Sekarang Kita Ada di Mana?
Oleh: Yusuf Blegur, Pegiat Sosial dan Aktivis Yayasan Human Luhur Berdikari
Ketika kehidupan telah menampilkan kebenaran dan kejahatan saling berhadap-hadapan, maka ada dua kemungkinan yang bisa dilakukan. Memilih salah satu berdasarkan keyakinannya atau mengambil jalan tengah, mencari posisi yang aman bagi kepentingannya. Pilihan terhadap salah satu dari keduanya sama-sama memiliki konsekuensi dan risiko tersendiri. Begitupun yang tidak memilih satupun dari keduanya. Sikap diam dan ambigu dalam mengambil pilihan ini, terkadang memiliki peminat yang banyak dan menggumpal menjadi mayoritas.
Meminjam terminologi Islam, pada narasi Amar Maruf Nahi Munkar, maka sangat jelas sesuatu yang hak tak akan bisa dan tak akan pernah bercampur dengan yang batil. Jangan berupaya meskipun hanya dalam berpikir sekalipun, untuk mencoba menyatukannya. Kebenaran dan kejahatan mengandung nilai, sifat, dan karakter berbeda. Keduanya sama sekali tidak memiliki unsur chemistry, kohesifitas dan apalagi persenyawaan. Seperti kata peribahasa, resan air ke air, resan minyak ke minyak. Menegakkan kebenaran dan melawan kemungkaran merupakan suatu realitas yang dilandasi oleh pemaknaan identitas, eksistensi dan pencapaian tujuan dalam kehidupan. Sebagaimana dalam kaidah moral dan agama. Ada pembeda dan petunjuk tentang jalan kemaslahatan dan jalan kemudharatan.
Jika polarisasi pertarungan kebenaran dan kejahatan itu sudah sampai memasuki ranah friksi, benturan dan konflik. Biasanya memunculkan domain dan irisannya masing-masing. Penetrasinya juga membangun ruang konstelasi dan konfigurasi sendiri. Tentunya akan menampilkan pelaku, strategi dan wilayah pertarungannya. Peta konflik akan meliputi peperangan fisik, peperangan pemikiran dan peperangan aqidah atau keyakinan. Agama, ideologi, ekonomi dan politik biasanya paling rentan menjadi sasaran dan terdampak signifikan dari skenario konflik berkepanjangan.
Seiring perkembangan jaman, karakterisik konflik tidak selalu direpresentasikan dengan penggunaan senjata atau kehadiran militer. Sejarah perang yang aliran hulu dan hilirnya mengacu pada kekuasaan. Menggunakan kekuasaan untuk mempertahankan dan mendapatkan kekuasaan yang lebih besar lagi. Kekuasaan yang menunggangi konflik akan sangat fleksibel memenuhi tuntutan jaman. Memenuhi setiap ruang interaksi dan dinamika yang luas.
Instrumen digitalisasi juga mengalami dualisme. Selain memudahkan peradaban, juga rentan mengalami distorsi fungsi. Dalam era perang modern, frame digital menggerakan semua perangkat teknologi informasi dan komunikasi. Pengendalian strategi digital pada akhirnya efisien dan efektif dalam mengelola kekuasaan, menciptakan konflik dan melumpuhkan pergerakan.
Melalui distribusi produk informasi, kampanye dan semua narasi agitasi dan propaganda. Rekayasa teknologi informasi dan komunikasi yang menyimpang. Sejatinya telah menjadi trend perang di era 'new age'. Jejaring udara yang cepat dan memiliki daya jangkau luas dan optimal itu. Hasilnya bisa dirasakan dalam pelbagai pembentukan opini publik yang masif, terstruktur dan sistematik. Pengorganisasian komunikasi dan informasi, dapat menjadi sihir massal yang menghipnotis, memengaruhi sekaligus mengendalikan kesadaran pikiran dan tindakan. Alhasil, rasa permusuhan dan kebencian menjejali interaksi sosial. Kebohongan dan fitnah telah menjadi senjata paling modern dan paling berbahaya bagi peradaban manusia. Tidak sedikit yang mengalami kelumpuhan akal sehat sehat dan keguguran iman, larut menopang kejahatan.
Kamuflase dan manipulasi informasi data yang sesat dan jahat. Bukan hanya berdampak pada penghancuran fisik semata. Daya rusaknya juga mampu menggerogoti nilai-nilai dan norma. Kejahatan informasi yang terus-menerus mengembangbiakan kebohongan dan fitnah. Perlahan tapi pasti menempatkan rasa permusuhan dan kebencian sebagai faktor akselerasi kehancuran negara, bangsa dan agama.
Menyusuri Jalan Kesunyian
Pada akhirnya, setiap pikiran, hati dan jiwa dituntut untuk mengambil posisi dan memainkan peran. Menunjukkan keberaniannya akan keberpihakan. Dalam fase tertentu tak bisa menghindar dan mengelak. Berada pada barisan kecil dan sedikit yang menggusung kebenaran meski tertatih-tatih, atau menyusup dalam hiruk-pikuk istana kejahatan yang megah.
Merasa terasing dan terkadang dikucilkan. Merupakan realitas dari kehidupan yang kuat memegang prinsip dan keyakinan. Hidup menjalani kesepian meski tengah berada di keramaian. Memiliki banyak ruang dan waktu tetapi seperti terisolasi.
Sering terjadi, kebersamaan itu berarti tak boleh ada yang berbeda. Penghormatan dan penghargaan harus dimaknai sebagai sikap tunduk dan lemah. Kekuatan selalu dimaknai dengan bilangan hitung. Semakin banyak semakin lazim dan dianggap kebenaran. Sementara yang diluar kebiasaan dan tradisi diangggap nyeleneh dan aneh. Bisa juga dianggap tidak logis dan rasional, jika tak bisa disebut sesat.
Penampakan wajah sosial yang menggiurkan, mampu mesona dengan kecantikannya. Indah dan menarik dari luar. Kedalaman batin dan relung sukma tak begitu penting dan berarti. Semua yang tak elok dipandang dan memanjakan rasa, divonis sebagai hal yang buruk dan seperti penyakit.
Begitulah potret realitas sosial terpajang dan banyak diminati. Seperti itu hidup memberikan pilihan. Ada suguhan yang menggugah selera, ada juga tawaran penuh makna. Bagai kebenaran dan kejahatan yang disajikan, hanya tinggal memesan menunya.
Kalau memilih jalan kebenaran menjadi keharusan. Bisa dipastikan akan melangkah menyusuri jalan kesunyian. Air yang mengguyurnya hanyalah berupa hujan kebencian dan fitnah yang begitu deras.
Karena kenikmatan kebenaran itu sesungguhnya ada pada penderitaan menjalaninya. Terlebih saat virus kebencian begitu cepat menjalar dan fitnah merasuki bagai pandemi.
Sambil menunggu kesadaran dari mabuk hasrat yang tak berujung. Kita berusaha sadar. Sambil meronta membatin, terbersit pertanyaan sekarang kita ada di mana? (*)