasti kekuasaan tanpa kemaluan dan penuh kebohongan. Pelbagai kegagalan dan kebobrokan perjalanan   pemerintahan. Telah membuat rezim amburadul  menempatkan NKRI dibibir jurang kebangkrutan nasional dan disintegrasi bangsa. Mewujud negara kekuasaan, rezim terus membangun kejatuhannya. Alih-alih     menghadirkan kesejahteraan bagi kehidupan rakyatnya. Rezim justru sibuk menggalang kekuatan untuk memamerkan penindasan dan kedzoliman terhadap rakyatnya. Menyulap institusi dan aparatur pemerintahan  sebagai alat kekuasaan, bukan sebagai alat negara. Dengan cepat birokrasi berubah setia kepada penguasa namun menjadi penghianat rakyat. Banyak Pejabat  yang ahli menjilat pimpinannya namun bejat kepada  rakyat. Tanpa terasa jarak semakin melebar antara negara dengan rakyatnya.  Dililit utang negara yang membengkak dan  kebablasan serta berpotensi gagal bayar. Rakyat seperti hidup di jaman kolonial, dipaksa hidup dengan pajak membumbung tinggi. Pejabat yang berutang, rakyat yang harus membayar. Rakyat terus memikul beban berat dari gaya hidup dan keangkuhan aparat. Penyelenggaraan negara terus digerogoti ulah pejabat yang kemaruk bisnis. Bukan hanya lingkaran istana dan sub-koordinatnya semata. Keluarga pejabat juga semakin ramai terlibat korupsi, kolusi dan nepotisme. Perampokan uang negara besar-besaran dan aji mumpung  memanfaatkan kekuasaan, telah menjadi satu-satunya keahlian penyelenggara negara. Termasuk dramatisasi dan politisasi pandemi, untuk mengeruk bisnis dan melanggengkan kekuasaan. Situasi ekonomi yang terus terpuruk. Ditambah gonjang-ganjing politik yang tidak sehat. Malah membuat rezim bersikap otoriter dan diktator sembari mengabaikan masalah -masalah pokok dan prinsip negara. Semua kesadaran kritis dan upaya menyelamatkan bangsa dan negara. Dihadapi pemerintah dengan logika dan hukum kekuasaan. Aktifis pergerakan dan para ulama dikriminalisasi. Gerakan mahasiswa dibungkam dan kekuatan buruh dilumpuhkan. Rezim juga tak segan-segan melakukan intimidasi, teror dan bahkan pembunuhan dengan dalih tindakan tegas dan terukur. Semua yang dianggap menentang dan melakukan perlawanan akan berhadapan dengan rezim kekuasaan. Berujung di penjara atau berakhir dengan kematian. Entah globalisasi  kapitalisme atau komunisme yang sama-sama mengusung sekulerisasi dan liberalisasi, yang terus menaungi kekuasaan di republik ini. Sementara penguasa di negeri ini begitu bangga dan bahagia menjadi budaknya. Kini, dengan terus melambungnya harga-harga kebutuhan pokok yang mencekik rakyat dan daya beli rakyat semakin menurun. Ditambah  produk kontitusi yang banyak melahirkan peraturan inkonstitusional. Mampukah pemerintah keluar dari krisis multi dimensi dan kemelut negara gagal?.  Mungkinkah akan ada perbaikan negara atau kehancuran yang lebih menyengsarakan rakyat?. Ataukah pergantian tahun ini akan menjadi pergantian kekuasaan juga?. Tak ada yang mampu memprediksinya. Apakah tahun baru ini bisa menuju  kelahiran rezim baru.   Tahun baru rezim baru  dengan cara konstitusional atau dengan proses inkostitusional sekalipun. Jangan tanya pada rumput yang bergoyang, karena sudah tak ada lagi lahan tempat tumbuhnya di negeri ini. Jangankan untuk sekedar tanaman, bahkan kemanusiaan pun tak lagi dapat berkembang di persada Panca Sila. Selamat menjalani kebaruan, selamat menelusuri rezim baru.  Wallahu a\'lam bishawab. (*)  

Ganjar dan Anies dalam Karya, Analogi Sederhana Hensat Mencari Presiden

Oleh Ady Amar, Kolumnis dan Penulis Buku Tak Tumbang Dicerca, Tak Terbang Dipuja: Anies Baswedan dan Kerja-kerja Terukurnya SEORANG kawan kemarin mengirim meme ucapan Hensat lewat Tweetnya. Entah pada kesempatan apa ia sampai pada simpulan demikian. Hensat, itu nama inisial Hendri Satrio, pakar komunikasi politik dan pendiri lembaga survei KedaiKOPI. Begini katanya, dan itu untuk melihat dua tokoh yang kebetulan saat ini sama-sama sebagai Gubernur dan yang digadang-gadang sebagai calon pengganti Jokowi. Yang satu Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah. Sedang satunya lagi Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta. \"Saya pernah bilang, bila ingin tau Indonesia seperti apa setelah Era Presiden Jokowi liat aja Provinsi yang dipimpin Gubernur niat Nyapres. Kalo pilih Ganjar ya Indonesia bakal kaya\' Jateng. Kalo pilih Anies ya Indonesia bakal kaya\' Jakarta.\" #Hensat. Hensat menggambarkan dua tokoh yang sama-sama Gubernur itu dengan pendekatan sederhana, dan itu tentang karya keduanya dalam membangun provinsinya masing-masing. Hensat mampu menyampaikan analogi dengan sederhana, dan dengan narasi humor yang cerdas. Hensat setidaknya mampu membuat senyum simpul. Setelahnya, silahkan mengembangkan analisa lebih dalam untuk menentukan pilihan. Hensat menggambarkan dua tokoh dengan melihat karyanya, itu tampak menggampangkan persoalan yang lebih serius. Tampak analisa yang disampaikan itu tidak serius, dan menggampangkan. Tapi setidaknya ia ingin gambarkan hal sederhana melihat seorang yang bisa dikerek pada jabatan yang lebih tinggi lagi. Dan itu lewat karya yang dihadirkan. Apa yang disampaikan Hensat itu, tentu tidak bisa dibuat patokan utama. Tapi setidaknya Hensat memberi panduan dengan cara sederhana. Bisa disebut pendidikan politik tingkat dasar. Meski cuma dengan analogi sederhana, Hensat mampu membuka pemahaman pada mereka yang memang ingin hadirnya pemimpin ideal memimpin negeri ini. Dengan Data Bukan Fitnah Hensat sepertinya ingin membuka mata publik agar tidak salah memilih. Jangan memilih pemimpin apalagi Presiden, itu seperti membeli kucing dalam karung. Maka panduan sederhana perlu diberikannya. Dan sepertinya panduan-panduan demikian perlu terus diberikan. Tidak boleh lagi muncul pemimpin yang hadir atau dihadirkan hanya modal pansos. Muncul dikatrol dengan tidak sebenarnya. Diberitakan dengan membesar-besarkan yang bersangkutan, yang pasti dengan tidak sebenarnya. Sambil mengecilkan pihak yang sebenarnya hadir dengan karya nyata. Peran lembaga survei yang terus merilis hasil surveinya dengan membesar-besarkan seseorang, tentu pesanan dari pihak yang membayarnya. Tidak cukup satu lembaga survei yang dibayar untuk mewarnai opini publik tentang keterpilihan seseorang yang dijagokan. Opini yang terus disampaikan pada publik, itu diharap bisa memenuhi ekspektasi keterpilihan tokoh yang dijagokan. Maka segala cara dilakukan. Peran lembaga survei politik dan bahkan buzzer jadi andalan mewarnai opini publik. Saling bagi tugas itu pastilah butuh nominal biaya tidak kecil. Maka melihat kontestasi menuju 2024 itu jalannya tidak mudah. Pelajaran dari Pilkada DKI Jakarta (2017), Anies-Sandi vs Ahok-Djarot. Dan Pilpres 2019, Prabowo-Sandi vs Jokowi-Ma\'ruf, itu bisa jadi pelajaran melihat perhelatan Pilpres 2024. Bahkan banyak analis politik yang menyebut kontestasi Pilpres 2024 itu lebih ganas dan keras gesekannya ketimbang Pilpres 2019. Bunyi-bunyian menuju 2024 sudah terdengar ditabuh. Disambut dengan munculnya relawan baik pendukung Ganjar maupun Anies yang mulai mendeklarasikan diri di mana-mana. Partai politik di Senayan akan melihat dan menjatuhkan pilihannya, setidaknya dengan membuat survei diam-diam untuk menentukan siapa dari nama-nama yang beredar, itu yang patut didukungnya. Tapi pelajaran politik, sebagaimana Hensat sudah memulainya, itu baik jika diberikan terus menerus tanpa harus menjelek-jelekkan satu pihak dan mengatrol pihak lainnya dengan membaik-baikkan yang bersangkutan, yang itu dengan tidak sebenarnya. Semua mesti disampaikan dengan data, dan jauhi dusta apalagi fitnah. (*)

Usut Legalisasi Nikah Sejenis

Oleh  M. Mizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan Di medsos beredar video pasangan sejenis pamer buku nikah yang menandai bahwa mereka melangsungkan perkawinan resmi di Indonesia. Lengkap dengan foto pasangan sesama jenis laki-laki. Bila benar, tentu mengejutkan dan hal ini jelas merupakan perbuatan yang menantang hukum. Perlu untuk dilakukan pengusutan lebih lanjut.  Ada tiga hal penting mengapa hal ini mesti diusut dan pelaporan kepada pihak Kepolisian menjadi suatu keniscayaan.  Pertama, UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan memaknai perkawinan sejenis sebagai bukan \"perkawinan\". Pasal 1 UU Perkawinan menegaskan bahwa \"perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa\".  Ikatan selain antara pria dan wanita bukanlah \"perkawinan\" menurut undang-undang. Tidak dapat dicatat dan diterbitkan buku nikah.  Kedua, perlu selidiki kemungkinan bahwa dua buah buku nikah yang dipertontonkan oleh pasangan sejenis tersebut adalah palsu. Kepolisian patut menyelidiki dan menyidik kedua pria \"suami istri\" tersebut. Buka kemungkinan untuk menjerat  KUA yang terlibat.  Ketiga, kedua pria \"suami istri\" dalam video tersebut bila mempertontonkan buku nikah palsu, maka keduanya dinilai telah melakukan kebohongan (hoaks) dan hal ini melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam UU No 11 tahun 2008 tahun tentang ITE dan juga Pasal 45A ayat (1) UU No 19 tahun 2016. Rasanya semakin aneh saja perilaku warga negara di negara Pancasila ini. Bisa-bisanya perbuatan yang jelas-jelas dilarang agama secara demonstratif dipublikasikan dengan nyaman dan tanpa rasa salah. Dengan buku nikah segala. Hal seperti ini tentu tidak boleh dibiarkan apalagi sampai dilegalisasi.  Hukum harus bertindak untuk mencegah pembentukan kultur menyimpang dari kaum pengundang adzab. Sanksi harus diberikan sebagai pelajaran dan efek jera baik bagi yang bersangkutan maupun pasangan lainnya.  LGBT adalah kejahatan. Tidak boleh ada kekosongan hukum untuk menjerat perilaku menyimpang yang merusak adab dan martabat kemanusiaan serta mengganggu ketentraman bersama.  Ketika asas Ketuhanan Yang Maha Esa dipinggirkan dan dikecilkan maka manusia cenderung semakin biadab. Berbuat semaunya dengan menyiasati etika ataupun aturan hukum.  Tantangan pasangan sejenis berbuku nikah harus dijawab tegas dengan mengusut dan  mematikan langkah. Perbuatan keji dari manusia-manusia yang berperilaku hewani.  Bahkan mereka lebih rendah dari hewan karena hewan masih mampu berfikir sehat dengan mencari pasangan dari lawan jenis yang berbeda. Jantan dan betina! (*)

Guru Honorer Menjadi PNS: Menanti Komitmen Presiden

Terkait pelaksanaan rekomendasi Pansus GTKH DPD kepada presiden, insya Allah akan kami awasi secara konsisten. Kita berharap dukungan rakyat, khususnya guru dan organisasi guru honorer untuk mengawal rekomendasi tersebut secara bersama-sama. Oleh: Tamsil Linrung, Ketua Panitia Khusud Guru dan Tenaga Honorer, DPD RI GURU honorer seperti hidup dalam paradoks. Di satu sisi mereka dituntut paripurna sebagai panutan dan pendidik sumber daya manusia Indonesia, sementara di sisi lain pemerintah seolah memunggungi kebutuhan mereka. Pengabdian tidak sebanding dengan apresiasi negara, begitu yang mereka dan kita semua rasakan. Berpuluh tahun guru honorer mengetuk empati pengelola negeri, berpuluh tahun pula mereka dipaksa menelan kecewa. Riuh tuntutan pahlawan tanpa tanda jasa ini tak pernah sepi menyeruak di ruang publik, terlebih menjelang dan selama berlangsungnya rekrutmen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Namun, seperti buih, tuntutan itu terombang-ambing kesana-kemari sebelum akhirnya lenyap ditelan ombak begitu saja. Padahal, yang mereka minta bukan perlakuan istimewa. Yang mereka minta hanya hal mendasar yang merupakan hak kita semua sebagai warga negara. Hak itu bernama kesejahteraan, sebuah hak untuk berkehidupan layak yang menjadi tanggungjawab negara. Konstitusi menjamin hak ini, namun tidak sepenuhnya diemban oleh pelaksana konstitusi. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI merasakan denyut derita guru honorer. Oleh karena itu, DPD membentuk Panitia Khusus Guru dan Tenaga Kependidikan Honorer (Pansus GTKH) sekira enam bulan lalu. Kini, Pansus GTKH telah menunaikan tugasnya. Sebanyak 10 rekomendasi sudah dikirim kepada Presiden RI Joko Widodo. Salah satu rekomendasi Pansus GTHK DPD adalah mendesak Presiden supaya segera menerbitkan Keputusan Presiden sebagai dasar hukum untuk mengangkat guru honorer berusia 40 tahun ke atas menjadi Pegawai Negeri Sipil/Apartur Sipil Negara (PNS/ASN) tanpa melalui tes. Substansi rekomendasi tersebut menimbang jasa guru honorer yang selama ini tabah mendidik SDM (Sumber Daya Manusia) Indonesia meski negara tidak maksimal mengapresiasi keringat mereka. Pansus GTKH DPD memerintahkan presiden agar melaksanakan rekomendasi tersebut paling telat pada 2023. Di media sosial, beberapa netizen bertanya melalui Instagram pribadi saya, sejauh mana kekuatan politik lembaga DPD untuk mendesak dan memaksa Presiden melaksanakan rekomendasi itu? Sejujurnya, ini memang dilematis.   Sebagai lembaga perwakilan, kewenangan DPD memang lemah. Jangankan memaksa presiden, supaga ikut memutuskan produk legislasi yang bahkan digagas dan dibuat oleh DPD, lembaga DPD sendiri tidak memiliki kewenangan. Untuk itu, sembari menyelesaikan masalah-masalah rakyat, DPD saat ini juga tengah berjuang mengatrol kewenangannya melalui Amandemen UUD 1945. Terkait pelaksanaan rekomendasi Pansus GTKH DPD kepada presiden, insya Allah akan kami awasi secara konsisten. Kita berharap dukungan rakyat, khususnya guru dan organisasi guru honorer untuk mengawal rekomendasi tersebut secara bersama-sama. Soal kewenangan DPD, saya kira tak perlu dirisaukan. Sebab, perkara tersebut bukan tentang kekuatan politik antar lembaga tinggi negara, tetapi tentang respon dan respek pengelola negeri dalam menyelesaikan permasalahan rakyatnya. Cara presiden merespon rekomendasi DPD sedikit banyaknya menunjukkan kadar kepedulian dan empati seorang penanggung jawab pemerintahan. Rakyat bisa membaca komitmen presiden melalui perkara ini. Jika pemindahan Ibukota Negara (IKN) saja pemerintah terlihat begitu bergelora, tentu semangat yang lebih bergelora akan menyambut rekomendasi pansus GTKH DPD. Sebab, ini tentang masa depan generasi bangsa yang berarti tentang masa depan Indonesia. Ambisi pembangunan infrastruktur oleh pemerintah sebaiknya diredam dulu. Faktanya, ambisi itu tidak sedikit membuat pembangunan infrastruktur menjadi tidak tepat sasaran, seperti pembangunan Bandara Kertajati, di Sumedang, Jawa Barat atau Bandara Jogjakarta International di Kulon Progo. Ambisi pembangunan infrastruktur juga terbukti membuang-buang uang negara secara berlebih. Contohnya, jalur kereta api cepat Jakarta-Bandung. Memasuki 2022, pemerintah harus menyusun skala prioritas pembangunan secara  tepat dan efektif. Kesejahteraan guru honorer adalah prioritas yang tidak boleh ditepikan. DPD sendiri akan memaksimalkan hak interpelasi yang dimilikinya. Sepanjang presiden belum merespon rekomendasi Pansus GTKH DPD, secara berkala DPD akan bertanya dengan memaksimalkan hak interpelasi itu.  Langkah tersebut harus ditempuh karena ada indikasi presiden acuh tak acuh terhadap permasalah guru honorer. Saat rapat kerja Pansus GTKH dengan Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM), terungkap bahwa Komnas HAM mendapat banyak pengaduan mengenai guru honorer. Komnas HAM juga telah melakukan investigasi dan telah menyampaikan rekomendasi kepada presiden. Di antara rekomendasi tersebut adalah perlunya afirmasi kebijakan. Maka, sejalan dengan itu rekomendasi Komnas HAM, Pansus GTKH juga merekomendasikan agar presiden responsif terhadap isu-isu penegakan HAM khususnya terkait dengan guru honorer. Dalam rekomendasinya yang lain, Pansus GTKH DPD juga mendesak presiden agar segera menginisiasi rancangan grand design atau blue print tentang guru. Cetak biru dimaksud adalah pemetaan nasional yang memotret seluruh persoalan guru Indonesia, baik kebutuhan guru, sebaran guru, jenjang karir, kesejahteraan, dan semua hal terkait guru dari hulu ke hilir, dari masalah sinkronisasi data hingga aplikasi lapangan. Cetak biru guru Indonesia diharapkan menjadi bagian integral dari blue print pendidikan yang juga harus dirumuskan bersama sesegera mungkin guna menangani problem pendidikan di Indonesia secara komprehensif dan berjangka panjang. Pansus GTKH juga meminta presiden memikirkan perlunya peraturan yang menjadi dasar hukum guru honorer. Pelaksanaan program PPPK tidak serta merta dapat menampung atau menerima seluruh guru honorer. Artinya, dalam beberapa tahun ke depan, eksistensi guru honorer masih akan ditemui di lapangan, sementara UU yang ada tidak lagi mengenal istilah guru honorer. Pelaksanaan rekrutmen PPPK yang menuai banyak kontroversi juga menjadi perhatian pansus GTKH. Kami mendesak Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) segera mengevaluasinya agar persoalan masalah yang mengemuka tidak terulang lagi pada tahun 2022. Guru honorer Yayasan atau guru honorer agama juga harus mendapat perhatian besar. Pansus GTKH meminta pemerintah agar membuka peluang bagi mereka untuk mengikuti tes seleksi PPPK tahap tiga. Begitu pula dengan tenaga administrasi sekolah seperti penjaga sekolah, operator, pengelola bos dan lain-lain. Pansus GTKH DPD berupaya memberikan solusi terbaik bagi permasalahan guru honorer. Namun, semua itu tak ada artinya jika tidak ada respon positif dari pemerintah. Maka, sekali lagi, ayo mengawalnya bersama-sama. (*)