Presiden Versus Pancasila
Bagai pertarungan imajiner yang terasa nyata, seperti yang terjadi pada UUD 1945. Presiden terus mecabik-cabik dan mengoyak NKRI. Kali ini, spartan dan simultan terus menggoncang sembari melancarkan pukulan bertubi-tubi kepada Pancasila. Pancasila yang sudah lama hidup segan mati tak mau, kelihatan akan menemui kematian yang sesungguhnya di tangan presiden. Ambisi dan agenda kemenangan presiden semakin sempurna untuk menaklukan NKRI seutuhnya.
Oleh Yusuf Blegur, Pegiat Sosial dan Aktifis Yayasan Human Luhur Berdikari
PERTARUNGAN kepala negara dan dasar negara sekaligus falsafah negara, masih berlangsung dan belum diputuskan secara absolut pemenangnya.
Duel hidup mati presiden melawan Panca Sila itu terus berlangsung alot, disaksikan di seluruh penjuru tanah air dan seantero dunia.
Sambil menunggu hasil akhirnya, ada baiknya penonton melihat statistik head to head keduanya. Presiden sebagai penantang dipenuhi catatan jam terbang tinggi. Diantaranya masih babak belur menghadapi pukulan bayangan oligarki sebelumnya. Kemudian selalu menghindar dari serbuan kebohongan janji-janji yang dibuat sendiri, terakhir sering diuntungkan wasit yang memenangkannya, entah karena suap atau mengatur keputusan dari uang korupsi. Sementara di sisi lain, fakta Panca sila, sangat minim pengalaman, tak pernah uji coba, dan dipenuhi banyak rekor kegagalan.
Berikut skor pertandingan yang sudah terbukti meskipun belum menjadi hasil akhir.
Pertama, presiden mengeluarkan jurus sekuler dan liberal yang menyebakan peran agama melemah. Ketuhanan Yang Maha Esa dalam sila ke satu rontok. Hanya ada keuangan yang maha kuasa. Presiden unggul dan mengalahkan sila ke satu Pancasila.
Kedua, karena menggunakan gaya pertarungan otiriter dan represif. Presiden tidak mengenal kompromi dan cenderung machiavellis. Rakyat dikorbankan dan tak ada lagi humanisme. Hanya ada Bengis dan dzolim. Sekali lagi, sila ke dua Panca Sila berupa Kemanusian yang adil dan beradab nyungsep, kalah lagi.
Ketiga, dengan mengonsumsi buzzer, aparat penjilat dan para pencari muka. Presiden memiliki suplemen stamina pembelahan tapi bukan massa otot, melainkan memecah sosial dan psiko politik. Presiden bersama pelatih dan krunya mampu mengurai konsentrasi, persatuan dan kesatuan bangsa. Lagi-lagi sila ketiga persatuan Indonesia dalam Panca Sila itu kalah. Degradasi sosial dan disintegrasi nasional mulai menyiksa Pancasila.
Keempat, kerakyatan yang dipimpin oleh permusyawaratan/perwakilan dalam hikmah dan kebijaksanan, tak berlaku. Hanya ada demokrasi kapitalistik dengan sistim transaksional. Uang yang berbicara mengalahkan Pancasila. Pada Sila keempat, Pancasila sudah kelihatan bonyok dan babak-belur. Figur yang membawa badan tak lagi menapak dan sanggup berdiri dalam hikmat kebijaksanaan. Pancasila kalah yang keempat kalinya. Presiden melakukan manipulasi dan kamuflase perhitungan angka di babak ini.
Kelima, ini yang paling buruk, sebuah pertandingan bak kompetisi hidup yang ketat. Tak ada keadilan, hanya ada siapa yang kuat dia pemenangnya. Tak ada keadilan tak ada keberadaban. Begitupun yang lemah, akan tertindas, sengsara dan terpinggirkan selamanya. Sila kelima Pancasila yakni kemanusiaan yang adil dan beradab, hancur oleh kekuatan dan kekuatan presiden. Padasila yang terakhir ini, Pancasila sudah luka, berdarah-darah dan beresiko pada kematian. Pancasila sudah dalam posisi kalah KO oleh presiden.
Entahlah, apakah akan ada pertandingan ulang untuk kedua dan atau ketiga. Karena belum jelas akan adanya tanding ulang. Siaran lansung menyatakan bigmatch pertarungan presiden Pancasila, dimenangkan mutlak oleh sang presiden. Secara keseluruhan, Pancasila tumbang di tangan presiden.
Penonton baik domestik maupun internasional, pada akhirnya harus mengurut dada dan menghela napas. Shock dan kaget bukan kepalang. Hanya 5 ronde waktu yang singkat Pancasila hancur lebur.
Selain kecewa dan frustasi karena berharap pemenang idealnya Pancasila. Penonton juga harus puas menyaksikan pertarungan yang tidak fair, tidak seimbang dan betapa presiden dengan leluasa mengalahkan Pancasila. Lebih miris lagi, Selain waktu yang singkat, penonton lokal juga harus menguras anggaran besar untuk membeli ongkos tiket pertarungan bersejarah hanya untuk kemengan dan kejayaan presiden dan kroninya itu. Di sudut lain, sang promotor berpakaian oligarki dan borjuasi korporasi, sedang santai berkipas-kipas kesenangan sambil menghitung keuntungan yang maha besar itu.
Penonton hanya bisa tertunduk lesu menyaksikan "The winner takes it all", seperti senandung ABBA, band legendaris asal Swedia. (*)