AH dan Pejabat Bejat Lainnya, Kapan Mundur?
Sepertinya Tuhan sedang menelanjangi semua perilaku menyimpang kekuasaan. Bukan hanya korupsi, eksploitasi sumber daya alam, gunungan utang serta keragaman kejahatan institusional dan konstitusional lainnya. Heboh perselingkuhan seorang menteri berinisial AH yang juga ketua umum partai politik besar itu, meyakinkan rakyat, bahwasanya semakin rusak peradaban di negeri Pancasila ini.
Oleh Yusuf Blegur, Pegiat Sosial dan Aktivis Yayasan Human Luhur Berdikari
AGAMA diintimidasi, harta dan jabatan dioligarki, perempuanpun dikangkangi. Kasus asmara terlarang capres itu, seakan menjadi representasi dari perselingkuhan gelap para pejabat senasional. Bagai "a smooth criminal" lantunan mendiang Michael Jackson, kini terlihat kasar pada aparatur penyelenggara negara.
Pemimpin itu harusnya menampilkan kemuliaan. Amanat yang diemban di pundaknya, selayaknya menuntunnya mewujudkan kebahagiaan rakyat. Setiap pikiran, ucapan dan tindakannya selalu mengedepankan kebaikan, menegakkan kebenaran dan membangun ruang keadilan seluas-luasnya.
Bukan sekadar citra, fakta seorang pemimpin itu semaksimal mungkin menghindari perbuatan tercela, hina, dan berakibat buruk bagi kehidupan rakyatnya.
Di beberapa negara yang bahkan dianggap liberal dan sekuler sekalipun, soal-soal profesionalitas, disiplin, dan etika tetap dijunjung tinggi. Penegakan hukum, begitu diikuti oleh tanggungjawab pejabat dan para pemangku kepentingan publik lainnya. Moralitas dan rasa malu, begitu menyelimuti keseharian aktivitas penyelenggaran badan usaha dan pemerintahan.
Negara pun komitmen dan konsisten menjaga kewibawaan hukum dengan cara menindak tegas dan memberi sanksi seberat-beratnya para pelanggar hukum terlebih di kalangan pejabat negara. Mundur dari jabatan, melakukan bunuh diri dan atau mendapatkan hukuman mati, telah menjadi kebiasaan bagi pelaku dan yang dilakukan institusi hukum di beberapa negara terhadap kejahatan berat.
Kenyataan itu menegaskan tidak hanya telah berlangsungnya supremasi hukum semata. Lebih dari itu, ada sikap ksatria yang menunjukkan mentalitas menjunjung harga diri dan martabat seseorang dalam menerima ganjaran ekstrim sekalipun usai melakukan perbuatan jahat atau tercela dalam pandangan hukum dan sosial.
Jepang, Cina dll., memang bukanlah negara Indonesia. Bangsa-bangsa seperti mereka memang bukan berideologi Pancasila. Mereka penganut kapitalisme, komunisme, negara dengan atheisme dan polytheisme. Tapi mereka sangat menjunjung tradisi dan kebudayaan mereka.
Mereka kuat menjaga nilai-nilai dan keyakinan mereka. Memajukan rakyatnya dan gigih menghindari kemunduran negara bangsanya. Kesadaran pada hak dan kewajiban rakyatnya mendorong pemerintahnya tegas, menegakkan hukum kepada pelaku-pelaku kejahatan susila, korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan lainnya.
NKRI, sepertinya tak berdaya. Semua kejahatan yang melingkupi proses penyelenggaraan negara. Dibiarkan dan tak ubahnya sebuah keladziman dan serba permisif. Mungkin karena distorsi kebijakan dan penghianatan terhadap rakyat, bangsa dan negara.
Memang telah menjadi cermin nasional ketiadaan norma, hukum dan keberadaban di negeri ini. Oligarki dalam wajah korupsi, kejahatan kemanusiaan dan pelbagai konspirasi kebiadaban lainnya telah menjadi trendy dan gaya hidup.
Hilang harga diri, martabat dan rasa memiliki kemaluan. Akankah menjadikannya tetap pantas disebut sebagai manusia. Perselingkuhan dalam harta, jabatan dan wanita. Masihkah akan terus dibiarkan berlangsung selamanya?
AH bersama gerombolan pejabat bejat lainnya, masihkah punya kehormatan bagi diri dan keluarga, bagi negara bangsa dan agama? Kalau masih punya kemaluan, kapan mundur? (*)