OPINI
PCR-Gate Harus Diusut
By M Rizal Fadillah PENURUNAN harga pemeriksaan Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) menjadi 275 ribu untuk Jawa Bali dan 300 ribu untuk luar Jawa Bali berlaku mulai 27 Oktober yang diumumkan Presiden cukup menggembirakan tetapi juga mengejutkan. Gembira karena turun harga, terkejut karena membayangkan keuntungan banyak pihak ketika harga 500 ribu atau sebelumnya 900 ribu atau diawal pandemi yang berharga satu hingga dua juta rupiah. Saat 500 ribu saja resmi keuntungan senilai 150 persen. Adapun komponen penentuan harga pemeriksaan PCR adalah : Pertama, jasa dokter, tenaga lab, tenaga ATLM, jasa pengambilan spesimen. Kedua, komponen alat medik habis pakai (hazmat, masker N95, cover kepala, dan lainnya). Ketiga, komponen Reagen. Keempat, biaya operasional termasuk administrasi. Dan kelima, keuntungan. Hal yang menjadi perhatian bersama adalah kemungkinan hadir penumpang gelap dari permainan harga, pemburu rente, dan mafia yang berhubungan dengan budaya korupsi yang melekat pada para pejabat terkait. Tingginya angka dan biaya impor menjadi titik rawan korupsi tersebut. Apalagi jika didukung oleh rasa aman penggunaan dana APBN akibat berlakunya UU No 2 tahun 2020 yang membebaskan gugatan atau tuntutan hukum. Penting pula untuk dibandingkan dengan biaya PCR India yang dapat hanya 500 Rupee atau 96 ribu rupiah. Mengapa perlu pengusutan dugaan skandal PCR ini, yaitu : Pertama, penurunan harga yang anjlok jauh dari 2 juta menjadi 300 ribu, berarti selama ini ada keuntungan besar yang "dimainkan" pengusaha fasilitas kesehatan yang tidak lepas dari peran pengambil kebijakan. Said Didu mensinyalir regulasi pemerintah dan beban rakyat itu justru menguntungkan swasta. Swasta tentu tidak bisa bermain sendiri tapi perlu "bantuan" regulator. Kedua, Mahkamah Konstitusi dengan Putusan no 37/PUU-VIII/2020 tanggal 28 Oktober 2021 mengoreksi UU No 2 tahun 2020 membatalkan hak imunitas pemerintah atas tuntutan hukum dalam hal penggunaan dana APBN sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3). Pembiayaan jor-joran dengan menggunakan dana APBN untuk penanganan Covid 19 yang kemarin aman kini menjadi terancam. Ketiga, di tengah beban berat yang menyengsarakan rakyat atas berbagai regulasi Pemerintah di masa pandemi, ternyata pengusaha fasilitas kesehatan bersama para pejabat terkait (juga yang tak terkait) justru meraup keuntungan besar dari proyek kesehatan penanganan Covid 19. Kondisi ini tidak bisa ditoleransi karena mempraktekkan asas "mencari kesempatan dalam kesempitan" adalah suatu kekejian. Aneh sebenarnya, mengapa Presiden yang justru mengumumkan penurunan harga, padahal penetapan tarif baru tersebut hanya berdasarkan Surat Edaran Dirjen Pelayanan Kesehatan No AK 02.02/1/3843/2021 tentang Batas Tarif Tertinggi Pemeriksaan RT-PCR yang mulai berlaku terhitung tanggal 27 Oktober 2021. Terhadap dugaan bahwa terjadi skandal dalam program pemeriksaan RT-PCR ini, maka semestinya Presiden Jokowi segera memerintahkan jajarannya untuk melakukan pemeriksaan atau pembenahan tata kelola keuangan yang dinilai publik mencurigakan tersebut. Jika Presiden diam saja, maka wajar jika publik dapat berpandangan jangan-jangan Presiden juga menikmati keuntungan dari permainan harga pemeriksaan PCR tersebut. Audit dan pemeriksaan menyeluruh harus segera dilakukan. Menarik data KPK bahwa 70 persen pejabat di masa pandemi ternyata meningkat harta kekayaannya, termasuk para menteri apakah Luhut, Prabowo, Johni Plate, ataupun Yaqut Cholil Qaumas. Bagaimana keadaan harta Presiden Jokowi ? *) Analis Politik dan Kebangsaan
Dagelan yang Tak Mengundang Kelucuan
Oleh Ady Amar *) ORANG boleh menyebut ini dengan aneh bin ajaib, saat logika hukum coba dinafikan, dan itu tanpa aturan hukum. Setidaknya itu bisa terlihat dalam persidangan pembunuhan tanpa proses hukum (unlawful killing) atas tewasnya 6 syuhada laskar Front Pembela Islam (FPI), di mana tokoh utama dalam pusaran kasus itu, Habib Rizieq Shihab, dianggap sebagai pihak yang tidak perlu diminta kesaksiannya. Unlawfil killing atas tewasnya 6 syuhada itu tidak terlepas dari Habib Rizieq, bahkan kasus itu seolah bagai prangko yang menempel pada amplop, mustahil terpisahkan. Tentu jika kasus itu kita bedah secara obyektif, bersandar pada kaidah hukum itu sendiri. Habib Rizieq mestinya menjadi pihak utama yang "wajib" didengar kesaksiannya, baik oleh Komnas HAM, polisi, dan jaksa, karena mereka yang terbunuh itu sedang mengawalnya. Hal biasa santri mengawal ulama/kyainya, sebagaimana yang dilakukan 6 anak muda itu. Dalam tugas pengawalan itulah peristiwa pembunuhan tragis itu terjadi, yang mustahil bisa dihilangkan dari memori publik. Penembakan yang terjadi di Km 50 tol Jakarta-Cikampek, pada 7 Desember 2020, yang dikenal dengan Tragedi Km 50. Tepat diseberang tempat kejadian terdapat rest area, yang kini sudah tidak bisa ditemukan lagi, dibongkar-diratakan dengan tanah. Jejak rest area yang seolah ingin dikubur bersama para syuhada, yang mustahil bisa "terkubur" dengan nyenyak. Kasus itu pastilah akan terus menghantui siapa saja yang terlibat dalam upaya penghilangan nyawa anak manusia, baik aktor intelektual maupun eksekutornya. Kasus Tragedi Km 50 sudah hampir setahun, tapi baru Senin, 18 Oktober 2021 diangkat ke pengadilan. Dua terdakwa unlawful killing dihadirkan, Ipda Yusmin Ohorella dan Briptu Fikri Ramadhan. Satu lagi terdakwa yang semestinya dihadirkan di persidangan, yaitu Ipda Elwira Priadi Z, tapi keburu meninggal dunia, pada 4 Januari 2021. Meski luput di sidang pengadilan dunia, mustahil bisa lolos di pengadilan akhirat kelak. Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan dipilih sebagai tempat disidangkannya dua terdakwa tadi. Menyita perhatian publik, terutama para keluarga yang kehilangan anak-anaknya. Mereka, para keluarga korban, menantikan keadilan yang sebenarnya. Meski tampaknya itu sulit bisa didapat, bahkan bisa terjadi sebaliknya. Bukan keadilan yang didapat, justru kekecewaan. Sidang pengadilan ini dihadirkan bak dagelan dan lucu-lucuan, setidaknya itu yang disampaikan Aziz Yanuar, SH, salah seorang pengacara pihak keluarga. Tendensi pengadilan dengan corak "dagelan", menjadi wajar jika lalu Habib Rizieq Shihab, yang masih berada di tahanan Bareskrim Polri, meminta agar Komisi III DPR RI, memanggil pihak-pihak berkompeten, diantaranya jajaran Kapolri, Jaksa Agung, Komnas HAM, Menkopolhukam dan bahkan Presiden, untuk memastikan sidang pengadilan berjalan fair. Semestinya tanpa diminta pun Wakil Rakyat wajib mengawal jalannya persidangan, agar keadilan semestinya bisa dihadirkan. Permintaan sewajarnya itu tampaknya belum akan direspons positif, setidaknya signal respons itu belum terdengar. Semoga itu bukan ibarat tangan menangkap angin yang tanpa hasil. Melihat kecenderungan jalannya persidangan, di mana tersangkanya adalah polisi, dan penyelidiknya pun polisi. Layaknya semacam jeruk makan jeruk. Ditambah lagi, jaksa penuntut umum (JPU), juga menghadirkan mayoritas saksi yang juga polisi. Melihat "pemandangan" demikian, jika lalu muncul sikap skeptis, tentu menjadi wajar. Seperti Menghafal Skenario Konstruksi peristiwa coba dibangun, alur kronologi dikisahkan dengan detail, sampai laku diuraikan secara rinci, itu agar Majelis Hakim bisa menerima argumen yang dibangun tim JPU. Maka dimunculkan sesosok saksi bernama Ratih, yang mengatakan melihat samurai dari hasil penggeledahan di mobil warna abu-abu milik laskar FPI. Lalu, Ratih menceritakan dengan ingatannya yang sungguh super, meski pada saat tertentu ia mengatakan bahwa ia tidak ingat karena peristiwa sudah cukup lama. Terbangun dari lelap tidur di warung tempatnya bekerja, cerita Ratih dimulai, ia mendengar bunyi rem mobil yang seperti mengerem mendadak. Ia melihat laki-laki dengan celana pendek membawa pistol menghampiri mobil warna abu-abu milik laskar FPI, sambil mengetuk-ngetukkan pistolnya di kaca mobil, sambil berseru kasar, keluar... keluar... Maka 4 orang keluar dari pintu sebelah kiri. Satu dari 4 orang itu diperintah tiarap. Lanjut cerita Ratih, lelaki bercelana pendek itu lalu menggeledah mobil dan menemukan 4 ponsel genggam. Luar biasa saksi Ratih ini, yang bahkan di kegelapan malam/dini hari pun bisa melihat dengan jelas samurai, dan bahkan ponsel sampai jumlahnya segala. Ingatan Mbak Ratih cukup rapi sebagai saksi. "HP yang diambil ada 4, yang memeriksa saya sudah lupa berapa orang soalnya sudah lama. Yang di dalam mobil diperiksa, ada 2 orang, yang satu diseret keluar mobil dan yang satu dibawa dengan mobil polisi," ujar Ratih dalam kesaksiannya. Saksi kedua pun dihadirkan. Namanya, Eis Asmawati binti Solihan. Ia sohib si Ratih, yang bekerja di warung yang sama. Ternyata Eis punya penemuan lain. Ia katakan, bahwa ia melihat ada 4 buah samurai. Beda dengan si Ratih yang hanya melihat 1 samurai. Bisa jadi pandangan mata satu orang dengan yang lain tidak sama. Yang satu bisa melihat dari kejauhan benda kecil (ponsel) dengan baik sampai pada jumlahnya, tapi pada kesempatan yang sama ia tidak bisa melihat jumlah benda yang lebih besar (samurai) dengan baik. Pengelihatan jadi dikesankan sama dengan hafalan pada skenario sebuah drama, yang terkadang lupa diingat dengan baik. Setidaknya itu yang dikesankan para saksi. Tugas pengacara nantinya yang bisa mengulik satu persatu apa yang disampaikan para saksi yang dihadirkan. Tapi satu hal yang semua tahu, bahwa membawa senjata tajam apalagi senjata api, itu hal yang terlarang bagi laskar FPI. Waktu nantinya yang bisa menjawab semuanya. Jika pengadilan dunia tidak menghadirkan rasa keadilan, maka pastilah di pengadilan akhirat semua pihak yang turut andil dalam pelenyapan nyawa anak manusia, akan menerima konsekuensi atas perbuatannya. Pernyataan Pak Syuhada, ayah dari salah satu korban, Faiz Ahmad Syaikhu, yang mengatakan dengan penuh kecewa dan geram, "Sidang abal-abal itu tidak akan sedikit pun memenuhi rasa keadilan. Justru sebaliknya, semakin menambah (rasa) kezaliman di mata rakyat." Perasaan Pak Syuhada, itu bisa jadi mewakili perasaan keluarga para korban lainnya, yang merasakan kesumpekan hati melihat keadilan sedang tidak berpihak pada nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. (*) *) Kolumnis
Membonsai Umat Islam
Oleh Yusuf Blegur Setelah beberapa dekade, gelombang stigma intoleran, radikalis dan fundamentalis menerpa umat Islam, kini isu khilafah dicap sebagai konsep negara yang berbahaya, tak kalah dahsyatnya dibuat seperti wabah yang menjangkiti perspektif politik Islam. Islam terus menerus dibentuk dan dipaksa dengan framing jahat konspirasi global. Seakan tiada tempat bagi gerakan kesadaran dan peran Islam dalam peradaban dunia modern. Islam hanya diberi ruang ritual keagamaan, namun tidak bagi eksistensi politik. Kemenangan Taliban di negara Afganistan yang dipimpin khilafah, tidak serta-merta membuat dunia berhenti mengecap Islam sebagai negara teroris. Justru semakin membuat kewaspadaan terhadap Islam semakin meningkat. Fragmentasinya juga berimbas di Indonesia. Sentimen keislaman semakin subur dengan agitasi dan propaganda bahaya khilafah di Indonesia. Sebagai negara dengan mayoritas muslim terbesar di dunia. Indonesia termasuk negara yang paling terdampak signifikan dari upaya membangun stereotip umat dan agama Islam. Islam terkesan menjadi agama dengan populasi yang eksklusif, tertutup dan tidak ramah terhadap komunitas luar. Padahal Islam adalah agama yang mengusung konsep 'rahmatan lil a'lamin'. Agama yang visioner dan futuristik yang menembus batas dimensi lahiriah dan spiritual. Agama wahyu Ilahi yang meretas kehidupan dunia dan akherat. Globalisasi kemudian bersikeras mencoba menurunkan anti tesis nilai-nilai Islam dalam program-progam dunia bertajuk demokratisasi, HAM, lingkungan, perubahan iklim, perdagangan bebas dsb. Secara tidak langsung menjadi kesepakatan internasional yang harus diikuti oleh negara-negara dunia ketiga termasuk umat Islam didalamnya. Umat Islam tanpa sadar dipaksa keluar dan meninggalkan syariat Islam. Tak ubahnya populasi yang hidup diluar habitatnya. seperti ikan yang dipisahkan dari air. Selain terus melakukan ekspansi prinsip-prinsip dasar kapitalisme (penguasaan bahan baku, produksi dan distribusi pasar) pada seluruh dunia. Persaingan dan pertarungan ideologi kapitalis dan sosialis yang direpresentasikan oleh Amerika Serikat dan China beserta sekutunya masing-masing. menempatkan kedua mainstream itu sebagai pemain utama dunia. Sepertinya globalisasi yang mengusung sekulerisasi dan liberalisasi. Melanjutkan kembali era perang dingin saat Amerika Serikat dan Uni Soviet berseteru. Saat ini dunia diselimuti kecenderungan "proxy war" atau perang asimetri. Dunia modern membuka diri terhadap berlangsungnya perang "Chemical, Biologycal, Radio Active and Explosive" (CBRE) dan Siber. Sebuah situasi dimana bukan saja perang informasi dengan memanfaatkan era digitalisasi. Namun memungkinkan penggunaan senjata biologis saat terjadi konflik antar negara. Situasi perang yang jika benar-benar terjadi dapat menciptakan pemusnahan massal umat manusia. Dunia kini berada dalam pusaran pengaruh kekuatan Amerika dengan dukungan negara-negara seperti Inggris, Perancis, Italia dll. Begitupun dengan China yang didukung Rusia, Korea Utara, India dll. Sejalan dengan bergulirnya waktu, polarisasi keduanya tidak sekedar memasuki pertarungan ideologi semata. Melainkan memperebutkan pengaruh dan penguasaan ekonomi, politik dan sistem pertahanan keamanan. Skema yang dibutuhkan untuk mengatur dan mengelola masyarakat dunia. Dua kutub dominan itu merangsek bersinggungan mengambil posisi sebagai poros tunggal kehidupan dunia. Dunia dalam satu kendali atau penguasaan kelompok dan kepentingan tertentu. Sebut saja Kaum free mansion, illuminati, gerakan anti Tuhan dll. Dunia disiapkan memasuki era 'new order'. Fase hegemoni dan dominasi tidak sekedar bertumpu pada persoalan ideologi semata. Lebih dari itu ia menyasar pada hal-hal yang substansial meliputi aspek geografis, geopolitis dan geostrategis. Dimana penguasaan sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya ekonomi lainnya begitu strategis dan menjadi target utama. Lewat perang dagang yang berkolerasi erat dengan lembaga-lembaga dunia, korporasi besar dan bank dunia seperti IMF dan ADB yang menggulirkan manajemen hutang internasional. Ada kecenderungan pengaruh global yang dipimpin oleh kekuatan 'non state'. Dunia terasa dalam konstelasi peperangan kolonialisme dan imperialisme modern. Oleh satu kendali dan oleh satu penguasaan kelompok atau kepentingan tertentu. Islam Sebagai Potensi Sekaligus Ancaman Di tengah-tengah keberadaan Islam sebagai agama doktrin dan peradaban manusia. Islam dilihat dunia khususnya oleh kekuatan kapitalis dan komunisme. Tidak sekedar sebuah ajaran yang rasional dan transedental. Umat Islam menjadi lebih menarik ditempatkan sebagai pasar dan komoditi yang menggiurkan. Islam di satu sisi sebagai satu potensi, dilain sisi menjadi ancaman terhadap keberlangsungan sistem yang dibangun dari pemikiran manusia dan ideologi kontemporer. Bagi urusan dunia yang digerakkan oleh distribusi modal dan sektor industrial. Islam dengan populasi yang semakin tumbuh dan luas sebarannya di dunia. Menjadi rentan korban eksplorasi dan eksploitasi globalisasi. Kegagalan negara-negara dengan mayoritas umat Islam membangun sistem nilai dan syariat Islam. Membuat umat Islam dunia terombang-ambing dan gamang layaknya populasi ternak. Dipelihara, dikembang-biakkan sesuai kebutuhan dan dimanfaatkan oleh kelompok dan komunitas tertentu. Sebagian diproyeksikan untuk diperjual-belikan dan menjadi peliharaan, sebagian lagi disembelih sebagai hewan potong untuk dikonsumsi. Seperti itu kira-kira fenomena umat Islam dianatomikan dan direkonstruksi dunia. Begitu pun umat Islam di Indonesia. Selain sistem politik yang sekuler dan pemimpin-pemimpin yang kental sebagai sub-koordinat atau menjadi agen kapitalisme dan komunisme. Tidak jauh berbeda dengan muslim di negara lain. Diidentifikasikan dalam demografi kelas sosial, wilayah dan jumlah. Tetap dalam posisi termarjinalkan. Tak peduli sebagai mayoritas dan minoritas atau bentuk negara. Bahkan termasuk dikawasan negara-negara Islam di kawasan timur tengah dan jazirah Arab sekalipun. Umat Islam mengalami kebuntuan dalam menderifikasi dan mem-breakdown konsep-konsep keagamaan Islam dalam membangun peradaban dunia. Terlebih terkait sistem ekonomi syariah umat. Islam justru menjadi menjadi 'captive market' dari industrialisasi yang ditopang oleh ideologi di lslam. Mirisnya, secara langsung dan tidak langsung umat Islam menjadi 'human resources' sekaligus mesin-mesin penggerak industri kapitalis dan komunis dunia. Umat Islam benar-benar telah mewujud sebagai korban dari apa yang disebut eksploitasi manusia atas manusia dan eksploitasi bangsa atas bangsa. Larut dari apa yang menjadi keniscayaan globalisasi. Melalui orientasi materlialistik dan kebendaan. Sistem kapitalisme dan komunisme memapar umat Islam dalam pelbagai lapisan. Gaya hidup hedonis mulai menjalar dari masyarakat Islam yang awam, intelektual, para pejabat hingga tidak sedikit Ulama sekalipun. Sebagian besar umat Islam mulai tercerabut pola pikir, ucapan dan tindakannya dari aqidahnya. Umat Islam begitu berjarak dan semakin menjauh dari syariat Islam sendiri. Benar apa yang kemudian dilansir Al Quran dan sunah, umat Islam akan diserang oleh pandemi modern yang sebenarnya berupa kecintaan pada dunia dan takut akan kematian (Wahn). Sekulerisasi dan liberalisasi terlalu dalam melingkupi pola hidup umat Islam. Umat Islam mengalami kemunduran tidak hanya karena kekuatan musuh-musuh Islam yang agresif dan penuh siasat semata. Lebih dari itu keterpurukan umat Islam juga lahir dari distorsi dalam lingkungannya sendiri. Selain tidak menjaga serta merawat barisan dan ukuwah Islamiyah. Tidak sedikit umat Islam yang menggadaikan dan menjual aqidahnya demi harta dan kedudukan. Bahkan untuk menghancurkan saudara Islamnya sendiri. Akhirnya terbukti dan menjadi kenyataan pahit bahwa musuh-musuh Islam itu tidak berasal dari kalangan kafir, komunis dan zionis yahudi saja. Orang-orang Islam yang oleh Al Quran disebut tergolong munafik dan fasik semakin nyata muncul seiring waktu bergulir. Mungkin ini yang disebut masa jahiliyah hadir kembali ditengah peradaban manusia modern?. Apakah umat Islam harus mengalami titik nadir dalam degradasi kehidupan keagamaanya. Sampai kapan dunia begitu leluasa membonsai umat Islam?. Adakah keberanian khususnya di Indonesia untuk menghadirkan kebangkitan umat Islam?. Wallahu a'lam bishawab. Penulis, Pegiat Sosial dan Yayasan Human Luhur Berdikari.
Muslim Palsu
By M Rizal Fadillah MUSLIM palsu adalah yang mengaku muslim tetapi tidak berjender Islam. Manusia yang tak jelas celupan warnanya. Dia laki-laki tetapi berlenggak lenggok perempuan atau perempuan berotot dan melotot seperti laki-laki. Muslim palsu bukan yang dikehendaki Allah dan Rosul-Nya. Ambivalen karakternya. Muslim yang tidak meyakini syari'at Islam. Benar penilaian hakiki ada pada Allah SWT akan tetapi sesama insan tentu dapat menilai juga berdasarkan kriteria yang ada dalam Al Qur'an atau Sunnah. Tipe apakah sebenarnya dia. Ketika Al Qur'an sebagai 'furqon' membagi kelompok manusia kepada mu'min, kafir, dan munafik, maka parameter untuk menentukan kategori insan tersebut menjadi sangat jelas. Ayat menerangkan ciri untuk masing-masingnya. Mu'min adalah mereka yang berkeyakinan dan menjalankan penuh keutuhan ajaran baik akidah, sya'riah, maupun akhlakul karimah. Kafir, di samping jelas di luar beragama Islam, juga muslim yang menentang akidah, syari'ah dan akhlak nubuwah. Munafik adalah beragama Islam formal, mengklaim beriman, akan tetapi ragu terhadap kebenaran Islam. Menginterpretasi Islam sesuai dengan hawa nafsu dan fikiran sendiri. Tanpa basis dalil atau ketentuan. Sholat dan puasa adalah syari'at, begitu juga dengan zakat dan haji. Cara nikah, membagi waris, atau berwakaf dan berekonomi tanpa bunga adalah syari'at pula. Lebih jauh syari'at mengatur soal larangan LGBT, makan babi, serta aturan pidana baik yang "qath'i" (pasti) maupun "maqasid as syari'ah" (maknawi). Syari'at memiliki keluasan penerapan. Tidak menjalankan apalagi meragukan syari'at sebagai hukum Allah dapat dikualifikasikan sebagai kafir atau zalim (Al Maidah 44-45). Deklarasi Ade Armando cukup menarik. Dengan alasan kebebasan berpendapat ia menyatakan mengaku muslim tetapi tidak yakin syari'at itu wajib bagi muslim. Syari'at dalam Al Qur'an hanya berlaku untuk waktu lalu. Soal kebebasan berpendapat ya oke oke saja, cuma menyatakan syari'at tidak wajib bagi muslim adalah keliru dan dapat menyinggung keyakinan. Di sisi lain keyakinan Ade tentu membuka peluang pada orang lain juga untuk boleh dan bebas menilai Ade Armando. Boleh juga berpendapat atau bertanya Ade Armando itu muslim bukan ? Atau boleh juga jika orang berpendapat dan menyatakan bahwa Ade Armando adalah muslim palsu. Jika tak suka pada pandangan atau penilaian demikian, cepat luruskan pemahaman syari'at untuk keyakinannya itu. Syari'at itu wajib bagi muslim, bahwa implementasi beragam itu persoalan lain. Jika tak yakin bahwa syari'at itu wajib, lalu buat apa Ade Armando sholat? Atau mungkin benar apa yang disebut Nabi dengan "alladziina yusholuuna walaa yusholuun" Mereka yang sholat tetapi sebenarnya tidak sholat. Atau memang Ade juga ragu bahwa sholat itu adalah syari'at dan hanya berlaku dahulu di zaman Nabi saja? Jika Ade Armando paham akan tata hukum Indonesia, syari'at Islam itu sebenarnya sebagian sudah menjadi hukum positif, karenanya sebagai akademisi ia tak patut mempermasalahkan syari'at Islam dalam konteks keyakinan umat Islam. Penegakan syari'ah bukan hal tabu atau terlarang sepanjang pertanggungjawaban akademik, filosofis dan sosiologis dapat diterima. Nah Ade Armando yang selalu nyinyir kepada umat Islam perlu diingatkan bahwa muslim itu tidak cukup hanya percaya pada Allah dan Rosul-Nya, tetapi harus menjalankan apa yang disyari'atkan oleh Allah dan Rosul-Nya itu. Bagi muslim yang menolak syari'at hanya dua kemungkinan yaitu kafir atau munafik. Mengerikan dan menyedihkan. Selain itu yang biasa jadi corong Ade Armando adalah Cokro TV yang kerjanya lebih banyak memojokkan Islam dan umat Islam, karenanya wajar jika umat Islam beranggapan bahwa Cokro TV itu sama saja dengan kerja Cokrobirowo. Pasukan Cakra. *) Analis Politik dan Keagamaan.
Jika Sudah Vaksin, Seharusnya Tes PCR Tidak Perlu Lagi!
Oleh: Mochamad Toha Sesuai arahan Presiden Joko Widodo sebelumnya, Pemerintah menurunkan harga tes Covid-19 dengan metode polymerase chain reaction (PCR). Apakah ini modus hanya untuk menghabiskan stok alat PCR? Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kemenkes Abdul Kadir mengatakan, tarif tertinggi tes PCR di Jawa-Bali kini menjadi Rp 275 ribu. Di luar Jawa-Bali, harga tertinggi tes PCR Rp 300 ribu. Abdul Kadir menambahkan hasil swab test PCR Covid-19 ini harus keluar dalam 1x24 jam. “Hasil RT PCR dengan tarif tersebut dikeluarkan dengan durasi maksimal 1x24 jam dari pemeriksaan swab RT PCR,” ujarnya. Dalam konferensi pers secara daring yang disiarkan YouTube Kemenkes, Rabu (27/10/2021), Abdul Kadir menyatakan, tarif tersebut, diputuskan setelah melakukan evaluasi atas komponen-kompenen tes PCR. Seperti layanan, harga reagen, biaya administrasi overhead dan komponen biaya lainnya yang disesuikan pada kondisi saat ini. Tes PCR ini diterapkan untuk seluruh moda transportasi, bukan hanya udara saja. Kewajiban menggunakan PCR untuk naik pesawat itu diatur dalam Surat Edaran Nomor 21 Tahun 2021 yang dikeluarkan Satgas Covid-19. Kebijakan tersebut menuai polemik di masyarakat di tengah kasus Covid-19 di Indonesia yang mulai menurun. Apalagi, harga PCR tidak semurah antigen yang sebelumnya boleh digunakan sebagai syarat terbang. Salah satu penyebab mahalnya alat tes swab PCR adalah 100 persen masih dipasok melalui jalur impor. Pemasok alat tes tersebut di antaranya adalah China dan Malaysia. BPS menyebut, nilai impor PCR selama Januari-Juni 2021 mencapai USD 362,02 juta atau senilai Rp 5,1 triliun (kurs Rp 14.100). Impor alat tes PCR tersebut dilakukan dari beberapa negara tetangga. Di antaranya, Singapura yakni mencapai USD 11 juta atau Rp 154,5 miliar. Indonesia juga mengimpor PCR dari Malaysia senilai USD 155.922 (sekitar Rp 2,1 miliar). Kemudian dari Filipina USD 1.544 atau sekitar Rp 21,6 juta, dan Vietnam USD 72.256 atau sekitar Rp 1,01 miliar. Selain dari beberapa negara tetangga ini, PCR juga diimpor dari Guatemala senilai USD 327 atau sekitar Rp 4,57 juta. Selain itu, Indonesia juga doyan impor alat PCR dari India. Sepanjang semester I sebesar USD 257.357 atau sekitar Rp 3,6 miliar. Tapi, yang paling banyak, alat PCR diimpor dari Korea Selatan dan China. BPS mencatat selama periode tersebut total impor PCR dari Negeri Ginseng nilainya mencapai USD 144,2 juta. Sementara impor PCR dari China yang nilainya USD 99 juta. Selama periode Januari-Agustus 2021, BPS mencatat impor instrumen tes PCR mencapai 203.236 kg atau setara 203,2 ton, dengan nilai USD 31,99 juta atau setara Rp 452,98 miliar (kurs Rp14.156). Data tersebut belum termasuk impor reagent untuk analisis PCR. Reagent adalah pereaksi kimia berbentuk cairan yang digunakan untuk tes PCR. Menurut data BPS, impor reagent untuk tes PCR pada periode Januari-Agustus mencapai 4.315.634 kg (4.315 ton) dengan nilai USD 516,09 juta atau setara Rp 7,3 triliun. Berdasarkan data BPS, impor instrumen PCR (kode HS 90278030) tertinggi berasal dari China. Berikut daftar negara importir instrumen PCR terbesar: China 66.609 kg, senilai USD 9.226.860; 2. Amerika Serikat 24.515 kg, senilai USD 5.198.481; 3. Jepang 18.509 kg, senilai USD 1.957.504; 4. Jerman 8.467 kg, senilai USD 1.239.612; Korea 16.712 kg, senilai USD 5.169.928; 6. Taiwan 48.708 kg, senilai USD 5.071.544; 7. Singapura 3.553 kg, senilai USD 1.790.964; 8. Swiss 2.983 kg, senilai USD 633.280; Hong Kong 1.570 kg, senilai USD 300.281; 10. Swedia 1.159kg, senilai USD 211.438; 11. India 1.159 kg, senilai USD 154.171. Tak hanya itu, China juga menjadi pengekspor reagent (kode HS 38220090) terbesar ke Indonesia. Berikut ini daftar 10 negara eksportir reagent PCR terbesar: China 1.616.780 kg, senilai USD 169.862.517; 2. Korea 760.631 kg, senilai USD 181.297.615; 3. Singapura 724.205 kg, senilai USD 15.324.331; 4. Amerika 315.787 kg, senilai USD 40.079.512; Jerman 255.198 kg, senilai USD 33.801.228; 6. Jepang 202.584 kg, senilai USD 5.256.722; 7. Prancis 90.754 kg, senilai USD 14.201.329; 8. Swedia 81.252 kg, senilai USD 11.784.296; Irlandia 42.106 kg, senilai USD 4.566.838; 10. Italia 42.513 kg, senilai USD 3.373.563. Nilai impor alat tes PCR Indonesia mencapai Rp 2,27 triliun per 23 Oktober 2021. Direktorat Bea dan Cukai mencatat lonjakan impor alat tes PCR terjadi pada bulan Juni lalu, di mana terjadi lonjakan kasus Covid-19. Di bulan Juni saja, nilai impor tercatat mencapai Rp 523 miliar. Berdasarkan data Bea dan Cukai, perusahaan swasta adalah entitas yang mendominasi kegiatan impor PCR mencapai 88,16 persen, lembaga non profit hanya 6,04 persen, dan pemerintah 5,81 persen. Anggota Komisi VIII DPR Bukhori Yusuf, mengkritik keras rencana untuk memberlakukan syarat wajib tes PCR bagi semua moda transportasi jelang libur natal dan tahun baru. Bukhori juga mempertanyakan sikap Presiden Jokowi dalam merespons tuntutan publik. Alih-alih mendengar aspirasi rakyat untuk menghapus syarat wajib tes PCR, presiden justru memberi arahan untuk menurunkan tarif tes PCR menjadi Rp 300.000. “Jika pertimbangan pemerintah murni demi kesehatan dan mitigasi risiko gelombang ketiga, maka tentunya bukan tes usap PCR yang menjadi syarat mutlak untuk perjalanan, melainkan cukup rapid test antigen,” ujarnya. Sebab, lanjutnya, tujuan dari tes PCR adalah untuk tes konfirmasi Covid-19, sedangkan rapid test antigen adalah untuk screening,” tutur Bukhori di Jakarta, Rabu (27/10/2924). Ia juga mengendus ada indikasi persaingan bisnis di balik kebijakan syarat wajib tes PCR bagi pelaku perjalanan. Penyedia layanan tes PCR menjamur di sejumlah tempat dengan menawarkan harga berlapis. Kabar24.bisnis.com (15/08/2021) menulis, produk impor alat kesehatan itu kebanyakan didatangkan dari China dengan nilai transaksi mencapai US$ 541,3 juta atau 49,61% dari keseluruhan negara penjual. Importir alat deteksi Covid-19 seperti PCR dan tes Antigen didominasi oleh kelompok perseorangan atau korporasi non-pemerintah. Mereka memegang 77,16% aktivitas impor alat kesehatan untuk penanganan Pandemi Corona di Tanah Air. Pemerintah hanya memegang 16,67% dari keseluruhan aktivitas impor alat kesehatan penanganan Covid-19 itu. Sisanya, 6,18%, pengadaan barang dari luar negeri dilakukan oleh lembaga non-profit. Korporasi non-pemerintah itu tidak sepenuhnya memiliki latar belakang bisnis yang konsen pada urusan kesehatan masyarakat. Dalam dokumen importasi itu menunjukkan ada perusahaan bidang kecantikan, tekstil, hingga ketel uap. Alat deteksi Covid-19 seperti PCR dan tes Antigen diimpor dengan nilai USD 530,6 juta atau menyentuh di angka 52,2% dari keseluruhan pengadaan alat kesehatan yang didatangkan dari sejumlah negara pemasok. Perinciannya, impor PCRmenembus di angka USD 340,5 juta (31,20%) dari keseluruhan alat kesehatan yang dibeli dari luar negeri. Ihwal rapid test, importir dalam negeri membeli dengan nilai USD 190,1 juta atau 17,42%. Produk impor alkes itu kebanyakan didatangkan dari China dengan nilai transaksi mencapai USD 541,3 juta atau 49,61% dari keseluruhan negara penjual. Diikuti Korsel dengan nilai transaksi USD 150,5 juta atau 13,5% dari keseluruhan negara mitra. Di luar negeri, ternyata tes PCR sudah tidak diperlukan lagi. Seorang WNI yang baru pulang dari Turki bercerita, ketika ia datang di negara itu, tidak ada pemeriksaan PCR maupun karantina. Tapi, ketika ia pulang ke Indonesia, masih wajib karantina beberapa hari di hotel atau tempat yang disediakan pemerintah. Di luar negeri, kalau sudah divaksin, sudah cukup, tidak perlu tes PCR lagi. Sogrok Hidung Pernahkah Anda membayangkan risiko tes swab hidung yang ternyata bisa menyebabkan cedera? Selama ini kita tidak pernah berpikir akan risikonya bila petugas yang melakukan tes swab dengan pelatihan minimal. Meski secara umum masih dianggap aman, usap hidung dan nasopharing bukan tanpa risiko. Individu yang melakukannya dengan pelatihan minimal punya risiko cedera yang jauh lebih tinggi daripada nakes terlatih. “Beberapa kasus menunjukkan kemungkinan cedera intrakranial ketika tes tidak dilakukan dengan tekkik dan prosedur yang benar,” ungkap Dr. dr. Hisnindarsyah, SE, MKes, MH, CFEM, dokter di salah satu rumah sakit di Tanjung Pinang. Komplikasi yang timbul, mulai dari patahnya tangkai usap jika dilakukan oleh orang yang tidak profesional, terjadinya mimisan atau perdarahan hidung karena cara yang tidak benar atau gangguan menelan. Bahkan juga bisa beresiko terjadinya kebocoran cairan serebrospinal (CSF), ensefalokel, dan meningitis. Meski sangat jarang terjadi, karena posisinya yang jauh dari tempat pengambilan usap, tapi kemungkinan itu tetap ada. Penulis Wartawan FNN.co.id
Fit & Proper Test Calon Panglima TNI, Gimmik Politik Yang Perlu Diakhiri
Oleh Brigjen TNI (Purn) Drs. Aziz Ahmadi, M. Sc. HARI-HARI ini, DPR cengklungen (dalam ketidakpastian). Begitu pula, rakyat yang diwakilinya. Layaknya, ngenteni thukule jamur ing mongso ketigo (menunggu tumbuhnya jamur di musim kemarau). Menunggu Surat Presiden (Surpres), terkait pengajuan nama calon Panglima TNI, menggantikan Marsekal TNI Hadi Tjahjanto. Patut dan Layak Setiap pergantian Panglima TNI, selalu menarik perhatian khalayak. Faktor daya tariknya bervariasi. Ada yang karena siapa, dan kenapanya. Tapi, ada juga karena prosedur dan mekanismenya. Merujuk UU No. 34/2004, tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Tertuang pada Pasal 13, yang seluruhnya terdiri dari 10 ayat. Di sini diatur ritual atau prosedur pergantian Panglima TNI. Ayat (2) berbunyi : Panglima diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah mendapat persetujuan DPR. Terhadap ayat (2) ini, diberi penjelasan sebagai berikut : Yang dimaksud dengan persetujuan DPR, adalah pendapat berdasarkan alasan dan pertimbangan yang kuat tentang aspek moral dan kepribadian, berdasarkan rekam jejak. Namun kenyataanya, berbeda. Antara kehendak pada penjelasan dengan praktiknya, tidak sejalan. DPR, tidak menjalankan apa yang tertuang dalam penjelasan ayat (2) tersebut. Sebaliknya, DPR justru terjebak dalam mal praktek sendiri. Sejauh ini, DPR melampaui dan menyimpang dari spirit dan substansi penjelasan ayat (2) dimaksud. DPR, dengan sengaja, "keliru berkreasi." Melakukan gimmik politik, dengan apa yang disebut, "uji kepatutan dan kelayakan" (fit & proper test), terhadap calon Panglima TNI. Di bawah rezim UU No. 34/2004, sudah 6 (enam) dan akan 7 (tujuh) - calon Panglima TNI yang menjadi korban salah tafsir, terhadap ayat (2), pasal 13, beserta penjelasannya, itu. Korban pertama, adalah, Marsekal TNI Djoko Suyanto. Acting Kepala Staf TNI AU (KSAU) saat itu. Alhamdulillah, Marsekal Djoko Suyanto dinyatakan lolos oleh Komisi I/DPR RI, dan kemudian ditetapkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sebagai Panglima TNI ke 16, terhitung mulai tanggal, 13 Februari 2006 s/d 28 Desember 2007. Prerogratif Presiden Kini tiba saatnya, mengakhiri ayat (2), pasal 13, UU No. 34/2004, tersebut. Artinya, Presiden mengangkat/memberhentikan Panglima TNI, tidak perlu meminta persetujuan DPR lagi. Sekaligus "mengakhiri" mekanisme uji kepatutan dan kelayakan terhadap calon Panglima TNI. Pointnya, prosedur pergantian Panglima TNI, kembalikan dan percayakan sepenuhnya kepada hak prerogratif Presiden", selaku pemegang kekuasaan tertinggi (PKT) atas TNI AD, TNI AL, dan TNI AU. Kenapa perlu diakhiri? Pertama, mekanisme fit & proper test (terhadap calon Panglima TNI), tidak ada landasan hukum/aturan yang jelas. Kedua, bersifat paradoks dengan spirit dan substansi penjelasan Ayat (2), pasal 13, UU No. 34/2004, itu sendiri. Ketiga, uji kepatutan dan kelayakan terhadap calon Panglima TNI, hanyalah kreasi atau gimmik politik, yang kurang substantif. Keempat, - ini yang terpenting - mengandung *berbagai resiko dan implikasi, yang amat merugikan TNI. Resiko & Implikasi Adapun risiko & implikasi negatif, yang harus dihindari, adalah sebagai berikut : Pertama, Membelah Kesatuan Komando & Loyalitas Tegak Lurus TNI. Itulah, ruh dan sendi utama organisasi militer. Namun, dengan dilibatkannya DPR cawe-cawe menentukan calon Panglima TNI, berarti membelah kesatuan komando dan loyalitas tegak lurus TNI. Patut diduga, bakal terjadi loyalitas ganda, dari TNI. Tidak hanya tegak lurus kepada Presiden, tapi terbagi dan bercabang kepada DPR. Dari sini bisa timbul kerancuan komando dan kontestasi kepentingan secara terselubung, yang sama sekali tidak menguntungkan TNI. Kedua, Terjadi Kembali Politisasi Terhadap TNI. Persetujuan DPR, melalui mekanisme fit & proper test adalah proses politik. Nuansa dan aroma politiknya, begitu kental dan kentara. Tentunya, amat paradoks dengan semangat reformasi TNI. Disadari atau tidak, semestinya TNI steril dari hiruk-pikuk politik - langsung atau tidak langsung keseret-seret kembali ke wilayah politik praktis. Ini berarti, "menggaruk di atas luka yang kemudian bisa menggoda sisa-sisa birahi politik militer, bangkit kembali. Ketiga, Menghambat Proses Institusinalisasi TNI. Semua itu secara signifikan, akan berpengaruh negatif terhadap proses institusonalisasi TNI. Bahkan bisa menghambat dan menggagalkannya. Cita-cita membangun budaya TNI, yang profesional, disiplin, militan, dedikatif dan modern, akan terkendala. TNI kehilangan fokus, dan hanya menjadi komoditas yang layak untuk diperebutkan, sesuai kepentingan politik tertentu. Keempat, Menyemai Korupsi Politik Dalam Tubuh TNI. Persetujuan DPR melalui mekanisme fit & proper test, membuka peluang yang amat lebar bagi calon Panglima TNI, berkompetisi secara tidak fair. "Calon Panglima TNI, adalah juga manusia". Dalam kondisi tertentu, bukan tidak mungkin terjadi kompetisi dan kontestasi yang tidak sehat, dari sesama calon Panglima TNI. Apakah sekadar kontestasi elektabilitas, agar memenuhi kriteria untuk dicalonkan oleh Presiden. Atau sebuah kompetisi keras dengan mengerahkan segala modalitas yang ada. Itu semua bisa mengarah pada korupsi politik dalam beragam bentuknya. Bisa berupa kebijakan, janji, posisi tawar, bahkan uang, dan lain-lain, untuk mendapat atau tidak mendapat persetujuan dari DPR. Catatan Akhir UU No. 34/2004 tentang TNI, sudah saatnya direvisi/ditinjau kembali. Ada sejumlah pasal atau ayat yang idol atau tidak dapat dilaksanakan secara semestinya. Tentunya termasuk pengakhiran & penghapusan Pasal 13 ayat (2) tentang persetujuan DPR terhadap calon Panglima TNI, yang diajukan oleh Presiden. Tapi, jika memang masih dirasa perlu diteruskan, harus ada mekanisme dan pengaturan yang clear, clean dan legal. Bukan seperti saat ini. Sekadar gimmik politik, sebagai ajang gagah-gagahan semata. (sws)
Masih Membual Pindah Ibu Kota?
By M Rizal Fadillah Di tengah bobroknya pemerintahan dengan BUMN yang banyak merugi, demokrasi terseok-seok, proyek ambisius seperti bandara dan kereta cepat yang tidak bergerak, mangkrak dan membengkak, Jokowi tetap 'keukeuh' untuk merealisasikan proyek pemindahan Ibukota ke Kalimantan. Tidak bisa mengukur diri kesannya. Suara rakyat diabaikan, "anjing menggonggong kafilah berlalu". Sepertinya dalam benak hanya ada proyek dan proyek. Proyek jalan tol, pelabuhan, bandara, LRT, kereta cepat, termasuk proyek pemindahan ibukota (IKN). Pengalaman mencatat kegagalan demi kegagalan. IKN akan dibayang-bayangi pula oleh kegagalan. Biaya mahal menjadi paket proyek membual. Ibu Kota Negara (IKN) berpotensi gagal disebabkan : Pertama, ini proyek yang tidak difahami dan diterima rakyat, bukan kehendak rakyat tetapi keinginan pemerintah bahkan mungkin Presiden dengan oligarkhinya saja. Proyek proyek yang tidak berbasis kepentingan dan dukungan rakyat selalu berantakan. Ironinya bangunan yang pertama akan didirikan adalah Istana Presiden. Weleh. Kedua, biaya besar sekitar 500 Trilyun tidak jelas sumber pendanaannya. Baru dalam RUU IKN disebutkan sumbernya adalah APBN, aset BUMN, Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) dan swasta murni. Betapa berat untuk menyedot dana APBN dan aset BUMN yang kondisinya kini semakin morat-marit. Status ekonomi Indonesia sudah turun kasta setingkat Timor Leste dan Samoa. Ketiga, anggaran biaya yang berpotensi membengkak dua atau tiga kali lipat dari prediksi. Sebagaimana juga proyek kereta cepat Jakarta Bandung yang awal hanya beranggaran 60 Trilyun, sekarang sudah 114 Trilyun. Diragukan IKN "hanya" 500 Trilyun. Artinya APBN bakal babak belur lagi. Debt trap menjadi konsekuensi dan niscaya. Keempat, memindahkan ibukota dengan membangun dari nol bukan hal yang mudah. Yang realistis adalah pindah ke lokasi yang awalnya sudah menjadi Kota dengan potensi pengembangan. Lagi pula ke Penajam Kaltim berjarak sangat jauh dari Jakarta. Berimplikasi luas, termasuk perpindahan sumber daya manusia yang cukup rumit. Kelima, ada kondisi psiko-politis yang dapat menghambat agenda, yaitu kekhawatiran daerah pemukiman baru di ibukota akan diisi oleh orang-orang yang dikategorikan "mampu membeli" dan dominan untuk itu bukanlah orang pribumi. Ibukota baru menjadi tempat migrasi baru untuk penguasaan area. New Singapore. Keenam, dari sisi pertahanan dan keamanan Ibukota relatif lebih rawan. Berada di ruang yang kosong, bukan padat penduduk. Untuk sistem Pertahanan Rakyat Semesta sangatlah sulit diterapkan dan ancaman bahaya lebih besar mengingat jumlah TNI aktif yang dimiliki hanya 434 ribu. Berbeda dengan di Jawa, khususnya Jakarta dimana pengerahan kekuatan rakyat jauh lebih mudah dan murah. Ketujuh, terhadap Ibukota lama yang ditinggalkan ternyata rencananya akan dilakukan jual-jual aset Pemerintah. Lalu siapa pembeli dari kekayaan negara ini ? Apakah rakyat dari bangsa Indonesia yang disebut pribumi kah ? Dipastikan tidak. Pemindahan Ibukota diragukan urgensi dan ketepatan lokasi pilihannya. Meski partai-partai politik di parlemen telah dikuasai dan RUU IKN akan mudah disetujui oleh DPR RI, akan tetapi perlu direnungkan mendalam akan ketepatan putusannya. Situasi pandemi dan keuangan yang berat serta hutang luar negeri yang besar, sulit untuk difahami dan diterima proyek ambisius ini. Ini adalah proyek Jokowi dan oligarkhi serta pemburu rente. Bukan proyek rakyat atau kepentingan bangsa dan negara. Rakyat merasa lebih butuh pada program nyata kerakyatan ketimbang Ibukota baru. Proyek Ibukota baru adalah penciptaan kesengsaraan baru. Batalkan saja. *) Analis Politik dan Kebijakan Publik
Laboratorium Blok Masela di Unpatti Melanggar Kebebasan Akademik?
by Ahmad Lohy Ambon FNN - Kasak-kusuk nama proyek Pembangunan Laboratorium Terpadu Penyangga Blok Masela yang ditempatkan di Universitas Pattimura (Unpatti) terdengar jadi perbincangan. Proyek ini mulai diperbincangkan di kampus Unpatti, khususnya para mahasiswa. Sekilas proyek ini terdengar sepertinya membanggakan bagi mahasiswa Unpatti, khususnya untuk mahasiswa Fakultas Teknik. Namun proyek pembangunan laboratorium penyangga gas abadi Blok Masela bakal bakal menuai polemik. Sebab proyek tersebut merupakan hasil kerjasama perusahaan dengan pemerintah terkait pengelolaan minyak dan gas Blok Masela. Pastinya proyek tersebut berorientasi kepada profit. Realitas ini tentu akan menghadapkan Unpatti pada satu keadaan yang disebut dengan conflict of value. Dimana perusahaan atau korporasi bakal selalu memprioritaskan kebutuhannya ketimbang kebutuhan-kebutuhan pendidikan di kampus Unpatti. Hal ini patut dikhwatirkan akan menjadi tragedi buruk untuk dunia pendidikan. Bukan tidak mungkin, ke depan Fakultas Teknik Unpatti akan menghadapi potensi dominasinya korporasi terkait pembangunan proyek tersebut. Mengingat proyek nasional yang diadakan melalui Kementerian Pendidikan dan Perguruan Tinggi (Kemendikti), yang notabene menangani bidang pendidikan dan perguruan tinggi ini tiba-tiba meluncurkan proyek Laboratorium Terpadu Penyangga Blok Masela. Kemungkinan bakal menimbulkan polemik dan perdebatan. Upaya apa dibalik diksi yang di gunakan? Mengapa tidak dinamakan Proyek Pembangunan Laboratorium Fakultas Teknik Unpatti saja? Mengapa harus bernama Laboratorium Terpadu Penyangga Blok Masela? Apakah penamaan ini berhubungan dengan perjanjian kerja sama antara Unpatti dengan PT. Inpex? Jika Unpatti adalah Perguruan Tinggi Nasional yang dimiliki pemerintah, mengapa pihak universitas harus melakukan MoU dengan PT. Inpex? Padahal, yang kita ketahui bersama bahwa laboratorium yang dibangun tersebut untuk kepentingan penelitian akademis di fakultas teknik yang terdiri dari berbagai jurusan, yaitu; Teknik Perminyakan, Teknik Geologi, Teknik Kimia dan Program Studi Geofisika. Apakah hal ini yang disebut kapitalisasi Pendidikan dengan modus penamaan? Tidak hanya sampai di situ. Seperti dikutip dari kabarnews.com, terkait pernyataan Wakil Rektor Bidang Perencanaan Kerjasama dan Sistem Informasi Dr. Muspida, bahwa penelitian sampel-sampel di laboratoriun nantinya menjadi pemasukan untuk universitas. "Misalnya, sampel-sampel geologi, kimia atau yang lain itu kan tidak gratis diperiksakan di lab sini, jadi pendapatan universitas-lah," ujar Muspida. Masyarakat bisa menduga-duga Unpatti mau disandra untuk kepentinan perusahaan. Proyek ini sebagai indikasi bahwa tujuan dan target yang dibangun para pejabat tinggi Unpatti ke depan, sarat dengan kepntingan kapitalisasi dunia akademik untuk kepentingan mendapatkan keuntungan uang. Target komersial seperti ini yang harus dihindari dunia perguruan tinggi. Perguruan tinggi harus tetap steril dari semuan kepentingan dan kebutuhan komersial. Sebab bukan untuk itu perguruan tingga diadakan. Untuk diketahui, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi bagian kedua paragraf satu terkait Kebebasan Akademik, Kebebasan Mimbar Akademik dan Otonomi Keilmuan, pada pasal 8 ayat (1) menyatakan , "dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berlaku kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan". Seterusnya dibahas dan dipertegas dalam pasal 9 ayat (1) bahwa "kebebasan akademik sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (1) merupakan kebebasan civitas akademika dalam pendidikan tinggi untuk mendalami dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara bertanggung jawab melalui pelaksanaan Tridharma". Dengan demikian, sumbangsih pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat berupa ilmu pengetahuan dan teknologi harusnya menjadi semangat untuk menghasilkan suatu karya yang original. Perguruan Tinggi harus melahirkan karya yang mendorong serta membentuk sesuatu yangg bermanfaat dalam lingkungan masyarakat. Bukan untuk mendapatkan keuntungan komersial semata. Sebagai kelompok civitas akademika, yang cenderung kepada tradisi ilmiah dengan mengembangkan budaya akademik sebagaimana dijelaskan dalam UU Perguruan Tinggi. Kini tradisi ilmiah tersebut secara tidak langsung mulai terkooptasi dan berafiliasi dengan kepentingan kapital. Jika benar, maka sungguh ironis dunia pendidikan kita. Penulis adalah Wartawan FNN.co.id
Yaqut Bukan Yakult
Oleh: Yusuf Blegur Bahkan, Yakult yang cuma berupa minuman kesehatan dengan rasa yogurt itu, begitu bermanfaat bagi yang mengonsumsinya. Selain enak rasanya, minuman yang sudah terkenal seantero Indonesia itu bisa didapat masyarakat dengan mudah dan dengan harga yang relatif murah. Setidaknya, meski cuma minuman kemasan sederhana, Yakult telah memberikan kontribusi bagi dunia kesehatan di Indonesia. Berbeda dengan Yaqut. Seorang Menteri Agama RI yang memiliki nama lengkap Yaqut Cholil Qoumas, mantan Ketua Umum Banser itu, sejak menjadi menteri agama RI kerapkali membuat pernyataan kontroversi. Bukan hanya menimbulkan keresahan. Yaqut juga menuai kecaman dan gugatan dari publik. Terutama dari kalangan umat, tokoh dan pemimpin-pemimpin Islam. Lontarannya dianggap sering merendahkan umat dan agama Islam. Sebagai seorang menteri agama di negara yang mayoritasnya beragama Islam. Yaqut yang muslim sudah seharusnya mengayomi kehidupan umat beragama, terlebih kepada umat Islam. Ia sudah sepantasnya bisa membangun keselarasan dan keharmonisan antar umat beragama serta keleluasaan umat menjalani kehidupan keagamaannya masing-masing. Namun Yaqut selama menjadi menteri agama. Lebih dikenal sebagai pejabat yang suka mengumbar sikap yang terkesan antipati terhadap agama Islam. Tak cuma diskriminasi dan politisasi, ia gencar mereduksi Islam. Sebagian besar masyarakat mengecap Yaqut cenderung anti Islam. Berikut beberapa kebijakan dan sikapnya Yaqut yang tidak mencerminkan kelayakan seorang pemimpin agama dan umat. Yaqut mungkin satu-satunya menteri agama yang pernah ada menghabiskan dana fantastis sebesar 21 miliar hanya untuk sekedar mengumumkan pembatalan pemberangkatan jamaah haji Indonesia. Yaqut pun menjadi menteri agama pertama yang merubah jadwal libur Peringatan Hari Besar Islam hingga dua kali. Yaqut juga ikut membenarkan bahwa semua agama sama di hadapan Tuhan. Yaqut juga pernah secara terbuka menyampaikan ia tidak menginginkan populisme Islam berkembang luas. Yaqut jugalah salah satu pejabat yang kekayaannya bertambah saat kehidupan rakyat tercekik karena pandemi. Yaqut yang kader Nahdatul Ulama (NU), belakangan ini juga menuai reaksi keras dan luas dari rakyat. Akibat celotehannya soal kementerian agama merupakan hadiah buat NU, bukan untuk agama Islam. Sebuah narasi yang sangat berbahaya. Beresiko pada perpecahan dan potensi konflik antar agama dan sesama pemeluk agama. Serbuan Sekulerisasi dan Liberalisasi Islam Perilaku Yaqut yang konyol dan asal. Boleh jadi merupakan polarisasi dari NU yang terlhat semakin sekuler dan liberal. Meski tidak mewakili NU secara utuh. Para petinggi dan Kyai NU yang kultural dan struktural. Terasa nyaman dan menikmati dalam arus besar NU, saat ormas Islam itu mengusung dan menopang kekuasaan pemerintah. Wajah kekuasan yang menampilkan dua muka. Satunya kental kapitalistik, satunya lagi sarat anasir komunisme. Sepertinya NU dan pemerintah merupakan pasangan sejoli yang sedang memadu kasih. Yaqut seperti menjadi representasi dari NU sekaligus pemerintah yang kian hari semakin gandrung membatasi Islam dalam konteks keagamaan maupun eksistensi politik. Yaqut tak ubahnya menjadi anggota paduan suara dari grup kekuasaan yang menggeliat dan bersikeras membuat Deislamisasi. Bersama vokalis lainnya seperti ulama tak berjalan lurus, Ade Armando dan geng buzzerRpnya, para artis beriman kritis, serta para politisi haus duniawi. Islam di Indonesia mengalami musim-musim penistaan. Islam dirundung liberalisasi dan sekulerisasi. Pecat Yaqut Secepatnya Sebelum Yaqut melenceng lebih jauh dan perangainya berkembang menimbulkan masalah yang lebih serius. Ada baiknya pemerintah belajar dari kasus Ahok yang melecehkan surat Al-Maidah. Jangan sampai menimbulkan gejolak yang jauh lebih besar. Pemerintah harus segera mengambil langkah-langkah yang tepat dan tegas. Dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Tidak ada pilhan yang lebih baik selain mencopot jabatan Yaqut Cholil Qoumas sebagai menteri agama. Secepatnya dan sesegera mungkin. Ia terlanjur memiliki resistensi yang terlalu besar dan berpotensi memicu konflik keagamaan. Yaqut bisa menjadi triger dari perpecahan bangsa. Ia dapat merusak persatuan dan kesatuan nasional. Begitulah langkah bijak yang bisa diambil pemerintah. Terlebih jika pemerintah tidak mau disebut sebagai dalang dari semua politisasi dan kriminalisasi ulama dan umat Islam. Framing Islam yang stereotif berupa Islam intoleran, radikal dan fundamental. Bisa saja diarahkan ke pemerintah jika terus membiarkan orang semodel Yaqut masih memimpin kementerian agama. Semua sikap skeptis dan apriori umat Islam mungkin bisa terobati sedikit dengan tindakan tegas terhadap Yaqut. Kalau perlu tindakan hukum seperti yang banyak disuarakan tokoh dan pemimpin Islam. Pada akhirnya Rakyat khususnya umat Islam bisa menilai. Tampaknya bagaimanapun juga Yakult menjadi lebih baik dari seorang Yaqut. Bahwasanya, meski cuma minuman kesehatan. Yakult tidak diharamkan dan tidak merusak agidah umat Islam. Tidak seperti Yaqut. Penulis, Pegiat Sosial dan Aktifis Yayasan Human Luhur Berdikari.
Berhala Soekarno
By M Rizal Fadillah INSTRUKSI Megawati kepada kadernya agar di setiap daerah dibuat patung Soekarno bukan hal yang bagus, bahkan kontroversial dan bakal banyak penentangan. Dinilai berlebihan dan keluar dari proporsi sebuah penghormatan. Kultus individu merupakan esensi dari keberhalaan. Berhala baru itu bernama Soekarno. Alih-alih bangsa akan menghormati sesuatu yang berlebihan bahkan bisa sebaliknya yaitu menghinakan. Jika ada dimana-mana artinya barang obralan, murahan. Sadarkah Megawati akan aspek psikologis seperti ini ? Jika dibuat di kantor PDIP mungkin masih wajar, tetapi jika membuat banyak di luar area internal kepartaian maka menjadi tidak wajar. Menghargai Soekarno sebagai Proklamator bukan dengan membuat patung tetapi memaknai spirit perjuangannya yang hebat dan berkobar-kobar. Kekeliruan pandangan dan instruksi dari Ketum PDIP Megawati untuk membuat patung Soekarno dimana-mana itu adalah : Pertama, Proklamator itu bukan hanya Soekarno sendirian tetapi dengan Moh Hatta. Jika alasan sebagaimana dikemukakan Mega untuk menghormati dan mengenal Proklamator, maka patung itu semestinya adalah Soekarno bersama Moh Hatta. Tentu Mega atau kader akan berkeberatan karena yang dikehendaki adalah tampilan Soekarno seorang. Kedua, sebagaimana singgungan Megawati soal umat Islam, meski dengan tendensius menyebut umat Islam garis keras, masih banyak di kalangan umat yang memahami bahwa pembudayaan patung adalah di luar ajaran Islam. Bisa mengganggu keimanan dan pencitraan relijiusitas bangsa. Tak ada hubungan dengan keras atau lunak karena banyak dalil untuk itu. Ketiga, Soekarno bukan lah tokoh sempurna, sehingga jika dikultuskan, maka kelak mungkin akan ada buka-bukaan atas cacat-cacat Soekarno, baik soal perempuan, diktatorial, kedekatan dengan PKI, permusuhan dengan ulama, atau lainnya. Artinya menjadi boomerang. Keempat, mengingatkan kedekatan Soekarno dengan komunis akan menimbulkan sikap antipati dan perlawanan dari umat Islam dan TNI. Ada luka dan kejengkelan sejarah yang dibangkitkan kembali melalui patung Soekarno yang ada dimana-mana tersebut. Kelima, persoalan politik itu fluktuatif. Kini PDIP adalah pemenang lalu Megawati bisa berbuat leluasa untuk menyosialisasikan dan menampilkan figur Soekarno dalam bentuk patung. Namun jika nyatanya PDIP kalah dan tidak berkuasa, dimungkinkan terjadinya penghancuran patung Soekarno dimana-mana. Dan hal ini dapat membuat dada menjadi sesak. Jadi instruksi Megawati mesti dievaluasi realisasinya karena dapat menjadi kontra-produktif. Penghormatan lebih efektif dilakukan melalui pemberian pelajaran sejarah pada generasi muda dengan baik dan konstruktif, jujur dan tidak manipulatif. Benar bahwa Soekarno adalah Proklamator akan tetapi juga seorang Diktator. *) Analis Politik dan Kebangsaan