Tidak Anti Vaksin Tapi Pro Kebenaran
Rata-rata produk vaksin dijual kepada negara, dan menjadi pengeluaran negara, dan menjadi mandat dari Badan Kesehatan Dunia kepada setiap Pemerintah Negara yang menjadi anggotanya.
Oleh: Dr. Tifauzia Tyassuma, President of Ahlina Institute, Penulis Buku Best Seller Body Revolution, Nutrisi Surgawi 7 Colors Garden
DALAM dua tahun ini, saya menelusuri ratusan buku, yang khusus menulis tentang Anti-vax, dan ratusan buku tentang vaksinasi yang ditulis oleh orang-orang yang kemudian diberi label sebagai Antivaxxer sekaligus Pseudoscientist atau Ilmuwan Palsu.
Mereka adalah para Ilmuwan, doktor, profesor, dokter, peneliti, yang bekerja di laboratorium, di pabrik farmasi, di dunia vaksinasi, yang memahami betul sejarah dan perkembangan vaksinasi, karena mereka adalah orang-orang yang betul-betul terlibat di dalamnya, merencanakan penemuannya, dan menjalankan pembuatannya.
Mereka bukan orang-orang yang biasa-biasa saja. Mereka para ilmuwan yang betul-betul hebat di bidangnya. Bidang pembuatan vaksin. Mengapa mereka kemudian disebut Anti-Vaxxer atau Pseudoscientist?
Apakah gelar mereka palsu? Apakah tulisan-tulisan hebat mereka dalam jurnal-jurnal ilmiah tidak bermutu? Apakah penelitian-penelitian yang mereka lakukan abal-abal? Tidak!
Mereka disebut demikian, karena secara terbuka, membuka sejarah vaksinasi, termasuk sejarah kelamnya. Mereka menceritakan bagaimana cara pembuatan vaksin dengan detail, termasuk kandungan-kandungan di dalamnya.
Mereka sampaikan bagaimana vaksin baru diujicobakan pertama kali dalam tubuh manusia, sebagai suatu Human Experimental, dan apa saja efek samping hingga efek mematikan yang terjadi selama puluhan tahun.
Mereka secara terbuka juga menyampaikan, bisnis vaksin merupakan bisnis yang sangat menguntungkan selama dua ratus tahun, yang dinikmati segelintir orang saja.
Rata-rata produk vaksin dijual kepada negara, dan menjadi pengeluaran negara, dan menjadi mandat dari Badan Kesehatan Dunia kepada setiap Pemerintah Negara yang menjadi anggotanya.
Sehingga vaksin, tanpa perlu diberi biaya marketing yang besar, sudah memiliki marketnya sendiri, para bayi baru lahir, ibu hamil, pasangan mau menikah, orang-orang yang akan bepergian. Tak akan ada habis-habisnya itu tambang vaksin mengeluarkan raturan triliun tanpa perlu dikeruk dan dibor.
Dan, para dokter selalu senang hati akan memasarkannya kepada pasien-pasien mereka dengan penuh semangat.
Pro-Truth
Dengan membaca ratusan buku dan ribuan jurnal (yang tidak usah saya sebutkan berapa ratus dan berapa ribu tepatnya. Kecepatan membaca buku in English, 500 halaman 90 menit dan non English 500 halaman 3 jam, dan membaca jurnal 20 jurnal per hari, silakan dihitung dikalikan 24 bulan).
Membaca buku dan jurnal adalah pekerjaan utama saya sebagai penulis dan peneliti berbasis lieratur, termasuk observasi, pengamatan langsung di lapangan, adalah cara saya, dedikasi saya, menjadi seorang Pro-Truth.
Vaksin, terlepas dari sejarah kelamnya, terlepas dari kandungan logam dan bahan haramnya, terlepas dari efek samping KIPVI (Kejadian Ikutan Paska Vaksinasi ) yang ringan maupun yang mematikan adalah produk kesehatan berbasis teknologi yang memberi manfaat tidak sedikit.
Beberapa vaksin, mampu mengeradikasi sejumlah penyakit infeksi yang mematikan, semisal Variola (cacar), Polio, dan Diphteri, dan menurunkan risiko sejumlah penyakit lainnya, seperti BCG untuk TB, DPT untuk Pertusis dan Tetanus, dan Hepatitis.
Sejumlah vaksin lainnya masih menunggu sejarahnya, apakah memang bermanfaat atau tidak.
Sebab, vaksin Variola, vaksin Cacar, memerlukan waktu 200 tahun hingga Cacar menjadi lemah, tidak lagi mematikan, dinyatakan punah oleh WHO pada 1980. Tetapi belakangan Bill Gates dan WHO sendiri menyatakan, Variola akan bangkit sebagai Pandemi berikutnya, setelah Coronavirus.
Jadi ya memang belum punah. Artinya, Virus Cacar masih bergentayangan di seluruh permukaan bumi, menunggu waktu untuk menjadi Pandemi.
Vaksin Polio, memerlukan waktu 70 tahun, hingga membuat Polio tidak lagi mematikan, tidak lagi membuat lumpuh. Tetapi sampai dengan hari ini, tidak ada satupun negara ataupun lembaga yang bisa mengklaim bahwa Polio sudah punah di negaranya. Kasus polio masih banyak di negara-negara ketiga, termasuk Indonesia.
Karena itu, ketika Vaksin Baru, yaitu Vaksin Coronavirus, memasuki masa Human Eksperimental-nya, dimulai pada awal 2021, sejumlah ahli, dokter dan ilmuwan yang hati nuraninya tak bisa berbohong, selama dua tahun ini menggunakan berbagai media untuk menyampaikan warning kepada umat manusia, melalui facebook, twitter, instagram, youtube, youmaker, buku, jurnal, video, yang beredar di seluruh dunia.
Siapa yang getol memberikan mereka cap Anti-Vaxxer dan Pesudoscientist?
Kalau Anda perhatikan, rata-rata mereka ini dokter-dokter atau spesialis yang baru lahir, sedang genit-genitnya pakai jas putih dan mondar-mandir kesana kemari dengan stetoskopnya.
Doktor-doktor muda yang sedang semangat, seperti anak itik baru keluar dari cangkangnya. Sedang memuja gelarnya, dan sedang senang-senangnya menghujat orang lain. Dan, ilmuwan-ilmuwan muda yang sedang senang-senangnya namanya dimuat di jurnal berbasis Scopus.
Yang bacaannya mungkin beberapa buku, dan beberapa jurnal. Dokter dan Peneliti yang seusia atau di atas saya, lebih banyak terpekur, diam, semoga juga sedang tafakur.
Saya memilih untuk bicara. Walaupun dalam ruang gerak serba terbatas. Ancaman berkarung-karung saya terima, membuat harus akrobat juga dalam menyampaikan apapun.
Saya memilih sosial media. Bukan media mainstream, karena kesel banget setiap kali diundang TV, ternyata cuma jadi iklan-getter, bicara cuma 4 menit dan diserobot-serobot. Lebih lama pasang bulu mata di belakang panggung daripada bicara di depan kamera. Kesel, kan?
Makanya saya malas sekalipun diundang ke TV-TV lagi. Yang penting kebenaran sudah saya sampaikan. (*)