Jin Buang Anak, Istilah yang Dipelintir (Bukan) SARA
Oleh Ady Amar, Kolumnis
Jin buang anak, itu sekadar istilah untuk menyebut satu tempat yang jauh dan terpencil. Boleh juga jika mau ditambah, karena jauh dan terpencil, maka ia menyeramkan. Tentu menyeramkan itu tidak berarti ada jin apalagi kuntilanak atau genderuwo di sana.
Sekadar istilah, itu bukan makna sebenarnya. Bukan seolah itu benar-benar tempat jin buang anak. Adalah hal biasa, jika istilah itu jadi sebutan keseharian untuk penyebutan suatu tempat yang sulit dijangkau. Bahkan, istilah itu kerap jadi _guyonan_ pada seseorang yang lokasi tempat tinggalnya jauh dan sepi, lalu disebut dengan tempat jin buang anak.
Istilah apapun itu memang mudah dipelintir menjadi seolah itu penghinaan. Itu lebih pada siapa yang berbicara dan dalam konteks apa ia berbicara. Maka ribut-ribut, seperti sengaja diributkan, itu yang hari-hari ini mengena pada Edy Mulyadi. Beritanya seolah dibuat besar mengalahkan berita besar lainnya, yang memang besar.
Maka, Edy Mulyadi, seorang jurnalis senior yang kebetulan memilih bersikap kritis pada pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Maka pilihannya memakai "istilah" untuk menggambarkan sesuatu yang jarak tempuhnya jauh, itu dengan "jin buang anak" ditarik menjadi masalah besar. Seolah istilah yang disampaikannya itu mengandung unsur SARA. Maka, pada kasus tertentu penyebutan pada suatu istilah, itu pun bisa (dianggap) berunsur SARA. Meski tidak ditemukan sedikit pun unsur SARA. Tetap ditarik pada delik, dan itu kriminalisasi. Menakutkan.
Maka, pilihan narasi dan penggunaan istilah pada mereka yang acap bersinggungan dengan rezim, itu mesti hati-hati dan disampaikan dengan bahasa terukur. Tidak bisa bebas seperti mereka yang (sepertinya) kebal hukum, yang boleh seenaknya mengumbar narasi, bahkan sampai _nerobos_ unsur SARA sekalipun. Kepekaan menggunakan sebuah istilah, itu perlu. Sepertinya kepekaan itu agak kendor dipunya seorang Edy Mulyadi.
Karenanya, istilah "jin buang anak" seolah jadi kejahatan luar biasa, yang pelakunya jadi bulan-bulanan pihak yang tidak suka dengan gaya narasi yang dipilih Edy Mulyadi dalam aksi-aksinya selama ini yang kritis. Maka, momen istilah yang digunakan atas penolakan ditetapkannya Ibu kota negara (IKN) di Kalimantan, itu dipelintir pihak-pihak yang tidak menyukai pandangan politiknya. Dan istilah yang sebenarnya biasa-biasa saja, bisa dibuat menjadi kesalahan luar biasa.
Korban Istilah
Sikap Edy Mulyadi memang ksatria. Ia meminta maaf, jika ujarannya itu dianggap menyakiti warga Kalimantan. Sikapnya itu tidak perlu harus menunggu lama, atau setelah didesak-desak berbagai pihak. Edy Mulyadi tidak _mempeng_ merasa tidak bersalah. Menganggap apa yang disampaikannya itu cuma sekadar istilah untuk menggambarkan sesuatu tempat yang jauh atau terpencil. Pilihannya untuk sesegera mungkin meminta maaf, itu mestinya disikapi dengan baik. Dengan legowo.
Pilihan Edy Mulyadi meminta maaf, itu bagian dari kebesaran hatinya. Beda jauh dari Arteria Dahlan, yang pada awalnya menolak untuk meminta maaf pada etnis Sunda. Dan kemudian karena desakan berbagai pihak, mungkin juga desakan Ketua Umum partainya, PDIP, ia lalu meminta maaf. Apa yang disampaikan Arteria itu bukan istilah, tapi narasi yang jelas, bahwa ia keberatan bahasa Sunda digunakan di internal kalangan Sunda sendiri pada saat-saat rapat. Narasinya itu tafsir tunggal yang tidak bisa disangkal, bahwa ada unsur ketidaksukaan. Jadi tentu lebih dahsyat, jika ditarik pada proses hukum, dibanding istilah yang disampaikan Edy Mulyadi. Tapi setelah Arteria meminta maaf, maka berbagai protes masyarakat di Jawa Barat nyaris mereda.
Meminta maaf itu bentuk toleransi dahsyat, meski ia sebenarnya (bisa) dinilai tidak bersalah. Tapi seorang Edy Mulyadi memilih berdamai, itu sikap terpuji. Ia tidak ingin persoalan ini disalah tafsir tidak sebenarnya. Mestinya, sikapnya itu disambut warga Kalimantan, khususnya para pemimpin daerah, baik sipil maupun politik, terutama para Ketua Adat (Dayak) dengan uluran tangan tulus.
Janganlah kita yang sudah lebih dari tujuh dekade merdeka, tapi masih baperan membawa hal-hal remeh menjadi sesuatu. Istilah apapun itu mestinya tetap istilah yang tidak boleh ditarik pada sesuatu yang tidak semestinya. Apalagi ditarik pada politik karena unsur suka atau tidak suka. Istilah "jin buang anak" janganlah dianggap, seolah itu penghinaan. Justru jadikan itu modal pemecut, bahwa Kalimantan bukanlah tempat untuk jin buang anak. Selesai.
Banyak kasus besar tengah membelit negeri ini. Tentu itu bukan kasus istilah yang diujarkan Edy Mulyadi, yang seupil yang hari-hari ini digoreng dahsyat dianggap mampu menutup kasus-kasus besar dan seksi yang bertebaran. Edy Mulyadi sedang "disembelih" oleh mereka yang tidak menyukai langkah politiknya. Media mainstrim pun mengadili dengan tidak sebenarnya. Menghilangkan peran mengajarkan pada publik, yang belum mampu membaca sebuah istilah, apa yang sebenarnya terjadi dan bagaimana mesti menyikapinya. Kasihan Edy Mulyadi, dijebak oleh sebuah istilah yang pasti bukan SARA, tapi maknanya ditarik sekenanya. (*)