Pemindahan Ibukota Negara Bukan Kewenangan Presiden

Istana Merdeka Jakarta.

Bila La Ode benar, maka dapat dipahami jika ada desakan-desakan untuk segera pindah ibu kota negara. Tetapi di sisi lain, jikalau inilah kenyataan yang terjadi, Pribumi Nusantara Indonesia wajib bertanya: pembangunan ini untuk siapa sesungguhnya?

Oleh: Mochamad Toha, Wartawan FNN

ADA sebuah kajian menarik dari Pusat Kajian Sunda Varman Institute”. Ini saya kutip dari varmaninstitute.wordpress.com yang tayang pada 25 Januari 2020.

Disebutkan, Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Republik Indonesia adalah bagian dari sejarah berdirinya NKRI. Secara de facto Jakarta sebagai Ibu Kota Negara adalah bagian dari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Pengambil alihan kekuasaan Jakarta sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia dari Ibukota Hindia Belanda adalah bentuk nyata pengambil alihan kedaulatan Pemerintah Kolonial Belanda ke dalam pangkuan Pemerintah Republik Indonesia.

Penetapan Jakarta sebagai Ibukota Negara menyatu tak terpisahkan dengan Proklamasi kemerdekaan itu sendiri. Jakarta sebagai Ibukota NKRI bukan ditetapkan oleh sebuah kekuasaan Lembaga Negara yang manapun akan tetapi lahir bersama lahirnya NKRI. Sebagai bentuk atau lambang pengambil alihan Kedaulatan wilayah Hindia Belanda ke dalam Wilayah Kedaulatan Republik Indonesia.

Menjadikan Jakarta sebagai Ibukota NKRI yang semula sebagai Ibu Kota Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, bukanlah aib bagi Bangsa Indonesia, melainkan sebuah prestasi luar biasa.

Karena Jakarta bukan dihadiahkan dari Pemerintah Hindia Belanda sebagai Ibukota Republik Indonesia, melainkan direbut melalui sebuah perjuangan.

Maka Jakarta sebagai Ibukota NKRI bukan warisan Penjajahan tapi sebagai Monumen Bersejarah Perjuangan Bangsa Indonesia merebut Indonesia dari Pemerintah Kolonial Belanda.

Disebutkan, wacana memindahkan Ibukota NKRI dari Jakarta adalah sebuah pengkhianatan terhadap sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia, sebuah upaya merobohkan monumen bersejarah berdirinya NKRI.

Seorang Presiden sama sekali Tidak Mempunyai Kewenangan untuk memindahkan Ibukota Negara kecuali Negara dalam keadaan Darurat.

UU Nomor 10 Tahun 1964, bukanlah sebuah penetapan Jakarta sebagai Ibukota Negara, melainkan penetapan status Pemerintahan Daerah dalam wilayah Ibukota Negara. Penetapan Jakarta sebagai Daerah Khusus Ibukota dalam struktur Pemerintah Daerah, tanpa mengubah kedudukan Jakarta sebagai Ibukota Negara, yang disebut pada:

Pasal 1.
Daerah Khusus Ibu-Kota Jakarta Raya dinyatakan tetap sebagai Ibu-kota Negara Republik Indonesia dengan nama JAKARTA.

Dalam penjelasan UU Nomor 10 Tahun 1964 dengan jelas disebutkan secara Umum:

Bahwa dianggap perlu, Daerah khusus Ibu-Kota Jakarta Raya dengan Undang-undang dinyatakan dengan tegas tetap sebagai Ibu-Kota Negara Republik Indonesia dengan nama JAKARTA, mengingat telah termasyhur dan dikenal, serta kedudukannya yang, karena merupakan kota pencetusan Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 dan pusat penggerak segala kegiatan, serta merupakan kota pemersatu dari pada seluruh aparat, revolusi dan penyebar ideologi Panca Sila keseluruh penjuru dunia.

Penjelasan UU Nomor 10 Tahun 1964 di atas menyatakan dengan jelas bahwa Jakarta sebagai Ibukota Negara bukan ditetapkan oleh Lembaga Negara yang lahir bersama UUD 45, melainkan sebagai SUMBER HUKUM yang bersama Proklamasi melahirkan UUD 45.

Posisi Jakarta sebagai Ibukota Negara sebagai Sumber Hukum yang lebih tinggi dari UUD 45 itu sendiri. Dari kenyataanj ini tampak dengan jelas tak satupun Lembaga Negara yang berwenang memindahkan Ibukota Negara, apalagi hanya seorang Presiden yang kewenangannya terbatas pada masa jabatannya.

Apakah Ibukota Negara tidak bisa dipindahkan?Jawabnya BISA!

Jakarta sebagai Ibukota Negara bisa dipindahkan dengan syarat dilakukan oleh Pemilik Kedaulatan tertinggi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang disebut dalam Pembukaan UUD 45, yaitu RAKYAT INDONESIA.

Maka Pemindahan Ibukota NKRI hanya bisa dilakukan melalui referendum yang disetujui oleh Mayoritas mutlak Rakyat Indonesia.

Untuk Siapa?

DR Masri Sitanggang pada 16 September 2019 pernah menulis artikel yang sangat menarik. Kalimantan Timur sangat menjanjikan. Tidak perlu repot dan berbiaya mahal menimbun laut untuk menampung pemukiman para pendukung, seperti reklamasi teluk Jakarta.

Kaltim masih berupa “lahan kosong” murah dan luas. Diperkirakan tidak akan ada hambatan, apalagi persaingan yang berarti, dalam menguasai lahan luas di “ibu kota NKRI” Kaltim itu.

Apalagi, mayoritas penduduk asli Indonesia selalu senang menjual lahan dengan harga yang dapat sekedar memenuhi standar hidupnya. Perlu juga diteliti, jangan-jangan lahan yang ada di Kaltim itu pun memang sudah lama dikuasai kelompok tertentu itu.

Dominasi mereka di Kaltim (bila menjadi Ibu Kota NKRI) akan nyata, bukan lagi isapan jempol. Tak perlulah dibantah lagi. Merekalah yang paling siap untuk membangun dan bermigrasi ke sana karena mereka yang berkuasa secara ekonomi di Indonesia sekarang ini. 

Demografi akan drastis berubah. Migrasi besar-besaran (entah dari mana) ke Kaltim untuk mengisi real estate, kondominium, apartemen, kompleks bisnis sampai rumah susun.

Selanjutnya, melalui saluran demokrasi yang liberalistis sekarang, mereka – yang demikian exclussive mendukung sesamanya – akan mudah “lenggang kangkung” menuju kursi Gubernur dan DPRD Kaltim. Ibu kota NKRI akan sepenuhnya dikuasai.

Dengan kekuatan ekonomi dan politik, mereka akan dengan mudah pula menyulap Kaltim menjadi daerah khusus kelompok “kekuatan politik tertentu”. Tak akan ada lawan politik yang berarti. Ambisi mereka tercapai, tinggal menyempurnakan capaian tujuan politik yang lebih besar: Kuasai NKRI.

Belajar dari Lee Kwan Yew yang sukses menganeksasi kekuasaan Melayu atas Singapura. Kata La Ode (Trilogi Pribumisme, 2018 ), setelah Lee Kwan Yew memerintah Singapura, yang pertama kali dilakukan adalah dengan menggusur kampung-kampung dan menggantikannnya dengan rumah susun dan apartemen.

Alasannya adalah: pembangunan kualitas hidup manusia. Warga Melayu menempati rumah susun dan apartemen dengan cara sewa. Satu saat warga melayu tidak sanggup bayar sewa, karena harga sewa ditingkatkan,  langsung diusir dan diganti dengan Etnis China Singapura.

Akhirnya warga Melayu tersingkir dari negaranya sendiri dan digantikan oleh imigran China dari Taiwan, Hongkong dan RRC. Inilah strategi Sun Tzu yang jitu: “menang perang tanpa perang”.

Singapura – tanah  Melayu yang di dalam Sumpah Palapa Gadjah Mada disebut Tumasek, telah dianeksasi Etnis China.

Aneksasi serupa itu, kata La Ode, sedang diusahakan untuk diterapkan oleh kelompok ECI (Etnis China Indonesia) di Indonesia dalam tempo 2 kali 5 tahun ke depan. La Ode memperkirakan, pada 2027 atau 2029 ECI sudah berhasil menganeksasi pemerintahan Indonesia dari kekuasaan Pribumi Nusantara Indonesia. 

Langkah Lee Kwan Yew, menurut La Ode, sesungguhnya telah diterapkan oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok di DKI dalam rangka menjadikan Jakarta sebagai Singapura kedua. Tetapi ambisi mereka di DKI kandas. Pilkada terlalu cepat mendahului reklamasi dan Ahok terlalu percaya diri (untuk menghindari kata menyombongkan diri) sehingga terlalu cepat pula menunjukkan  wajah aslinya.

Seperti hendak mewanti-wanti, La Ode dalam bukunya itu merasa perlu menulis satu bab khusus tentang tujuan strategi politik ECI, yakni menganeksasi NKRI.

Demokrasi kita yang sudah bercorak liberal ini adalah jalan tol bebas hambatan bagi kelompok ECI –yang telah menguasai ekonomi Indonesia, untuk bertarung di bidang politik menguasai partai politik, menjadi kepala daerah, menjadi anggota legislatif dan menjadi apparatus yudikatif. 

Dalam kata pengantarnya La Ode menulis  “…bahwa ECI sebagai imigran China di Indonesia akan ‘mengambil alih’ kekuasan Pribumi Nusantara Indonesia atas NKRI melalui saluran demokrasi dalam tempo dua kali lima tahun ke depan. Rencana politik itu terhitung mulai 2019 – 2029. Upaya itu tidak disadari oleh hampir seluruh Pribumi Nusantara Indonesia.”

Akankah dimulai dari pemindahan ibu kota negara? Tahun 2019-2029!

Bila La Ode benar, maka dapat dipahami jika ada desakan-desakan untuk segera pindah ibu kota negara. Tetapi di sisi lain, jikalau inilah kenyataan yang terjadi, Pribumi Nusantara Indonesia wajib bertanya: pembangunan ini untuk siapa sesungguhnya?

Ada beberapa contoh di dunia yang gagal dengan ibu kota negara barunya. Ibukota Myanmar, Naypyidaw, berfungsi sebagai pusat administratif negara yang kini dikuasai junta militer.

Alhasil, Naypyidaw lebih banyak dihuni pegawai negeri sipil (PNS) serta anggota hingga pejabat militer Myanmar. Sudah 16 tahun Naypyidaw menjadi ibukota Nyanmar. Jadi, tidak terlalu berhasil.

Brazilia, kota di tengah hutan juga gagal. Ibukota Tanzania pindah dari Dar es Salam gagal. Aussie juga sempat ramai dengan rencana pindah ibukota, tapi karena ribut terus, akhirnya gagal. Hanya Putrajaya dan New Delhi yang pindahnya kurang dari 100 km dari ibukota lama yang berhasil.

Coba sekarang kita tengok kondisi IKN Penajam Paser Utara (PPU), Kaltim.

Daya dukung lahan: a) PPU sangat sukar air baku, akuifer tipis; b) Untuk air dangkal, membutuhkan rekayasa embung, ada sungai tetapi berbasis musim; c) Terdapat silangan sesar-sesar gempa; d) Membutuhkan teknologi yang cukup tinggi untuk mengolah lahan yang super mahal; e) Banjir karena air rob.

Apakah ekonomi perkotaan sekitarnya cukup kuat? a) PPU cukup jauh dari Balikpapan; b) Balikpapan dan Samarinda apakah cukup kuat mendukung IKN; c) Berbeda dengan Jakarta yang memiliki daya ungkit poleksosbud yang sangat tinggi; d) Jarak pemindahan tidak boleh terlalu jauh dari ibukota lama; e) Mohon lebih Rasional kalau IKN Lebih dekat Jakarta.

Menurut Prof. Widi A. Pratikto, Guru Besar ITS Alumni PPSA XV Lemhanas, dari analisa Hankam Negara – PPU sangat rawan serangan dari Darat, Laut, dan Udara. (*)

579

Related Post