OPINI

Negeri Seolah-olah

Oleh Yusuf Blegur Terlihat tak ada sedikitpun celah kekurangan atau hal-hal yang buruk dari keberadaan Republik Indonesia. Negeri yang oleh Koes Plus dikatakan tanah surga, gemah ripah loh jinawi, seakan didesain Sang Pencipta menjadi negeri yang memuliakan kemanusiaan dan mengagungkan Ketuhanan. Apalagi kalau diamati dari konstitusinya, dasar negara dan falsafah bangsanya. Dengan Pancasila yang menimbulkan kecemburuan bagi dunia karena nilai-nilainya yang universal. Disebut-sebut lebih tinggi dari "Declaration of Human Right" Amerika Serikat atau Manifesto komunisnya Uni Soviet. DITAMBAH lagi UUD 1945 yang dalam mukadimahnya sarat religiusitas karena menegaskan narasi atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Negeri yang berada di tengah garis khatulistiwa yang eksotis berlimbah kekayaan alam dan dibingkai oleh semboyan NKRI Itu, serasa menjadi negara sempurna yang menghidupi rakyatnya dengan kemakmuran dan keadilan. Namun sayangnya, fakta berbicara lain. 76 tahun berlalu, kemerdekaan yang diraih melalui pengorbanan begitu besar, tak kunjung membawa rakyat Indonesia memiliki negara kesejahteraan. Apa yang terjadi, semua mengalami kontradiksi. Apa yang kemudian menjadi semangat dan tujuan proklamasi kemerdekaan, menghasilkan sesuatu yang sungguh-sungguh bertolak belakang. Teorinya tak sebagus prakteknya. Begitupula dengan pemimpin-pemimpin yang diberikan amanah oleh rakyat. Begitu banyak menampilkan sikap yang tidak memilki satunya kata dengan perbuatan. Keseharian rakyat dipertontonkan dengan betapa berjaraknya antara nilai-nilai dengan tindakan. Di tengah-tengah konstelasi dan konfigurasi dunia yang melulu menampilkan kepalsuan, manusia hidup dalam konspirasi kejahatan global. Bukan hanya eksploitasi manusia atas manusia dan eksploitasi bangsa atas bangsa, lebih dari itu dengan kesombongannya, manusia memarginalkan peran dan kekuasaan Tuhan. Banyak yang beragama, namun tak banyak yang menjalaninya. Bahkan tidak sedikit yang tidak beragama dan lebih bangga menuhankan dirinya. Hidup di era modern, namun mewujud seperti Raja Firaun, manusia dzolim yang dihukum Tuhan. Tidak terkecuali di Indonesa. Negeri yang dibangun di atas fondasi keagamaan, tradisi, dan dinamika masyarakatnya yang kaya akan spiritualitas. Namun mengusung prinsip-prinsip sekuler dan demokrasi liberal dalam mengelola negara. Indonesia lebih pantas menjadi tempat berhimpunnya populasi yang menganut kapitalisme dan menghamba pada materialistik. Sungguh miris dan ironis. Tidak hanya a-historis, negara perlahan namun pasti menuju dekadensi moral dan kemunduran peradaban. Korban Pemimpin-Pemimpin Durjana 7 tahun lebih rezim Jokowi memimpin Indonesia. Belum tuntas ia menyelesaikan perjalanan roda pemerintahan 2 periode. Jokowi seperti meninggalkan reruntuhan dan keping-keping kehancuran bangunan. Di bawah kepemimpinan Jokowi membuat negara seperti baru saja mengalami tsunami dahsyat dan gempa bumi mengerikan. Kerusakan akibat bencana yang bukan dihasilkan oleh alam, tapi oleh kelicikan dan kerakusan manusia. Jokowi sendiri menjadi presiden yang dianggap publik menghasilkan pemerintahan yang paling buruk dibandingkan dengan presiden-presiden sebelumnya yang pernah memimpin Indonesia. Ada beberapa aspek fundamental yang substansial dan esensial dalam kehidupan bernegara yang diberangus rezim Jokowi. Beberaa di antaranya al., sbb:. 1. Sektor Keagamaan. Sebagai mayoritas penduduk di Indonesia, umat Islam paling rentan dan sering mengalami penindasan. Mulai dari stigma stereotip dan fitnah sebagai agama kekekerasan dan teroris, umat Islam kerapkali dicap intoleran, radikal, dan fundamental. Umat Islam juga sering mendapat tindakan represi dan kriminalisasi. Tidak sedikit para aktivis Islam dan para ulama yang dipenjarakan rezim dengan niat jahat, penuh siasat dan tidak mendapat keadilan hukum serta perlndungan negara. Selain itu pemerintahan Jokowi secara terang-terangan seperti menyusun strategi terencana melakukan politisasi dan memarginalkan umat Islam. Justru banyak pejabat pemerintahan terutama di lingkungan kementerian dan instansi yang setingkat, melalui gerakan sekulerisasi dan liberaliaasi berupaya membuat deIslamisasi. Contohnya bisa dilihat dari kebijakan yang dikeluarkan kementerian agama dan kementeriaan pendidikan. Kedua kementerian ini cenderung sering menyusupkan kebijakan-kebijakan strategis yang yang menggerus dan anti Islam. Rezim Jokowi terkesan melegalkan tindakan pelanggaran hukum terhadap umat Islam dan mereduksi nilai-nilai Islam. Ada juga satu peristiwa yang tak terlupakan dan akan menjadi cacat sejarah bagi rezim Jokowi. Saat terjadi pembunuhan 6 orang laskar pengamanan Imam Besar Habib Riziek Syihab (HRS). Terlepas dari upaya politisasi dan kriminalisasinya, peristiwa itu menjadi catatan pelanggaran berat HAM baik di dalam negeri maupun internasional. Kasus itu layak disebut 'extra ordinary crime", atau 'crime of state' meski terus ditutup-tutupi dan dihilangkan. 2. Sektor Politik dan Ekonomi. Justru di bawah kekuasaan partai-partai politik yang berbasis nasionalis dan sebagian berbasis agama seperti PDIP, Golkar, Gerindra, PPP, PKB dll, pemerintahan Jokowi malah gagal dan tak mampu mewujudkan konsep Trisakti yang pernah diusung Bung Karno, dimana gagasan itu menjadi representasi nasionalisme Indonesia. Berdaulat dalam bidang politik, kemandirian dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan, seperti menjadi pepesan kosong dalam kekuasaan rezim Jokowi. Lebih sadis lagi PDIP yang dipimpin Megawati Soekarno Putri yang merupakan anak kandung Bung Karno, dimana Jokowi menjadi petugas partainya, bersama kolega partai dan pemerintahan membuat oligarki yang pantas disebut mengkhianati cita-cita Bung Karno dan NKRI. Megawati Soekarno Putri bersama persekongkolan politik kekuasaan, seperti membunuh Bung Karno berkal-kali setelah kematian fisik dan ideologinya yang sebenarnya. Rezim Jokowi juga terus membawa negara dan bangsa Indonesia ke jurang kehancuran. Lewat kolonialiasasi ekonomi dan politik berkedok investasi, Indonesia kini berada dalam cengkeraman China yang komunis. Ini menyebabkan pendulum ideologi tidak berada dalam posisi keseimbangan. Cina semakin agresif bukan hanya dalam soal ekonomi dan politik, kekuatan negeri tirai bambu itu itu juga 'mengekspor" penduduknya dalam jumlah besar ke Indonesia. Siap menggusur pribumi dan merebut kadaulatan Indonesia. Selain mengusik kepentingan kapitalisme blok barat yang dipimpin Amerika, hegemoni dan dominasi Cina terhadap Indonesia. dapat memicu konflik kepentingan dan bisa saja menimbulkan perang, terutama karena ekonomi politik dan pertahananan keamanan dua ideologi dunia itu. Kondisi yang demikian membuat Indonesia dalam kerugian besar dan dalam bahaya. Selain soal penguasaan sumber daya alam, pemerintahan di bawah kepemimpinan Jokowi, terancam kehilangan stabilitas dan kedaulatan negara. Situasi seperti ini seakan membawa Indonesia kembali pada era perang dingin. Bukan tidak mungkin, peristiwa 1965 yang menjadi tragedi politik dan kemanusiaan itu terjadi lagi. Catatan hitam sejarah konflik ideologi dan transisi kekuasaan itu berpotensi terulang, mengingat latar belakang, indikator dan fenomena-fenomena yang ada hampir sama dengan yang menyebabkan peristiwa G 30 S/PKI. Salah satu tragedi kemanusiaan terbesar yang pernah ada di abad 19. Syarat-syarat obyektif dan subyektif, menyebakan peristiwa tersebut bakal kembali terjadi. Hanya soal waktu yang mungkin tidak terlalu lama lagi. 3. Sektor Kebudayaan. Di samping seolah-olah menjadi negera Pancasila dan melaksanakan konstitusi UUD 1945, Indonesia malah mengadopsi sistem nilai dan kebudayaan yang justru bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Indonesia pada akhirnya menjadi wadah sekaligus potensi pasar global dari banyaknya produk ekonomi dan kebudayaan negara-negara di dunia. Indonesia tak ubahnya diterpa agresi kebudayaan asing. Cara berpikir, bertutur kata dan bertindak bangsa Indonesia, semua bergaya dan diisi oleh faham kapitalis yang sekuler dan liberal. Nilai-nilai Islam dan agama pada umumnya tercerabut dari akarnya. Lagi-lagi menjadi korban imperialisme dan kolonialisme modern. Dari semua realitas itu, faktor kepemimpinan nasional menjadi pemicu dan berkontribusi signifikan membentuk tatanan negara dalam pelbagai dimensi kehidupan rakyat. Dalam hal ini, keadaan Indonesia yang jauh dari ideal apalagi sampai bisa disebut 'wellfare state', lebih karena pemimpin-pemimpin yang bukan saja khianat terhadap cita-cita proklamasi kemerdekaan dan tujuan negara, akan tetapi pemimpin-pemimpin itu, telah menggantikan peran kaum penjajah. Mengumbar nafsu syahwat kekuasaan menjadi koloniais di negerinya sendiri. Menjadi pemimpin-pemimpin durjana bagi rakyatnya. Oleh karena itu dengan masih menyebut Indonesia dengan julukan negara Pancasila, berpijak pada UUD 1945 dan dalam naungan NKRI, gemuruh dan sorak sorai saya Indonesia, saya Pancasila dan saya NKRI, sejatinya, kekuasaan ini sedang menjalankan negara yang seolah-olah. Seolah-olah Pancasila. Seolah-olah NKRI. Seolah-olah Indonesia. Semoga dapat menjadi yang sesungguhnya. Penulis, Pegiat Sosial dan Aktifis Yayasan Human Luhur Bedikari.

Jawaban Kepada Para Penentang Syariah

Oleh: Subagyo Semakin lama suara menetang pemberlakuan syariah (Hukum Islam) di Indonesia kian mengemuka. Doktor Ade Armando yang merupakan dosen Ilmu Komunikasi di Universitas Indonesia merupakan salah satu penentangnya, menganggap pemberlakukan syariah di Indonesi adalah berbahaya. Di media-media sosial dan tulisan-tulisan di blog internet, terdapat kesan bahwa ada orang-orang yang memang awam ilmu hukum, awam sejarah, mereka mengira bahwa orang-orang yang memperjuangkan syariah itu merupakan kaum ekstrimis yang anti NKRI, ingin mengubah ideologi negara Pancasila atau anti Pancasila. Proganda dengan kalimat “Mengganti Pancasila dengan Syariah Islam” itu adalah menyesatkan. Sebab, orang-orang Islam Indonesia yang memperjuangkan syariah itu bukan dengan maksud mengganti Pancasila, melainkan memperjuangkan hak-hak dan kewajibannya, yang telah dijamin oleh konstitusi. Sikap menentang berlakunya syariah tersebut bisa saja memang merupakan sikap penganut ideologi sekularisme, atau bisa karena salah paham dan tidak memahami sistem hukum Indonesia. Kaum awam ilmu hukum tersebut butuh untuk meneliti sejarah bagaimana proses Indonesia didirikan. Peran umat Islam dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, mau tidak mau harus diakui. Para tokoh Islam ada di dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), sebagai representasi umat Islam yang mayoritas. Di dalam sidang-sidang BPUPKI dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), terjadi perdebatan para pendiri negara dari golongan Islam dan nasionalis. Terjadilah kompromi, sehingga bangunan negara Indonesia disebut sebagai religious nation state oleh para ahli Hukum Tata Negara. Hukum Islam dan politik Islam dalam sejarahnya di dunia telah memberikan pengaruh pada hukum di banyak negara, sehingga menjadi bahan kajian-kajian ilmu hukum di dunia. Bapak sejarahwan sains, George Sarton berkata bahwa Raja Frederick II, penguasa Dinasti Norman di Sisilia (yang saat itu adalah Kaisar Romawi), adalah orang yang setengah muslim dengan caranya sendiri. Ketika Frederick II berkuasa, University of Naples tahun 1224 M, menggunakan sistem pendidikan yang dikembangkan perguruan tinggi Islam. Bahkan sistem fiskal Inggris meniru sistem hukum fiskal Islam di Sisilia. Joseph Schacht secara khusus meneliti syariah dan menerbitkan buku berjudul The Origins of Muhammadan Jurisprudence, meskipun dikomentari negatif oleh Wael B. Hallaq (profesor Hukum Islam Institute of Islamic Studies. McGill University, Montreal, Kanada). Profesor Wael menyatakan bahwa karya Schacht tersebut adalah suatu perlakuan yang menyesatkan terhadap hukum dan Ilmu Hukum Islam, sebagaimana kitab ar-Risalah karya Imam Syafi’i dianggap sebagai suatu penjelasan ushul fiqih. Profesor Peter de Cruz menyebutkan bahwa Hukum Islam termasuk bagian dari sistem hukum di dunia, meskipun ia tidak membahasnya lebih jauh. Profesor Werner Menski dari Inggris dalam karyanya Comparative Law In A Global Context (2008) membahas secara khusus tentang Syariah Islam. Menski memberikan uraian pandangan fundamental terkait dengan bagaimana memahami Hukum Islam dalam konteks hukum yang plural. Menski menyatakan, seorang muslim yang baik, seperti yang dinyatakan dalam Quran sendiri, tidak bisa bersikeras bahwa semua orang di dunia harus menganut Islam atau jenis tertentu Islam. Walhasil, seorang muslim yang baik sudah dengan sendirinya adalah seorang pluralis. Profesor Menski terpengaruh oleh pandangan tokoh Islam, yakni Presiden Afghanistan, Hamid Karzai, yang berkata, “Saya seorang muslim fundamentalis. Saya meyakini fundamental Islam. Yang salah adalah ekstrimisme. Kita tidak boleh membiarkan ekstrimisme dalam agama. Dalam kasus kita ekstrimisme datang dari luar negeri. Orang-orang Afghan bukan ekstrimis.” Terkait pandangan Profesor Menski tentang pluralitas, pluralisme itu seperti tema HAM, di mana lebih mengemuka dalam wacana-wacana intelektual di Barat. Tetapi Islam sendiri juga memuat ajaran HAM dan pluralitas sebagai pemaknaan dari “kesadaran terhadap perbedaan”. Pluralitas dalam ajaran Islam memang bukan pluralisme ideologi Barat. Tetapi ada titik-titik singgung yang sesuai. Alquran Surat Alhujurot ayat 13 merupakan ayat yang berkaitan dengan pluralitas tersebut. Hukum Internasional juga mengakui sumbangan syariah kepada masyarakat dunia. Profesor E. Saefullah Wiradipradja, guru besar Universitas Islam Bandung, menyampaikan bahwa sumbangan Hukum Islam, khususnya terhadap Hukum Perang/Humaniter, sangat besar terutama dalam meletakkan asas-asas perikemanusiaan dalam Hukum Perang Humaniter. Seorang guru besar Hukum Internasional pada Akademi Ilmu Negara di Den Haag, Belanda, dan pernah menjadi menteri pada tahun 1936 menyatakan bahwa orang-orang yang dianggap peletak dasar-dasar hukum internasional yaitu Vittoria dan Suarez, banyak mengambil dasar hukum internasional dari syariat Islam. Hugo de Groot (Grotius) sebagai Bapak Hukum Internasional modern dalam tulisannya banyak mengambil pendapat Vittoria dan Suarez yang mengambil dasar-dasar Hukum Islam. Pendapat yang sama juga dikemukakan juga oleh pengarang Perancis Sedilot dalam bukunya Sejarah Arab, Jean Pictet dalam tulisannya The Geneva Convention and The Laws of War, M.K. Ereksoussi dalam The Koran and The Humanitarian Convention, dan Mochtar Kusumaatmadja dalam bukunya Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 Mengenai Perlindungan Korban Perang. Di Indonesia sendiri, Hukum Islam (syariah) telah menjadi kenyataan sejarah di Nusantara, sebelum Indonesia merdeka. Bahkan di zaman kolonial Belanda juga diterapkan syariat bagi orang Islam dan dibentuk Mahkamah Syariah, meskipun dalam bidang hukum yang terbatas. Artinya, pemerintah penjajah Belanda masih memperhatikan living law masyarakat Islam di tanah jajahannya di Nusantara. Pada zaman Hindia Belanda, terdapat peraturan bernama Regeering Reglemen (RR) Tahun 1885, di mana Pasal 78 ayat (2) menentukan bahwa apabila terjadi perkara perdata antara sesama orang Bumiputera atau dengan orang yang disamakan dengan mereka, maka mereka tunduk pada hakim agama atau kepala masyarakat mereka yang menyelesaikan perkara itu menurut undang-undang agama atau ketentuan mereka. Pengadilanya dibentuk dengan nama Priesterraad, Stbl. 1882 No. 152 Jo. 1937 No. 116 dan 610 untuk Jawa dan Madura dan Kerapatan Qodhi Stbl. 1937 No. 638 dan 639 untuk Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur Sukarno dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945 juga menyampaikan ide bahwa rakyat yang beragama Islam harus bekerja keras agar dalam pemilihan umum memilih para pemuka agama Islam yang duduk di dalam Badan Perwakilan Rakyat sehingga peraturan yang keluar dari badan tersebut adalah peraturan yang berdasarkan Islam. Begitu pula umat Kristen mesti berusaha dalam pemilihan umum, agar nantinya Badan Perwakilan Rakyat juga mengeluarkan peraturan yang bersumber dari Injil. Dalam perspektif hukum konstitusi, Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 menentukan bahwa negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Profesor H. Muchsin mengemukakan pandangan dari Profesor Hazairin yang merupakan guru besar Hukum Islam di Universitas Indonesia, bahwa di dalam negara Indonesia tidak boleh terjadi atau berlaku sesuatu yang bertentangan dengan Hukum Islam bagi umat Islam, atau bertentangan dengan Hukum Nasrani bagi umat Nasrani, atau bertentangan dengan Hukum Hindu bagi umat Hindu, dan seterusnya berlaku pula prinsip hukum yang demikian bagi umat Budha. Negara Indonesia wajib menjalankan masing-masing syariat agama bagi para pemeluk agama masing-masing. Syariat tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara untuk menjalankannya, dan itu menjadi kewajiban pribadi masing-masing orang menurut agamanya. Pandangan tersebut sama dengan pandangan tokoh-tokoh lainnya, termasuk Kyai Abdurrahman Wahid. Tetapi yang jelas mereka sama pandangan dalam satu hal, yakni syariat – entah dengan cara formal atau tidak formal – merupakan pedoman hidup bagi umat Islam yang dijalankan dalam kehidupan sehari-hari. Profesor H. Muchsin menyatakan bahwa proses politik yang panjang akhirnya membuahkan perundang-undangan yang berlabel Islam. Contohnya, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang di dalamnya ada Piagam Jakarta, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (sekarang berubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019), Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (hingga artikek ini ditulis telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009) dan sebagainya. Dengan demikian, terlepas dari segala kekurangan dalam penerapannya di Indonesia, syariah merupakan bagian dari system hukum Indonesia. Sikap dan usaha menentang syariah dengan berharap Indonesia akan menjadi 100% sekuler, merupakan sikap yang tidak hanya bertentangan dengan Pancasila, tapi juga inkonstitusional. Penulis Adalah Advokat di Surabaya

Vaksin, PCR, dan Angkara di Tengah Pandemi

Oleh Gde Siriana Yusuf *) RAKYAT Indonesia sesungguhnya telah lama mengenal konspirasi jahat di tengah wabah penyakit. Hal ini, misalnya, dapat ditemukan dalam kisah Calon Arang—cerita rakyat Jawa dan Bali dari abad ke-12. Kisah itu terjadi pada masa pemerintahan Raja Airlangga (1006-1042), anak Raja Udayana yang memerintah Kerajaan Daha Kediri, Jawa Timur, sejak 1021. Naskah lontar yang berisi cerita ini ditulis dengan aksara Bali kuno dan kini tersimpan di Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV), Leiden, Belanda. Calon Arang digambarkan sebagai penguasa ilmu hitam yang, bersama pengikutnya, sering merusak hasil panen petani dan mendatangkan penyakit di Desa Girah. Ia mendatangkan penyakit karena marah kepada penduduk desa yang enggan meminang putrinya, Ratna Manggali, karena takut kepada Calon Arang. Bukan hanya penyakit, Calon Arang juga mengirim banjir besar ke desa tersebut, sehingga banyak orang meninggal. Di akhir cerita, Calon Arang dapat dikalahkan oleh Mpu Bharadah, guru spiritual Raja Airlangga yang terkenal sakti, yang namanya juga tercatat dalam kitab Negarakertagama. Selama masa pandemi, selain muncul krisis kesehatan, ekonomi, dan demokrasi, krisis yang menjadi fokus utama dunia adalah korupsi. Pandemi Covid-19 telah menciptakan badai korupsi yang sempurna dengan menghasilkan peluang baru untuk mencari rente. Lebih banyak sumber daya, baik di dalam maupun di luar negeri, disediakan untuk mengatasi pandemi dalam konteks kompromi dalam keleluasaan pengambilan keputusan dan alokasi sumber daya yang dikombinasikan dengan pengawasan serta penegakan yang terbatas (Martini, 2020). Di satu sisi, diperlukan mobilisasi sumber daya besar-besaran untuk mengatasi krisis kesehatan dan ekonomi. Tapi, bersamaan dengan itu, terbuka pula peluang korupsi. Sementara itu, dalih kedaruratan telah melemahkan mekanisme pencegahan dan pengawasan korupsi. Hal ini menjadi fenomena umum di banyak negara menengah-miskin. Afrika Selatan merupakan salah satu contoh negara yang mengalami banyak kasus korupsi dalam bantuan sosial dan pembelian vaksin. Sementara dulu konspirasi Calon Arang dilandasi dendam dan Mpu Bharadah tidak menjual kesaktiannya untuk menyembuhkan penyakit warga Desa Girahmaka, kini ada konspirasi jahat yang lebih dilandasi motif ekonomi serta kesaktian teknologi dalam bentuk masker, alat tes, dan vaksin Covid-19 yang harus dibayar oleh seluruh penduduk dunia. Jika tidak dapat dianggap sebagai sebuah konspirasi, setidaknya ada pihak-pihak yang dengan serakah memanfaatkan situasi pandemi untuk mengambil keuntungan ekonomi di tengah penderitaan orang banyak. Di sinilah potensi korupsi dan mengejar rente terjadi. Sebab, hari ini tidak ada Mpu Bharadah, tapi ada pabrik-pabrik dan para pedagang yang memproduksi massal kesaktiannya, lalu menjualnya melalui kerja sama dengan pembuat kebijakan. Pandemi seharusnya menjadikan kita lebih menjaga kesehatan diri, peduli terhadap sesama, lebih religius, dan secara ekonomi harus bertahan hidup. Orang-orang serakah justru memanfaatkan peluang ekonomi ini untuk mengambil lebih banyak dari orang-orang yang menderita. Seperti halnya politik vaksin, politik tes polymerase chain reaction (PCR) tidak melarang orang mencari untung. Tapi, dalam konteks good governance, hak publik harus dilindungi dengan memastikan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan keadilan dijalankan. Transparency International (2021) berpendapat bahwa klausul kerahasiaan tidak boleh digunakan oleh perusahaan farmasi atau pemerintah untuk mengabaikan hak publik atas informasi penting, seperti harga sebenarnya tes PCR dan vaksin serta berapa keuntungan yang diperoleh pabrikan dan penyelenggara tes PCR dan vaksinasi. Jika India dapat menurunkan harga tes PCR beberapa kali, dari 4.500 rupee (Maret 2020) hingga 500 rupee atau setara dengan Rp 96 ribu (Agustus 2021), mengapa Indonesia tidak bisa? Itu adalah pertanyaan logis masyarakat yang semestinya direspons pemerintah dengan bijak. Presiden Joko Widodo memerintahkan untuk kedua kalinya penurunan harga PCR, dari Rp 450 ribu ke Rp300 ribu, tapi penggunaan tes PCR diperluas ke semua moda transportasi, baik darat, laut, maupun udara. Bagi pebisnis, hal ini mirip cara mempertahankan profit. Jika margin berkurang, kuantitas harus diperbanyak. Penurunan harga tes PCR ini pun tidak dapat menjawab pikiran logis masyarakat: jika di India harga tes PCR bisa jauh lebih murah berkali-kali lipat, mengapa Indonesia tidak mengimpor saja dari sana? Thomas Ferguson (1995) telah menjelaskan dalam teori persaingan investasi partai politik bahwa para investor besar yang berasal dari masyarakat kelas atas dan berkontribusi besar dalam pemenangan kampanye politik pemerintah yang berkuasa memiliki kemampuan untuk mempengaruhi politik negara. Sebab, mereka memiliki akses ke informasi-informasi penting yang mahal harganya sehingga tidak terjangkau oleh warga biasa. Teori ini memperlihatkan bagaimana kebijakan publik akan sangat dipengaruhi oleh kepentingan orang kaya, dan kepentingan kelas bawah sangat mungkin dikorbankan. Konsekuensinya, seluruh area kebijakan tidak lagi akan diperebutkan atau diperdebatkan karena investor besar yang tersebar di berbagai partai politik memiliki preferensi yang identik dalam banyak isu kebijakan. Namun ada fakta di Indonesia yang belum dijelaskan oleh Thomas Ferguson, yaitu para investor politik tidak saja mempengaruhi kebijakan publik, tapi juga menempatkan dirinya dalam kabinet dan menjadi pembuat kebijakan. Inilah yang terjadi dalam kebijakan-kebijakan pemerintahan Jokowi selama masa pandemi dan tidak ada perlawanan yang sungguh-sungguh dari Dewan Perwakilan Rakyat (partai politik) untuk mengkritik kebijakan ihwal pandemi yang memberatkan masyarakat. Praktik memburu rente dapat dilihat sebagai usaha menerapkan praktik monopoli terhadap sumber daya dan melobi pemerintah/penguasa dalam upaya mendapatkan perlindungan, konsesi, serta hak guna sumber daya tersebut (Ratnia Solihah, 2016). Perburuan rente disebut sebagai korupsi ketika ada persaingan untuk perlakuan istimewa terbatas bagi beberapa orang dalam dan ketika biaya berburu rente sangat berharga bagi penerimanya (Johan Graf Lambsdorff, 2002). Konsep ini juga berlaku untuk perilaku birokrasi yang meminta dan mengekstrak "suap" atau "sewa" melalui otoritas legal yang bersifat diskresioner untuk tujuan memberikan keuntungan yang sah ataupun tidak sah kepada klien politik (Chowdhury, Faizul Latif, 2006). Hal ini sangat terlihat dari kebijakan PCR, juga pengadaan vaksin yang dibungkus dengan nuansa diskresi, saat kebijakan selama masa pandemi akan berlindung pada "kekebalan hukum" yang diberikan oleh Undang-Undang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19. Kita harus berterima kasih kepada Mahkamah Konstitusi yang telah mengabulkan judicial review, sehingga tidak ada pejabat negara yang kebal hukum dan tak bisa berdalih dengan pandemi dalam mengelola keuangan negara sehingga menabrak aturan. Dalam praktiknya, akan sulit menghindari konflik kepentingan jika orang-orang yang berlatar belakang bisnis, apalagi yang berkontribusi besar secara kapital dalam pemenangan pemilihan presiden, diberi tugas menyusun kebijakan publik ihwal tes PCR. Pemerintah harus merasakan beban masyarakat yang bertambah selama masa pandemi. Harga tes PCR merupakan salah satu beban tambahan, dan pemerintah seharusnya mengupayakan harga serendah mungkin, relatif terhadap harga di negara lain. Apa yang menjadi beban masyarakat sebagai akibat inefisiensi perusahaan ataupun praktik memburu rente seharusnya pada akhirnya dipandang akan merugikan ekonomi nasional dan berdampak pada kecepatan pemulihan ekonomi. Di sisi lain, harga vaksin dan tes PCR, juga vitamin dan obat-obatan lain, menjadi hal yang sensitif bagi masyarakat selama masa pandemi karena menyentuh rasa keadilan, yaitu perasaan senasib sebagai suatu bangsa yang sedang dilanda berbagai kesulitan. Untuk itu, Presiden Jokowi perlu mempertimbangkan kembali penugasan orang-orang berlatar belakang pedagang yang memimpin upayabesar untuk mengatasi pandemi. Sebab, dipastikan mereka sangat kesulitan menjaga naluri mencari untung besar meskipun dalam situasi krisis. Jika hal ini dibiarkan, kisah pandemi Covid-19 akan menjadi angkara di tengah nestapa pandemi. *) Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies (INFUS) Tulisan ini juga dimuat Koran Tempo pada 5 November 2021

Tidak Terjadi Secara Kebetulan

... penindasan terhadap agama justru sering menyuburkan agama... (Kuntowijoyo) Oleh Ady Amar *) MANA ada pernyataan nekat pada beberapa tahun lalu, bisa muncul dari mulut seseorang, dan itu pelecehan agama (Islam). Tapi hari-hari ini menista/melecehkan simbol-simbol dan syariat Islam itu seolah bertumbuh berlomba susul menyusul, diproduksi setiap saat. Dan bebas-bebas saja. Aman dari jeratan hukum. Belajar dari kasus Ahok, yang kepeleset Surat Al-Maidah, ayat 51, dan itu penistaan agama. Umat marah dan lalu bergerak memprotes dengan keras. Ahok lalu dibantarkan di hotel prodeo. Belajar dari kasus itu, maka aktor penista dibuat tidak non-muslim, tapi dari kalangan umat Islam sendiri. Meski penistaan/pelecehan disampaikan berkali lipat lebih jahat daripada apa yang disampaikan Ahok dulu, umat sepertinya tidak terlalu merespons berlebihan. Ada sih protes dengan pelurusan di media sosial khususnya, tapi tetap saja penyerangan terhadap Islam terus dimunculkan. Ade Armando jadi seseorang yang tampak menikmati peran sebagai aktor antagonis, melecehkan agamanya. Beberapa saat lalu, ia mempertanyakan hal yang sudah baku dalam peribadatan. Tampak miskin pengetahuan agamanya, meski ia mengaku Islam. Tiba-tiba menyatakan dengan bangga pula, bahwa saya beragama Islam tapi tidak percaya syariat Islam. Dalam hitungan hari kemudian, ia muncul lagi dengan pernyataan, bahwa perintah shalat 5 waktu itu tidak disebutkan dalam al-Qur'an. Meski lalu beberapa ulama, terutama dari kalangan MUI, memberi penjelasan tentang statemennya dengan rinci. Tapi tetap saja tidak berpengaruh buatnya. Tujuannya memang untuk melecehkan, bukan mencari kebenaran. Ditambah dengan munculnya para buzzerRp di media sosial, bersekutu mengolok syariat Islam dengan sadisnya. Ini semacam skenario yang memang dibuat, setelah apa saja yang berbau Arab diperolok dengan kadrun, lalu meningkat nekat mengolok Islam. Memakai jasa mereka yang ber-KTP Islam dengan menista syariat Islam, menjadi bebas telanjang. Intensitas penistaannya pun makin hari dibuat makin menjadi. Makhluk penista itu orangnya ya itu-itu juga. Menjadi seperti besar karena mendapat tunggangan para buzzerRp dan jaringan media sosial, yang meski media itu memakai nama Islam, tapi asyik saja memuat komen para penista itu. Tentu demi konten. Negara memang menjadi tidak hadir saat agama mayoritas ini diperlakukan tidak semestinya, amat terlihat sempurna. Maka jika ada yang mengatakan, bahwa mereka dihadirkan memang untuk diperhadapkan dengan umat Islam mayoritas, itu pun tidak dapat dipungkiri. Menyulut agar umat marah, saat agama dilecehkan. Umat ingin disibukkan dengan hal-hal tidak produktif. Berharap abai pada agenda sistemik yang dirancang segelintir manusia busuk tapi berkuasa (oligarki), yang berhasrat menguasai negeri dengan tidak semestinya. Bersyukur umat Islam mampu melihat itu semua. Mampu melihat bahwa munculnya fenomena pelecehan/penistaan terhadap Islam, itu memang skenario yang dimainkan, maka meresponsnya pun umat dengan tidak berlebihan. Cakep. Seperti dimunculkan pula Kyai Syakur, yang diundang ceramah di Mabes Polri. Dari lisannya muncul pernyataan-pernyataan maha busuk, yang mencoba menyerang Islam dengan kehinaan dan kedustaan luar biasa. Banyak yang terheran, kok Mabes Polri mengundang ulama sesat, yang orang menyebut sebagai "embahnya" liberal. Mengundang kyai Syakur pastilah penuh perhitungan. Maka tidaklah perlu bingung, biasa saja. Islam yang Diperhadap-hadapkan Islam diperhadap-hadapkan seolah musuh. Setidaknya geraknya ingin dibatasi. Maka semua aspek yang bisa mencipta kekuatan coba dilemah-lumpuhkan. Fenomena yang muncul menampakkan itu semua. Maka, jika satu kelompok muslim, tanpa basis sejarah yang jelas mengklaim sesuatu yang besar adalah milik kelompoknya, seraya membesarkan kelompoknya dengan tidak malu-malu, itu pun bisa ditengarai Islam sedang coba diperhadap-hadapkan. Semua tidak terjadi secara kebetulan. Semua dihadirkan dengan perencanaan. Semua digarap dengan terukur. Dimunculkan kelompok Islam dengan penuh fasilitas memanjakan. Ada pula kelompok yang kurang dapat perhatian. Tapi ada pula kelompok yang dimatikan, bahkan pemimpinnya dipenjarakan dengan tanpa kesalahan berarti. Suasana demikian akan terus dipertahankan, dianggap efektif meredam kekuatan Islam agar tidak jadi ancaman. Kelak kerap akan dimunculkan wacana yang punya potensi benturan antarkelompok. Sampai kapan suasana keberagamaan menjengkelkan ini berakhir, tentu berharap agar tangan Tuhan berandil mengembalikan kesadaran umat, bahwa agama (Islam) itu keyakinan yang mustahil bisa dikalahkan kekuatan apa pun. Untuk menutup opini ini, ada ungkapan menarik dari Allah yarham Kuntowijoyo, pantas disajikan di sini: "Agama tak bisa diatur oleh kekuatan politik, agama tumbuh tidak dengan logika kekuasaan, tapi dengan logika kepercayaan. Daya tarik agama berbeda dengan daya tarik politik, sehingga penindasan terhadap agama justru sering menyuburkan agama itu. Agama mempunyai vitalitas (daya hidup) yang berbeda dari politik. Kalau tidak di permukaan, agama akan 'bergerilya' di bawah. Agama itu seperti air, tidak bisa dibendung. Jika dibendung akan selalu mencari jalan untuk mengalir." (Identitas Politik Umat Islam 1997, h. 198). Wallahu a'lam. (*) *) Kolumnis

Nadiem Harus Belajar Pancasila

By M Rizal Fadillah Di antara Menteri "kekacauan" selain Yaqut, Luhut, Erick, Risma, juga Nadiem Makarim. Alih-alih membawa pendidikan yang semakin baik, Nadiem menggambarkan sosoknya yang liberal, tidak faham agama, dan lebih jauh miskin akan pendidikan Pancasila. Permendikbudristek No 30 tahun 2021 yang ditandatangani Nadiem tanggal 30 Agustus 2021 telah membuat kekacauan lagi. Sejak Program "kampus merdeka" yang tak jelas, road map pendidikan tanpa menyentuh nilai-nilai keagamaan, agenda kurikulum moderasi beragama yang mengacak-acak makna agama, hingga terakkhir soal kekerasan seksual di kampus yang berimplikasi pada kebebasan seksual (zina) dan melegalisasi LGBT. Peraturan Menteri yang kemasannya bagus yakni berjudul Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, berisi aturan yang justru menggambarkan liberalisasi, peminggiran agama, dan jauh dari ideologi Pancasila. Ideologi barat Marxisme masuk dalam filosofi pengaturan. Liberalisasi Sepertinya asas liberte, fraternite, dan egalite menjadi dasar pandangan Nadiem. Standar terjadinya kekerasan seksual atau tidak tergantung pada konsensus dalam berhubungan sex (sexual consent). Suka sama suka yang 'halal' dan perlindungan atas nama persamaan jender memproteksi LGBT. Asal dewasa dan tanpa pemaksaan. Peminggiran Agama Ukuran benar dan salah bukan berdasarkan agama, padahal persoalan hubungan sex adalah sarat nilai. Semua agama peduli akan hal ini, kecuali agama abal-abal. Meminggirkan agama adalah melawan kultur relijiusitas bangsa Indonesia. Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang dibentuk ternyata steril dari komponen agama apakah ulama atau ahli agama. Tidak Berbasis Pancasila Tertib Pancasila adalah tertib hukum. Permendikbudristek No 30 tahun 2021 itu dibuat tanpa dasar hukum. Gagalnya RUU P-KS menjadi UU justru muatannya diadopsi pada Permen ini. Di samping itu Permen ini juga bertentangan dengan sila pertama dan kedua Pancasila. Menghilangkan nilai Ketuhanan dan hanya berbasis kepada Kemanusiaan, itupun tanpa peduli akan "Adil dan Beradab". Organisasi-organisasi Islam telah bereaksi menyatakan berkeberatan atas Peraturan Nadiem ini. Mendorong untuk segera dicabut. Berbahaya karena penyelundupan gagasan ini dapat merusak tatanan masyarakat bangsa Indonesia yang beriman dan bertakwa. Nadiem Makarim harus mulai untuk mau mendalami Agama, tetapi juga jangan lupa belajar Pancasila. Kampus merdeka bukan untuk menjadi pemikir yang merdeka. Stop liberalisasi, stop sekularisasi. Ini Indonesia, bung. *) Analis Politik dan Kebangsaan

Orang Tua yang "Terbuang" dalam Perspektif Lain

Oleh Ady Amar *) KISAH ibu yang "dibuang" anak-anaknya terus jadi berita. Sudah lebih dari sepekan berita itu viral. Dimulai dari secarik kertas dari 3 anaknya bermeterai, yang menyerahkan sang ibu pada sebuah panti jompoh viral lebih dulu. Kemudian fisik sang ibu muncul dari pemberitaan media, khususnya televisi. Ditambah sang ibu yang digiring pernyataan awak media, menyatakan bahwa ia "dibuang" anak-anaknya yang tak sanggup merawatnya. Ibu itu memang mengalami kelumpuhan fisik, meski tampak tubuhnya sehat. Kisah ibu yang "dibuang", itu memang mampu mengaduk emosi banyak pihak menumpahkan sumpah serapah pada sang anak yang dikatakan dengan anak tak tahu balas budi. Ada pula yang menyebutnya, bagai kisah Malin Kundang jilid 2. Para komentator yang biasa disebut netizen, itu menjadi manusia seolah paling tahu tentang sebuah peristiwa, dan tentu seolah tahu kondisi yang dihadapi ibu dan terutama anak-anaknya. Sehingga penghakiman mesti diberikan pada anak-anaknya, dengan sebutan zalim. Putusan kata "zalim" sudah diberikan, seolah kata itu pantas diberikan pada anak-anaknya, tanpa mau mendengar mengapa sang anak harus menyerahkan sang ibu ke panti jompo. Tiga anak, dari ibu itu, tidak tinggal di satu kota. Domisili mereka di Jakarta, Bogor dan Pekalongan. Di tiga kota itu anak-anaknya tinggal. Satu dari anaknya sempat di hubungi, dan juru warta ikut mendengar dialog lewat speaker. Sang ibu mengatakan, mengapa ia "dibuang"? Dan sang anak menjawab, sama sekali bukan membuang. Ibu tidak dibuang. Ibu tinggal di sana cuma sementara, dan pada saatnya ibu nanti saya jemput. Dialog dalam bahasa Jawa, itu cukup mengenaskan bagi siapa saja yang mendengar dengan hati. Anak-anaknya memang tampak dalam kondisi kesulitan ekonomi yang sangat, bahkan salah satunya korban PHK. Kesumpekan ekonomi dan hal-hal psikologis lainnya, di mana mereka lalu bersepakat menitipkan sang ibu ke panti jompo yang dirasanya tepat. Tentu agar bisa diurus dengan baik. Semua dari kita tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya, seberapa dahsyat kesulitan sang anak sehingga tidak mampu merawat sang ibu Kita acap mengukur semuanya dari kondisi diri sendiri, yang lalu dipersepsikan dengan kondisi orang lain. Semua yang ada di diri ini seolah representasi dari nilai kebaikan. Maka, sang anak dalam persepsi yang dimunculkan para netizen yang maha tahu, itu dengan "membuang" sang ibu. Barat dan Timur Tidak Serupa Di Timur menitipkan orang tua di panti jompo itu perbuatan tidak manusiawi, dan bahkan masuk kategori zalim. Kaidah yang dipakai, bahwa saat anak-anak dulu ia dipelihara dengan baik oleh kedua orang tuanya. Giliran orang tua sudah tua tega-teganya dititipkan di panti jompo. Di Timur, saat anak-anak tumbuh dewasa dan bekerja, maka tidak dikenal atau boleh muncul alasan kesulitan ekonomi atau hal-hal psikologis lain, sehingga orang tua yang sudah rentan mesti dititipkan pengasuhannya pada sebuah panti. Jika di Timur muncul anak-anak seperti kisah di atas, maka sumpah serapah didapatnya. Dianggap ia anak-anak tidak berbakti pada orang tua, dan umpatan sadistik lainnya bakal diterima. Sekali lagi, sikap dan laku seseorang di Timur dibuat agar menjadi sama, meski kondisi eksosbud seseorang dengan lainnya tidaklah sama. Di Timur, menjadi kesulitan tersendiri jika seseorang mencoba melawan konvensi yang dibuat sewenang-wenang dengan menyamaratakan kondisi semuanya (harus) menjadi sama. Jika berani bersikap "melawan" konvensi, maka bersiaplah untuk disebut anak durhaka. Ini Timur, bukan Barat, setidaknya itu yang selalu terngiang di hati. Maka jangan coba-coba berani melakukan hal yang diluar kebiasaan yang sudah sejak lama "diatur" menjadi kesepakatan diam-diam. Maka kebiasaan Timur itu terus diikhtiarkan. Muncul banyak orang tua yang tetap tinggal bersama anaknya dalam satu rumah, tapi seolah ia tidak merasakan tinggal bersama anaknya. Komunikasi yang diharap tidak didapat sebagaimana yang diharap. Anaknya sibuk dengan pekerjaan, sehingga komunikasi jarang didapat. Lain di Timur lain pula di Barat... Di Barat, sudah menjadi kebiasaan pada mereka yang masih aktif bekerja, menyisihkan sedikit dari gajinya untuk masa tuanya. Dan itu untuk hidup di panti jompo. Persiapan sudah dibuat jauh hari menyongsong masa tuanya. Bagian dari kesadaran, bahwa kondisi yang dihadapi sang anak di masa depan akan lebih sulit dibanding dengan masa saat ia mengasuh anak-anaknya dulu. Disitu tampak ada konsep ikhlas, meski itu tidak dikenal, hanya rasionalitas yang berbicara. Maka, di Barat tinggal di panti saat usia tua itu pilihan. Bukan "dibuang" dalam konsep Timur yang konvensinya masih terjaga rapi. Saat usia tua hidup di panti jadi pilihan. Hidup bersama banyak orang seusianya, berkomunikasi dengan baik dan dijaga kesehatannya oleh mereka yang memang hadir untuk itu. Tiap akhir pekan setidaknya sang anak, menantu dan cucunya datang mengunjungi sang nenek/kakek dengan membawa bekal sepekan yang dibutuhkan. Terkadang mengajak makan bersama di luar panti. Setidaknya itu yang bisa dilakukan, dan semua tampak happy. Jika sudah menjadi konvensi, maka Timur dan Barat punya caranya sendiri menyerap makna "berbakti", dan semestinya tidak dimaknai dengan persepsi sesukanya, bahkan persepsi yang dipaksakan dengan cara mengumpat apa yang dianggap tidak semestinya. Kehidupan di Timur dan Barat akan terus berjalan. Dan jika ada yang melenceng dari konvensi, maka bisa jadi itu karena kondisi yang menyertai. Satu hal lagi yang mesti ada dan dipunya, ikhlas dalam menyertai orang tua di usia senja tuanya, seperti mereka juga ikhlas saat mengasuh kita dengan baik dan kasih saat kanak-kanak dulu. Sekali lagi, ikhlas sebagai kata kunci dalam memperlakukan orang tua, yang sudah sepuh, dengan selayaknya. (*) *) Kolumnis

Menggugat Kebijakan Harga BBM Populis Tak Berkeadilan

oleh Marwan Batubara DALAM sebulan terakhir terjadi kelangkaan bahan bakar Jenis BBM Tertentu (JBT, terutama solar), Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP, terutama premium), dan BBM umum (pertamax & pertalite) pada sejumlah SPBU di Sumatera, Jawa dan Sulawesi. Kelangkaan antara lain telah menimbulkan antrian panjang, kemacetan, terhentinya nelayan Pantura melaut (Gresik, Lamongan, Tuban, dll.), dan terganggunya kegiatan ekonomi. Penyebab kelangkaan baik menurut BPH Migas, Pertamina, maupun analisis IRESS seperti diurai berikut. Pertama, dikatakan BBM langka karena stok dan pasokan perlu dikendalikan agar tidak melampaui kuota 2021 (15,8 juta kiloliter, kl). Artinya pasokan memang sengaja dikurangi agar kuota tidak terlampaui, terutama karena menyangkut pagu anggaran APBN. Kedua, kebutuhan BBM melonjak seiring meningkatnya aktivitas masyarakat karena pelonggaran Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Menurut Pertamina, dibanding tahun lalu, permintaan BBM jenis gasoline (Pertalite dan Pertamax series) dan gasoil (biosolar dan dex series) naik antara 3,5 hingga 16 persen di berbagai wilayah. Ketiga, terjadi penyalahgunaan BBM terutama karena semakin besarnya disparitas harga BBM umum/non- subsidi dengan solar dan preminum. Selisih harga membesar karena semakin tingginya harga minyak dunia. Sementara harga solar dan premium tidak naik. Maka, secara ilegal konsumen BBM non-subsidi beralih ke BBM bersubsidi. Pasar gelap dan penyelewengan pun marak pada sektor-sektor industri, tambang, perkebunan, dll. Keempat, penyalahgunaan BBM semakin meningkat akibat lemahnya pengawasan, minimnya penegakan dan sanksi hukum, serta terlibatnya oknum-oknum terkait pada rantai pasok, distribusi, dan pengawasan. Perburuan rente ini terjadi secara sistemik berkelanjutan. Kelima, solar langka akibat kenaikan harga minyak sawit/CPO, sebab BBM solar subsidi masuk program solar B30. Harga CPO telah naik sekitar 75% dibanding 2020, sehingga harga FAME sebagai campuran B30 ikut naik. Sementara, meski menjadi negara pengekspor CPO terbesar, pemerintah belum menerapkan DMO. Maka, Indonesia jangan bermimpi mengurangi impor migas dengan program B40, B50, dst, jika hanya untuk kadar rendah saja seperti B30 gagal berdaulat. Keenam, pemerintah/BPH Migas gagal mengantisipasi naiknya permintaan saat PPKM direlaksasi, saat kehidupan “kembali normal”. Hal ini sebetulnya bisa dianalisis, karena permintaan menigkat secara gradual. Karena itu, langkah-langkah antisipatif mestinya mudah disiapkan, sehingga kelangkaan bisa dicegah. Ketujuh, kelangkaan BBM terjadi diyakini sebagai bagian upaya Pertamina mengatasi masalah cash flow. Karena harga minyak dunia terus naik, sementara harga solar dan premium tetap, maka beban subsidi dan kompenasi semakin besar. Memang subsidi dan kompensasi ini kelak dibayar pemerintah, namun karena jumlahnya terus membesar dan waktu pelunasan tidak pasti, maka keuangan Pertamina jelas terganggu. Karena itu, di samping menyiapkan dana talangan yang juga menimbulkan beban tambahan berupa bunga (cost of fund), Pertamina pun harus mengurangi pasokan. Berbagai langkah kebijakan dan program mengatasi sebagian dari tujuh faktor penyebab kelangkaan di atas dapat dilakukan pemerintah dengan cepat. BPH Migas dan Pertamina misalnya telah melakukan koordinasi. BPH Migas telah menerbitkan surat relaksasi distribusi solar bersubsidi. Pertamina diberi wewenang mengatur kuota antar wilayah dan sektor, sepanjang tidak melebihi kuota nasional 15,8 juta kl. Kuota nasional 15,8 juta kl bisa saja dinaikkan, terutama jika dibutuhkan untuk menjamin perbaikan ekonomi dan berbagai aspek kehidupan masyarakat. Kenaikan ini relevan, sebab sebelumnya nilai kuota 35 juta kl (2020) dan 38 juta kl (2019, sebelum pandemi). Pemerintah dan DPR dapat membuat kesepakatan sesuai mekanisme dan hukum berlaku. Hal prioritas dan menyangkut hidup rakyat tidak boleh dikalahkan mekanisme teknis prosedural. Sistem Pricing & Subsidi Tidak Adil Ternyata di balik berbagai faktor penyebab kelangkaan terkandung masalah besar yang mendesak diperbaiki. Disparitas harga telah menimbulkan penyalahgunaan BBM bersubsidi. Disparitas harga terjadi karena kebijakan subsidi dan pricing BBM populis bermasalah. Sedang kebijakan populis ini, terutama dengan tidak menaikkan harga solar dan premium, terjadi akibat dominannya pertimbangan politik. Tujuannya, untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan, dan pada level tertentu, untuk kepentingan oligarki dan perburuan rente. Dampak kebijakan BBM populis antara lain adalah anggaran subsidi APBN semakin besar terutama saat harga minyak dunia terus naik. Padahal studi Bank Dunia menunjukkan sekitar 72% subsidi BBM tidak tepat sasaran. Artinya, mayoritas dana subsidi APBN puluhan hingga ratusan triliun Rp justru dinikmati golongan mampu secara tidak adil. Selain itu, karena ruang fiskal terbatas, maka naiknya dana subsidi akan mengurangi alokasi dana untuk pengentasan kemiskinan. Maka populasi rakyat miskin dan gap kaya-miskin (rasio GINI) tetap tinggi. Di samping tidak adil dan melanggengkan kemiskinan, kebijakan BBM populis telah pula merusak kinerja BUMN, terutama Pertamina dan PLN sebagai penyedia layanan energi utama publik. BUMN energi kita sudah biasa menjadi objek bancakan penguasa, sejak dulu hingga sekarang. Sikap semau gue karena berkuasa ini telah dan akan terus mengancam pelayanan energi berkelanjutan dan ketahanan energi nasional, termasuk naiknya harga BBM dan listrik secara signifikan oleh swasta, jika BUMN sampai bangkrut atau saham anak usahanya dijual. Berdasar publikasi Pertamina dan APBN 2021, harga minyak mentah Indonesia, ICP, diasumsikan US$ 45/barel. Ternyata harga minyak naik menjadi US$ 50-an sejak Januari dan menjadi US$ 80-an per barel pada Oktober. Secara rerata hingga Oktober 2021 ICP telah naik sekitar 80%. Karena harga solar dan premium tidak berubah, maka besarnya piutang Pertamina kepada pemerintah hingga Oktober 2021, berasal dari subsidi dan kompensasi (selisih harga jual eceran JBT dan JBKP), diperkirakan mencapai US$ 5,1 milar, atau sekitar Rp 72 triliun. Jangka pendek, pemerintah harus segera membayar piutang Pertamina, terutama agar masalah cash flow dan kelangkaan BBM dapat segera diatasi. Sejalan dengan itu, terlepas dari mekanisme APBN yang harus dipenuhi, pemerintah pun harus menambah kuota BBM, termasuk tambahan dana subsidi yang menyertai. Jika tidak ditambah, bisa saja ekonomi dan kehidupan masyarakat terdampak. Namun, masalah yang dihadapi rakyat bukan sekedar kelangkaan BBM, dan dianggap selesai dengan solusi jangka pendek. Selama ini rakyat telah sangat dirugikan saat dana subsidi BBM diselewengkan ke sektor industri, tambang, perkebunan, dll. Rakyat butuh solusi adil, komprehensif dan berkelanjutan, yang berpangkal dari kebijakan harga dan subsidi BBM yang bermasalah, serta sarat kepentingan pencitraan politik. Untuk itu, IRESS menuntut agar pemerintah segera menetapkan sistem pricing dan subsidi BBM yang adil dan berkelanjutan. Sebagaimana diusulkan sejak 2015-an, sistem pricing BBM harus dinamis secara berkala sesuai perubahan variable harga minyak dunia, kurs dan indeks harga barang tertentu. Selain itu sistem harga tunggal atas seminim mungkin jenis ini, perlu pula menerapkan skema dana stabilisasi (mengatasi dampak volatilitas harga minyak dunia) dan skema dana ketahanan/saving (mendukung keberlanjutan dan pengembangan EBT). Bersamaan dengan penerapan harga tunggal dinamis berkala, sistem harga BBM pun harus bebas dari pola subsidi barang untuk diganti dengan pola subsidi langsung. Rakyat miskin dan sektor-sektor relevan dan layak harus diprioritaskan memperoleh subsidi. Jika pemerintah dan Pertamina berkomitmen kuat, tidak terkontaminasi berbagai kepentingan sempit, pola subsidi langsung mestinya mudah dilakukan menggunakan teknologi IT dan aplikasi on-line yang telah berkembang pesat. Pertamina pun telah memulai dengan digitalisasi SPBU dan pelayanan. Apakah “The Real President”, Mr. Jokowi, peduli mengakhiri kebijakan harga BBM populis tak berkeadilan?[] Jakarta, 3 November 2021 *) Direktur Eksekutif IRESS

SBY Sakit Diumumkan Tanpa Harus Ada Yang Dipolisikan

By Asyari Usman TERIMA kasih kepada Pak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang langsung memberitahu publik bahwa beliau sakit dan akan dirawat di luar negeri. Cepat diumumkan, tanpa harus menunggu publik bertanya-tanya. Tanpa menunggu spekulasi bermunculan. Tanpa ada wartawan bereputasi yang harus dipolisikan. Informasi tentang Pak SBY sakit sangat jelas dan detail. Penyakit apa, juga disebutkan. Mau dirawat ke mana, diterangkan. Hanya dalam satu atau dua lembar rilis tertulis saja. Begitulah seharusnya seorang tokoh publik (public figure). Orang ingin tahu. Dan memang berhak tahu. Apalagi soal sakit-sehatnya tokoh tersebut. Konon pula tokoh itu adalah mantan presiden. Singkatnya, apa saja yang dilakukan oleh, atau yang terjadi atas, tokoh publik tidak boleh disembunyikan. Kalau dia sedang sakit, orang ingin tahu apa penyakitnya. Bagaimana perawatannya. Bahkan orang ingin tahu proses diagnosenya. Juga komentar para dokter yang memeriksa, dan lain sebagainya. Dengan begitu, kalangan media tidak perlu terjebak. Para wartawan tidak harus menggali informasi yang tak jarang harus berputar-putar mengenai kondisi seorang “public figure”. Bertelangkai ke sana ke mari untuk mencari kepastian. Sangat mungkinlah terjadi kekeliruan --kecil atau besar. Yang disebabkan oleh ketersendatan informasi mengenai tokoh publik. Sekitar awal September baru lalu, itulah yang terjadi. Jurnalis senior yang berjam terbang panjang dan sangat berpengalaman, ingin mencari tahu apa yang terjadi dengan mantan presiden lainnya – Bu Megawati Soekarnoputri (Bu Mega). Hersubeno Arief, si wartawan senior FNN, berusaha sekuat tenaga untuk memastikan rumors bahwa Bu Mega dirawat di ICU RSPP. Hersubeno, yang selalu hati-hati dan menjunjung tinggi asas jurnalistik itu, membuat uraian yang kronologis tentang kondisi ketua umum PDIP itu. Hersu memasukkan semua informasi yang terkait dengan rumors Bu Mega Sakit. Semua penjelasan dari orang-orang senior PDIP waktu itu disertakan di dalam laporan analitik Hersubeno. Namun, informasi yang pasti dan valid tak kunjung muncul. Sementara rumors itu semakin ramai di media sosial. Lebih dari 24 jam sejak rumors muncul, barulah ada kepastian. Bu Mega sendiri langsung menjelaskan kondisi beliau ketika membuka acara kaderisasi PDIP. Ternyata, beliau tidak sakit. Nah, apakah rumors ini harus diabaikan saja? Jawabannya: tidak mungkin diabaikan karena tiga hal. Pertama, Bu Mega adalah “public figure”. Kedua, Hersubeno adalah seorang jurnalis. Ketiga, rumors itu telah menjadi pengetahuan khalayak. Sayangnya, tayangan Bung Hersu yang sangat komplit dan seratus persen berkaidah jurnalistik itu, dilaporkan ke Kepolisian oleh seorang kader PDIP. Hersubeno dituduh menyebarkan berita hoax. Hanya karena ucapan Bung Hersu bahwa dia rada-rada bisa percaya dengan penjelasan temannya seorang dokter bahwa informasi tentang Bu Mega yang dirawat di ICU RSPP itu, benar. Harap diingat, kutipan ucapan teman Hersubeno itu tidak “on its own” (berdiri sendiri). Ucapan dokter tersebut adalah bagian dari laporan panjang dan komprehensif. Yaitu, laporan analitik yang memenuhi kaidah-kaidah jurnalistik. Tidak wajar kalau bagian yang integral itu di-“singled out” (dicomot begitu saja) untuk dijadikan tuduhan hoax oleh si pelapor. Bung Hersu justru mengingatkan agar siapa pun juga jangan mudah menyebar hoax. Dia juga mengajak publik untuk menerapkan prinsip dasar seorang jurnalis yang “wajib” skeptis terhadap semua informasi. Bahkan Hersu meminta agar informasi dari dokter teman beliau yang mengklaim bahwa Bu Mega koma 1,000 persen valid, juga harus diverifikasi lebih dulu. Kepolisian tidak seharusnya memproses laporan kader PDIP itu karena konten video yang dibuat dan ditayangkan oleh Bung Hersu adalah karya jurnalistik. Yang dilindungi oleh UU No. 40 tahun 1999 Tentang Pers. Kepolisian seharusnya merujuk subjek laporan tersebut ke Dewan Pers sebagai “majelis hakim” yang berwenang menilai konten video dimaksud. Kembali ke Pak SBY, publik di media sosial langsung medoakan beliau agar sembuh dari kanker prostat. Publik juga mengapresiasi penjelasan tentang kondisi beliau. Rakyat tahu apa yang terjadi terhadap presiden yang dinilai sukses memimpin Indonesia menjadi lebih baik. Untuk Bu Mega, semoga tidak ada lagi rumors tentang kondisi kesehatan beliau. Kita doakan agar Bu Mega sehat selalu. Kalau pun beliau sakit, semoga tidak berlama-lama. Maksudnya, tidak berlama-lama menjelaskan ke publik. Dan mudah-mudahan pula tidak ada lagi wartawan yang dilaporkan ke Polisi gara-gara percikan spekulasi dan rumors yang tidak segera dipadamkan.[] (Penulis wartawan senior FNN)

Umat Islam Mulai Bergerak Menolak Permen tentang Kekerasan Seksual

Oleh: Dr. Adian Husaini UMAT Islam Indonesia mulai bergerak untuk menolak Permendikbud Ristek tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Permen PPKS), yaitu Permen No 30 tahun 2021. Adalah Ormas Persatuan Umat Islam (PUI) yang pada 30 Oktober 2021 mengeluarkan pernyataan resmi. Sebagai Ormas Islam yang selama puluhan tahun bergerak di bidang pendidikan ini, Permendikbud Ristek No 30 tahun 2021 itu dinilai oleh PUI, bertentangan dengan nilai-nilai moralitas Pancasila. PUI mengingatkan, bahwa tujuan pendidikan sebagaimana diamanahkan UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3 adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Sedangkan muatan Permendikbud Ristek ini jelas bertentangan dengan Tujuan Pendidikan Nasional itu. "Terlihat sangat nyata bahwa Permendikbud Ristek nomor 30 tahun 2021 mengadopsi draft lama Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) yang telah ditolak masyarakat luas dan DPR pada periode 2014-2019 karena jelas bertentangan dengan Pancasila." Sebagaimana landasan filosofis draf lama RUU P-KS, hal yang sama jelas tersurat dalam Permendikbud Ristek no 30 tahun 2021, yakni paradigma sexual-consent. Paradigma ini memandang bahwa standar benar dan salah dari sebuah aktifitas seksual tidak lagi berdasarkan pada agama, tetapi berganti kepada persetujuan dari para pihak. Artinya, selama tidak ada pemaksaan, selama telah berusia dewasa, dan selama ada persetujuan, maka aktifitas perzinahan dianggap halal. Begitu juga, Permendikbud No 30 tahun 2021 ini membuka peluang legalisasi LGBT. Sebab, selama tindak homoseksual atau lesbian itu dilakukan dengan persetujuan para pelaku, dan tidak ada kekerasan atau pemaksaan, maka itu dianggap hal yang boleh dilakukan dan tidak dipersoalkan. "Praktik Zina dan LGBT adalah salah satu sebab utama maraknya tindak kejahatan seksual terhadap perempuan maupun anak-anak selama ini, maka negara tidak boleh malah memperluas berkembangnya praktik ini," begitu bunyi pernyataan PUI, yang ditandatangani oleh Wakil Ketua Umum dan Sekjen PUI (Dr. Wido Supraha dan H. Raizal Arifin). Menurut PUI, dunia pendidikan adalah benteng terakhir dalam menjaga moralitas bangsa dari serbuan pemikiran asing yang merusak nilai-nilai Pancasila di NKRI. PUI masih percaya bahwa Kemendikbud Ristek sangat peduli dalam persoalan ini dalam pengembangan regulasi pendidikan di NKRI. PUI menyatakan mendukung segala upaya penghilangan dampak negatif dari aktifitas seksual, tapi dengan cara yang lebih komprehensif sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, sehingga kalimat ‘Kekerasan Seksual’ dapat diganti dengan ‘Kejahatan Seksual’ yang lebih kompatibel dengan KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) dan mencakup berbagai bentuk perzinahan yang telah dilarang agama, sebagai wujud Berketuhanan Yang Maha Esa dan Berkemanusiaan Yang Adil dan Beradab. "Dengan demikian, PUI meminta kepada Mendikbud Ristek untuk mencabut Permendikbud No 30 tahun 2021 atau digantikan dengan aturan baru yang sesuai jiwa dan nilai-nilai Pancasila, dan agar dalam pembahasannya melibatkan organisasi keagamaan yang juga menjadi stakeholder dalam pengelolaan pendidikan tinggi di Indonesia, agar setiap peraturan yang keluar dapat berlaku efektif karena telah sesuai dengan norma-norma masyarakat Indonesia yang ber-Pancasila," demikian akhir pernyataan PUI. Dalam artikel yang lalu, saya sudah menulis, bahwa Permendikbud No 30 tahun 2021, memang terlalu sekuler dan mengabaikan ajaran agama. Di dalam NKRI yang jelas-jelas menyatakan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, maka nilai-nilai agama tidak dapat diabaikan. Persoalan seksualitas dan keluarga adalah masalah fundamental bagi keberlangsungan suatu bangsa. Apalagi untuk Indonesia yang menyatakan sebagai satu negara religius. Guru besar Ilmu hukum Universitas Indonesia, Prof. Hazairin, dalam bukunya, Demokrasi Pancasila, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990, cet.ke-6), menulis: "bahwa yang dimaksud dengan Tuhan Yang Maha Esa itu ialah Allah, dengan konsekuensi (akibat mutlak) bahwa "Ketuhanan Yang Maha Esa" berarti pengakuan "Kekuasaan Allah" atau "Kedaulatan Allah". Prof. Notonagoro, pakar hukum dan filsafat Pancasila dari UGM, menulis dalam bukunya, Pancasila, Secara Ilmiah Populer (Jakarta, Pancuran Tujuh, 1971): "Sila ke-Tuhanan Yang Maha Esa mengandung isi arti mutlak, bahwa dalam Negara Republik Indonesia tidak ada tempat bagi pertentangan dalam hal ke-Tuhanan atau keagamaan bagi sikap dan perbuatan anti ke-Tuhanan atau anti keagamaan dan bagi paksaan agama." (hlm. 73). Tahun 1976, pemerintah RI membentuk Panitia Lima yang menerbitkan buku Uraian Pancasila. Anggota Panitia Lima ialah: Mohammad Hatta, Prof. H.A. Subardjo Djoyoadisuryo SH, Mr. Alex Andries Maramis, Prof. Sunario SH, dan Prof. Abdoel Gafar Pringgodigdo SH. Dalam uraiannya tentang kedudukan sila pertama, Panitia Lima merumuskan: "Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa jadi dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan kita, yang memberikan jiwa kepada usaha menyelenggarakan segala yang benar, adil dan baik, sedangkan dasar kemanusiaan yang adil dan beradab adalah kelanjutan dalam perbuatan dan praktik hidup dari dasar yang memimpin tadi." (Lihat, Muhammad Hatta, Pengertian Pancasila, (Jakarta: CV Haji Masagung, 1989). Permendikbud Ristek No 30 tahun 2021 memang jelas-jelas mengabaikan ajaran agama. Ukuran baik-buruk dalam soal seksualitas, harusnya didasarkan kepada agama. Apalagi Permendikbud 30 tahun 2021 itu diterapkan untuk semua kampus di Indonesia. Sepatutnya, yang lebih tepat adalah Permendikbud Ristek tentang Kejahatan Seksual, yang mencakup kejahatan perzinahan, perkosaan, pelecehan seksual, homoseksual dan lesbian, dan kejahatan seksual lainnya. Semoga Mendikbud Ristek bersedia mendengar aspirasi umat Islam, seperti yang disuarakan oleh PUI. (Depok, 1 November 2021). Penulis adalah Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII).

PCR di Negeri Peng Peng

Oleh Ady Amar *) Jika mendengar atau membaca berita perihal PCR, maka di pikiran rakyat muncul ilustrasi berbagai macam penilaian. Ada yang kalem mengilustrasikan dengan ketidakterbukaan pemerintah mengenai harga dasar PCR itu sendiri, atau proyek yang lebih diserahkan pada swasta tertentu. Sedang yang ekstrem mengilustrasikan dengan proyek akal-akalan yang "direstui" penguasa dalam menghisap darah rakyat yang tengah sekarat. Ilustrasi bisa muncul bermacam-macam dari PCR itu sendiri. Itu sah-sah saja, dan itu tanda rakyat sadar bahwa ada yang tidak beres yang kasat mata dimainkan lewat kebijakan yang terus berubah-ubah dari waktu ke waktu. Dan itu sejak lebih kurang 1,5 tahun lalu. Tidak perlu waktu lama, cukup 2-3 hari saja kebijakan bisa berubah dengan diubah secara ekstrem. Menyangkut perbedaan angka-angka nominal yang tidak kecil. Bukan rahasia umum, bahwa proyek PCR itu dikendalikan oleh peng peng (penguasa pengusaha). Majalah Tempo memberitakan dengan terang benderang, ada bisnis peng peng di sana. Maka bisa disebut setidaknya 3 Menteri aktif yang biasa ditunjuk Presiden Jokowi untuk mengendalikan pandemi Covid-19, bahkan disinyalir pula ada mantan menteri, dan konglomerat tertentu. Mereka itu bisa disebut dengan peng peng. Sengaja nama-nama mereka tidaklah perlu dimunculkan di sini, tapi akal sehat publik pastilah dengan sangat mudah bisa menangkap siapa yang dimaksud dari mereka itu. Bisnis model peng peng ini tentulah menggiurkan bagi pejabat dan pengusaha, yang pastinya menanggalkan moral. Sebuah kebijakan bisnis dengan keuntungan trilyunan yang mencekik rakyat yang tengah kesulitan hidup di masa pandemi. Inilah model bisnis paling buruk di muka bumi. Dari sisi penguasa menetapkan kebijakan semaunya, dan dari sisi pengusaha menetapkan harga semaunya dan seterusnya. Kebijakan dibuat wajib, atau kata lain dari memaksa, dengan dalih dibuat seolah untuk melindungi rakyat tertular Covid-19. Maka penggunaan PCR untuk moda transportasi udara khususnya menjadi keharusan. Maka harga PCR telah ditentukan dan jadi kebijakan persyaratan perjalanan. Rakyat dibuat tidak berkutik dan menerima saja, jika tidak ingin makin sulit bisa bergerak mengais rezeki. Konsekuensi dari kebijakan dibuat mengikat, dijaga dan diamankan dari atas sampai ke tingkat operasional di bawah. Itu agar "aman", pengusaha bisa berselancar semaunya-sesukanya di atas penderitaan rakyat. Upaya segelintir pejabat rakus setingkat Menteri, konglomerat busuk, yang memang tampak digdaya tanpa bisa disentuh hukum, seolah terus dipertontonkan. Belakangan rakyat mulai merasakan ketidakberesan kebijakan PCR yang mencekik, yang lalu menimbulkan teriakan kesakitan akan cekikan itu, sebagai bentuk protes, agar cekikan itu tidak diteruskan. Agar teriakan itu tidak sampai bisa menjadi kekuatan dahsyat menghantam jantung kekuasaan, maka Presiden Jokowi dengan memaksa agar tarif PCR diturunkan menjadi Rp 300.000,-. Lho kok bisa harga itu jadi turun drastis, dari sebelumnya sekitar Rp 1 juta. Sigap betul Pak Jokowi itu, yang mampu melihat cekikan pada rakyat yang jika tidak dihentikan bisa meledak jadi kekuatan tersendiri. Itu tidak diinginkannya. Presiden Jokowi mestinya tahu betul, bahwa ada hal tidak beres dimainkan pembantu-pembantunya, yang membuat kebijakan menyengsarakan rakyat. Kebijakan yang jauh dari janji-janji Jokowi saat kampanye yang esensinya tentang kesejahteraan, yang saat ini justru ditelikung anak buahnya sendiri. Kita lihat saja, apakah istana akan evaluasi atas kebijakan itu atau tidak. Evaluasi atas bisnis peng peng yang menyengsarakan rakyat, mestinya muncul mengoreksi dan sampai mencopot para pembantu yang khianat pada jabatan yang diemban. Pertanyaan lanjutan bisa dimunculkan di sini. Ke mana lembaga anti rasuah KPK melihat adanya bisnis peng peng, yang memunculkan nama-nama pejabat setingkat menteri. Temuan Tempo mestinya bisa jadi pintu masuk untuk membongkarnya. Tapi sepertinya "gerak" KPK tidak bisa menyentuh sampai pada para pembesar negeri yang berselancar dari balik punggung Presiden. KPK hanya bisa menyentuh mereka yang ada di sisi Presiden, tapi tidak mereka yang ada di balik punggungnya. Tampak-tampaknya sih memang demikian. (*) *) Kolumnis