Ujaran Kebencian dan Islamofobia

Profesor Australian National University (ANU) Greg Fealy menuding pemerintahan Indonesia di bawah Presiden Joko Widodo represif  terhadap Islam. Pandangan Fealy tertuang di sebuah artikel yang dimuat East Asia Forum pada 27 September 2020. Fealy menganggap, Jokowi telah melakukan kampanye penindasan sistematis terhadap kaum islamis dalam empat tahun terakhir.

Oleh: Tamsil Linrung, Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI

JANGANKAN menyejuk, mereda saja tidak. Resolusi perbaikan yang saban pergantian tahun diikrarkan, nyaris sebatas dengungan semata. Pun, revolusi mental yang digadang-gadang sebagai program menggembleng manusia Indonesia menjadi lebih baik, juga tak jelas hasilnya.

Faktanya, 2022 tetap saja kita sambut dengan riuh yang membuncah, dengan gaduh tak berkualitas. Cuitan Ferdinand Hutahaean soal “Allahmu lemah” sontak mengguncang jagad dunia maya. Seperti biasa, adu narasi tumpah ruah di media sosial dan media elektornik. Seperti biasa, anak-anak bangsa kembali bertempur opini permukaan, yang bukan persoalan utama negeri.

Perdebatan yang kurang lebih sama juga terlihat dalam kasus Habib Bahar bin Smith (HBS). Perkara tersebut menjadi sorotan lantaran beberapa hal. Pertama, video kedatangan Danrem 061 Surya Kencana Brigjen TNI Achmad Fauzi yang viral. Meski tujuannya baik, peristiwa tersebut di luar kelaziman. Kedua, penanganan laporan HBS yang demikian cepat. Dilaporkan ke Polda Metro Jaya pada 17 Desember 2021, HBS lalu dijadikan tersangka 17 hari kemudian, dan diterungku.

Sebagai rakyat, kita tentu mendukung dan mengapresiasi upaya penegakan hukum oleh aparat kepolisian. Semakin cepat prosesnya, akan semakin baik. Namun, respon cepat jelas tidak boleh mengesampingkan keadilan. Sebab, azas penting dari negara hukum adalah setiap persamaan warga negara di hadapan hukum (equality before the law).

Dalam konteks tersebut, tidak sedikit yang mempertanyakan langkah-langkah penanganan perkara oleh kepolisian. Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso, misalnya, membandingkan proses perkara HBS yang demikian cepat dengan laporan dua warga Bogor yang dianiaya oleh terduga personel Brimod DD alias Nando yang dinilai perkembangan kasusnya tidak jelas.

IPW juga membandingkan respon cepat penyidik kasus HBS dengan laporan atas pegiat media sosial Denny Siregar yang mandek. Denny Siregar dilaporkan pada 2 Juli 2020 oleh Ustadz Ahmad Ruslan Abdul Gani ke Polresta Tasikmalaya. Artinya, sekira 1,5 tahun kasus Denny belum menemui perkembangan signifikan. Pengacara HBS Ichwan Tuankotta dan ramai netizen ikut membandingkan penanganan perkara HBS dengan Ade Armando dan Permadi Arya yang tidak jelas perkembangannya.

Apa yang membedakan di antara mereka sehingga masyarakat ramai-ramai membandingkan? Sederhana saja. Abu Janda, Ade Armando, Denny Siregar adalah sosok yang dikenal pembela pemerintah. Sementara HBS sebaliknya, sosok yang dikenal beroposisi terhadap penguasa. Pengacara HBS menilai, hukum hanya tajam untuk oposisi atau lawan politik, sementara tumpul kepada para buzzer pendukung rezim.

Bila dicermati, lapor-melapor yang terjadi umumnya terkait SARA (Suku Agama, Ras dan Antargolonga), Abu Janda misalnya, sebelum dilaporkan oleh Ketum KNPI terkait dugaan cuitan rasis terhadap Natalius Pigai, juga pernah dilaporkan terkait unggahan yang kurang lebih menyebut “Islam Arogan”, “Panji Nabi, Bendera Tauhid Bendera Teroris” atau “teroris punya agama, agamanya Islam”.

Sementara itu, Denny Siregar pernah dilaporkan atas postingan di akun facebooknya yang berjudul “adek2ku Calon Teroris yg Abang Sayang.” Denny juga tercatat pernah dilaporkan terkait pernyataannya melalui video yang beredar di media sosial yang menyinggung pelegalan poligami dalam rencana penyusunan qanun (peraturan daerah) tentang hukum keluarga di Aceh. Sedangkan Ade Armando antara lain tercatat pernah dilaporkan terkait “meme Joker Anies Baswedan” dan perihal “Azan tidak suci.”

Dari tiga aspek dalam SARA, yang cukup dominan menjadi objek laporan adalah cuitan yang menyinggung agama, khususnya agama Islam. Sebelumnya, kekerasan terhadap simbol-simbol Islam sempat terjadi, baik fisik maupun non-fisik. Ulama yang sedang melakukan pengajian ditikam, masjid dilempari bom molotov, dan bahkan sekadar cadar dan janggut pun dipersoalkan.

Apakah Indonesia menuju Islamofobia? Kita berharap tidak. Namun, mengapa di negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia ini, sejumlah orang terlihat semakin terbuka mengolok-olok Islam? Ini tak pernah terjadi (atau sangat jarang terjadi) sebelumnya, kecuali di masa pergerakan dan PKI dulu.

Gerakan atau isu anti Arab, misalnya, pernah menggejala di masa pergerakan sebagaimana dimuat Majalah Berita Nahdlatoel Oelama 1 Januari 1938. Atau, di masa pergolakan PKI, 15 Januari 1965, Ludruk LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat – organisasi underbow PKI) membuat pementasan di Prambon (Sidoarjo) dengan lakon “Gusti Allah Dadi Manten” (Allah menjadi Pengantin). 

Melemahkan kekuatan Islam sesungguhnya adalah proses melemahkan NKRI. Itulah sebabnya penjajah dan dedengkot PKI selalu berupaya menyasar sumber kekuatan ini. Sebab, sepanjang sejarah perjalanan negeri, umat Islam selalu berada di garda terdepan perjuangan bangsa. Tentu tanpa mengenyampingkan peran dari umat agama lain, saudara sebangsa kita.

Kini, Indonesia telah merdeka dan PKI telah tiada. Namun, entah kenapa agama Islam dan pemeluknya terasa disudutkan. Tidak sedikit stempel yang sifatnya destruktif disematkan di sana-sini. Yang paling popular adalah branding intoleran dan radikal.

Profesor Australian National University (ANU) Greg Fealy menuding, pemerintahan Indonesia di bawah Presiden Joko Widodo represif terhadap Islam. Pandangan Fealy tertuang di sebuah artikel yang dimuat East Asia Forum pada 27 September 2020. Fealy menganggap, Jokowi telah melakukan kampanye penindasan sistematis terhadap kaum Islamis dalam empat tahun terakhir.

Boleh jadi Fealy benar. Akan tetapi, bisa juga keliru. Sebab, untuk menyimpukan sebuah perkara besar dan sensitif, tentu memerlukan studi yang lebih komprehensif. Satu hal yang pasti, pemerintah harus lebih sensitif dan tegas, khususnya menyangkut penegakan hukum. Kita memahami, pemerintah tidak boleh mengintervensi hukum. Namun, dengan segala kekuasaan di tangannya, Presiden Jokowi dapat melakukan evaluasi terhadap proses penegakan hukum yang oleh sebagian masyarakat dipandang tidak berkeadilan.

Islamofobia bukan tidak mungkin terjadi di negara berpenduduk mayoritas muslim. Presiden Jokowi perlu menunjukkan kesungguhannya mengantisipasi hal itu. Pemerintah sebaiknya bergandengan tangan dengan ulama, membangun persepsi tentang nilai-nilai Islam yang sejalan dengan ideologi Pancasila. Mereka yang mempertentangkan, justru boleh jadi punya agenda terselubung. (*)

404

Related Post