Rekaman "Kasus AH" Beredar, Kacamata Hukum Bagaimana?
Tapi, yang perlu dikaji secara yuridis, jika benar itu adalah suara AH dan Yudha, siapa yang melakukan perekaman tersebut. Apakah keduanya juga telah sepakat dan saling memberi izin untuk merekamnya.
Oleh: Mochamad Toha, Wartawan FNN
HARI-hari ini beredar rekaman pembicaraan antara suami Rifa Handayani bernama Yudha dengan AH yang diduga suara Ketum DPP Partai Golkar Airlangga Hartarto terkait skandal perselingkuhan “masa lalu”.
Apakah benar dalam rekaman suara telepon dalam dua bagian itu memang suara Airlangga Hartarto dan Yudha, dibutuhkan penelitian dengan digital forensic lebih lanjut oleh ahlinya. Dan, kejujuran kedua belah pihak.
Tapi, yang perlu dikaji secara yuridis, jika benar itu adalah suara AH dan Yudha, siapa yang melakukan perekaman tersebut. Apakah keduanya juga telah sepakat dan saling memberi izin untuk merekamnya.
Jika tidak ada kata sepakat untuk merekam pembicaraan telepon itu, maka di sini sudah terjadi pelanggaran oleh si perekam. Baik Yudha maupun AH. Lantas bisa dipertanyakan pula, apa tujuan perekaman itu?
Mengulang pernyataan pengamat komunikasi politik Ade Armando, kalau pengakuan Rifa adalah kebenaran, maka AH harus bertanggung jawab dan mengklarifikasinya, bukan saja soal perselingkuhannya, tapi juga praktik teror, ancaman, intimidasi dan fitnah kepada Rifa.
Melansir dari Cokro TV, Selasa 21 Desember 2021, Ade mengatakan bahwa mungkin saja Rifa dimanfaatkan kelompok anti AH, tetapi pengungkapan kebenaran itu tak seharusnya dipengaruhi pertimbangan subjektif.
Siapa kelompok yang dimaksud anti AH tersebut? Internal Golkar, eksternal Golkar, atau justru AH sendiri?
Jika yang memang ada “orang dalam” Golkar yang membantu mengungkap skandal AH-Rifa ini ke rakyat, berarti ada kelompok internal yang memang sedang mengincar posisi Ketum Golkar setelah AH tersingkir.
Bukan tidak mungkin, kelompok internal ini siap mengajukan Lodewijk F. Paulus yang kini menduduki Sekjen Partai Golkar yang sebelumnya telah menggantikan Azis Syamsuddin sebagai Wakil Ketua DPR RI.
Diketahui setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, Azis Syamsuddin mengundurkan diri. Pria kelahiran Manado 27 Juli 1957 ini selain sebagai Sekjen Golkar, ia juga memiliki jabatan sebagai Anggota Komisi 1 DPR RI periode 2019 – 2021.
Lodewijk juga merupakan seorang Purnawirawan TNI AD dengan jabatan terakhir Dankodiklat TNI AD masa jabatan 5 Juni 2013 – 25 Juli 2015. Ia pernah menjabat Pangdam I Bukit Barisan (2011 – 2013), dan juga Danjen Kopassus (2009 – 2011).
Dari riwayat jabatan di TNI AD itu saja sangat mudah dibaca, Lodewijk ini termasuk dalam kelompok Luhut Binsar Pandjaitan. Benarkah Luhut ingin menggantikan AH dengan kadernya sesama Kopassus?
Hanya waktu yang bisa menjawabnya. Bagaimana jika yang melakukannya itu dari ekternal Golkar? Apakah tujuannya? Mengurangi saingan sebelum Pilpres 2024 nanti? Rasanya koq terlalu cepat jika arahnya kesana.
Atau skandal ini sengaja diungkap sekarang justru untuk kepentingan AH sendiri? Ingat, negeri ini kadang latah dengan dramatisasi seperti sinetron. Bagaimana seorang Susilo Bambang Yudhoyono mendapat simpati rakyat sampai akhirnya terpilih menjadi Presiden RI.
Itu semua bermula dari Taufik Kiemas yang melontarkan sebutan “jenderal kekanak-kanakan” kepada SBY.
Sebutan itu bermula saat SBY masih menjadi “anak buah” Presiden Megawati Soekarnoputri, istri Taufik Kiemas yang sekaligus Ketua Umum PDIP. Saat menjadi presiden pada 2004, SBY menjabat Menko Polkam.
Di beberapa survei tahun 2003, nama SBY muncul sebagai calon presiden dalam berbagai macam jajak pendapat. Setidaknya, SBY menempati urutan lima besar.
Megawati yang saat itu presiden punya keinginan menjabat lagi sebagai Presiden. Namun, dia menyadari bahwa kepopuleran SBY yang melesat begitu cepat, dapat menyingkirkan dirinya.
Antara Januari hingga Februari 2004, SBY beberapa kali tidak dilibatkan dalam rapat-rapat pengambilan kebijakan di bidang politik dan keamanan. Misalnya, soal kunjungan beberapa pejabat ke Aceh. Padahal, SBY saat itu menjabat sebagai Menko Polkam.
Puncaknya perseteruan ini terjadi pada 1 Maret 2004, saat Taufik Kiemas menyebut SBY sebagai "jenderal kekanak-kanakan" karena mengadukan masalah internal pemerintahan ke wartawan.
“Kalau anak kecil lagi genit-genitan, ya merasa diisolasi seperti itu. Kalau memang bukan anak kecil dan merasa dikucilkan, lebih baik mundur,” kata Taufik, pedas.
Keesokan harinya, SBY menyatakan tidak akan menanggapi pernyataan Taufik. SBY kemudian memilih keluar dari Kabinet Gotong Royong. Dan, pada 11 Maret 2004, SBY memilih mundur.
Keputusannya itu semakin membuka jalan baginya. SBY semakin populer dalam kancah politik bersama kendaraan politiknya, Partai Demokrat yang baru didirikannya itu. Sebaliknya, pamor Megawati kian tenggelam.
Pada 2004, SBY pun terpilih menjadi Presiden RI mengalahkan Megawati. Bahkan, kepopuleran SBY masih berlanjut pada Pemilu 2009.
Jika SBY tak dikucilkan dari kabinet, bahkan dicap “jenderal anak kecil” oleh Taufik Kiemas, belum tentu SBY menjadi Capres 2004.
Mungkinkah ucapan Taufik Kiemas ini sengaja dilontarkan sehingga SBY mendapatkan simpati rakyat sebagai tokoh yang “terdlolimi”? Bukan tidak mungkin Taufik Kiemas terlibat dalam “mengemas” SBY.
Apalagi, kata Syahrial Nasution yang kala itu menjadi Deputi Balitbang DPP Partai Demokrat, terdapat sosok Taufik Kiemas di balik terbentuknya Partai Demokrat.
Kembali ke soal AH-Rifa tadi, mungkinkah “skandal” ini sengaja diungkap sekarang ini untuk tujuan mendapat simpati rakyat karena “terdholimi”?
Tinjauan Yuridis
Menurut Advokat Subagyo, setidaknya ada dua soal yang perlu dilihat dari sisi yuridis.
Pertama, soal laporan polisi Rifa Handayani karena ada ancaman melalui WA atau pesan elektronik via HP. Jika itu benar terjadi, maka ancaman seperti itu masuk tindak pidana Pasal 29 jo Pasal 45 B UU ITE, dengan ancaman pidana maksimum 4 tahun penjara dan/atau denda maksimum Rp 750 juta.
“Soal apakah ada motif politik dalam laporan itu, ya itu bisa saja dialami oleh politisi siapapun. Mungkin-mungkin saja. Misalnya ada upaya lawan politik di internal Golkar untuk menggeser kedudukan Ketum Golkar itu,” ujar Subagyo.
Tapi, lanjutnya, pendapat demikian sifatnya spekulatif, sepanjang tidak ada bukti. Karena hukum itu berdasarkan bukti.
Tapi adakalanya juga terdapat fakta yang hukum tak mampu menemukan buktinya atau malah bisa saja tekanan atau siasat politik membuat alat bukti menjadi hilang.
Kedua, perbuatan merekam pembicaraan HP itu ada dua pendapat. Ada pendapat yang menyatakan itu tindak pidana Pasal 31 ayat (2) jo Pasal 47 UU ITE, yakni pidana intersepsi ilegal, dengan ancaman pidana penjaranya maksimum 10 tahun penjara dan/atau denda maksimum Rp 800 juta.
Ada juga pendapat yang menyatakan perbuatan itu bukan tindak pidana, karena tidak ada unsur "transmisi informasi".
Menurut Subagyo, perbuatan merekam pembicaraan di HP ya merupakan tindak pidana intersepsi jika dilakukan tanpa persetujuan lawan bicara, terutama jika dipergunakan untuk tindakan yang sifatnya melanggar hak privasi seseorang lawan bicara yang direkam itu.
Tetapi Hakim atau penegak hukum lainnya seperti polisi dan jaksa bisa saja membuat suatu diskresi.
“Jika isi pembicaraan yang direkam itu membahayakan seseorang atau umum, maka tindakan intersepsi ilegal itu bisa dimaafkan dengan alasan "mencegah bahaya yang lebih besar",” ungkap Subagyo.
Misalnya, gara-gara rekaman tersebut maka menjadi bukti untuk mencegah rencana tindakan yang membahayakan. (*)