DPD RI: Menyikapi Ibu Kota Baru

Tamsil Linrung.

Gedung-gedung di Jakarta memiliki muatan histori yang kuat. Kalau kemudian terjadi tukar guling sebagaimana disebut Ekonom Senior Emil Salim, maka nilai histori itu dapat lenyap begitu saja. Contoh tukar guling dimaksud, adalah ketika swasta membangun Gedung Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) di ibu kota baru dan kemudian memanfaatkan Gedung Kemenlu di Jakarta yang dikenal sebagai Gedung Pancasila. Bukan tidak mungkin Gedung Pancasila dikomersialisasi menjadi mal atau bentuk-bentuk komersial lainnya .

 Oleh: Tamsil Linrung, Anggota DPD RI

SIDANG  Paripurna DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) akhirnya menyetujui Rancangan Undang-undang (RUU) Ibu Kota Negara (IKN) menjadi UU, Selasa, 18 Januari 2022. Kini, obsesi pemerintah memindahkan ibu kota sah dan menjadi keputusan bersama.

Namun, keputusan tersebut agaknya belum mengakhiri kontroversi IKN. Memang, sejak ide pemindahan IKN disampaikan Presiden Joko Widodo, sejak itu pula kontroversi mengiringi perjalanan gagasan ini. Tidak sedikit pihak mensinyalir adanya permufakatan kotor di belakangnya. Dari tuduhan permainan bisnis tanah, pikiran kritis soal lingkungan, desain istana negara, dan bahkan ada yang menuding rencana ini atas desakan dan demi kepentingan negara asing. Tudingan ini seolah menemui pembenarannya ketika usul pemindahan ibu kota terkesan dipaksakan di tengah situasi ekonomi bangsa yang belum stabil dan pandemi Covid-19 yang belum usai.

Demi menjaga proses pembangunan bangsa tetap pada jalur dan tujuan semestinya, pikiran kritis itu memang perlu dirawat. Sebab, selama ini, tidak sedikit pembangunan infrastruktur justru menjadi beban dan bahkan berpotensi merugikan negara. Pemerintah harus mengambil pelajaran dari pembangunan infrastruktur yang sudah-sudah. Sebutlah jalan tol yang dijual, bandara yang beralih fungsi, atau pembangunan rel kereta api cepat yang akhirnya membebani APBN.

Begitu pula dampak lingkungan yang terjadi. Rel kereta api Makassar-Parepare di Sulawesi Selatan, misalnya, ditengarai menjadi penyebab banjir di dua Kabupaten, yaitu Pangkep dan Barru.

Proyek monumental yang seringkali menjadi jualan pencapaian setiap rezim, seharusnya melalui perencanaan yang matang. Sebab, ambisi pembangunan tanpa perencanaan matang besar kemungkinan hanya menjadi beban dikemudian hari. Beban tersebut bukan hanya ditanggung pemerintah, tetapi seluruh rakyat Indonesia.

Oleh karena itu, dalam mengawal IKN baru, DPD (Dewan Perwakilan Daerah) memberikan sejumlah catatan kritis. Pertama, DPD RI sepakat dengan bentuk Pemerintahan Daerah Khusus. Namun, DPD belum dapat memahami istilah dan pengaturan otorita dalam UU IKN.

DPD mengingatkan, otorita bukan bagian dari struktur pemerintahan yang dikenal dalam UUD 1945. Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945 mengatur kepala pemerintah daerah terdiri atas gubernur untuk pemerintah provinsi, bupati/wali kota untuk pemerintah kabupaten/kota.

DPD menilai bahwa penggunaan istilah otorita beserta pengaturannya tidak tepat diterapkan dalam bentuk pemerintahan daerah khusus ibu kota negara. Pemaksaan terhadap istilah dan pengaturan otorita adalah sikap melawan konstitusi.

Kedua, terkait “Nusantara” sebagai nama ibu kota baru. DPD menghargai usul inisiatif pemerintah tersebut. Namun, DPD menilai belum ada penjelasan komprehensif terkait landasan sosiologis, filosofis dan historis yang menjadi dasar pemilihan frasa nusantara sebagai nama Ibu Kota Negara. Nama Nusantara bahkan terasa aneh sebagai nama ibu kota, sebab Nusantara telah melekat dalam memori kolektif bangsa sebagai kawasan kesatuan dari Sabang sampai Merauke.

Ketiga,  DPD RI juga mengingatkan bahwa terkait rencana induk yang menjadi lampiran yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang Ibu Kota Negara belum dibahas secara komprehensif dalam forum tripartit.

DPD RI juga memandang perlu mengingatkan pemerintah bahwa rencana pemindahan Ibu Kota Negara merupakan pekerjaan besar bangsa Indonesia di tengah kondisi pandemi covid-19 yang masih membayangi. Banyak aspek yang perlu menjadi perhatian pemerintah dalam proses pemindahan Ibu Kota Negara. Antara lain, kepastian terhadap lahan yang akan digunakan tidak akan menimbulkan konflik pertanahan baik dengan Pemerintah Daerah maupun masyarakat (adat) yang ada di dalamnya, desain tata ruang wilayah yang jelas dan memperhatikan kepentingan serta aksesibilitas daerah-daerah penyangga, serta kejelasan dan kemampuan pembiayaan pembangunan Ibu Kota Negara baik yang bersumber dari APBN maupun non APBN.

Pun demikian dengan kejelasan sistem dan struktur Pemerintahan DKI Jakarta pasca-pemindahan Ibu Kota Negara. Hal ini diperlukan adanya Perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perlu dijelaskan pula pengelolaan dan pemanfaatan aset-aset negara yang ada di Jakarta. Kita tahu, aset-aset pemerintah yang ada di Jakarta merupakan kekayaan negara.
Pemindahan Ibu Kota Negara harus diiringi dengan penjelasan bagaimana aset tersebut dikelola dan dimanfaatkan.

Gedung-gedung di Jakarta memiliki muatan histori yang kuat. Kalau kemudian terjadi tukar guling sebagaimana disebut Ekonom Senior Emil Salim, maka nilai histori itu dapat lenyap begitu saja. Contoh tukar guling dimaksud, adalah ketika swasta membangun Gedung Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) di ibu kota baru dan kemudian memanfaatkan Gedung Kemenlu di Jakarta yang dikenal sebagai Gedung Pancasila. Bukan tidak mungkin Gedung Pancasila dikomersialisasi menjadi mal atau bentuk-bentuk komersial lainnya.

Hal teknis lainnya adalah kejelasan desain pemindahan kantor pemerintahan dan lembaga-lembaga negara serta Aparatur Sipil Negara dari Jakarta ke Ibu Kota Negara yang baru. Belum lagi menyakut desain transisional penyelenggaraan pemerintahan untuk Pemerintahan Pusat, Pemerintahan Daerah yang ditinggalkan dan pemerintahan baru di Ibu Kota Negara terutama yang terkait dengan administrasi pemerintahan, kepegawaian, pengelolaan dan pemanfaatan aset, kesiapan infrastruktur, dan suprastruktur.

Di atas segalanya, pemerintah harus memprioritaskan keterlibatan masyarakat, masyarakat adat dan pemerintah daerah sekitar/daerah penyangga Ibu Kota Negara. Langkah tersebut tidak hanya sebagai bentuk penghormatan melainkan juga sebagai bentuk pengakuan terhadap keberadaan masyarakat daerah dan pemerintahannya yang memiliki kewenangan sebagaimana yang diatur dalam Konstitusi.

Pemindahan Ibu Kota Negara bukan sebatas membangun dan melakukan pemindahan infrastuktur kantor pemerintahan dari Jakarta ke Kalimantan Timur. Ini adalah masalah kompleks, menyangkut transformasi sistem kerja birokrasi pemerintahan, Sumber Daya Manusia, ekonomi dan lingkungan, dan sosial-budaya. Keseluruhannya harus pula memerhatikan Dampak Lingkungan dan Sumber Daya Hayati serta Geopolitik.

Mengingat kompleksitas persoalan dan dampak buruk yang berpotensi muncul, DPD RI meminta agar proses pemindahan Ibu Kota Negara dilakukan dengan tidak tergesa-gesa, dan penuh kehati-hatian dalam setiap tahapan yang dilakukan. Sekali lagi, pemerintah harus belajar dari pembangunan infrastruktur yang berakhir mengecewakan. (*)

421

Related Post