Gerakan 98 Kembali Memenuhi Panggilan Sejarah
Suka atau tidak suka tanpa disadari dan tidak sesuai dengan keinginan, era reformasi terus bergulir membuat Indonesia tidak menjadi lebih baik bahkan semakin buruk. Agenda utama dan yang menjadi prinsip reformasi, justru menjadi kontradiktif. Apa yang dulu digugat penggerak reformasi kini malah semakin menjadi-jadi. Aktivis 98 sebagai salah satu entitas sosial yang ikut berkontribusi melahirkan reformasi. Terpanggil sejarah, haruskan ikut bertanggungjawab atau berjuang keras memperbaikinya?. Lagi, sebuah gerakan moral baik dari dalam maupun dari luar kekuasaan.
Oleh Jusuf Blegur, Pegiat Sosial dan Aktivis Yayasan Human Luhur Berdikari
MESKI kelahiran reformasi telah dibajak oleh kaum ofortunis dan petualang politik. Aktivis 98 yang sebagian besar telah berada dalam lingkaran kekuasaan, namun sebagian lainnya masih tetap independen berpijak pada gerakan moral dan kritis pada penyelenggaraan negara. Kembali mengusung tema-tema basmi KKN, demokratisasi, supremasi hukum turunkan harga sembago dll. Eksponen aktivis gerakan 98 kini harus berhadapan dengan kenyataan pahit kondisi realitas sosial politik, sosial ekonomi dan sosial hukum yang pernah ditentangnya dalam agenda reformasi.
Saat hampir semua kekuatan 'civil society' dibungkam dan seluruh rakyat tak berdaya dalam cengkeraman rezim oligarki. Tidak tanggung-tanggung kekuasaan pemerintahan dibawah kepemimpinan rezim sekarang, jauh lebih buruk dan membahayakan kehidupan rakyat, dibandingkan kepemimpinan Soeharto yang dilengserkan gerakan reformasi. Apa yang telah dilakukan pada masa Orde Baru, kini terulang kembali bahkan lebih dari sekedar "abuse of power. Selain kekuasaan tiran yang otoriter dan suburnya kejahatan-kejahatan setara 'extra ordinay crime'. Pemerintahan dibawah komando presiden yang sering dijuluki publik sebagai boneka pembohong itu, beresiko tinggi menggadaikan dan menjual kedaulatan negara. Tak kalah memprihatinkan, negara terus mengalami pembelahan oleh kebijakan rezim. Berangsur-angsur dan terukur rakyat terancam degradasi sosial dan disintegrasi nasional.
Praktek-praktek penyimpangan penyelenggaraan negara sudah teramat melampaui batas. Kejahatan korupsi jauh lebih telanjang dan masif dipertontonkan, ketimbang yang dilakukan di era Soeharto. Kerusakan mental dan kebiadaban perilaku aparatur negara juga sudah menjalar ke semua level. Tindakan represi kekuasaan juga sangat agresif menindas dan menganiaya secara berlebihan. Rezim bengis memaksa rakyat untuk tunduk dan diam atau memilih dikriminalisasi dan atau berujung kematian. Ketidakberdayaan rakyat terus semarak, miris dan ironis tanpa pemimpin tanpa negara yang melindunginya. Politisi, tokoh agama, intelektual, mahasiswa dsb., bungkam seribu bahasa. Entah sudah melakukan perlawanan tapi mengalami kebuntuan, atau takut bercampur skeptis.
Ubedilah Badrun Memecah Kebekuan
Sejatinya, seorang Ubedilah Badrun adalah figur terdidik yang tumbuh kembang di dalam dan menjadi bagian dari gerakan reformasi. Aktifis 98 yang banyak dibekali kepemimpinan mahasiswa ini, memang melek kesadaran kritis dan semangat perlawanan terhadap penindasan sejak lama. Salah satu pemimpin gerakan mahasiswa 98 dan pendiri Forum Komunikasi Mahasiswa se-Jakarta (FKSMJ), tetap menyalurkan jiwa gerakan moral aktifis melalui peran akademis yang diembannya. Jadilah Ubedilah Badrun seorang dosen di UNJ sekaligus aktivis 98.
Langkah hukumnya melaporkan Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep, telah menghentak perhatian dan kesadaran publik. Bukan hanya dibahas dan mendapat respon nasional, terobosan Kang Ubed itu juga memunculkan sorotan internasional. Lebih dari sekedar mengusik posisoning politik hingga ke jantung kekuasaan presiden dan pemerintahannya. Tindakan elegan konstitusional Ubedilah Badrun juga membangkitkan gerakan moral bangsa yang terpuruk dan mengalami tidur panjang. Terutama saat kebanyakan gerakan berjuang mikir-mikir dan tak mau ambil resiko.
Kang Ubed sapaan akrabnya, telah memantik api yang menjadi titik awal dari tanggungjawab dan partisipas seluruh rakyat untuk menyelamatkan negara dan bangsa Indonesia. Melalui seluruh eksponen aktifis 98 dan para akademisi seprofesinya di belakangnya. Kang Ubed seperti mengajak seluruh elemen bangsa dan gerakan perubahan mengambil peran sejarah.
Politisi, intelektual, para pemimpin agama, organisasi massa, mahasiswa dan pelajar, serta seluruh instrumen kebangsaan lainnya yang masih menjunjung moralitas dan etika. Selayaknya menyambut gegap gempita dengan penuh tekad dan semangat untuk memperbaiki negara. Jangan biarkan Ubedilah Badrun seorang diri, tak cukup eksponen 98 dan akademisi membangun kerja-kerja perubahan.
Kang Ubed dengan penuh keyakinan dari semangat kebenaran dan keadilan, telah menjadi triger dari upaya menyelamatkan Indonesia tercinta. Bola kini ada ditangan rakyat, hanya rakyat yang bisa meneruskan cita-cita meluruskan kembali jalannya reformasi. Mengembalikan agenda reformasi yang telah dikhianati rezim kekuasaan dan sistem oligarki yang menyelimutinya.
Kini gerakan pro demokrasi dan kekuatan kebangsaan, dituntut mengembalikan Panca Sila dan UUD 1945 sebagai napas dan jalan hidup mewujudkan cita-cita proklamasi kemerdekaan RI. Aktifis 98 bersama seniornya aktifis 60an, 70an, 80an serta rakyat berada di persimpangan jalan, menuju kehancuran bangsa atau bangkit melawan kekuasaan dzolim yang irasional, kopeh dan melampaui batas. Pelopor reformasi ini bersama elemen gerakan kesadaran dan kritis lainnya serta seluruh rakyat Indonesia, harus memilih sekarang atau tidak sama sekali melihat dan merasakan NKRI.
Merawat kedaulatan negara seiring waktu terasa seperti "to be or not to be, dan menjaga masa depan republik menjadi "point of no return".
Save and support Ubedilah Badrun. Kembalikan agenda reformasi yang sebenarnya. Atau tak ada pilihan lagi selain revolusi. (*)