OPINI

Berkhianat pada Rakyat akan Merendahkan Derajat

By M Rizal Fadillah KETIKA diamanahi jabatan khususnya jabatan politik, seseorang sering menganggap hal itu sebagai predikat mulia yang menyebabkan ia harus dihargai dan dihormati. Posisi yang semakin tinggi membuat diri semakin tinggi hati. Kepada bawahan main perintah, kemana-mana perlu pengawalan, bersalaman tegak yang lain membungkuk, serta menggemari upeti sebagai bukti dari layanan. Sebenarnya jabatan tinggi tidak mutatis mutandis dengan derajat yang semakin tinggi. Pragmatisme dapat memerosotkan harga diri. Jabatan birokrasi Pemerintahan atau Parlemen baik pusat maupun daerah sering mengubah gaya hidup. Menjadi orang kuasa baru dengan dandanan baru, mobil baru, rumah baru, serta bersikap elitis bagai selebritis. Khidmat pada rakyat merupakan jalan untuk meningkatkan kemuliaan diri. Rasulullah SAW adalah pemimpin yang rendah hati. Selalu memperhatikan setiap orang yang bertanya dan tidak berpaling hingga si penanya berpaling. Menyambut setiap orang yang mengulurkan tangan dan tidak melepaskan hingga orang itu melepaskan jabatan tangannya. Tatkala ada delegasi Najasi datang beliau sendiri yang melayani mereka. Ketika Sahabat menyatakan "cukup yang lain saja ya Rosulullah" Jawab beliau "aku ingin membalas sendiri kebaikan mereka". Rendah hati dan khidmah adalah kata kunci. Allah akan tinggikan derajat orang yang berendah hati dalam pergaulan sesama. Malaikat mempertahankan kemuliaannya dengan berendah hati bersujud pada Adam dalam rangka menjalankan perintah. Kening menempel pada tanah. Sebaliknya, Iblis yang tinggi hati dan tidak mau bersujud, maka Allah hinakan dengan sehina-hinanya. Terkutuk dan terbuang. Para pemangku kekuasaan baik sipil maupun militer, birokrasi atau parlemen, Menteri atau Presiden semestinya sepenuhnya berkhidmat pada kepentingan rakyat. Jangan hanya mementingkan diri, kroni, dan oligarkhi di sekitarnya sendiri. Sebab bila demikian, dipastikan sejuta caci maki dari rakyat akan dimuntahkan kepada pemimpin yang abai atau zalim itu. Rosulullah SAW bersabda "yaquulullah tabaaraka wa ta'ala man tawaadha'a lii haakadzaa rafa'tuhu haakadzaa" (Allah Tabaraka wa Ta'ala berfirman 'Barangsiapa rendah hati karena-Ku seperti ini, Aku akan mengangkat derajatnya seperti ini')--HR Muslim. Beliau memberi isyarat dengan tangan kanannya yakni telapak tangan di bawah menempel di tanah dan punggung tangan ke atas. Sementara ketika menyatakan "Aku akan mengangkat derajatnya seperti ini" beliau SAW memposisikan telapak tangannya menghadap ke atas dan mengangkat ke langit. Pemimpin yang seenaknya berbuat, khianat atas amanat, serta angkuh menjalankan kekuasannya, dipastikan esok akan terhinakan dengan borgol dan pakaian pesakitan. Menghadapi pengadilan yang membuka borok kebodohan dan kejahatan tersembunyi nya. Menyesali atas kejumawaan. Jabatan sering tidak dimanfaatkan untuk kepentingan orang banyak, tetapi orang banyak dimanfaatkan agar ia tetap menjadi orang penting. Begitulah watak penghianat rakyat. *) Kolumnis tetap FNN, Pemerhati Politik dan Keagamaan

Anak Berland, Angka 7 untuk Panglima Andika

Oleh Selamat Ginting *) Jakarta, FNN - DALAM beberapa hari ini di sejumlah grup WA, beredar foto dan identitas calon Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa (56 tahun, 10 bulan). Foto serta identitasnya saat masih menjadi taruna dengan pangkat Sermatutar (Sersan Mayor Satu Taruna). Termasuk nama ayahandanya yakni FX Soenarto dengan pekerjaan ABRI. Alamat Jalan Kesatrian 1 Jatinegara, Jakarta Timur. Jalan Kesatrian merupakan nama jalan di Kawasan Berland. Berland berasal dari dua kata yakni bear dan land. Bear artinya beruang, dan land artinya tanah. Penjajah Belanda memberi nama pasukan khususnya (tentaranya) di Indonesia dengan nama Bearland. Pasukan khusus ini diasramakan di Matraman, Jatinegara. Saat itu nama kompleks untuk pasukan Belanda itu adalah Bearland. Karena masyarakat susah menyebut ejaan Bearland, maka hanya menyebut berland. Hingga kini masyarakat menyebutnya Berland. Begitu Indonesia merdeka, asrama khusus tentara Belanda ini diambil alih oleh TNI. Asrama Belanda ini ditempati pasukan Zeni TNI Angkatan Darat. Sampai saat ini, masih ada rumah-rumah panjang dan besar di Berland. Tentu saja dulunya ditempati TNI. Taruna Zeni Dari data pada buku Akademi Militer tersebut, jelas bahwa ayahanda Andika Perkasa merupakan anggota TNI. Memang tidak disebutkan identitas lengkap mengenai ayahandanya. Dari penelusuran penulis, ayahanda Andika Perkasa merupakan perwira lulusan Akademi Militer (Akmil) 1957 di Bandung. Dahulu masih disebut Akademi Zeni Angkatan Darat (Akziad) lulusan angkatan kedua. Akziad mengisi kekosongan Akmil Yogyakarta yang hanya meluluskan dua angkatan. Kemudian ditutup pada 1950. Angkatan ketiga Akmil Yogyakarta, kemudian dikirim ke Akmil Breda, Belanda dan lulus tahun 1954-1955. Jadi dalam sejarah militer Indonesia, lulusan Akziad pun dimasukkan ke dalam rumpun lulusan Akmil khusus Korps Zeni. Saat itu tidak banyak taruna yang bisa diterima di Akziad pada 1953. Hanya 35 orang dari seluruh Indonesia yang memenuhi syarat untuk menjadi taruna, termasuk FX Soenarto. Salah satu persyaratannya, selain fisiknya standar taruna, juga harus memiliki kecerdasan intelektual yang tinggi atau dikenal dalam bahasa Inggris: intelligence quotient (IQ). Fisik Korps Infanteri, otak Korps Zeni. Karena itu pula pimpinan Angkatan Darat sering menugaskan mereka dalam posisi sebagai prajurit Infanteri, baik saat menghadapi DI/TII di Jawa Barat, PRRI/Permesta di Sumatra Barat dan Sumatra Utara. Terutama saat menjadi taruna dalam praktik pertempuran. Bahkan dari 35 taruna yang diterima pada 1953 tersebut, hanya 17 orang yang berhasil lulus pada 1957 alias empat tahun pendidikan, termasuk Kolonel (Zeni) FX Soenarto. Sisanya 18 orang bersama dua orang lainnya yang seharusnya lulus tahun 1956, harus mengulang dan menjadi lulusan 1958. Sedangkan lulusan 1959, antara lain Jenderal Try Sutrisno, yang berhasil menjadi KSAD, Panglima ABRI, dan puncaknya Wakil Presiden. Sedangkan lulusan 1960, antara lain Letjen Sudibyo, terakhir menjadi Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negaara (Bakin), kini disebut Bada Intelijen Negara (BIN). Lulusan 1961, antara lain Kapten (Anumerta) Pierre A Tendean. Lulusan 1962, antara lain Letjen Arie Sudewo, mantan Kepala Badan Intelijen ABRI (BIA). Jadi, ayahanda dari Andika Perkasa merupakan abang kelas dari Try Sutrisno. Karena itu tidak perlu heran jika Andika Perkasa memanggil mantan Wakil Presiden Try Sutrisno dengan sebutan Oom, Bahasa Belanda yang artinya saudara atau adik dari ayah. Memang sangat berat untuk bisa menjadi taruna Akziad. Misalnya yang diterima pada 1952 hanya 29 taruna. Saat itu disebut kadet SPGIAD (Sekolah Perwira Genie Angkatan Darat (SPGIAD). Dari 29 taruna, hanya 12 yang berhasil lulus pada 1956. Sisanya 15 kadet keluar sebelum tamat. Kemudian dua orang mengundurkan diri sebelum menjalankan pendidikan. Perwira Hebat dan Angka 7 Kolonel FX Soenarto ayahanda Andika Perkasa merupakan perwira hebat yang mampu lulus tepat waktu, bersama 16 taruna lainnya. Pendidikan Akziad menghasilkan perwira berkualifikasi insinyur (sarjana teknik) militer, dengan dosen-dosen teknik berasal dari Institut Teknologi Bandung (ITB). Sehingga lulusan akademi ini kualitas ilmu tekniknya setara dengan lulusan insinyur teknik sipil dari ITB. Maka, tak usah heran. Darah militer serta teknik sipil mengalir dalam diri Andika Perkasa. Andika Perkasa pun mengikuti jejak ayahnya melanjutkan pendidikan di Akmil Magelang dan lulus tahun 1987. Seperti tertulis di atas, ayahnya lulusan Akmil 1957 dari Korps Zeni. Sedangkan ayah mertua Andika Perkasa, yakni Jenderal (Purn) Hendropriyono, lulusan Akmil 1967 dari Korps Infanteri. Hendro dari pasukan komando jabatan terakhirnya adalah Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) semasa Presiden Megawati Soekarnoputri. Angka tujuh (7) menjadi spesial bagi Andika. Baik dirinya, ayah mertua serta ayah kandungnya juga sama-sama lulusan Akmil dengan angka dibelakangnya sama-sama tujuh (7). Andika Perkasa lahir di Bandung 21 Desember 1964 merupakan anak keempat dari pasangan FX Soenarto dengan Udiati. Ayahnya berasal dari Magelang, Jawa Tengah. Sedangkan Ibundanya, Udiati berasal dari Blitar, Jawa Timur. Ayahnya wafat pada 1997 dan ibunya wafat pada 2007. Jadi angka 7 (tujuh) juga punya kenangan menyedihkan bagi Andika Perkasa. Ia kerap menitikkan air mata sambil berdoa dengan tangan terbuka bagi kedua orangtuanya saat berziarah di Taman Pemakaman Umum Pondok Ranggon, Jakarta Timur. Kendati berasal dari pasukan komando, putra keempat dari delapan bersaudara itu, dikenal humanis. Dalam beberapa diskusi dengan jenderal bintang empat itu, penulis menyimpulkan ia seorang intelektual yang bisa menerima perbedaan pendapat. Mau mendengarkan pendapat yang berbeda dengan dirinya. Salah satu pesan yang sering diingatkannya kepada para prajuritnya adalah sayangi keluarga dan sempatkan waktu untuk mengurus keluarga. Kolonel Bersahaja Ayahnya dikenal sebagai kolonel yang bersahaja. Tidak memiliki mobil pribadi, kecuali mobil dinas saat masih aktif menjadi perwira TNI. Kesederhanaan keluarganya menerpa Andika Perkasa menjadi remaja mandiri hingga memilih melanjutkan cita-cita ayahnya menjadi serdadu. Andika menikah secara Islam dengan anak pertama dari Hendropriyono, yakni Diah Erwiany (Hetty). Pasangan tersebut dikarunia seorang anak bernama Alexander Akbar Wiratama Perkasa Hendropriyono. Lebih dikenal sebagai dokter Alex Perkasa. Foto Andika Perkasa menggunakan pakaian koko menyambut kelahiran cucunya, beredar di sejumlah media. Cucu pertama KSAD Andika Perkasa dan istrinya, Diah Erwiany (Hetty Hendropriyono) diberi nama Arthur Ibrahim Perkasa-Hendropriyono. Sang cucu merupakan buah pernikahan dari putra Andika Perkasa, Alexander Akbar Wiratama Perkasa-Hendropriyono dengan Alvina. Alvina merupakan putri dari mantan Inspektur Jenderal Mabes TNI, yakni Letjen TNI (Purn) Muhammad Setyo Sularso, lulusan Akmil 1982 dari Korps Infanteri. Arthur mengingatkan pada seorang jenderal besar Korps Zeni Amerika Serikat, panglima perang yang terkenal di Asia Pasifik. Pernah memiliki markas di Papua serta Morotai, Maluku. Dia adalah Jenderal Besar Douglas McArthur. Gultor jadi Panglima Selama menjadi KSAD, Andika banyak melakukan pembangunan Markas Besar Angkatan Darat (Mabesad). Ia pun memilih Komandan Detasemen Mabesad berasal dari Korps Zeni yang memahami pembangunan atau teknik konstruksi. Namun Andika bukan berasal dari Korps Zeni. Hasil psikotesnya ia menjadi perwira Korps Infanteri. Bahkan Andika menjadi pasukan komando dengan spesialisasi antiteror. Ia mengawali kariernya sebagai perwira pertama Infanteri korps baret merah (Kopassus). Dimulai di Grup 2 /Para Komando dan Satuan-81 /Penanggulangan Teror (Gultor) Kopassus selama 12 tahun. Setelah itu ditugaskan di Departemen Pertahanan dan Keamanan dan Mabesad. Kembali bertugas lagi di Kopassus sebagai Komandan Batalyon 32/Apta Sandhi Prayuda Utama, Grup 3/Sandhi Yudha. Kepintaran yang diturunkan Ayahnya dibuktikan dengan mengenyam pendidikan tinggi Strata-1 (Sarjana Ekonomi) di dalam negeri dan meraih tiga gelar akademik Strata-2 (M.A., M.Sc., M.Phil) serta satu gelar akademik Strata-3 (Ph.D/doktor) dari berbagai perguruan tinggi terkemuka di Amerika Serikat. Sempat terseok-seok pada saat berpangkat Letnan Kolonel selama sembilan tahun. Padahal Andika menjadi lulusan terbaik Pendidikan Sekolah Staf dan Komandan Angkatan Darat (Seskoad) 1999-2000. Akhirnya Andika menjadi Kolonel pada 2010 dengan jabatan sebagai sekretaris pribadi Kepala Staf Umum (Kasum) TNI Letjen Johanes Suryo Prabowo, lulusan terbaik Akmil 1976 dari Korps Zeni. Kemudian Andika menjadi Komandan Resimen Induk Infanteri Kodam Jaya pada 2011. Setelah itu promosi menjadi Komandan Resor Militer (Danrem) 023/Kawal Samudera, Kodam I/Bukit Barisan (2012). Pada saat Jenderal Budiman (lulusan terbaik Akmil 1978 dari Korps Zeni) menjadi KSAD, Andika mendapatkan promosi sebagai Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat. Di sinilah ia mendapatkan jabatan jenderal bintang satu (November 2013). Dalam kurun waktu satu tahun kurang satu bulan, ia pun mendapatkan promosi menjadi Komandan Pasukan Pengamanan Presiden (Danpaspampres) mendampingi Presiden Jokowi yang baru dilantik sebagai presiden hasil pemilu 2014. Disinilah terjadi relasi kuasa antara Presiden Jokowi dengan Jenderal Andika Perkasa. Dua tahun kemudian, Andika Perkasa dipromosikan menjadi Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) XII/Tanjungpura (2016). Selanjutnya promosi menjadi Letjen saat menjadi Komandan Komando Pembina Doktrin, Pendidikan dan Latihan Angkatan Darat (Dankodiklatad) (2018). Bintangnya semakin terang ketika ia menduduki posisi Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) (2018). Sampai akhirnya menjadi orang nomor satu di Mabesad, sebagai KSAD. Terakhir, setelah selama 2,5 tahun menjadi KSAD, sampai juga Jenderal Andika Perkasa menjadi puncuk pimpinan TNI. Tidak sia-sia ayah kandung almarhum Kolonel Soenarto dan ayah mertua Jenderal Hendropriyono mendidik dan mengawal generasi penerusnya hingga berhasil melampaui capaian kedua orangtuanya menjadi Panglima TNI. Selamat bertugas, Jenderal. *) Pengamat Komunikasi Politik dan Pertahanan

Andika Perkasa Akan Dipasangkan dengan Puan Maharani di Pilpres 2024

Oleh: Tjahja Gunawan (Wartawan Senior FNN) BELUM juga resmi menjadi Panglima TNI, Jenderal TNI Andika Perkasa sudah disebut-sebut sebagai calon Presiden yang akan dipasangkan dengan Puan Maharani (Ketua DPR-RI) di Pilpres 2024 nanti. "Mak Banteng dan Ki Lurah sudah deal Andika-Puan di 2024 !," begitu informasi yang saya peroleh dari bagian "pintu belakang", Sabtu malam (6/11). Yang dimaksud Mak Banteng adalah Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri sedangkan Ki Lurah adalah Presiden Jokowi. Informasi ini valid tapi bisa juga berubah sesuai perkembangan dan dinamika politik. Politik kan dinamis. Sebelumnya Puan dipasangkan dengan Prabowo, sekarang tiba-tiba tersiar kabar hendak digandengkan dengan Andika. Yang jelas, kalau melihat ketegangan politik di internal PDIP sekarang, tidak mungkin menggandengkan Puan dengan politisi PDIP lainnya Ganjar Pranowo. Di dalam partai yang sama, keduanya kini sedang berebut pengaruh. Kelompok banteng dan kelompok celeng di Partai Moncong Putih, satu sama lain saling beradu kekuatan politik. Berdasarkan hasil survei, elektibilitas Ganjar memang jauh di atas Ketua DPR-RI, Puan Maharani. Tapi Gubernur Jateng itu bukan anak keturunan Soekarno. Sebaliknya, Puan Maharani lahir dari rahim pemilik PDIP yang juga partai dinasti ini. Informasi tentang Andika capres 2024 seolah ada irisannya dengan tulisan wartawan senior yang juga mantan Menteri BUMN era Presiden SBY, Dahlan Iskan. Menjelang fit and proper test Jenderal TNI Andika Perkasa di Komisi I DPR, Dahlan menulis tentang peluang Andika menjadi calon presiden seusai dia pensiun dari lingkungan TNI pada Desember 2022. Sebagai wartawan senior, sangat boleh jadi Dahlan Iskan mengetahui skenario politik tersebut dari jaringan politik serta networknya dengan para pengusaha. Di akhir tulisannya Dahlan menulis, "Saya melihat Jenderal Andika akan menjadi bintang baru dalam peta calon presiden akan datang". Dalam narasi selanjutnya, seperti biasa Dahlan Iskan menulis puja-puji terhadap Andika Perkasa. Jokowi terpaksa kompromi Dalam peta politik sekarang, yang bisa mencalonkan pasangan presiden - wakil presiden hanya parpol atau koalisi parpol hasil pemilu 2019 yang mendapat kursi 20 persen di DPR atau 25 persen suara pemilih nasional. Yang memenuhi syarat itu hanya PDIP. Sedangkan partai-partai lain harus koalisi. Karena itu PDIP bisa bebas menentukan capres sendiri termasuk kemungkinan mengusung pasangan Andika Perkasa-Puan Maharani. Atas pertimbangan itu pula, bisa jadi Jokowi terpaksa harus kompromi dengan Megawati dan juga Hendropriyono dalam proses pencalonan Panglima TNI. Presiden Jokowi terpaksa membatalkan memilih Laksamana TNI Yudo Margono yang seharusnya mendapat giliran menjadi Panglima TNI sekarang. Jalan tengahnya, bisa jadi Yudo Margono akan dicalonkan Jokowi menjadi Panglima TNI tahun depan setelah Andika Perkasa memasuki usia pensiun bulan Desember tahun 2022. Sehingga pada saat Jenderal Andika pensiun kelak, masa dinas aktif Laksamana Yudo Margono juga tinggal satu tahun. Sebagian kalangan menilai, di sisa usianya Megawati merasa tidak sabar ingin menyaksikan anaknya Puan menjadi pemimpin negeri ini. Karena itu muncul skenario politik PDIP untuk menggandengkan Andika Perkasa dengan Puan pada Pilpres 2024. Loh bukankah sebelumnya Puan akan dipasangkan dengan Prabowo Subianto? Apalagi dari hasil survei berbagai lembaga, Ketua Umum Partai Gerindra ini elektibilitasnya tertinggi dibandingkan Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan. Kemungkinan ada kompromi baru dimana Partai Gerindra mau "mengalah" di ajang Pilpres namun partai pemenang kedua Pemilu 2019 ini, akan kembali maju habis-habisan di Pilkada DKI Jakarta dengan mengusung Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Sandiaga Uno sebagai Calon Gubernur DKI pada tahun 2024. Atau bisa jadi Partai Gerindra mengusung "calon kalah" dalam Pilpres 2024 nanti. Meskipun elektabilitasnya tinggi, bisa jadi Prabowo sekarang sudah mulai insyaf dan tahu diri bahwa dia kini sudah berusia tua (70 tahun). Selain itu publik sebenarnya juga sudah bosan dan jengah melihat wajah dan penampilan Prabowo yang selalu nongol dalam setiap ajang kontestasi Pilpres. Sialnya, setiap kali nyapres dia juga selalu gagal. Bayangkan, di tiga kali pelaksanaan Pilpres 2009, 2014, dan 2019, Prabowo Subianto selalu ikut nyapres dan hasilnya amsyiong. Kok elektabilitasnya bisa tinggi? "Ya itu kan hasil penelitian lembaga survey. Semua orang juga tahu, lembaga survey bisa dipesan sesuai keinginan pembeli, " kata seorang politisi senior. Kalau tahun 2024 Prabowo memaksakan diri ikut kontestasi Pilpres, diperkirakan akan semakin ambyar. Apalagi kelompok Islam yang semula banyak memberikan dukungan di Pilpres 2019, merasa kecewa dengan pilihan politik Prabowo bergabung dalam Kabinet Presiden Jokowi. Dalam logika politik awam, sulit dipahami dua orang capres yang semula sengit bertarung dalam ajang Pilpres tiba-tiba di akhir pertarungan saling berangkulan dan berdamai. Dalam arena tinju mungkin itu bisa terjadi, tapi kalau dalam ranah politik fungsi parpol adalah mendukung atau menjadi oposisi pemerintah. Dalam bahasa yang lebih sederhana, kalau akhirnya Prabowo bergabung dengan Jokowi, lalu untuk apa harus ada Pilpres yang telah mengeluarkan banyak dana, tenaga bahkan menelan korban nyawa para relawan dan pendukung capres. Kembali ke persoalan Andika. Saat menjalani fit and proper test di Komisi I DPR pada Sabtu 6 November 2021, usia Andika Perkasa memang tinggal setahun lagi menuju pensiun dari dunia militer. Beliau lahir 21 Desember 2021. Seluruh anggota Komisi I DPR telah menyetujui Andika Perkasa sebagai Panglima TNI menggantikan Marsekal TNI Hadi Tjahjanto. Sidang Paripurna DPR pada Senin 8 November 2021, hanya sekadar ketok palu saja. Namun yang jelas, saat sidang paripurna itu bertepatan dengan habisnya masa dinas Hadi Tjahjanto di dunia militer. Dia adalah petinggi TNI kelahiran 8 November 1963. Kendati momen pergantian Panglima ini dilakukan di injury time namun semuanya seolah sudah diatur rapi. Pasca reformasi, Panglima TNI memang dilakukan secara bergiliran diantara ketiga angkatan yaitu AL, AD dan AU. Namun tradisi tersebut tidak terlalu diformalkan. Sehingga penentuan Panglima TNI sepenuhnya tetap berada dibawah Presiden setelah diajukan dan mendapat persetujuan DPR. Meski demikian, jabatan Panglima TNI kali ini juga tidak terlepas dari loby-loby politik terutama antara Megawati dengan Jokowi. Bisa jadi dalam loby tersebut juga melibatkan Menhan Jend TNI (Purn) Prabowo Subianto yang juga Ketua Umum Partai Gerindra. Dan sangat mungkin juga Jenderal TNI (Purn) TNI Hendropriyono mertua Andika Perkasa, ikut cawe-cawe dalam loby-loby politik itu. Nah, di sinilah salah satu kekurangan Andika. Dia selalu dikaitkan dengan sosok mertuanya. Andika Perkasa menikahi Diah Erwiany (Hetty) anak tertua Hendropriyono. Jika ingin tampil sebagai pemimpin yang utuh, Andika Perkasa seharusnya bisa keluar dari bayang-bayang mertuanya. Menurut Selamat Ginting, pengamat militer yang juga mantan Wartawan Senior Republika, Andika Perkasa merupakan salah satu prajurit TNI yang pintar. Bukan hanya cemerlang karir militernya, Andika juga pintar secara akademis. Dia mampu meraih banyak gelar akademis yakni pendidikan tinggi Strata-1 (Sarjana Ekonomi) di dalam negeri dan meraih tiga gelar akademik Strata-2 (M.A., M.Sc., M.Phil) serta satu gelar akademik Strata-3 (Ph.D/doktor) dari berbagai perguruan tinggi terkemuka di Amerika Serikat. Andika adalah lulusan terbaik Pendidikan Sekolah Staf dan Komandan Angkatan Darat (Seskoad) 1999-2000. Pihak yang menolak Andika Karier militer Andika sebelumnya pernah menjadi Kadispen Angkatan Darat, Komandan Paspampres, Pangdam Tanjungpura, Komandan Kodiklat AD, Pangkostrad dan sejak tahun 2018 diangkat jadi KSAD. Sampai akhirnya dia mencapai puncak kariernya di dunia militer sebagai Panglima TNI pada November 2021. Meski banyak yang mendukung Andika Perkasa tetapi ada pula yang menolak dia sebagai Panglima TNI. Di antara para pihak yang menolak pencalonan Andika Perkasa sebagai Panglima TNI adalah koalisi 14 Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), serta Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan. Meski ada penolakan namun proses politik serta dukungan dari anggota DPR kepada Andika Perkasa terus mengalir. Meski hanya akan menjabat selama 1 tahun dan 1 bulan, posisi baru Jenderal Andika ini tetap sangat penting. Terutama kalau dikaitkan dengan tangga karir sipil berikutnya. Megawati Soekarnoputri merasa percaya diri memasangkan Andika dengan Puan karena PDIP satu-satunya parpol yang bisa mengajukan capres dan cawapres sendiri sesuai ketentuan ambang batas pemilihan Presiden atau Presidential Treshold 20 %. Berdasarkan UU No 7 tahun 2017 tentang pemilu disebutkan bahwa tahapan Pilpres oleh KPU akan dimulai bulan Juli tahun 2022 atau 20 bulan sebelum pencoblosan pada bulan Maret tahun 2024. Sementara ambang batas Pemilihan Presiden atau Presidential Threshold untuk dapat mencalonkan capres dan cawapres adalah 20% kursi DPR RI, atau setidaknya 115 kursi DPR RI. Saat ini PDIP sudah memenuhi persyaratan pencalonan presiden. PDIP saat ini memiliki 128 kursi di DPR RI sementara ambang batas minimal untuk mencalonkan capres adalah 115 kursi DPR. Selanjutnya capres dan cawapres dari PDIP akan ditentukan oleh Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Dengan catatan, sebelum Pilpres 2024 Megawati masih diberi keeempatan hidup oleh Tuhan Yang Maha Esa. Harus diakui bahwa sistem Pemilu seperti sekarang bisa menghambat munculnya para calon pemimpin berkualitas yang tidak memiliki partai seperti Anies Baswedan, mantan Panglima TNI Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo, tokoh pergerakan yang juga mantan Menko Perekonomian Dr Rizal Ramli. Oleh karena itu perjuangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) agar ambang batas Pemilihan Presiden untuk capres dan cawapres bisa diturunkan dari 20 % menjadi 0 %, patut didukung agar para calon pemimpin bangsa yang bermutu bisa tampil dan berkompetisi merebut hati rakyat dalam Pilpres. Bahkan meskipun perjuangan tersebut belum terwujud, Ketua DPD La Nyalla Mattalitti sudah mendeklarasikan diri sebagai Capres 2024. Adanya ketentuan ambang batas presidential threshold 20 persen suara nasional dan 25 persen kursi parlemen sungguh sangat merugikan anak muda, figur-figur nonpartai, serta figur calon pemimpin di daerah yang tidak terafiliasi dengan partai. Dalam sistem politik yang berlaku sekarang, untuk bisa tampil dalam ajang kontestasi dan seleksi calon pemimpin harus mendapatkan tiket dari partai politik. Dalam realitasnya, tiket dari parpol ini telah menyuburkan praktek politik uang dan korupsi dimana-mana. Kalau kondisinya terus seperti ini, kapan Indonesia akan maju? ****

Indonesia, G20, dan Kemiskinan

Oleh Radhar Tribaskoro INDONESIA jangan gampang bangga. Jabatan presiden G20 itu giliran, siapapun anggotanya pasti dapat. Jabatan itu pun baru berlaku 2022, bukan sekarang. Puja-puji para buzzer dan beberapa media nasional dalam hal ini, sungguh sangat tidak pada tempatnya. Indonesia sudah menjadi anggota G20 sejak didirikan tahun 1999. Pada waktu itu G20 hanya menyangkut pertemuan Menteri-menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral. Tujuannya adalah untuk mengantisipasi tidak terjadi lagi krisis ekonomi 1998. G20 beranggotakan 19 negara plus Uni Eropa. Anggota-anggota dipilih berdasar kepada ukuran ekonomi, jumlah penduduk, dan pertimbangan lain. Belanda dan Spanyol punya ukuran ekonomi yang besar tetapi mereka menjadi anggota di bawah naungan Uni Eropa. Thailand memiliki ukuran ekonomi lebih tinggi dari Afrika Selatan, tetapi Afsel yang dipilih menjadi anggota demi mewakili benua Afrika. Tahun 2008 G20 telah berkembang sehingga pengelolaannya dirasa perlu melibatkan presiden atau kepala negara. Tahun itu diselenggarakan KTT G20 yang pertama di Washington DC, Amerika Serikat. Presiden Susilo Bambang Yudoyono hadir dalam pertemuan itu (lihat foto). Jadi tidak benar bahwa keanggotaan Indonesia di G20 dimulai sejak pemerintahan Presiden Jokowi. Pada tahun 2022 Indonesia menjadi Presiden G20 ke-14, jadi memang sudah waktunya. Menjadi anggota G20 juga tidak usah bangga. Ukuran ekonomi kita termasuk 20 besar karena penduduk kita besar. Namun bila dihitung secara pendapatan per kapita, kita ada di urutan terbawah kedua, setelah India yang penduduknya semilyar lebih. Pendapatan per kapita kita hanya 1/7 dari pendapatan per kapita Korea Selatan yang di urutan ke-10 dan 1/15 pendapatan per kapita Amerika Serikat yang berada di puncak G20. Jadi saya lebih melihat keanggotaan Indonesia di G20 sebagai kesempatan, bukan kehormatan. Saya kira kita tidak perlu kebanggaan palsu. Kita akui saja, kita negara miskin. Kita bahkan tidak lebih baik daripada India yang nyata pendapatan per kapitanya hanya sekitar separuh kita. India memiliki kapasitas dan ekspor produk industri yang sangat kuat. Ketika tahun 2020 ekonomi seluruh dunia ambruk, India sendirian tumbuh 7,8%. Eksekutif keturunan India bertebaran di hampir semua perusahaan Fortune 500. Tidak diragukan India akan tampil sebagai kekuatan industri dan informatika yang besar di masa datang. Hal itu sejalan dengan semakin banyaknya prestasi kelas dunia di bidang sains dan humaniora. Sekarang setidaknya 5 orang warganegara India tercatat sebagai pemenang Hadiah Nobel di bidang fisika, kesusastraan, ekonomi dan perdamaian. Di luar itu ada 4 orang keturunan India namun warganegara lain juga telah memenangi Hadiah Nobel. Dalam hemat saya kita tidak punya hak untuk berbangga. Sebagai bangsa yang sudah 76 tahun merdeka kita masih menghadapi kemiskinan massal yang menggiriskan. Gatot Nurmantyo dalam diskusi Evaluasi 7 tahun pemerintahan Jokowi 21 Oktober 2021, mengutip Bank Dunia, menyebutkan jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 27 juta. Angka itu sesuai standar Bank Dunia yang menetapkan garis kemiskinan pada penghasilan $1.9/hari, untuk negara-negara berpendapatan rendah. Standar Bank Dunia itu meningkat untuk negara berpendapatan menengah bawah menjadi $3.2/hari, dan negara berpendapat menengah atas sebesar $5.5/hari. Indonesia dengan pendapatan per kapita rata-rata $4500/tahun sudah termasuk negara berpendapatan menengah bawah. Pada tingkatan ini orang miskin di Indonesia (pendapatan per kapita $3.2/hari) berjumlah 57,6 juta orang atau 31,5% dari jumlah populasi. Sementara itu bila dibandingkan dengan Vietnam dan Thailand, persentase penduduk miskin (dengan standar $3.2/hari) di Vietnam hanya 6,6%, sementara Thailand hanya 0,6%. Kembali ke pernyataan Gatot Nurmantyo, pembangunan ekonomi di Indonesia dalam 7 tahun terakhir, sama sekali tidak memihak kepada penduduk miskin! Bila ditatap lebih seksama, ekonom Antoni Budiawan menyebutkan bahwa 6,6 juta penduduk Indonesia di 29 kabupaten/kota termasuk penduduk termiskin di dunia dengan penghasilan kurang dari $1.000/kapita. Kabupaten Pegunungan Arfak di Papua adalah kabupaten termiskin nomor dua di dunia dengan pendapatan per kapita $329, hanya sedikit di atas negara termiskin Burundi yang berpendapatan $293/kapita. Sekali lagi, kita tidak punya hak berbangga. Kita harus akui bila kita negara miskin. Kita tidak sok hebat, kita tidak gentar berada di panggung dunia lantaran kita punya martabat. Martabat itu mengatakan bahwa "Sekalipun miskin kita tidak butuh siapapun menolong. Kita akan membangun bangsa kita dengan kekuatan sendiri". Hal itu tidak sukar sepanjang seluruh potensi negara ini diarahkan demi kemaslahatan rakyat. Saya cenderung kehadiran kita di G20 sebagai peluang. Pertama, ini adalah peluang kita untuk menciptakan arsitektur keuangan dunia yang lebih berkeadilan, yang membuka peluang lebih besar dan luas bagi bermilyar penduduk miskin di dunia untuk memperbaiki nasibnya. Kedua, peluang untuk berkontribusi kepada dunia karena dari sanalah orang sedunia menghormati kita. Walau kita miskin kita tidak rugi menyumbang kepada kepentingan dunia. Kepentingan dunia itu hadir saat ini: mengendalikan perubahan iklim. Iklim dunia memang rusak akibat proses industrialisasi yang tidak terkendali di negara-negara maju. Namun hal itu tidak boleh mencegah kita untuk mendukung pencegahan kerusakan alam lebih lanjut. Itu hal terhormat yang bisa kita lakukan. Hal yang paling tidak terbayang bagi saya adalah mengumbar informasi palsu seakan-akan kita telah menjalankan agenda-agenda dunia berkenaan dengan mitigasi perubahan iklim dan menjalankan standar pembangunan berkelanjutan, padahal bohong. Saya juga tidak bisa membayangkan perjanjian telah ditandatangani presiden lantas dianulir oleh menteri-menteri sendiri. Hal itu sungguh TIDAK TERHORMAT! Sungguh perbuatan memalukan dan sangat tidak bisa dibanggakan.

Itu Bukan Salah Luhut Panjaitan atau Erick Thohir

By Asyari Usman Apa-apa, Luhut. Sedikit-sedikit, Luhut. Jabatannya bertimbun-timbun. Hampir tidak ada bidang yang tak mengikutkan Luhut Binsar Panjaitan (LBP). Invetasi, Luhut. Infrastruktur, Luhut. Ibukota baru, Luhut. Kereta cepat Jakarta-Bandung, Luhut juga. Penangangan Covid-19, dia lagi. Sampai ke urusan tes PCR-nya sekalian. Sekarang ini, para pendukung Jokowi banyak yang jengkel. Marah-marah melihat kondisi negara dan rakyat. Saking jengkelnya, ketua relawan Jokowi Mania (Jokma), Immanuel Ebenezer, mengatakan di salah satu talk-show bahwa para pejabat yang terlibat bisnis PCR harus dihukum mati. Immanuel merujuk ke skandal penyediaan tes PCR (polymerase chain reaction) oleh konsorsium sejumlah perusahaan yang tergabung dalam PT Genomik Solidaritas Indonesia (GSI). Namanya memang sosialis sekali. Seolah ingin membantu rakyat dalam urusan tes PCR itu.Tapi, setelah sejumlah media mainstream melakukan investigasi, ternyata GSI mengumpulkan laba yang sangat besar dari bisnis di tengah bencana itu. Ratusan miliar. Mungkin triliunan. Luhut mengatakan, dia tidak mengambil untung dari kegiatan GSI. Dia mengatakan, GSI hadir untuk membantu. Selain Luhut, yang juga terindikasi berbisnis PCR adalah Menteri BUMN Erick Thohir. Ada perusahaan besar, Adaro, milik Garibaldi Thohir (Boy Thohir) di GSI. Ada pula ketua umum Kadin, Arsjad Rasjid. Dan banyak lagi. Nah, salah siapa? Apakah itu salah Luhut dan Erick? Bukan. Itu bukan salah Luhut dan Erick. Itu salah kalian yang memilih Jokowi menjadi presiden. Itu kesalahan kalian yang berjuang mati-mati mendudukkan Jokowi di Istana. Kalian sebetulnya sudah tahu bahwa Jokowi tidak akan bisa memimpin pemerintahan. Dia malah “dipimpin” oleh kelompok oligarki bisnis yang bersekongkol dengan oligarki politik, khususnya dengan simpul-simpul kekuasaan. Jokowi bukan “bertugas” untuk rakyat. Dia “ditugaskan” oleh dua kelompok oligarki yang sangat berkuasa itu. Jadi, tak mengherankan kalau roda pemerintahan berjalan amburadul selama kepresidenan Jokowi tujuh tahun ini. Tak mengherankan pula kalau dia sangat bergantung pada Luhut. Sehingga, kekuasaan pemerintahan menumpuk di tangan Menko Semua Urusan itu. Ketika sekarang terbongkar keikutsertaan Luhut dan Erick dalam bisnis tes PCR, tidak perlu kaget. Kedua menteri ini adalah pengusaha. Prinsip utama pengusaha adalah mencari peluang. Di mana pun itu dan dengan menggunakan apa pun juga. Luhut, Erick dan para pengusaha lainnya melihat di tengah wabah Corona ada peluang bisnis. Mereka tangkap peluang itu. Kebetulan keduanya punya kekuasaan dan modal. Muncullah ide GSI. Mereka bisa atur sendiri apa yang mereka inginkan dan bagaimana cara menunaikan keinginan itu. Banyak yang berkomentar Luhut dan Erick melanggar etika alias moralitas. Juga melanggar pantangan “conflict of interest” (benturan kepentingan). Intinya, menjadi pejabat tinggi tidak boleh berbisnis. Apalagi berbisnis di tengah penderitaan rakyat. Sangat, sangat tak beretika. Tak bermoral. Tapi, apakah Anda masih berharap para pengusaha di Indonesia ini memiliki etika dan moral? Apakah Anda mengimpikan para pengusaha yang sekaligus menjadi penguasa masih sempat memikirkan etika dan moralitas? Jadi, itu semua bukan salah Luhut Panjaitan. Bukan pula salah Erick Thohir.[] (Penulis wartawan senior FNN)

Kasihan Kodok

Oleh Ady Amar *) KODOK seperti juga anjing dan babi menjadi binatang (dianggap) menjijikkan. Padahal semuanya itu ciptaan Tuhan. Tapi Tuhan juga menetapkan mana binatang ciptaannya yang boleh dikonsumsi, mana yang terlarang. Jika lalu pertanyaan "nakal" diteruskan, mengapa Tuhan menciptakan makhluk itu tapi terlarang untuk dikonsumsi. Maka jawabnya bisa jadi, mungkin di balik itu, sebenarnya Tuhan ingin menguji mana manusia yang taat dengan tidak melanggar perintahnya, dan mana yang bandel dengan memilih tetap melanggar mengkonsumsinya. Tapi perbincangan kali ini terkhusus pada kodok, tentu tidak sebagai binatang yang kehadirannya berproses dari larva, lalu jadi cebong dan berakhir pada kodok. Tidak pada makhluk ciptaan Tuhan itu. Kodok hanya disebut atau dipakai inisialnya, dan itu untuk menandai sebuah rezim. Wow! Adalah Muhammad Said Didu, mantan Sekretaris BUMN, yang menginisialkan "kodok" untuk memotret rezim saat ini, yang menurutnya lebih buruk dari rezim Orba, yang rontok setelah memerintah 32 tahun. Rontok oleh Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Adakah yang lebih buruk dari KKN, menurutnya kodok, tentu dalam inisial, lebih buruk dari itu. Menurutnya, cebong itu fase menuju kodok. Dan setelah kodok tidak akan ditemui fase lain kecuali kematian. Makna mati di sini lebih pada runtuh. Rezim akan runtuh setelah benar-benar menjadi kodok. Seperti juga rezim sebelumnya yang runtuh setelah memasuki fase KKN. Said Didu tampak cerdas, saat membuat istilah yang tidak dipaksa-paksakan, tapi jika dilihat secara obyektif rasanya _sih_ benar juga apa yang diistilahkannya itu. Maka, makna kodok itu diinisialkan dengan korupsi, oligarki, dinasti, otoritarian dan koncoisme. Inisial kodok yang dibuat itu sungguh menyentak obyektivitas kesadaran yang sebenarnya, bahwa kita memang sedang memasuki fase terakhir menuju keruntuhan. Bagaimana tidak runtuh jika negeri ini dikelola dengan model kodok style, yang itu cuma menguntungkan sekelompok kecil dari kelompoknya. Untuk meyakinkan bahwa sebutan kodok itu adalah istilah yang tepat, ia pun perlu menggambarkan gerakan binatang kodok yang "gayanya menendang ke bawah, menyingkirkan (menyepak) ke samping dan menjilat ke atas". Said Didu tampak seolah memaksa-maksakan gaya binatang kodok, itu yang Subhanallah_memang pas dengan inisial yang disampaikannya. Kasihan memang, jika kodok sebagai binatang harus diinisialkan pada perangai buruk manusia, dan itu pada sifat tamak yang lebih buruk dari sikap binatang. Pastilah kodok tidak mampu protes menolak namanya diinisialkan dengan sikap tamak makhluk paling sempurna, tapi yang justru merendahkan kesempurnaan ciptaan-Nya. Tapi setidaknya nama kodok akan lebih sering disebut, bahkan disebut sebagai istilah untuk menamakan sebuah rezim. Kodok, meski binatang kecil, lebih akan sering disebut ketimbang anjing atau babi, yang belum ditemukan inisialnya untuk menandakan tidak saja sebuah rezim, tapi apapun yang bisa menggambarkan sebuah peristiwa menjijikkan/menjengkelkan, yang jika disebut satu persatu akan panjang bererotan. (*) *) Kolumnis

Siapa Pun KSAD Asal Bukan Dudung

By M Rizal Fadillah JUDUL di atas terinspirasi komentar netizen medsos dengan tulisan hal yang sama, lucu juga. Kesannya siapapun boleh menjadi KSAD asal bukan Dudung. Maksudnya adalah Letjen TNI Dudung Abdurrahman Pangkostrad kini dan Pangdam Jaya sebelumnya. Figurnya kontroversial. Peluang Dudung Abdurrahman menjadi KSAD memang besar, kenaikan posisi dari Pangdam menjadi Pangkostrad adalah pertanda bahwa bukan hal berat meningkat jabatan menjadi KSAD untuk menggantikan Jenderal Andika Perkasa yang sedang dipromosikan sebagai Panglima TNI. Sayangnya Dudung adalah sosok yang yang bermasalah, didukung oleh kekuasaan tetapi tidak disukai oleh rakyat. Ada empat masalah besar yang menjadikan Dudung Abdurrahman tokoh kontroversial sehingga menjadi tidak layak menjadi KSAD, yaitu : Pertama, perusak sejarah TNI dengan mengomandani penurunan baliho Habib Rizieq Shihab di Petamburan. Misi militer yang dinilai sebagai kudeta atas pekerjaan Satpol PP. Dudung masuk jauh ke dalam kegiatan politik pragmatis dan murahan. Kedua, dalam agenda pekerjaan Kepolisian turut menyertai Kapolda Irjen Pol Fadil Imron tampil dalam Konferensi Pers pembantaian 6 laskar FPI dan turut berdusta dengan menyatakan terjadi "tembak menembak" serta menunjukkan alat bukti yang diduga rekayasa. Pangdam yang menampilkan diri sebagai "ajudan" Kapolda. Ketiga, mendirikan patung Soekarno yang di samping Proklamator juga pemimpin Orde Lama di Kompleks Akademi Militer Magelang. Sebagai Gubernur Akmil saat itu Dudung meresmikan patung Soekarno bersama Megawati. Patungisasi Soekarno dicanangkan Megawati dimana-mana. Jika benar niat untuk menghormati Proklamator semestinya bersama dengan Moh Hatta. Keempat, merusak atau menghilangkan patung diorama penumpasan G 30 S PKI di Museum Makostrad. Nuansa ketidaksukaan kepada sejarah peran Nasution, Soeharto, dan Sarwo Edhi dalam menumpas PKI di masa Orde Lama sangat terasa. Alasan "haram patung" yang ditoleransi Dudung Abdurrahman adalah sumier dan tidak adekuat. Kalkulasi dukungan politik kekuasaan memungkinkan Dudung Abdurrahman untuk menjadi KSAD, akan tetapi pencitraan dirinya menimbulkan kesan "dosa politik" yang bertumpuk. Publik menilai Dudung tidak pas dan tidak pantas sebelum kasus dan campur tangan politiknya diusut tuntas. Yang wajar dan pantas untuk menjadi KSAD adalah siapa pun, asal bukan Dudung ! *) Analis Politik dan Kebangsaan

Telinga Iwan Fals Tipis, Tak Setebal Anies Baswedan

Oleh Ady Amar *) Ada yang kerap bahkan sudah jadi hobi lapor melaporkan pada pihak berwajib, jika merasa dirinya atau junjungannya, atau kelompoknya diberitakan dengan tidak sebenarnya. Dilaporkan pada kepolisian untuk sebisa mungkin diseret ke pengadilan. Itu bisa karena postingan, atau pernyataan seseorang terhadap publik figur dianggap tidak mengenakkan, bahkan dianggap fitnah, lalu memilih jalur hukum menyelesaikan persoalan itu. Kemarin Kamis, 4 November, Rosana, istri musikus gaek yang lagu-lagunya penuh kritik, Iwan Fals, mengadukan laporan ke Polda Metro Jaya, seseorang dengan inisal KS, yang disebutnya mencemarkan nama baik suaminya. Itu berkenaan dengan Ormas Orang Indonesia (OI). Ia didampingi sang suami, Iwan Fals, yang lalu berstatus sebagai saksi. Mengapa tidak Iwan Fals sendiri yang mengadukan pencemaran nama baiknya, kok justru harus istrinya. Aneh, kan. Iwan Fals terbilang tukang kritik. Lagu-lagunya sarat kritik, yang akhirnya tak tahan juga dirinya diganggu dengan "kritik". Telinga Iwan ternyata tipis. Mengadu pada instrumen kekuasaan (polisi) jadi pilihan. Kalau saja pada masa lalu ada pihak di era Soeharto yang dikritiknya menempuh jalur hukum, entah sudah berapa kali ia mesti menghuni prodeo. Iwan Fals saat ini memang bukan seperti yang dulu. Iwan Fals yang sekarang ini, orang menyebut "singa tua" yang ompong, yang mata dan hatinya tak mampu melihat fenomena sosial-politik sekeliling dengan baik. Ia tampak menikmati keasyikan tersendiri bisa makan semeja dengan penguasa. Banyak yang menyayangkan langkahnya memilih jalur hukum. Memang sih pokok materi perkara aduannya tidak di-share di ruang publik. Maka, semua tidak tahu seberapa dahsyat fitnah yang mengenainya itu. Meski demikian, menempuh jalur hukum itu mengesankan ia bukan terbilang orang yang "jembar hati" melihat persoalan dan menyelesaikan dengan cara-cara persuasif di luar pengadilan. Atau bahkan membiarkan saja persoalan yang dianggapnya fitnah, itu justru langkah elegan, yang lambat laun pastilah "fitnah" itu akan pupus dengan sendirinya. Tapi ya itu tadi, tukang kritik memang tidak selamanya kuat dikritik, dan lalu memilih jalur hukum. Berharap saja pihak kepolisian bijak dan tidak memproses perkara yang sebenarnya bisa dicari titik temunya. Tidak semua perkara mesti diseret ke pengadilan yang melelahkan, hanya untuk kepuasan semu satu pihak. Anies Memang Istimewa Bersyukur Iwan Fals tidak ditakdir sebagai Gubernur DKI Jakarta, yang tidak berperangai seperti Anies Baswedan. Tidak berperangai seperti Anies, itu karena ia "'sempit hati", yang tidak tahan kritik yang lalu memilih jalur hukum. Maka, sehari bisa 3-4 kali, seperti minum obat layaknya, ia akan bolak-balik melaporkan orang-orang yang mengkritiknya. Menjadikan pekerjaan utama sebagai Gubernur jadi terbengkalai. Diakui atau pun tidak diakui, tetaplah Anies Baswedan itu pejabat istimewa, seng ada lawan. Ia membiarkan saja, bukan lagi kritikan, tapi hujatan bahkan fitnah keji yang didapatnya dari para buzzer bergaji rupiah, yang umpatannya jahat penuh dusta, yang seperti diproduksi massal. Memilih dengan tidak menghiraukan. Bak dianggap angin lalu saja. Anies tidak ingin terkotori pikirannya dengan hal-hal tidak produktif. Anies tampak tidak mempermasalahkan dirinya jadi samsak hidup, dihajar tiap hari dengan fitnah yang diada-adakan. Anies tampak menikmatinya. Ia tak harus bersungut-sungut melaporkan mereka yang memang bekerja dan digaji dengan mengumpat-memfitnahnya. Intensitas umpatan jahat penuh fitnah tampak makin hari makin sadis dihantamkan. Seolah para buzzer berlomba memproduk umpatan paling sadis yang bisa membuat Anies terusik. Sekali lagi, Anies tetap saja tak bergeming. Agaknya rugi bahkan menjatuhkan diri jika merespons umpatan sampah. Sikap yang dipilih Anies setidaknya efektif. Menjadikan pekerjaan utamanya tidak jadi terbengkalai cuma ngurus hal tidak semestinya yang sifatnya personal. Anies terus bekerja membuat Jakarta makin "bercahaya", yang itu memang cuma bisa dilihat oleh mereka yang tak buta hati dan matanya. Tahun 2024 masih jauh, tapi kerja para buzzer dan analis politik berbayar, yang belakangan muncul seperti jamur di musim hujan, seolah diikhtiarkan-dihadirkan punya tugas menenggelamkan elektabilitas Anies yang moncer. Tampaknya, menjatuhkan Anies berlebih, bahkan terkesan dikeroyok jadi musuh utama, rasanya tidak efektif lagi. Justru di mata publik, tidak saja di Jakarta, tapi di seantero negeri justru menimbulkan empati dan simpati sebaliknya. Sepertinya cara-cara busuk dengan membusuk-busukkan Anies Baswedan, itu sudah mampu dibaca publik dengan baik. Memilih diterus-teruskan pastilah mubazir. (*) *) Kolumnis

Jokowi Tumbang Oleh Ulah Menteri

By M Rizal Fadillah Risma Menteri Sosial yang emosional wek wek ke mana-mana, memimpin dengan manajemen marah-marah sehingga menimbulkan kritik tajam. Tak pantas menjadi Menteri Sosial dengan modal jiwa a-sosial. Akting sinetron sapu-sapu bagai model teladan jadi bahan tertawaan. Malah menjadi pertanyaan akan kondisi kesehatan. Yaqut Menteri Agama terus bikin gaduh kepada umat beragama. Beragama Islam tetapi mengganggu ketenangan umat Islam. Dari rencana afirmasi Syi'ah dan Ahmadiyah, do'a semua agama, pengakuan agama Baha'i, hingga Kemenag hanya untuk NU dan menggandeng Kyai sesat ke Mabes Polri, umat resah dan mengkritik habis. Menteri Agama tak faham bagaimana mengayomi umat beragama. Premanisme dibawa ke ruang Kementerian. Nadiem Makarim pengusaha ojek online yang dikatrol jadi Menteri Pendidikan ternyata tidak menunjukkan kualitas Menteri terdidik. Dunia akademik diacak-acak. Tanpa makna kampus merdeka, liberalisasi dengan membuat road map menjauhi agama, dan terakhir membuat aturan yang membuka peluang seks bebas dan proteksi LGBT di Perguruan Tinggi. Nadiem menjadi Menteri Pendidikan yang dipaksakan untuk memenuhi mau-maunya Jokowi. Awal dianggap banyak potensi, namun prakteknya impotensi. Dunia pendidikan tampaknya bukan bidangnya. Bobot akademis tidak menunjang. Menteri BUMN Erick Thohir pengusaha yang membangkrutkan banyak BUMN. Karya BUMN dijual-jual meski atas nama perintah. Negara dijadikan lapak usaha. Terendus usaha pribadi masuk di Kementrian yang dipimpinnya. Meski dibantah, namun rakyat tidak percaya. Di era pandemi yang menyengsarakan rakyat, sempat-sempat mencari keuntungan berbisnis kesehatan. Konon bersama Menteri lain, Luhut Binsar Panjaitan. Nah Luhut lebih seru dan payah, Menteri segala Menteri ini diduga orang terkuat di belakang Presiden. Berjibun jabatan dipercayakan kepadanya. Bagai telah menerima "Super Semar" untuk menjalankan roda pemerintahan. Menko Investasi berujung jeblok investasi, Menko Maritim membentangkan jalur maritim buat negeri lain. Menko China-Indonesia yang menjadi Komandan penanganan pandemi ini dituduh masuk ke bisnis pandemi. Menteri yang sekaligus pengusaha memang dekat dekat dengan bisnis haram berbasis KKN. Hampir semua Menteri Jokowi tidak berprestasi bahkan bermasalah. Menteri Keuangan menjadi Menteri Perhutangan, Menteri Perdagangan menjadi Menteri Pengimporan, Menteri Mendes PDDT tidak menyejahterakan Desa malah diduga jual beli jabatan Kemendes PDDT. Jokowi salah memilih atau memang tidak bisa memilih. Oligarkhi faktanya menjadi pengendali dari kekuasaan. Desakan rakyat agar Menteri mundur atau dimundurkan mesti disikapi Presiden. Presiden harus bermusyawarah dengan oligarkhinya yang dipastikan susah atau serba salah. Menteri mundur berefek domino, Menteri dimundurkan memunculkan perlawanan. Gonjang-ganjing di Kabinet Jokowi akan semakin kuat. Memang yang terbaik sebagai solusi adalah Presiden yang mundur sehingga dapat ditata secara menyeluruh pemerintahan. Kembali ke relnya yang telah jauh melenceng. Jokowi yang bertahan hanya melanggengkan kebangkrutan, korupsi, bahkan penggerusan Ideologi dan Konstitusi. Ulah para Menteri membuka peluang kepada Jokowi untuk lebih cepat tumbang. Jalan semakin terseok-seok dan berat bertahan hingga akhir masa jabatan. *) Analis Politik dan Kebangsaan

Masih Adakah TNI untuk Rakyat?

Oleh: Yusuf Blegur Sebagai tentara rakyat Indonesia TNI biasanya hadir pada saat rakyat mengalami kesengsaraan. TNI selalu bersama rakyat dalam keadaan sesulit apa pun. Sebagai anak kandung rakyat, kekuatan yang lahir dari rahim rakyat, TNI tak akan sanggup melihat rakyat tertindas, hidup dalam penderitaan. Sebagai institusi kekuatan bersenjata,, TNI menjadi tempat perlindungan utama bagi rakyat dalam menghadapi musuh yang datang dari luar maupun dari dalam. Sejarah menoreh catatan emas perjalanan kekuatan dwi tunggal tersebut. Bahwasanya, TNI bersama rakyat berjuang bersama merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Baik dari penjajahan asing maupun pengkhianatan dari bangsanya sendiri. TNI juga merupakan pintu gerbang terakhir penyelamatan Pancasila, UUD 1945 dan keberlangsungan NKRI. Medan pertempuran yang dihadapi suatu negara saat ini, mungkin saja berbeda dengan model peperangan beberapa dekade yang lalu, dimana peperangan tidak selalu soal aneksasi atau penguasaan fisik dan dengan menggunakan kekuatan bersenjata. Kecenderungan perang kekinian menjadi lebih dinamis, modern, dan bervariasi. Penggunaan senjata tidak melulu dibutuhkan untuk penaklukan suatu negara. Seiring waktu, sesuai kemajuan zaman dengan pesatnya perkembangangan informasi dan teknologi, banyak cara satu atau beberapa negara menancapkan kuku kekuasaannya pada negara lain. Target kekuasaan juga tidak mutlak pada merebut atau menguasai keseluruhan suatu wilayah atau negara secara fisik semata. Dengan kata lain, penguasaan ekonomi, penguasaan politik dan penguasaan budaya suatu bangsa juga menjadi alat dan metode yang efisien dan efektif dari penjajahan. Proxy War, perang asimetri dan CBRE kini menjadi perang modern yang menyelimuti dan mengancam dunia. Menciptakan konflik untuk memecah belah, menguasai sumber daya alam, menciptakan pemimpin boneka, dan atau penguasaan fisik suatu negara, jika diperlukan bisa saja terjadi. Bahkan bisa melalui infiltrasi informasi, investasi dan agresi di pelbagai bidang. Tak bisa dipungkiri lagi, penjajajahan gaya baru bisa hadir melalui agitasi dan propaganda serta penyesatan informasi memanfaatkan media komunikasi. Seiring itu, bisa juga dipicu dari hubungan ekonomi yang dibangun melalui ekploitasi dan eksplorasi sumber daya alam berkedok investasi dan jebakan hutang luar negeri. Di lain sisi daya tarik geografis, geopolitis dan geostrategis mengundang syahwat kolonialisasi suatu negara terhadap negara lain. Memoderasi kapitalisme dengan istilah neo-kolonialisme dan neo-imperialisme. Membaca Posisi dan Kekuatan Negara NKRI yang rawan dan rentan terhadap penguasaan asing dan aseng, menyebabkan terbukanya peluang negara terpecah-belah dan kehilangan kedaulatan negara. Belum lagi ditambah pengeroposan dari dalam berupa korupsi dan pengekangan demokrasi dll. Upaya intervensi dari luar yang berisiko terhadap keberadaan dan eksistensi negara Indonesia, tidak serta-merta hanya karena ancaman kekuatan alutsista. Keruntuhan NKRI bisa saja terjadi karena hilangnya kedaulatan politik, lemahnya kemandirian ekonomi serta hancurnya kebudayaan nasional. Ciri-ciri sederhana dan dapat menjadi indikatornya ialah ketika negara digerogoti dari dalam oleh perilaku korup dan 'abuse of power'. Negara semakin melemah dan digantikan oleh kekuatan kelompok 'non state'. Hegemoni dan dominasi borjuasi korporasi besar pada akhirnya melahirkan oligarki yang mencengkeram birokrasi dan para politisi. Negara melalui aparaturnya harus tunduk pada kekuatan modal yang berwujud perusahaan lokal dan transnasional. Tanpa terkecuali para pemimpin insitusi negara, mulai dari kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, semua aparatur pemerintahan termasuk di dalamnya presiden, para menteri, DPR/MPR, Jaksa Agung, MA dan MK, tak luput juga TNI-Polri, hampir semua aparatur pemerintahan baik sipil maupun militer, berada dalam ketiak para cukong, mafia dan sindikat. Mereka tak ubahnya suatu pemerintahan boneka. Boneka-boneka cantik dan manis yang terlihat lugu yang terpajang di istana negara dan kantor-kantor pemerintahan. Reaktualisasi Kemanunggalan TNI dan Rakyat Negara dan bangsa Indonesia pada kondisi aktual dan faktual, telah menjadi rahasia umum berada dalam masa-masa genting. Bahkan, beberapa pemimpin negara dan media asing sudah berani menyorot keadaan Indonesia. Terlebih terkait ekonomi-politik soal banjirnya investasi plus hutang luar negeri dari Cina. Di dalam negeri sendiri, fenomena pengaruh dan kekuasaan orang-orang Cina telah merangsek ke pelbagai sendi kehidupan bangsa Indonesia. Telah kasat mata berupa determinasi, arogansi dan superioritas orang-orang Cina di Indonesia. Dahulunya hanya unggul di sektor ekonomi, etnis pendatang dari negeri komunis bermata sipit dan berkulit kuning itu. Kini telah menguasai panggung-panggung politik dan sistem pertahananan keamanan negara. NKRI telah membunyikan alarm bahaya. Ini menyangkut masa depan anak-cucu dan keberadaan negara bangsa Indonesia yang terancam. Siapakah yang mampu mengambil peran inisiatif menyelamatkan NKRI? Mungkin tulisan ini bisa menjadi harapan dan sekaligus pesan moral kepada TNI. Di saat umat Islam dan rakyat pada umumnya tak berdaya, hidup dalam ketidakadilan yang hanya menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan rakyat. Kepada siapa lagi rakyat berharap dan meminta pertolongan?, kecuali kepada TNI. Ada baiknya TNI dapat melakukan refleksi sekaligus evaluasi terhadap peran dan eksistensinya terhadap Pancasila, UUD 1945 dan NKRI. Terlebih terhadap adanya disparitas yang teramat lebar antara TNI dan rakyat. Masih sanggupkan TNI mengingat sejarah?. Masih sanggupkan TNI untuk tidak melupakan sejarah?. Kebersamaan dengan rakyat bahkan sebelum menjadi TNI. Saat masih menjadi BKR, TKR dan ABRI, di situlah momen dan perjuangan kemanunggalan TNI dengan rakyat yang tak bisa diabaikan dan dipisahkan keberadaannya di republik ini. TNI dan rakyat bahu-membahu, saling mengisi dan membantu mengatasi masalah kebangsaan bersama, menghadapi musuh penjajah yang datang dari luar maupun yang datang dari dalam. Negara menjadi saksi bisu bahwasanya TNI dan rakyat bersatu sejak masa perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia, pasca kemerdekaan hingga peristiwa 1965 dan lahirnya era reformasi. Tiada negara tanpa kemanunggalan TNI dan rakyat. Tiada Pancasila, UUD 1945 dan NKRI tanpa kemanunggalan TNI dengan rakyat. Keduanya adalah pahlawan yang mutlak dibutuhkan bagi keberadaan dan eksistensi ke depan republik ini. Seperti yang dikatakan negarawan, tiada negara yang selamat tanpa angkatan perangnya. Kekinian, menjelang peringatan hari pahlawan yang bertepatan dengan tanggal 10 November 2021, mungkin inilah momen sekaligus titik balik dari kebangkitan kemanunggalan TNI dan rakyat. Khususnya umat Islam dengan kalangan santri dan resolusi jihad dari ijtihad para ulama. Bersama TNI menjadi api revolusi yang mengguncang dunia. Semoga spirit 10 November 1945 yang menjadi representasi bersatunya TNI dan rakyat dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia, bisa menjadi kebangkitan NKRI. Jika peristiwa heroik bersatunya TNI dan rakyat dalam suasana keterbatasan, mampu memenangkan pertempuran fisik melawan kekuatan militer yang tidak seimbang, bahkan saat melawan tentara fasis sekutu yang baru saja memenangkan perang dunia ke-2, maka itu menjadi pelajaran sejarah yang teramat penting bagi TNI dan rakyat. Betapapun dalam ancaman dan tekanan sekalipun datang dari luar, bersatunya TNI dan rakyat akan sanggup menghadapi bangsa asing maupun aseng. Tentunya dengan rahmat Allah Subhanahu Wa Ta'Ala, mengiringi pekik perjuangan Merdeka dan Allahu akbar!. In syaa Allah. Penulis, Pegiat Sosial dan Aktivis Yayasan Human Luhur Berdikari