Ibu Kota Baru Sebagai Syahwat Nekolim

Jakarta memang penuh drama dan problematika. Tangis dan tawa menyatu mengiringi dinamika populasinya. Seakan kebahagiaan dan penderitaan menyatu silih berganti. Seperti detak jantung, denyut nadinya tak pernah lelah di siang malam menghiasi kota metropolis itu. Terkadang keringat dan darah bercucuran tak beraturan. Tumpah  mewakili daya juang, meski tak jarang berlumur pedih dan luka mendalam. Selalu ada saja  yang berjaya dan terpinggirkan, menjadi buah kompetisi rimba dan sistem yang  bengis. Jakarta yang disayang sekaligus yang malang, memang bukan sebuah kota semata. Habitat dalam wadah pluralis itu, tetap  menjadi bagian penting yang eksotis dari Indonesia dan globalisasi.

Oleh: Yusuf Blegur, Pegiat Sosial dan Aktifis Human Luhur Berdikari

Betapapun seiring waktu semakin tua dan  dinilai tak lagi layak. Jakarta akan selalu  menjadi nilai-nilai dan sejarah. Monumental tergores api revolusi  sebagai catatan tanah jajahan. Ada jejak yang melukis riwayat "from  zero to hero", ada juga  tapak kuat menggurita menjadi mafia. Hitam putih tanah Betawi yang membekas, tak pernah luput di makan jaman.

Pernah menjadi pelabuhan imperialisme dan kolonialisme, Jakarta hingga kini selalu menjadi pusat pergerakan yang menentukan arah dan perjalanan negara bangsa.

Jakarta yang dulunya disebut Sunda Kelapa atau Jayakarta, bukan sekedar telah menjadi ibukota negara. Lebih dari sebagai pusat pemerintahan, keberadaan dan eksistensinya juga menjadi miniatur Indonesia meski tak  dapat mewakili seutuhnya.

Pemindahan Ibukota negara dari Jakarta ke Penajam Paser Utara Kalimantan Timur, bukan saja menimbulkan polemik dan kontriversi. Selain tanpa perencanaan yang matang dan kajian ilmiah yang  memadai. Produk UU IKN dipenuhi motif dan orientasi yang beraroma konspiratif.  Tak ada rasionalisasi yang sehat dan bertanggung jawab sejauh ini. Mulai dari amdal, kelestarian budaya dan keatifan lokal hingga karakteristik pembangunan dan investasinya, begitu rapuh dan mengkhawatirkan. Kebijakannya begitu dominan dipengaruhi kedangkalan pemikiran sosial ekonomi, sosial  politik, sosial hukum dan sosial pertahanan keamanan negara.

Selain mengusik tatanan dan tinjauan aspek geografis, geopolitik dan geostrategis. Pemindahan ibukota tersebut dinilai juga menjadi proyek mercusuar kepentingan  kapitalisme berkedok "roadmap" jalur sutra atau program obor. Terlebih setelah sekian lama Indonesia   khususnya Jakarta,  terus berada dalam cengkeraman dominasi dan hegemoni kepentingan asing. Bahkan terlalu lama menghamba pada poros  Amerika yang menghimpun kekuatan barat dan pan komunisme Cina yang agresif.

Tak pernah secara esensi menikmati kemerdekaan dan kemandirian sebagai sebuah negara bangsa. Indonesia yang  menempatkan Jakarta sebagai dapur kebijakan penyelenggaraan negara. Harus pasrah pada kekuatan liberalisasi dan sekulerisasi baik yang dilakukan  oleh blok barat maupun blok komunis. Termasuk pemindahan ibukota negara yang  kental persekongkolan   kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikstifnya serta disinyalir ditunggangi oleh borjuasi korporasi dan atau kelompok non state.

Maka, dengan tak terbendungnya UU IKN yang menegasikan  suara rakyat dan kondisi negara yang sedang terpuruk itu. Sesungguhnya kebijakan ibu kota  baru itu juga menjadi penjajahan gaya baru berbalut konstitusi dan legitimasi negara. Tak cukup bermodal euforia masa lalu dan  wacana klasik, pemindahan ibu kota Jakarta ke Kalimantan Timur itu. Bisa dimaklumi juga sebagai metamorfosis sekaligus syahwat nekolim. 

Terus berkesinambunan negeri merdeka yang terjajah. Menikmati ketidakberdayaan dalam kedaulatan NKRI. Selamanya, berani diam berani hidup tertindas. (*)

389

Related Post