OPINI
Pemuda Sebagai Energi Perubahan
Oleh: Yusuf Blegur Begitu banyak refleksi terhadap kejadian masa lalu yang bisa diambil sebagai pelajaran dan bekal membangun bangsa ke depan. Hamparan peristiwa tentang negara dari sejak cikal bakal, tumbuh dan menjadi. Betapa leluasa menceritakan kisah-kisah tentang masa-masa kegelapan, gerakan kesadaran, proses perjuangan dan pengorbanan yang penuh gejolak. Dalam rangkaian peristiwa panjang itu menyeruak catatan tentang kepemimpinan, kepahlawanan, juga pemberontakan dan pengkhianatan, sebagai bagian dari dinamika sejarah. Kelahiran Sumpah Pemuda pada tahun 1928. Menjadi salah satu momen penting dan strategis dari sejarah perjalanan bangsa Indonesia, terutama pada saat masa pergerakan kemerdekaan. Dalam masa kolonial, Sumpah Pemuda merupakan kesinambungan dari gerakan kesadaran kebangsaan sebelumnya. Seperti Budi Utomo pada 1908 dan pelbagai organisasi keagamaan dan kepemudaan lainnya yang masih bersifat sporadis dan parsial (kedaerahan dan menganut suku, ras dan agama). Konsensus Sumpah Pemuda yang lahir dari kongres Pemuda I dan Kongres Pemuda II itu. Menegaskan keinginan pemuda terhadap upaya integrasi nasional sekaligus gerakan pembebasan dari kolonialisme dan imperialisme lama . Setelah 93 tahun peristiwa Sumpah Pemuda berlalu. Apa dan bagaimana relevansinya dengan keadaan Indonesia sekarang?. Jika merasakan Indonesia seperti saat ini, maka peringatan hari Sumpah Pemuda dapat dimaknai sebagai sebuah reinkarnasi kesadaran kritis terhadap situasi kebangsaan. Suasana penjajahan yang dialami rakyat pada masa itu. Kemudian adanya kesadaran pemuda yang ingin bebas dari kebodohan dan kemiskinan. Mendambakan persatuan dan kesatuan. Serta menuju cita-cita kemerdekaan Indonesia yang dapat mewujudkan kehidupan adil makmur bagi seluruh rakyat Indonesia. Maka peringatan Sumpah Pemuda saat ini, dapat menjadi momentum sekaligus titik balik dari kesadaran kritis dan kesadaran makna gerakan kebangsaan rakyat Indonesia. Bahwa apa yang menjadi semangat dan tujuan dari hari Sumpah Pemuda. Mengalami siklus sejarah yang berulang. Kekinian menjadi semangat dan tujuan pemuda dan seluruh elemen bangsa untuk bangkit dari keterpurukan akibat kolonialisme dan imperialisme modern. Termasuk yang dilakukan oleh segelintir bangsanya sendiri. Bahkan, meskipun setelah rakyat Indonesia menghirup udara dan menikmati alam kemerdekan selama lebih dari 76 tahun. Pemuda, Pelopor Gerakan Perlawanan Bukan hanya pada masa kerajaan-kerajaan nusantara dan perjuangan pergerakan kemerdekaan. Indonesia setelah bebas dari belenggu penjajahan. Selalu menampilkan peran pemuda yang spartan, patriotik dan heroik. Prahara dan angkara murka segala bentuk penjajahan yang ada di persada Indonesia, selalu menemukan tembok besar perlawanan para pemuda. Pemuda seakan dihadirkan Tuhan sebagai wakilNya melawan kedzoliman dan ketidakadilan di muka bumi. Sebelum kemerdekaan, bangsa Indonesia punya para the founding fathers' dan tokoh-tokoh pergerakan yang notabene representasi para pemuda. Begitupun pasca kemerdekaan, saat negara diliputi pelbagai konflik dan suasana genting. Pemuda selalu terdepan mengambil peran inisiasi, kreasi dan solusi terhadap problematika negara dan bangsa. Manifestasi eksistensi pemuda akan mencari saluran perjuangannya dalam banyak cara. Baik secara konstitusional maupun ekstra parlementer. Melalui kanal demokrasi ataupun aksi demonstrasi. Dengan edukasi dan diskusi hingga akselerasinya sampai memicu reformasi atau revolusi. Perjalanan pemerintahan dari rezim ke rezim tidak bisa menghilangkan fenomena dan peran historis pemuda. Sejarah mencatat penculikan Soekarno-Hatta dari Jakarta ke Karawang, oleh pemuda saat tuntutan percepatan proklamasi kemerdekaan RI. Rakyat dan negara Indonesia dapat bercermin dari kiprah KAMI/KAPPI usai tragedi 1965 yang mendorong perubahan kepemimpinan orde lama ke orde baru. Juga Peristiwa Malari (15 Januari) 1974. Termasuk gerakan mahasiswa 1998 yang melahirkan era reformasi. Semua kontribusi pemuda dan mahasiswa itu merupakan bentuk kesadaran kritis sekaligus perlawanan terhadap kesewenang-wenangan dan penyimpangan kekuasaan. Ia tidak sekedar perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan. Ia sejatinya menjadi pengemban amanat penderitaan rakyat. Ketika demokrasi tak berfungsi dan kekuasaan menjadi tirani. Pemuda tampil menjadi pendobrak dan pelopor gerakan perubahan. Pemuda seakan tak bisa menghindari dari takdir dan panggilan sejarah. Sebuah generasi dan entitas politik dari produk siklus sejarah. Pemuda tak ubahnya seperti kekayaan alam yang berlimpah. Energi terbarukan dan dapat diperbaharui untuk kelangsungan kehidupan masa depan rakyat Indonesia. Pemuda yang menjadi tulang punggung negara. Energi potensial yang menggantikan fosil Panca Sila dan UUD 1945. Kita hanya tinggal menunggu waktu, kapan tepatnya siklus sejarah berulang?. Jika kedzoliman kekuasaan itu mendera, rakyat Indonesia pasti punya obat walau harus menelan pil pahit. Tentunya dengan resep pemuda dan mahasiswa untuk mengobati sakit kronisnya pemerintahan. Kalau ada aksi demonstrasi pemuda dan mahasiswa dalam spirit Sumpah Pemuda. Selamat bergabung bagi seluruh komponen bangsa. Mengikuti aksi yang menjadi imunisasi vaksin massal yang sesungguhnya. Demi kesehatan dan keselamatan rakyat, negara dan bangsa Indonesia. Mampukah Sumpah Pemuda masa lalu menjadi sumpah kebaikan bagi Indonesia kekinian?. Semoga. Penulis, Pegiat Sosial dan Aktufis Yayasan Human Luhur Berdikari.
Garuda Yang Malang
By M Rizal Fadillah *) BUKAN hanya sedih tetapi perih mendengar berita Maskapai Garuda sedang menjerit berguling guling menjelang ajal. Sampai segininya Pemerintahan Jokowi mengalami kegagalan. Maskapai penerbangan negara tidak bisa ditolong. Sense of crisis rendah dan nyaris punah. Dasar tukang dagang yang menganggap bahwa rugi itu biasa. Tak ada rasa nasionalisme yang terguncang padahal Garuda yang tidak terbang sama saja dengan "nyungsep"-nya Indonesia. Ada suara kegelisahan dari seorang ibu, istri pilot Garuda yang baru dipensiunkan, memiliki anak yang menjadi pilot Garuda dan satunya menjadi pramugari pesawat Garuda pula. Keluhan atas penggajian yang sudah byar pet, satu bulan on dan sebulan kemudian off. Siaran resmi Garuda menyatakan pendapatan pegawai dipotong 30 hingga 50 persen. "GA dikelola secara ugal-ugalan sejak awal, tidak masuk akal hutang hingga 70 Trilyun", keluhnya. Masalah utama Garuda adalah salah urus (mismanagement), kemandirian yang terganggu, serta menjadi perusahaan perahan dari banyak kepentingan. Sebagaimana BUMN lain, Garuda pun menjadi perusahaan yang tak luput dari budaya bagi-bagi kue politik. Komisaris dan Direksi yang terkendali dan profesionalisme yang terkendala. Pemerintah harus terbuka bagi pembenahan mendasar. DPR dituntut lantang dan cermat dalam pengawasan dan penyelamatan. Tidak terjebak oleh budaya bagi-bagi kue yang dapat menyebabkan anggota menjadi kelu untuk bersuara. Bungkam seribu bahasa. Dahulu Mantan Menko dan pakar ekonomi Rizal Ramli pernah menyelamatkan Garuda dari kebangkrutan dan kini terberitakan siap untuk membantu kembali dengan imbalan bukan jabatan atau uang tetapi perubahan politik dalam sistem pemilihan Presiden. Presidential Treshold 0 % yang patut untuk didalami dan didiskusikan dengan para pengambil keputusan politik di negeri yang terasa semakin awut-awutan ini. Situasi gawat Garuda dan tentu juga 11 maskapai yang telah tewas mendahuluinya haruslah menjadi perhatian utama. Bukan saja memilukan dan memalukan tetapi juga membahayakan kelangsungan perjalanan bangsa. Presiden mesti bertanggungjawab penuh. Bila pilot pesawat terpaksa harus "grounded" akibat kegawatan ini, maka demi solidaritas sang pilot Indonesia juga harus ikut "grounded". Garuda yang dahulu mantap menjadi pilihan spesial penumpang untuk malang melintang terbang ke berbagai belahan dunia maupun domestik, kini terancam kehilangan melintangnya dengan meninggalkan sisa malangnya. Garuda yang malang. *) Analis Politik dan Kebangsaan
Tak Tumbang Disurvei: Kasus Pilgub DKI 2017 Mengajarkan
Oleh Ady Amar *) JIKA mencermati Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2017, sengaja dipilih Pilgub DKI di mana Anies Baswedan ikut berkompetisi, maka bolehlah jika ada yang menyebut bahwa lembaga survei politik kala itu seolah dibuat sesuai dengan pesanan si pemesan. Si pemesan itu bisa kandidat bersangkutan, atau pesanan dari partai politik pengusung kandidat. Hasil survei dibuat dengan metode selayaknya, namun hasil survei yang sebenarnya hanya diberikan pada pemesan. Sedang yang di- publish biasanya hasil yang tidak sebenarnya. Hasil sebenarnya yang diinginkan, dipakai pemesan untuk mengejar ketertinggalan, sedang hasil yang tidak sebenarnya tentu untuk menjatuhkan kandidat lain di mana hasil survei dibuat angka persentase dengan tidak sebenarnya. Maka, pemesan mendapat sekaligus dua keuntungan yang diharap. Pertama, ia tahu persis kekuatan kandidat/pesaingnya. Kedua, berharap bisa mempengaruhi publik dengan mem-framing hasil survei. Tujuan utama dari semuanya adalah untuk mempengaruhi calon pemilih bahwa kandidat yang "digarap" memang diinginkan publik. Maka bukan rahasia umum, jika lembaga survei itu melakukan framing pada hasil surveinya. Mengecil dan besarkan hasil survei sesuai keinginan. Itulah lembaga survei, yang bekerja tanpa nurani demi siapa yang membayarnya. Tidak semua lembaga survei merilis hasil surveinya dengan hasil tidak sebenarnya. Tentu ada juga lembaga survei idealis, tetap profesional meski berorientasi bisnis. Melihat fenomena yang ada, tidak perlulah sampai mesti terkaget-kaget, jika pada saat yang sama ada lembaga survei yang merilis hasil surveinya berbeda ekstrem dengan hasil rilis lembaga survei lainnya. Itu bisa dimungkinkan oleh sebab lembaga survei yang satu dan lainnya bekerja untuk kandidat yang berbeda. Maka hasil surveinya pun berbeda, sesuai pihak yang memesannya. Jika kandidat bersangkutan, dan atau partai politik pengusungnya, itu kuat dalam pendanaan. Artinya, mampu "bekerja sama" pada banyak lembaga survei ternama, maka kandidat itu pastilah elektabilitasnya tinggi, ia dimanjakan dengan hasil rilis berbagai lembaga survei . Sembari hasil rilis berbagai lembaga survei, itu "mengecilkan" persentase kandidat lainnya, yang sebenarnya punya elektabilitas keterpilihan tinggi. Hasil Survei Pilgub DKI Jakarta 2017 Pilgub DKI Jakarta 2017, bisa jadi model untuk melihat hasil lembaga survei yang tidak sesuai dengan hasil Pilgub itu sendiri. Di mana kandidat yang tidak diunggulkan keluar sebagai pemenang dengan suara terbanyak. Dan, itu keterpilihan Anies Rasyid Baswedan, di mana hasil rilis surveinya rendah, tapi justru mengantarkannya terpilih sebagai Gubernur. Pilgub DKI Jakarta terdiri dari 3 kandidat, sesuai nomor urut: Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Syaiful Hidayat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY)-Sylviana Murni, Anies Rasyid Baswedan-Sandiaga Salahuddin Uno. Petahana Ahok-Djarot dielu-elukan berbagai lembaga survei akan keluar sebagai pemenang Pilgub. Bahkan lembaga survei Litbang Kompas merilis hasil surveinya, dimana AHY elektabilitasnya di atas Anies-Sandi. Ternyata hasil rilisnya meleset jauh. Mestinya Pilgub DKI Jakarta itu bisa jadi pegangan pemilih, khususnya pemilih pemula, bagaimana hasil rilis lembaga survei yang meleset jauh dari hasil rilisnya. Karenanya, pemilih harus cermat melihat kecenderungan sebuah lembaga survei mengarahkan calon pemilih untuk memilih kandidat tertentu. Mari kita lihat hasil survei Litbang Kompas (21/12/2016) pada Pilgub DKI Jakarta, yang diikuti 3 pasangan, sesuai dengan nomor urut. Dimana pasangan nomor urut 1, Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni, mendapat 37, 1 persen suara. Angka tertinggi dibanding 2 peserta lainnya. Sedang nomor urut 2 adalah petahana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat 33,0 persen. Dan nomor urut 3, Anies Rasyid Baswedan-Sandiaga Salahuddin Uno mendapat angka buncit, 19,5 persen suara. Hasil survei Litbang Kompas itu ternyata tidak sesuai alias jauh panggang dari api. Agus-Sylvi justru terpental, tidak masuk putaran kedua. Ahok-Djarot dan Anies-Sandi yang lanjut ke putaran kedua. Hasil putaran pertama Pilgub DKI, sesuai nomor urut: 1). 19,06 persen, 2). 42,99 persen, 3). 39,95 persen. Dua kandidat teratas yang maju pada putaran 2. Begitu pula lembaga survei lainnya pun sama mengunggulkan petahana dibanding dua kandidat lainnya, bahkan dengan perolehan suara yang terpaut jauh. Pada putaran kedua Pilgub DKI Jakarta pun, hampir semua lembaga survei merilis hasil surveinya dari bulan ke bulan. Kita lihat saja rilis lembaga survei Charta Politika, yang digawangi Yunarto Wijaya, yang tampak juga sebagai konsultan politik Ahok-Djarot. Hasil dari rilisnya, bahwa pasangan Ahok-Djarot mengungguli Anies-Sandi. Rilis hasil surveinya yang terakhir, pada tanggal 15 April 2017, artinya 4 hari menjelang putaran ke-2, yang jatuh pada tanggal 19 April 2017. Di mana Ahok-Djarot memperoleh 47,3 persen. Sedang Anies-Sandi memperoleh 44,8 persen suara. Ternyata real count KPU, hasilnya berkebalikan, Ahok-Djarot memperoleh 42,05 persen, sedang Anies-Sandi memperoleh 57,95 persen suara. Tidak cuma Charta Politika, tapi SMRC dan lembaga survei lainnya pun menjagokan Ahok-Djarot sebagai pemenang. Dan pekan kemarin (18/10/2021), lagi-lagi Litbang Kompas, meski Pemilihan Presiden (Pilpres) masih jauh, sudah merilis hasil elektabilitas beberapa kandidat untuk Pilpres 2024. Hasilnya, pada urutan 1 dan 2 adalah 13,9 persen, yaitu Prabowo Subianto (Menhan) dan Ganjar Pranowo (Gubernur Jawa Tengah). Subhanallah angkanya bisa sama, tampak ajaib. Sedang di peringkat 3 adalah Anies Rasyid Baswedan (Gubernur DKI Jakarta) memperoleh 9,6 persen. Jika menilik hasil survei Pilgub DKI Jakarta (2017) yang hasil surveinya jauh meleset, tidak sesuai dengan real count KPU, maka sepantasnya publik tidak harus mempercayai lembaga survei yang punya track record buruk. Tidak salah jika publik menyebut survei abal-abal. Publik harus terus diberi penyadaran, bahwa ada upaya sistemik untuk mengatrol nama kandidat tertentu, yang dipesan untuk dikerek setinggi-tingginya. Sembari menenggelamkan kandidat potensial dengan menggerus suaranya terus-menerus, agar kandidat itu tidak dilirik partai politik untuk mengusungnya. Segala cara menuju 2024 akan dilakukan, tidak mustahil dengan cara-cara tidak demokratis. (*) *) Kolumnis
Sedih dan Malu, Garuda Indonesia Akan Hembuskan Napas Terakhir
By Asyari Usman SANGAT pilu dan malu. Perusahaan penerbangan Garuda Indonesia, sebagai pengusung bendera nasional (flag carrier), akan segera menghembuskan napas terakhirnya. Perusahaan BUMN ini semakin dekat ke liang kubur kebangkrutan. Menyedihkan sekali. Pagi ini saya duduk termenung sambil sarapan. Tidak masuk akal negara besar ini bisa kehilangan perusahaan penerbangan kebanggaan rakyat. Tapi, itulah yang akan terjadi. Tak lama lagi sakaratul maut itu akan berlangsung. Garuda kini sakit keras. Napasnya satu-satu. Tak seorang pun peduli Garuda akan mati. Presiden Jokowi diam saja. Malahan beliau pernah mengancam akan menutup BUMN yang bermasalah. Para politisi senior juga tak ambil pusing. Ada benarnya bahwa BUMN yang bermasalah tidak usah dilanjutkan. Tapi, Garuda Indonesia bukan BUMN biasa. Perusahaan penerbangan ini tidak hanya dituntut untuk fungsional dalam bisnis. Tidak hanya bisnis murni yang menjadi misi Garuda. Dia menjadi taruhan nama baik Indonesia di pentas internasional. Eksistensi Garuda adalah eksistensi bangsa dan negara ini di level global. Kematian Garuda akan menjadi berita yang sangat buruk bagi Indonesia di mata dunia. Sangat memalukan kalau itu terjadi. Sebab, negara-negara yang jauh lebih kecil dan lebih lemah dari sisi produktivitas dan finansial, masih mampu memiliki maskapai “flag carrier”. Tak lama lagi, kaunter Garuda di bandara-bandara internasional akan ditutup. Lenyaplah Garuda dari bandara Schipol di Amsterdam. Akan hilang dari bandara Narita di Tokyo dan bandara Osaka. Selesailah riwayatnya di Melbourne, Sydney, Perth, Hong Kong, Shanghai, Bangkok, Kuala Lumpur, Singapura, dlsb. Kematian yang tidak wajar. BUMN pembawa bendera ini nyaris tak pernah mengalami masa keemasan. Bermasalah terus dari waktu ke waktu. Kasihan sekali. Sewaktu “masih sehat” pun Garuda memang selalu dirundung problem. Intinya adalah salah kelola (mismanagement). Garuda dijadikan sapi perahan. Dijadikan tempat menitipkan anak-keponakan orang-orang yang punya kuasa. Dijadikan ajang untuk mengeruk keuntungan pribadi oleh silih berganti direksinya. Saya pernah mendengar cerita dari seorang mantan pejabat senior Garuda tentang “fee” belasan juta dollar dalam proses pengadaan pesawat. Itu terjadi pada awal pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pada Mei 2020, Emirsyah Satar (Dirut Garunda 2005 s/d 2014) dijatuhi hukuman penjara 8 tahun. Dia dikenai denda USD 1,4 juta karena tuduhan suap dan pencucian uang (money laundering) terkait pembelian pesawat dari Airbus dan mesin dari Rolls-Royce. Ada catatan korupsi besar lainnya. Pada 2005, Sekarga (Serikat Karyawan Garuda) pernah membeberkan indikasi korupsi dalam pengadaan pesawat Boeing 737-800 yang merugikan negara sebesar US$28.5 juta atau hampir Rp400 miliar. Singkatnya, Garuda menjadi tempat korupsi berjemaah. Garuda juga dijadikan tempat kolusi dan nepotisme. Pagi ini saya membaca surat terbuka tentang Dirut Garuda, Irfan Setiaputra, yang diduga kuat menggunakan fasilitas perusahaan ketika membawa keluarganya berliburan belum lama ini. Dia membawa anak, menantu dan dua cucu. Disebutkan pula bahwa tiket untuk empat anggota keluarga Irfan dinaikkan (di-upgrade) dari kelas ekonomi ke kelas bisnis tanpa biaya. Irfan memanfaatkan undangan pertemuan tahunan IATA (International Air Transport Association) di Boston, Amerika Serikat, 3-5 Oktober 2021. Tetapi, dia absen dari Indonesia sejak 1 Oktober sampai 16 Oktober. Kalangan karyawan Garuda marah. Perusahaan sedang menghadapi ancaman bangkrut, tapi direktur utama malah jalan-jalan ke Amerika dan Eropa. Sekarga meminta Menteri BUMN Erick Thohir agar melakukan investigasi terhadap dugaan penyalahgunaan fasilitas perusahaan oleh Irfan. Sekarang ini, perusahaan penerbangan pengusung bendera merah-putih itu mungkin tak tertolong lagi. Para pejabat sudah mulai bicara soal pengganti Garuda. Sangat mengherankan, para pejabat senior kelihatan tidak ada menyimpan perasaan apa-apa dalam menghadapi kebangkrutan Garuda. Luar biasa jika semua mereka tidak merasa sedih dan tak merasa malu di depan para tetangga di Asia Tenggara. Philippines Air Lines saja masih sanggup terbang. Begitu juga maskapai Biman Bangladesh. Padahal, Garuda adalah perintis penerbangan di Indonesia. Maskapai ini pernah menikmati monopoli pasar sampai pertengahan 1990-an. Presiden Jokowi masih bisa melakukan sesuatu agar Garuda tidak lenyap. Tinggal soal “political will” (kemauan politik) saja.[] (Penulis wartawan senior FNN)
Gelap Solar Subsidi
Oleh Salamuddin Daeng Jakarta, FNN - Tidak ada yang tau persis siapa yang menggunakan solar subsidi, penguasa besar, atau rakyat jelata? Angkutan sawit dan batubara, angkutan tambang atau angkutan sembako? Tidak ada yang tau. Data tentang alokasi solar subsidi ini tidak ada dan tidak bisa diadakan oleh sistem pengelolaan subsidi saat ini. Sementara wajib bagi Pertamina menyediakan solar subsidi bagi angkutan umum, angkutan barang. Angkutan mengantri solar dengan kondisi muatan kosong, sehingga petugas lapangan tidak dapat membedakan angkutan sawit, angkutan hasil tambang batubara yang tidak berhak menerima subsidi dengan angkutan sembako.yang berhak. BUMN lain juga menggunakan solar subsidi, pelni, KAI, ASDP, PLN, dan lain lain. Tapi kita tak tau apakah solar subsidi benar benar mereka habiskan atau kalau ada sisanya dapat di jual kembali? Ada banyak pertanyaan publik tentang maraknya peredaran solar gelap di Indonesia. Semua atau seabrek lembaga negara di sektor migasa dan energi tidak tau cara menyalurkan solar subsidi kepada yang berhak menerimanya. Menteri ESDM, BPH Migas, Dewan Energi Nasional (DEN) tidak memiliki kemampuan mendata siapa saja yang menerima manfaat solar subsidi. Seharusmya solar subsidi langsung disalurkan kepada penerima yang berhak. Usaha kecil menengah, angkutan kelas kecil, pengangkut sembako milik individu dapat mengajukan permohonan sebagai penerima solar subsidi dan diberi jatah tahunan sesuai dengan kebutuhannya. Digitalisasi dapat menjadi alat untuk memantau memonitor jika ada yang berbohong. Tidak seperti sekarang, solar subsidi bagaikan mengalir ke ruang yang gelap, lalu setelah itu hilang, penerima manfaatnya entah siapa? Telah menjadi rahasia umum bahwa bisnis batubara, sawit, tambang adalah bisnis para oligarki kelas atas. Besar kemungkinan solar subsidi mengalir ke tambang dan perkebunan. Solar memang gelap segelap warnanya. Korban atas solar subsidi adalah Pertamina. BUMN ini harus menanggung menalangi subsidi solar, untuk selanjutnya menjadi piutang mereka kepada Pemerintah. Sementara pemerimtah sendiri tidak jelas kapan akan membayar utang subasidi solar kepada Pertamina. Apalagi di era covid dimana kantong pemerintah sedang tongpes. Hal Ini akan membuat kas Pertamina jebol. Hampir 16 juta kilo liter solar subsidi yang harus ditalangi Pertamina sekarang. Nilainya sekitar 160 an Triliun. Semua pengadaan ditanggung oleh Pertamina. Adanya selisih harga yang besar antara solar subsidi dengan harga solar komersial mengakibatkan kerugian Pertamina sangat besar. Sementara subsidi yang diputuskan APBN hanya 500 perak setiap liter BBM solar subsidi. Pertamina jebol sekitar 60-70 triliun setahun. Uang besar di tengah kondisi cash flow perusahaan bermasalah. Solar warnamya gelap bung ! *) Peneliti AEPI
Pesawat dan Kereta yang Rontok
By M Rizal Fadillah BANDARA Soedirman Purbalingga sepi penerbangan. Satu-satunya yang awalnya bertahan hanya maskapai Citylink. Kini rute Jakarta-Purbalingga-Surabaya ini akhirnya stop juga. Banyak pihak mengkhawatirkan Bandara yang baru diresmikan 4 bulan ini bakal sama nasibnya dengan Bandara Kertajati, sepi dan mati. Nampaknya proyek infrastruktur yang selalu didewa-dewakan oleh rezim ini tidak memiliki feasibility study yang baik. Pokoknya cepat selesai demi mengejar prestasi walaupun manipulatif. Prediksi asal-asalan, akibatnya mubazir dan negara merugi. 500 milyar untuk bandara Soedirman digunakan tanpa manfaat. Begitu juga dengan Kereta Cepat Jakarta Bandung yang diduga bakal menjadi proyek mangkrak dan belepotan. Sudah menggunakan dana APBN, tetapi jika nantinya minim penumpang akibatnya ya mati juga. Ekonom memprediksi betapa sulit mengembalikan dana dari proyek KCIC ini. Akhirnya jadilah bandara sebagai museum yang siap menampung pesawat-pesawat rongsokan. Sementara stasiun Kereta Api harus siap juga membuat Museum. Museum Kereta Cepat yang menarik untuk menjadi tontonan anak anak sekolah. Light Tail Transit (LRT) Palembang Sumatera Selatan terus merugi. Menhub berdalih jangan bicara untung rugi karena demi kepentingan umum dan bersubsidi. Padahal saat awal merencanakan, hitungan untung rugi pasti menjadi pertimbangan. Lagi-lagi pertimbangan atau feasibility study yang tidak matang. Baru-baru ini uji coba LRT Jabodebek malah mengalami kecelakaan tabrakan di Cibubur. Ada ada saja. Proyek jalan tol amburadul, main jual secara obralan. Pelabuhan sepi. BUMN bukannya untung malah jadi beban. Sungguh masa Pemerintahan ini adalah masa berdagang dengan merugi. Mengumbar investasi dan memperbanyak hutang luar negeri. Hebatnya di bawah koordinasi Menko investasi yang berperan multi fungsi. Terbang-terbanglah pesawatku di daratan, bergerak cepatlah keretaku di angkasa. Di awang-awang ambisi yang tanpa kalkulasi. Rugi, rugi, dan rugi ! *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Stop Campur Tangan Pimpinan Parpol dalam Penunjukan Panglima TNI
By Asyari Usman APA sebab penunjukan panglima TNI saat ini menjadi ribet sekali? Mengapa Presiden Joko Widodo (Jokowi) kerepotan menetapkan pengganti Marsekal Hadi Tjahjanto? Sederhana sekali persoalannya. Bahwa yang terjadi adalah ketidakpahaman tentang tugas dan fungsi TNI. Atau mungkin bukan ketidakpahaman, melainkan keinginan untuk menyalahgunakan para petinggi TNI, struktur, dan personelnya. Panglima TNI adalah jabatan profesional. Tapi, bukan jabatan politis. Jabatan profesional dalam arti bahwa bagi seorang presiden, siapa pun dia, figur panglima TNI haruslah personel yang terbaik untuk masalah kemiliteran dan pertahanan. Kalau ini yang dijadikan patokan, pasti tidak sulit menunjuk panglima TNI. Tidak akan ada tarik-menarik. Presiden cukup meminta pendapat Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi (Wanjakti) TNI. Bisa juga berkonsultasi dengan para jenderal purnawirawan dan para pengamat militer. Yang terjadi saat ini adalah bahwa Presiden Jokowi harus mendengarkan keinginan para politisi, terutama para politisi parpol-parpol besar yang ada di dalam koalisi pemerintah. Misalnya, Jokowi harus mendengarkan keinginan pribadi Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri (Bu Mega). Preferensi Bu Mega adalah Jenderal Andika Perkasa yang saat ini menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Sedangkan Jokowi tidak setuju. Tapi dia tak mampu mengambil keputusan. Jokowi merasa tidak enak kalau kemauan Bu Mega ditolak. Akibatnya, penunjukan panglima menjadi terkatung-katung. Semua ini terjadi karena Jokowi masih merasa dirinya sebagai petugas partai. Dia tak berani melawan Bu Mega. Situasi seperti yang berlangsung sekarang ini terkait kepastian panglima seharusnya tidak menyeret-nyeret TNI ke ruangan politik praktis. Para politisi, terutama Megawati, seharusnya menyadari bahwa memaksakan keinginan untuk posisi panglima TNI akan menurunkan wibawa korps angkatan bersenjata. Para jenderal, laksamana dan marsekal yang telah berjuang keras untuk profesionalisme TNI sangat tidak layak diganggu oleh nafsu para politisi. Sudah saatnya menghentikan campur tangan partai politik dalam urusan pimpinan TNI. Sebab, kalau seorang panglima merasa berhutang budi karena didukung oleh ketua umum parpol, hampir pasti dia merasa perlu membalasnya. Balas budi inilah yang bisa menimbulkan berbagai dampak negatif. Misalnya, ketika pimpinan parpol memberikan isyarat halus tentang keinginan untuk mendapatkan akses ke proyek-proyek yang ada di lingkungan TNI, bagaimana mungkin panglima menolak? Atau, bisa juga panglima yang didukung ketua umum parpol akan, dengan sendirinya, mengerti apa yang harus dia lakukan untuk balas budi. Yang sangat parah, kalau sampai seorang panglima TNI yang berhutang budi atas dukungan pimpinan parpol akan mengkompromikan netralitas TNI. Sangat berbahaya. Jadi, sekali lagi, stop campur tangan politik dalam proses penunjukan panglima TNI. Biarkan presiden mendengarkan saran dari para perwira tinggi semua angkatan. Jangan bawa lembaga pertahanan bangsa dan negara itu untuk memenuhi nafsu bejat pimpinan partai politik.[] (Penulis wartawan senior FNN)
Sherina Si Pembela Anjing Canon
Oleh Ady Amar *) ANAK-anak yang lahir setidaknya di awal '90-an pastilah mengenal penyanyi cilik Sherina Munaf. Biasa dipanggil Sherina. Debut albumnya "Andai Aku Besar Nanti" meledak (1999). Konon terjual lebih dari sejuta copy. Album itu menjadi menarik karena musiknya digarap Elva Secioria. Tidak saja lirik lagu-lagu dalam album itu yang pas untuk anak-anak, tapi orang dewasa pun bisa menikmati lagu dengan musik yang rancak semi orkestra. Setahun kemudian, (2000), film "Petualangan Sherina" pun dihadirkan. Penciuman khas produser film melihat kesuksesan album "Andai Aku Besar Nanti" menyambar. Dan ternyata benar, film itu meledak. Sherina jadi idola anak-anak khususnya seumuran dengannya. Pada perjalanan tempo waktu tidak banyak terekspos tentang Sherina, meski saat remaja ia sempat membuat album, tapi tidak meledak sebagaimana album masa kanak-kanaknya. Lalu orang mengenal pilihan politiknya, yang dikenal sebagai pendukung Ahok (Ahokers) dan Jokowi (Jokowers). Tidak ada yang salah dengan pilihan politiknya. Itu haknya. Sherina aktif bermedia sosial, setidaknya ia ingin menyampaikan pesan apa yang dianggapnya sesuatu. Bahkan ia pun menyampaikan pandangannya yang di luar kepatutan, dan bahkan hal yang tabu untuk disampaikan. Apa yang disampaikan itu pastilah tidak terlepas keinginan agar followers-nya mengamini pandangannya. Sherina terlampau nekat dan tampak bebas saat menyampaikan pandangannya, meski pandangan itu "melawan" larangan keras agamanya (Islam). Pandangannya soal perkawinan sejenis menyentakkan dada. Saat Mahkamah Agung Amerika Serikat melegalkan pernikahan sesama jenis di seluruh wilayah negara, 26 Juni 2015. Keputusan resmi itu tentu disambut meriah dan suka cita pendukung LGBT di seluruh dunia. Bahkan tak ketinggalan disambut pula Sherina Munaf dengan antusias. "Senang mendengar kabar itu," komen Sherina melalui akun media sosialnya. "Banzai! Same sex marriage is now legal across the US. The dream: next, world! Wherever you are, be proud of who you are. #LGBrights. ("Selamat! Pernikahan sesama jenis ini telah sah di seluruh wilayah Amerika Serikat. Impian selanjutnya: dunia. Di mana pun kamu, jangan pernah malu menunjukkan siapa dirimu yang sesungguhnya.#hakLGBT), cuit @sherinasinna. Dramatisasi Matinya Anjing Canon Sherina memiliki pandangan sendiri tentang perkawinan sejenis, dan saat ia tulis di medsos maka sebenarnya ia ingin "menularkan" pandangannya pada khalayak, terutama "pengikutnya". Pun saat Sherina sok tahu soal matinya anjing canon di Aceh, yang menurutnya mati karena disiksa ramai-ramai oleh Satpol PP sebelum ditangkap. Ia sebenarnya ingin menyampaikan satu pesan tersirat, tentu penuh drama, seolah terjadi perbuatan tidak mengenakkan pada makhluk Tuhan (anjing) di wilayah Serambi Mekkah, yang menerapkan syariat Islam. Lewat medsosnya Sherina ingin mempengaruhi psikologis publik dengan cuitannya: "Bayangkan seekor anjing yang sepanjang hidupnya percaya manusia, yang didatangi aparat keji itu, ekornya melambai-lambai ramah, ternyata detik-detik terakhirnya adalah dikarungi sampai lemas dan akhirnya tewas. Dari egois manusia berseragam," cuitnya penuh emosi. Sherina tampak ingin mengaduk-aduk emosi publik dengan cuitannya itu. Ia seolah tidak faham jenis anjing canon, yang digambarkannya dengan framing lebay, "ekornya melambai-lambai ramah", yang digambarkan bak anjing pudel. Ia tampak tidak mencari tahu, mengapa anjing itu mesti ditangkap. Tapi ia cuma melihat dan mengeksplor penangkapan anjing itu, yang digambarkan dengan sadis. Anjing canon itu setidaknya sudah menggigit 2 orang pengunjung wisata Pantai Pulau Panjang. Pemilik resort menempatkan anjing canon galak itu di bibir pantai, di mana ia ingin membatasi agar tidak boleh ada orang yang lewat depan resortnya. Sejak 2019 Camat di wilayah itu sudah mengirim surat berkenaan dengan menempatkan anjing canon itu, tapi tidak digubris. Sampai peristiwa penangkapan anjing canon, yang lalu mati karena stres jadi berita nasional. Satu anjing canon mati di Aceh jadi keprihatinan amat seorang Sherina dan para pegiat sosial yang mata dan telinga tidak mampu berfungsi bisa melihat dan mendengar, bahwa tiap hari ratusan anjing dibantai di Tomohon-Sulawesi Utara, di Solo-Jawa Tengah, dan banyak daerah lain, di mana dagingnya disantap guna memenuhi syahwat selera nafsu setaniah. Sherina dan kawan-kawannya menjadi spesialis nyinyir jika itu di wilayah mayoritas muslim, atau wilayah yang menjalankan syariat Islam. Setidaknya kasus anjing canon menampakkan watak aslinya terang benderang. Sherina dan kawan-kawannya memilih jalan kritis pada hal-hal yang bersifat "politis" untuk kepentingan tertentu. Mustahil hatinya terenyuh melihat 6 anak manusia eks Laskar FPI, yang masih berusia muda dibantai aparat di KM 50 dengan sadistik. Tidak terdengar suara Sherina dan kawan-kawannya membela kemanusiaan atas kematian mengenaskan itu. Pembelaan Sherina memang cuma sekelas anjing canon, dan karena itu di Aceh. (*) *) Kolumnis
Sukses Menjadi Negara Gagal
Oleh: Yusuf Blegur Setelah 76 tahun menjalani kemerdekaan yang penuh ketidakpastian. Negara dan bangsa Indonesia saat ini, benar-benar mengalami masa-masa puncak penindasan dan kebiadaban. Apa yang dulu ditentang, diperjuangkan dan dikorbankan untuk meraih kemerdekaan. Harus dibayar rakyat Indonesia dengan merasakan kembali kolonialisme dan imperialisme berwajah modern. Baik oleh bangsa asing dan aseng, maupun dari sebangsa dan setanah airnya sendiri. Perlahan namun pasti, praktek-praktek kekuasaan, telah mengubur hidup-hidup nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Kini pemerintah seakan memasuki babak baru dan tendensius. Melakukan serangan yang ofensif dan agresif terhadap agama khususnya Islam dan terkait eksistensi politiknya. Terlalu marak pelecehan, penghinaan, dan penistaan terhadap agama, pemimpin dan umat Islam yang dibiarkan pemerintah. Di lain sisi tangan besi kekuasaan, sangat responsif melakukan kriminalisasi para ulama dan gerakan kesadaran kritis lainnya. Strategi serangan yang begitu mematikan kepada kehidupan spiritual dan keagamaan serta tumbuh kembangnya demokrasi. Menjadi wajah dan ciri khas rezim pemerintahan sekarang. Orientasi dan kebijakan kekuasaan yang berbasis kebencian dan cenderung anti Islam. Bahkan lebih bengis dari yang pernah dilakukan pemerintahan-pemerintahan sebelumnya, yang sekuler sekalipun. Rakyat dengan mata telanjang dan secara langsung merasakan sendiri bagaimana penjajahan masih berlangsung hingga saat ini. Begitu banyak masyarakat harus mengalami kesengsaraan dan penderitaan hidup. Sementara bumi tempatnya bernaung, berlimpah kekayaan alam dan semua yang dibutuhkan untuk menjadi negara kesejahteraan. Distorsi dan Kontradiksi Harus diakui suka atau tidak suka, menerima ataupun menolak. Tampilnya kekuasaan yang lahir dari metode sihir massal dan rekayasa citra diri. Secara alami lewat perangai dan tingkah pola yang dilakukan. Seiring waktu menunjukan wajah asli dan karakter yang sesungguhnya. Dibalik kampanye, keluguan dan kesederhanaan yang menghipnotis. Berujung hanya pada janji-janji politik yang terbelengkalai, kalau tidak mau disebut rangkaian kebohongan dan kepalsuan. Alih-alih melakukan pembangunan yang terkonsep, terukur dan berdaya guna bagi kehidupan rakyat. Pemerintahan yang terlanjur dikenal publik sebagai rezim boneka itu. Justru malah menghasilkan proyek-proyek mercusuar yang bertaburan utang menjulang, disfungsi alias tak berguna dan digerogoti keserakahan dan korupsi di sana-sini. Mirisnya, proyek-proyek infra struktur berbiaya besar yang dibanggakan dan dianggap simbol keberhasilan pemerintah. Pada akhirnya dijual murah sehingga merugikan negara. Begitupun BUMN yang terus merugi dan terancam dijual atau ditutup. Pemerintah yang digawangi orang-orang cerdas dan profesional itu. Sepertinya tidak lebih hebat dari tukang gado-gado di pinggir jalan yang masih punya manajemen dan bisa mengelola keuangannya. Agar bisa survive dan dapat membiayai kehidupan keluarganya. Selain ketidakmampuan leadership dan kecakapan manajemen. Rombongan kekuasaan yang ditandai dengan amburadulnya peran dan fungsi dalam tata kelola pemerintahan. Birokrasi sarat oligarki dan koncoisme mempertontonkan pemimpin-pemimpin yang planga-plongo, asbun, tidak tahu malu dan mata duitan. Ada juga seorang menteri agama yang dipertanyakan kejelasan agamanya. Akan tetapi diluar compang-camping dan karut marut lingkaran istana. Tampil seorang pembantunya yang superior dan berkuasa penuh serta mengendalikan semua urusan. Tidak jelas ia sebagai bawahan atau yang membawahi. Mungkin beliau memang manusia super dari luar angkasa. Seperi Iron Man dalam komik Marvel. Akibatnya negara semakin tidak jelas dan terpuruk. Siapa yang dipimpin dan siapa yang memimpin. Tidak adanya skala prioritas dan menjalankan roda pemerintahan secara ugal-ugalan. Hanya menunjukkan fakta pemerintahan yang tidak memiliki kapasitas (unqualified). Rakyat seperti mengalami 'govermentless' dan 'fail state'. Terasa saat ini dalam suasana penjajahan masa lampau. Selama berkuasa hampir dua periode. Kekuasaan sekarang cenderung dapat diidentifikasi dengan tiga pola determinasi. Pertama, kinerja pemerintahan yang mengandalkan utang. Seakan negara tidak bisa berdiri tegak dan pemerintahan tidak bisa bekerja tanpa utang. Parahnya utang negara lebih banyak dipakai untuk proyek rente dan rawan korupsi. Kehidupan rakyat semakin tercekik karena penghapusan subsidi untuk membayar utang negara dan gaya hidup mewah pejabat. Sehingga negara dan rakyat harus menanggung beban berkepanjangan hingga anak-cucu yang masa depannya pun tak jelas. Kedua, menaikkan dan menggenjot pajak sebagai kemampuan terbaik kabinet kerja rezim. Upaya licik memungut pajak untuk menutupi kelemahan sekaligus penyimpangan kebijakan birokrasi dalam soal keuangan negara. Terutama untuk dikorup dan membayar utang yang tak ada relasinya dengan kesejahteraan rekyat. Inilah pemerintahan yang pernah ada dimana sudah tidak mampu menyejahterakan rakyat, masih tega menguras uang rakyat melalui pajak. Pemerintah tak bedanya dengan merampok uang rakyat secara halus dengan modus pajak. Sebuah cara memiskinkan bangsa dengan konstitusional. Kemiskinan struktural yang tak bisa dihindari dan ditolak rakyat kecil utamanya. Pemerintah bagai kompeni yang memungut upeti pada rakyat pribumi layaknya jaman kolonial. Ketiga, kekerasan sebagai cara menangani persoalan bangsa terlebih dalam soal penegakan hukum. Akhir-akhir ini, NKRI pantas menyandang gelar negara kekerasan. Kekerasan kian rutin mewarnai kehidupan negara dalam berbagai aspek. Baik kekerasan yang dilakukan oleh struktur atau otoritas negara, maupun kekerasan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat ataupun sektor swasta khususnya dunia korporasi. Semua kekerasan itu mengarah dan selalu menjadikan rakyat kebanyakan sebagai obyek dan korbannya. Tak peduli rakyat sudah sekarat karena pandemi. Belakangan mafia dan cukong yang bermetamorfosis dan berlindung dibalik korporasi besar. Secara terang-terangan dan arogan merampas tanah dan aset rakyat dengan kekerasan. Hebatnya, korporasi asing dan aseng itu melakukan kekerasan terhadap rakyat dikawal dan terkesan diback up aparat keamanan negara. Aparat keamanan negara yang harusnya membela dan melindungi rakyat dalam memperjuangkan haknya. Kian bertindak sebagai anjing penjaga dan tukang pukul pemilik modal dan kekuasan. Sudah tidak bisa lagi membedakan intepretasi Substansi undang-undang dan kepentingan rakyat. Tanpa ragu melakukan kekerasan pada rakyat yang berjuang menuntut sekedar keadilan. Rakyat sudah tidak bisa berkata dan berbuat apa-apa lagi. Rakyat juga tak punya siapa-siapa lagi dan kekuatan untuk meminta perlindungan selain keadilan Tuhan. Aparat keamanan yang hakekatnya menjadi pelayan yang mengayomi dan melindungi rakyat. Justru berpikir dan bertindak sebaliknya. Aparatur pemerintahan dan penegak hukum yang digaji dan dibiayai rakyat, menggunakan semua fasilitas itu untuk menindas rakyat. Rakyat begitu tersontak saat tidak sedikit aparatur penegak hukum dan keamanan melakukan pelanggaran dan penyimpangan hukum. Bukan sekadar arogan, represif dan merugikan hak rakyat. Petugas-petugas negara itu melecehkan, memperkosa dan membunuh rakyat tak berdosa. Bukan saja terhadap rakyat sipil, bahkan atasan dan pimpinan penegak hukum bisa melakukan kekerasan terhadap bawahannya sendiri. Sungguh perbuatan biadab dan memalukan. Cermin yang menampilkan wajah buruk negara bagi rakyatnya sendiri maupun dunia internasional. Ini menjadi persoalan serius dan prinsip yang menentukan perspektif apakah negara ini memang masih perlu ada dan tetap dipertahankan. Apakah NKRI masih relevan dengan cita-cita dan tujuan proklamasi kemerdekaan?. Kekerasan yang dilakukan oleh aparat baik kepada rakyat sipil maupun bawahan dinasnya. Secara tidak sadar merupakan titik jenuh sekaligus pemberontakan baik dari rakyat maupun orang-orang dalam kekuasan sendiri. Mereka semua tak berdaya saat terjebak dalam sistem yang penuh distorsi dan kontradiksi. Tak berdaya dan tak mampu melawan kerusakan sistem. Mungkin kekerasan telah menjadi bahasa perlawanan. Kekerasan merupakan cara kontemplasi yang mudah dan bisa dilakukan. Terhadap sistem pemerintahan dan perilaku kekuasaan selama ini yang tak kunjung mendatangkan kemaslahatan. Namun lebih banyak kemudharatan yang berlumur tragedi dan kedzoliman sehari-hari yang serba permissif. Rakyat terus menyimpan tangisnya yang tersembunyi. Membiarkan lukanya dalam rongga dada. Berulangkali rakyat harus menahan amarah yang tersekat dalam duka haru biru. Rasanya, rakyat harus hidup dengan kesabaran dan kekuatan yang tersisa. Saatnya menunggu kekuasaan Tuhan yang berbicara. Entah dengan menggunakan tangan manusia sendiri. Entah dengan menggerakkan kekuatan alam. Entah dengan kebesaranNya melakukan intervensi pada negeri ini. Rakyat harus menunggu, berharap dan bersangka baik pada Tuhan. Semoga hanya perbaikan dan pemulihan Indonesia yang dikehendaki Tuhan Yang Maha Esa. Bukan penghancuran dan pemusnahan negeri tercinta. Penulis, Pegiat Sosial dan Aktivis Yayasan Human Luhur Berdikari.
Menelisik Motif Di Balik Gugatan Atas Impor LNG Pertamina
Oleh Marwan Batubara *) BEBERAPA bulan terakhir berita dan opini mempermasalahkan impor LNG oleh Pertamina (dari Amerika/Cheniere dan Mozambique) beredar cukup luas di media. Inti berita adalah menyoal kesalahan kebijakan dan dugaan korupsi di balik impor LNG tersebut. Sehingga, para nara sumber berita menuntut agar pihak yang terlibat diproses secara hukum. Tulisan ini tidak bermaksud mengamankan siapapun agar terhindar dari proses hukum. Apalagi jika yang bersangkutan diduga terlibat korupsi. Namun karena berita terkesan tendensuius dan tidak akurat, maka IRESS perlu mengungkap permasalahan seputar impor LNG, terutama guna mengamankan bisnis BUMN dan menjaga kredibilitas Indonesia sebagai salah satu pioner bisnis LNG di dunia. Sejarah LNG Indonesia, bermula saat ditemukannya cadangan gas di Arun, Aceh (1971) dan Badak, Kaltim (1972). Untuk dapat dimonetisasi, Pemerintah dan Pertamina memutuskan membangun LNG Plants di Lhoksuemawe dan Bontang. Pembangunan dilakukan setelah ditandatanganinya kontrak penjualan LNG dengan sejumlah perusahaan Jepang. Ekspor LNG ke Jepang berdurasi 20 tahun dengan opsi perpanjangan 20 tahun berikutnya. Bisnis LNG boleh dikatakan berada lingkup terbatas, sehingga semua LNG Seller maupun LNG Buyer saling mengenal dengan baik. Faktor integritas dan kredibilitas sangat berperan, sehingga dalam sejarahnya belum pernah ada kejadian gagal bayar atau gagal offtake. Karena itu meski berhasil menjual LNG sejak tahun 1970-an, Pertamina baru mendapat kepercayaan pasar mengimpor LNG pada tahun 2000-an. Sikap pruden sangat berperan, jika sampai terjadi kegagalan offtake kargo LNG, maka seluruh rantai bisnis LNG akan terdampak hingga sampai ke produser gas, dan berujung pada penutupan sumur. Kemampuan bisnis jual/beli LNG Pertamina dan Indonesia secara global telah terbangun cukup lama. Hal-hal yang mendasari kemampuan ini antara lain adalah pengalaman, keahlian dan kepercayaan pasar. Kemampuan ini sekaligus bermanfaat untuk mengamankan pasokan gas nasional jangka panjang dan berkelanjutan. Dalam praktek, Pertamina pun terlibat dalam kontrak impor gas dari AS dan Mozambique. Kebutuhan Impor LNG Pada Desember 2013, Pertamina berkontrak dengan Cheniere Energy, untuk impor LNG dari Texas (AS) sekitar 0,76 MTPA (million ton per annum/juta ton per tahun), berlaku sejak 2019 selama 20 tahun. Impor LNG ini dilakukan sesuai kebutuhan jangka panjang, dengan merujuk pada Neraca Gas Nasional yang diterbitkan Kementrian ESDM (2011). Impor LNG ini telah masuk dalam Rencana Jangka Panjang Perusahaan, Pertamina (2012-2016) yang disetujui pemerintah melalui mekanisme Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Adapun kebutuhan impor LNG dari Mozambique, Afrika dengan Anadarko Petroleum Corp. diawali dengan negosiasi pada 2013 dan penandatangan Head of Agreement (HoA) pada 2014. Namun negosiasi tidak berujung kesepakatan karena ada perubahan harga pasar LNG dunia pada 2016. Belakangan, karena adanya kebutuhan internal (kilang), Pertamina melihat kembali ketersediaan LNG di pasar, termasuk negosiasi ulang dengan Mozambique dengan term and condition dan harga yang lebih menguntungkan. Hal ini berujung pada tandatangan HoA pada 2018, dan tandatangan kontrak pada Februari 2019. Volume kontrak LNG adalah 1 MTPA, berlaku sejak 2025 untuk periode 20 tahun. Rujukan impor LNG Mozambique ini adalah sama seperti impor LNG dari AS, yakni Neraca Gas Nasional yang rutin diterbitkan Kementrian ESDM (2018). Impor LNG dari Mozambique masuk dalam Rencana Kerja dan Anggaran Pertamina yang disetujui RUPS pada tahun 2019. Melihat ke belakang, ternyata pasokan LNG dari Cheniere direncanakan akan disalurkan ke terminal-terminal penerima LNG Pertamina, yakni untuk proyek LNG Floating Storage and Regasification Unit (FSRU) di Arun, Aceh dan FSRU Jateng yang memerlukan kepastian tambahan pasokan LNG. Kedua fasilitas tersebut didesain dengan kapasitas sekitar 3 MTPA guna memenuhi kebutuhan gas bagi sektor ketenagalistrikan dan industri. Sedangkan impor LNG Mozambique ditetapkan setelah mempertimbangkan kebutuhan Pertamina mengoperasikan kilang BBM proyek Refinery Development Master Plan (RDMP) Cilacap, Jateng dan Proyek Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) Jawa-1 berkapasitas 1.760 MW di Cilamaya, Jabar. Kedua proyek membutuhkan gas cukup besar dan tidak dapat dipenuhi suplai gas domestik. Kebutuhan ini pun ditetapkan setelah mempertimbangkan harga LNG Mozambik yang murah dan hasil kajian konsultan yang saat itu disewa pemerintah/Pertamina. Pembelian LNG ke produser LNG yang akan dideliver setelah LNG Plant selesai konstruksi dan beroperasi adalah cara yang terbaik. Hal ini umumnya dilakukan konsumen LNG Global lain, dengan tujuan mendapat pasokan LNG jangka panjang berkesinambungan dengan harga wajar, seperti telah dilakukan Pertamina dan Indonesia saat menjual LNG nya pada tahun 1970 an. Kondisi tersebut ternyata selaras dengan pemahaman bahwa bisnis LNG adalah bisnis jangka panjang yang membutuhkan kemampuan membaca dinamika pasar baik sebagai penjual maupun sebagai pembeli. Lebih lanjut, dalam proses jual beli LNG, proses negosiasi kontrak LNG memerlukan waktu panjang karena banyaknya faktor-faktor yang harus dipertimbangkan. Kontrak LNG harus dikelola secara profesional dengan terus menerus memperhatikan dinamika pasar, sehingga produksi dapat dicapai tepat waktu. Apa dan Siapa Yang Dibidik Komut Pertamina, Ahok? Pada 10 Februari 2021, Komut Pertamina Ahok menyatakan adanya kejanggalan dalam kontrak impor LNG dari Mozambique. Kata Ahok: "Ada indikasi (dimainkan oleh oknum) makanya kami minta diaudit," Rabu (10/2/2021). Kita tidak paham bagaimana hasil audit yang disebut Ahok tersebut dan bagaimana pula tindak lanjutnya. Belakangan, Komut Pertamina pun mempertanyakan harga kontrak impor LNG yang dianggap sangat mahal. Sikap Ahok ini dikemukakan saat harga migas turun, terutama pada periode 2019-2020. Lalu diperparah pula dengan harga yang turun akibat pendemi Covid-19. Maka, muncullah permintaan agar kontrak LNG tersebut dibatalkan. Kondisi semakin runyam dengan munculnya pernyataan ahli hukum dari satu “law firm” yang sengaja disewa oleh “Manajemen/Dekom Pertamina”. Dikatakan, pembatalan kontrak LNG dapat dilakukan bila ada fraud dalam proses pengadaan. Karena itu, terjadilah pelaporan “kasus impor LNG” tersebut ke Kejaksaan Agung, untuk mencari-cari fraud dimaksud. IRESS sangat ragu jika latar berlakang sikap Ahok di atas, termasuk melaporkan “kasus impor LNG” ke Kajaksaan Agung, terutama dimaksudkan untuk mencegah Pertamina dari kerugian akibat turunnya harga gas dunia. Ditengarai, menurut sumber IRESS yang terpercaya, sebenarnya sikap tersebut bisa saja dilatarbelakangi motif lain. Jika harga gas/LNG yang jadi penyebab, tersedia opsi lain, yaitu dengan menjual kembali. Faktanya, harga migas memang selalu berfluktuasi, naik dan turun. Belum pernah terjadi, harga migas berada pada level rendah dalam waktu cukup lama. Bahkan dalam 1-2 bulan terakhir, harga gas telah naik berlipat-lipat, dan mendatangkan keuntungan yang cukup besar bagi Pertamina dan Indonesia. Dengan demikian, sikap short-sighted (memperlakukan jual/beli LNG layaknya jual-beli mobil bekas) yang ditunjukkan Ahok tersebut sangat tidak relevan untuk menjadi kebijakan korporasi. Oleh sebab itu, wajar jika timbul kecurigaan tentang “motif lain” di balik pernyataan “ada indikasi” yang disebutkan di atas. Mungkin saja ada anggota manajemen yang sedang “dibidik”. Perubahan struktur organisasi (proses pembentukan Subholding) di Pertamina dengan pembubaran Direktorat Gas yang menangani bisnis Gas dan LNG yang terjadi sebelumnya dan hampir bersamaan, juga memberikan dampak ketidakmampuan mengelola bisnis LNG nasional dengan baik. Sehingga mitigasi resiko terhadap pengadaan LNG juga tidak tertangani secara optimal, termasuk juga ikut memicu sikap manajemen/board Pertamina pada saat harga turun. Akibatnya management risiko dalam mengatasi supply/demand sering menjadikan manajemen sebelumnya dianggap telah berbuat kesalahan, termasuk dikaitkan dengan dugaan korupsi. Permasalahan manajemen resiko seperti disebut di atas juga dialami oleh BUMN/PLN dalam proyek listrik 35 GW. Poyek ini berasal dari kebijakan pemerintah dan dianggap sebagai proyek yang tepat dan wajar dijalankan. Namun belakangan proyek bermasalah, terjadi over capacity, BPP listrik naik, dan lain-lain. Maka tampaknya PLN harus menanggung beban dan kesalahan tersebut sendirian, seolah-olah kebijakan 35 GW itu adalah produk PLN dan PLN harus bertanggungjawab. Pemicu lain yang tak kalah penting adalah perseteruan pada high level management Pertamina yang membawa pengadaan LNG ke aparat penegak hukum. Situasi dan kondisi ini berpotensi menimbulkan kendala bisnis LNG dikemudian hari, dan menurunkan kepercayaan pelaku bisnis LNG Global bermitra dengan Pertamina. Sehingga ke depan, hal ini dapat berdampak buruk pada keamanan pasokan energi berkelanjutan dan ketahanan energi nasional. Seperti disampaikan di atas, impor LNG Cheniere dan Mozambique dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya gas shortage. Impor juga dilakukan mengacu pada dokumen resmi pemerintah, yakni Neraca Gas Nasional yang rutin diterbitkan oleh Kementrian ESDM. Banjir pasokan migas dan pandemi Covid-19 telah membuat harga migas anjlok. Jika kebijakan impor dilakukan melalui proses yang pruden dan sesuai prinsip GCG, maka sangat tidak relevan mempersalahkan pihak-pihak yang terlibat dalam pengambilan keputusan karena kerugian akibat harga anjlok tersebut. Melihat fakta bahwa saat ini harga pasar LNG melambung jauh melampui harga kontrak (LNG Cheniere dan Mozambique), karena bisa menjual LNG tersebut ke pasar, maka Pertamina kini justru untung berlipat. Secara matematis, merujuk harga pembelian LNG dalam kontrak, maka harga pasar saat ini memberi keuntungan sekitar $80 juta per kargo atau sekitar $900 juta per tahun. Dan keuntungan tersebut akan dinikmati juga oleh Direksi dan Dekom, termasuk Ahok, dalam bentuk bonus/tantiem. Kalau sudah begini, alasan untuk menyalahkan menjadi tidak relevan. Maka, mungkin perlu dicari “peluru” lain untuk membidik target! [] *) Direktur Eksekutif IRESS