Edi Mulyadi, Prabowo dan Suku Dayak, Bersandar di Ibu Kota Baru
Entahlah, sampai kapan kekuasaan terus menggunakan pengalihan isu. Ketidakmampuan mengatasi pelbagai problem bangsa, rezim kerapkali menutupinya dengan masalah-masalah yang tidak urgens, kotor dan menjijikan. Rekayasa sosial dan politik itu, selain mengaburkan masalah mendasar dan krusial. Juga beresiko tinggi berdampak konflik horisontal dan disintegrasi bangsa.
Oleh: Yusuf Blegur, Pegiat Sosial dan Aktivis Yayasan Human Luhur Berdikari
RAMAI di dunia maya terkait pernyataan Edi Mulyadi soal Macan mengeong dan tempat Jin buang anak. Statemen itu ditujukan kepada Prabowo dan daerah Kalimantan Timur yang menjadi ibu kota baru. Omongan yang viral itu sesungguhmya hanya menjadi sisipan atau bagian dari rangkaian pesan terkait polemik dan kontroversi pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Penajam Paser Utara. Menariknya, yang jadi heboh bukan pembahasan masalah mendasar dan krusial dari sikap menteri pertahanan RI dan pemindahan ibu kota negara, yang debatebel dengan persoalan kedaulatan negara, situasi ekonomi politik, dan dampaknya terhadap kelangsungan kehidupan rakyat dan NKRI.
Seolah-olah mengabaikan permasalahan-permasalah prinsip itu, alih-alih justru masalah Macan mengeong yang dialamatkan ke Prabowo dan penyebutan Kalimantan Timur sebagai tempat Jin buang anak, yang mengemuka. Dengan tidak menghilangkan rasa hormat kepada Prabowo dan warga Kalimantan Timur. Kalau memperhatikan struktur pembahasan materi secara secara utuh dari narasi yang disampaian Edi Mulyadi. Pada substansinya lebih mengangkat hal-hal yang terkait sistem, kebijajakan dan orientasi politik pembangunan. Termasuk pola kepemimpinan yang memahami aspek-aspek geografis, geopolitis dan geostrategis.
Sebagai salah satu contoh, misalnya penempatan Ibu kota negara yang tidak boleh terletak dekat dengan perbatasan negara atau mudah dijangkau dari potensi musuh atau serangan dari luar. Hal itu penting sebagai faktor utama keamanan negara. Tidak seperti Jakarta yang berada pada posisi sentral dan dikelilingi buffer zone sebagai pelindung. Dalam hal ini, gugatan terhadap seorang Prabowo yang menteri pertahanan itu, patut menjadi perhatian. Apalagi Prabowo termasuk sosok yang paling lantang bicara nasionalisme dan utamanya menjaga kedaulatan dan pertahanan NKRI. Prabowo lah yang sering mengusung tagline Indonesia akan menjadi Macan Asia atau wacana NKRI bubar tahun 2032. Wajar saja jika Edi Mulyadi membawa representasi itu pada persoalan pemindahan ibu kota dengan sosok Prabowo.
Kemudian, menyoal Jin buang anak yang tertuju pada wilayah Kalimantan Timur oleh lontaran Edi Mulyadi. Pada hakekatnya tidak ada tendensius atau motif tertentu untuk merendahkan, melecehkan atau menghina warga Kalimantan Timur. Ungkapan Jin buang anak yang terucap spontan itu hanya merupakan ilustrasi atau padanan kata kalau tidak bisa dibilang satir terhadap kondisi geografis ibu kota baru tersebut. Istilah Jin buang anak itu, telah menjadi perumpamaan umum yang sering dipakai publik untuk menggambarkan tempat yang jauh, sulit dijangkau dan mungkin melalui medan yang berat jika ditempuhnya. Jangankan di Kalimantan, dibeberapa tempat di Pulau Jawa pun masih banyak daerah yang bisa disebut tempat Jin buang anak. Bahkan kalau mau jujur, di wilayah yang berada dan tidak jauh dari jabodetabek masih ada tempat yang relatif susah aksesnya atau terisolir dan seperti lokasi Jin buang anak.
Jadi, mengenai tempat Jin buang anak ini seperti yang disampaikan Edi Mulyadi memang tidak ada maksud buruk atau itikad jelek, termasuk pada wilayah Kalimantan Timur. Sehingga tidak perlu mendapatkan reaksi yang berlebihan dari siapapun.
Kebisingan Menutupi Masalah Mendasar dan Krusial
Pemindahan ibu kota negara yang baru memang sangat dipaksakan. Selain beraroma kepentingan borjuasi korporasi berbalut oligarki. Kebijakan yang proses pembahasan dan legislasinya serampangan itu. Terlalu beresiko mengundang bahaya dan resiko tinggi. Selain dampak lingkungan fisik dan sosial budaya akibat dari konsep pembangunan yang tidak berbasis riset dan kajian kompeten. Publik masih ingat saat, Penajam Paser Utara dilanda banjir besar yang tidak surut hampir selama 1 bulan. Sepertinya rezim ini gagal fatal membangun pranata sosial dan pranata lingkungan bahkan sebelum Ibu kota baru dibangun. Pembabatan hutan, mengikis kekayaan adat dan menggusur kearifan lokal, menjadi alas kapitalisme berwujud kota mercusuar rezim. Belum lagi Anggaran pembangunan berbiaya hampir 500 triliun itu, 52%nya kini dibebankan pada ABN. Lagi, aksi tanpa kemaluan rezim yang awalnya tidak akan menggunakan APBN untuk proyek dengan akomodasi nyaman dan mewah bukan buat pribumi bumiputra.
Di lain sisi, sosok Prabowo yang meninggalkan catatan hitam dan kelam bagi pendukungnya saat memilih bergabung dengan rezim Jokowi. Bukan hanya menggugurkan karakter kepemimpinannya semata. Tak lagi dipercaya sebagai sosok negarawan yang tegas dan berwibawa. Pendukungnya dan atau sebagian besar rakyat kini menganggapnya pecundang berjiwa kerdil. Menghapus kepribadiannya yang sempat dielu-elukan rakyat sebagai pemimpin negara yang mengaum bagai Macan di Asia. Prabowo kini macan yang mengeong ketika menghadapi realitas kebangsaan dan perbagai persoalan yang menimbulkan penderitaan rakyat. Boleh jadi satir Edi Mulyadi benar adanya, bahwasanya Prabowo telah jauh berubah. Berubah karena kekuasaan dan kekuasaan yang merubahnya.
Dengan demikian, bagi Prabowo dan warga Kalimantan Timur. Manakah yang lebih merendahkan, melecehkan dan menghina baik kepada Prabowo maupun Warga Kalimantan Timur?.
Perampasan lahan hutan dan dampaknya yang telah membunuh peradaban lokal dan ekosistem lingkungan. Serta kedok oligarki dan borjuasi korporasi yang sejatinya adalah neo kolonialisme dan imperialisme. Mereka semua itu yang berpotensi menghancurkan NKRI?. Atau istilah Macan mengeong dan tempat itu yang harus dihadapi dengan perang?.
Bangkitlah seluruh rakyat Indonesia. Sadarlah dan gunakan akal sehat. Tetaplah mampu membedakan mana yang responsif dan mana yang reaksioner. Jangan biarkan terus negeri ini diselimuti kebisingan yang menutupi masalah mendasar dan krusial.
Semoga logika tidak ikut jungkir balik juga. (*)