Guru Honorer Menjadi PNS: Menanti Komitmen Presiden
Terkait pelaksanaan rekomendasi Pansus GTKH DPD kepada presiden, insya Allah akan kami awasi secara konsisten. Kita berharap dukungan rakyat, khususnya guru dan organisasi guru honorer untuk mengawal rekomendasi tersebut secara bersama-sama.
Oleh: Tamsil Linrung, Ketua Panitia Khusud Guru dan Tenaga Honorer, DPD RI
GURU honorer seperti hidup dalam paradoks. Di satu sisi mereka dituntut paripurna sebagai panutan dan pendidik sumber daya manusia Indonesia, sementara di sisi lain pemerintah seolah memunggungi kebutuhan mereka. Pengabdian tidak sebanding dengan apresiasi negara, begitu yang mereka dan kita semua rasakan.
Berpuluh tahun guru honorer mengetuk empati pengelola negeri, berpuluh tahun pula mereka dipaksa menelan kecewa.
Riuh tuntutan pahlawan tanpa tanda jasa ini tak pernah sepi menyeruak di ruang publik, terlebih menjelang dan selama berlangsungnya rekrutmen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Namun, seperti buih, tuntutan itu terombang-ambing kesana-kemari sebelum akhirnya lenyap ditelan ombak begitu saja.
Padahal, yang mereka minta bukan perlakuan istimewa. Yang mereka minta hanya hal mendasar yang merupakan hak kita semua sebagai warga negara. Hak itu bernama kesejahteraan, sebuah hak untuk berkehidupan layak yang menjadi tanggungjawab negara. Konstitusi menjamin hak ini, namun tidak sepenuhnya diemban oleh pelaksana konstitusi.
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI merasakan denyut derita guru honorer. Oleh karena itu, DPD membentuk Panitia Khusus Guru dan Tenaga Kependidikan Honorer (Pansus GTKH) sekira enam bulan lalu. Kini, Pansus GTKH telah menunaikan tugasnya. Sebanyak 10 rekomendasi sudah dikirim kepada Presiden RI Joko Widodo.
Salah satu rekomendasi Pansus GTHK DPD adalah mendesak Presiden supaya segera menerbitkan Keputusan Presiden sebagai dasar hukum untuk mengangkat guru honorer berusia 40 tahun ke atas menjadi Pegawai Negeri Sipil/Apartur Sipil Negara (PNS/ASN) tanpa melalui tes. Substansi rekomendasi tersebut menimbang jasa guru honorer yang selama ini tabah mendidik SDM (Sumber Daya Manusia) Indonesia meski negara tidak maksimal mengapresiasi keringat mereka.
Pansus GTKH DPD memerintahkan presiden agar melaksanakan rekomendasi tersebut paling telat pada 2023.
Di media sosial, beberapa netizen bertanya melalui Instagram pribadi saya, sejauh mana kekuatan politik lembaga DPD untuk mendesak dan memaksa Presiden melaksanakan rekomendasi itu? Sejujurnya, ini memang dilematis.
Sebagai lembaga perwakilan, kewenangan DPD memang lemah. Jangankan memaksa presiden, supaga ikut memutuskan produk legislasi yang bahkan digagas dan dibuat oleh DPD, lembaga DPD sendiri tidak memiliki kewenangan. Untuk itu, sembari menyelesaikan masalah-masalah rakyat, DPD saat ini juga tengah berjuang mengatrol kewenangannya melalui Amandemen UUD 1945.
Terkait pelaksanaan rekomendasi Pansus GTKH DPD kepada presiden, insya Allah akan kami awasi secara konsisten. Kita berharap dukungan rakyat, khususnya guru dan organisasi guru honorer untuk mengawal rekomendasi tersebut secara bersama-sama.
Soal kewenangan DPD, saya kira tak perlu dirisaukan. Sebab, perkara tersebut bukan tentang kekuatan politik antar lembaga tinggi negara, tetapi tentang respon dan respek pengelola negeri dalam menyelesaikan permasalahan rakyatnya.
Cara presiden merespon rekomendasi DPD sedikit banyaknya menunjukkan kadar kepedulian dan empati seorang penanggung jawab pemerintahan. Rakyat bisa membaca komitmen presiden melalui perkara ini. Jika pemindahan Ibukota Negara (IKN) saja pemerintah terlihat begitu bergelora, tentu semangat yang lebih bergelora akan menyambut rekomendasi pansus GTKH DPD. Sebab, ini tentang masa depan generasi bangsa yang berarti tentang masa depan Indonesia.
Ambisi pembangunan infrastruktur oleh pemerintah sebaiknya diredam dulu. Faktanya, ambisi itu tidak sedikit membuat pembangunan infrastruktur menjadi tidak tepat sasaran, seperti pembangunan Bandara Kertajati, di Sumedang, Jawa Barat atau Bandara Jogjakarta International di Kulon Progo.
Ambisi pembangunan infrastruktur juga terbukti membuang-buang uang negara secara berlebih. Contohnya, jalur kereta api cepat Jakarta-Bandung. Memasuki 2022, pemerintah harus menyusun skala prioritas pembangunan secara tepat dan efektif.
Kesejahteraan guru honorer adalah prioritas yang tidak boleh ditepikan.
DPD sendiri akan memaksimalkan hak interpelasi yang dimilikinya. Sepanjang presiden belum merespon rekomendasi Pansus GTKH DPD, secara berkala DPD akan bertanya dengan memaksimalkan hak interpelasi itu.
Langkah tersebut harus ditempuh karena ada indikasi presiden acuh tak acuh terhadap permasalah guru honorer. Saat rapat kerja Pansus GTKH dengan Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM), terungkap bahwa Komnas HAM mendapat banyak pengaduan mengenai guru honorer. Komnas HAM juga telah melakukan investigasi dan telah menyampaikan rekomendasi kepada presiden. Di antara rekomendasi tersebut adalah perlunya afirmasi kebijakan.
Maka, sejalan dengan itu rekomendasi Komnas HAM, Pansus GTKH juga merekomendasikan agar presiden responsif terhadap isu-isu penegakan HAM khususnya terkait dengan guru honorer. Dalam rekomendasinya yang lain, Pansus GTKH DPD juga mendesak presiden agar segera menginisiasi rancangan grand design atau blue print tentang guru.
Cetak biru dimaksud adalah pemetaan nasional yang memotret seluruh persoalan guru Indonesia, baik kebutuhan guru, sebaran guru, jenjang karir, kesejahteraan, dan semua hal terkait guru dari hulu ke hilir, dari masalah sinkronisasi data hingga aplikasi lapangan.
Cetak biru guru Indonesia diharapkan menjadi bagian integral dari blue print pendidikan yang juga harus dirumuskan bersama sesegera mungkin guna menangani problem pendidikan di Indonesia secara komprehensif dan berjangka panjang.
Pansus GTKH juga meminta presiden memikirkan perlunya peraturan yang menjadi dasar hukum guru honorer.
Pelaksanaan program PPPK tidak serta merta dapat menampung atau menerima seluruh guru honorer. Artinya, dalam beberapa tahun ke depan, eksistensi guru honorer masih akan ditemui di lapangan, sementara UU yang ada tidak lagi mengenal istilah guru honorer.
Pelaksanaan rekrutmen PPPK yang menuai banyak kontroversi juga menjadi perhatian pansus GTKH.
Kami mendesak Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) segera mengevaluasinya agar persoalan masalah yang mengemuka tidak terulang lagi pada tahun 2022. Guru honorer Yayasan atau guru honorer agama juga harus mendapat perhatian besar.
Pansus GTKH meminta pemerintah agar membuka peluang bagi mereka untuk mengikuti tes seleksi PPPK tahap tiga. Begitu pula dengan tenaga administrasi sekolah seperti penjaga sekolah, operator, pengelola bos dan lain-lain.
Pansus GTKH DPD berupaya memberikan solusi terbaik bagi permasalahan guru honorer. Namun, semua itu tak ada artinya jika tidak ada respon positif dari pemerintah. Maka, sekali lagi, ayo mengawalnya bersama-sama. (*)