OPINI

Karma

Oleh Ady Amar *) Kata "karma" tiba-tiba menyeruak di ruang publik. Menjadi kata yang muncul bertubi-tubi di media sosial (medsos). Setidaknya sejak Senin, 22/11, semua lalu membuat simpulan atas kejadian perempuan tua yang dimaki-maki gadis muda, konon putri jenderal bintang tiga. Setidaknya itu pengakuannya. Dan sang anak dari ibu tua tadi, dikenal sebagai anggota DPR RI, ada di sampingnya. Ia adalah Arteria Dahlan, yang terus bertanya pada wanita muda tadi, siapa nama jenderal AD bintang tiga yang dimaksudnya. Tampak diacuhkan, tidak juga dijawab. Peristiwa itu di bandara Soekarno Hatta, dan sebenarnya cuma masalah sepele. Konon lagi, perempuan tua itu menghalangi jalannya. Maka terjadilah keributan. Videonya viral. Dan yang memviralkan kawan Arteria Dahlan sendiri, sesama anggota Komisi III, jadi viralnya video itu tampaknya memang sengaja dibuat menjadi viral. Apa maksudnya, biar ini bagian polisi untuk mengurainya. Netizen yang melihat video dan membaca pemberitaan soal itu, menyebut sebagai "karma" yang diterima sang ibu tua tadi. Itu karena ulah sang anak, Arteria Dahlan. Peristiwa pada acara Mata Najwa (2019), muncul sikap tidak selayaknya dari Arteria Dahlan yang menghardik dengan keras Prof Emil Salim, dalam perdebatan berkenaan dengan pelemahan KPK. Prof Emil Salim yang biasa tenang dan sejuk jika berbicara, sampai harus menggebrak meja saat ia berbicara dipotong terus menerus dengan tidak selayaknya. Telunjuk Arteria yang dibarengi intonasi bicara keras dan mata melotot ditujukan pada Prof Emil, lelaki tua yang usianya dikisaran 90 tahun. Sungguh pemandangan tidak sedap. Publik mengingat itu dengan baik, dengan stempel di benak, bahwa anggota DPR RI ini sebagai anak muda tidak sopan dan belagu. Tidak punya santun pada yang lebih tua. Bicaranya terkesan mau menang sendiri, sehingga tidak melihat lagi lawan bicaranya siapa. Baginya yang penting menyerang dan menang. Itu setidaknya ditunjukkan Arteria Dahlan dalam perdebatan itu. Maka, kejadian sang ibu yang diperlakukan dengan tidak semestinya di ruang publik oleh perempuan muda anak jenderal, dan itu di depan Arteria Dahlan, menjadikan publik senang. Mengingatkan publik, bahwa Arteria Dahlan juga memperlakukan Prof Emil Salim di hadapan jutaan mata yang menyaksikan acara itu dengan tidak selayaknya. Maka, kata "karma" dipakai melabeli ulah sang anak lelaki ibu tadi, yang menabur angin pada waktu tertentu, dan menuai badai pada kesempatan lainnya. Kata karma dipakai untuk menyebut ulah sang anak pada suatu waktu, yang menampol sang ibu di waktu lainnya. Karma itu sebenarnya konsep dalam agama Hindu, yang diserap untuk melabeli sebuah sebab akibat. Dan itu lebih dipakai pada hal-hal keburukan: jika berbuat tidak baik, maka pada suatu waktu karma akan datang dengan balasan keburukan. Mengapa karma tidak mengena pada sang anak, mengapa justru sang ibu yang menerima perbuatan tidak mengenakkan itu. Meski sebenarnya itu juga mengena pada sang anak yang ada di sampingnya, yang tampak sikapnya justru memble, tidak meledak-ledak, melihat sang ibu diperlakukan dengan tidak semestinya. Arteria tampak ciut juga dalam penampakan di video itu. Justru perempuan muda itu yang nekat dengan menunjuk-nunjuk sang ibu, seperti yang dulu ia lakukan pada Prof Emil Salim. Setidaknya orang lalu menyebut, itu sebagai "karma" yang muncul, tanpa ingin memperdebatkan konsep itu berasal darimana, tapi bisa jadi pembelajaran yang baik buat semuanya. Arteria Dahlan dan perempuan muda anak pak jenderal bintang tiga, yang entah siapa namanya, adalah produk manusia yang berjalan dengan nafsu amarah, yang bersandar pada kesombongan. Maka yang keluar dari mulut-mulut mereka adalah perkataan dan sikap tidak selayaknya. Tidak sedikit pun punya rasa hormat pada yang lebih tua. Sehingga tidak perlu jari telunjuk, mata melotot dan perkataan kasar dengan intonasi tinggi diumbar, seolah itu bagian dari mempertahankan harga diri. Itulah kesombongan. Itu aji mumpung namanya. Merasa kuat karena sedang menjabat sebagai anggota dewan yang terhormat, atau mumpung jadi anak seorang jenderal. Maka lakunya suka-suka. Dan, kita rakyat kebanyakan cuma ngelus dada jika menemui kesewenang-wenangan yang sama di ruang publik. Maka, jangan coba-coba melawan kesewenang-wenangan tanpa punya "gigi", jika tidak ingin diperlakukan dengan tidak semestinya. Pilihan sikap diam, itu tanda tahu diri, bahwa pamer kuasa itu tidak lah perlu dilawan. Jika tidak ingin dapat kalimat kasar, bahkan tidak mustahil bogem mentah mendarat di pipi. Maka, sikap bersabar melihat arogansi oknum yang sedang berkuasa itu mesti dipunya. Melawan, di samping tidak ada manfaat, itu juga perlawanan tidak seimbang. Untuk melawan kesewenangan itu tidak harus menunggu karma, itu bagai menunggu godot, tapi membuat "barisan" mengedepankan perlawanan dengan sikap-sikap terpuji. (*) *) Kolumnis

Diskriminasi Hukum

Oleh M Rizal Fadillah Pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh aparat pada peristiwa pembunuhan 6 anggota Laskar FPI baru dilakukan proses peradilan 10 bulan setelah peristiwa terjadi. Masalah lama proses adalah keanehan hukum untuk peristiwa yang sangat mudah dalam pembuktian dengan kejelasan pelaku dan banyak saksi. Hal yang terang benderang kejahatannya. Hebatnya tersangka yang kemudian menjadi terdakwa tidak ditahan atau dapat berkeliaran bebas. Berbeda dengan peristiwa ikutannya yaitu penangkapan mantan Sekretaris Umum FPI Munarman yang sejak bulan April 2021 hingga kini belum jelas juntrungannya. Ditahan dengan tuduhan tindak pidana terorisme. Proses penyelidikan dan penyidikan yang sangat berlarut-larut seperti menghukum sebelum dihukum. Tidak ada aksi kekerasan atau ancaman kekerasan yang dilakukan sebagaimana rumusan UU Antiterorisme. Samar samar tuduhan hanya ceramah dan menghadiri acara baiat. Itupun terjadi tahun 2015. Sedemikian sumir peristiwanya. Dua peristiwa di atas menggambarkan betapa hukum berlaku secara diskriminatif bahkan paradoks. Untuk peristiwa pertama semestinya dilakukan penahanan, pengawasan ketat, bahkan pemecatan. Sedangkan untuk kedua dapat dilakukan proses hukum biasa tanpa penangkapan demonstratif yang cenderung melanggar HAM. Munarman adalah advokat yang sedang menjalankan tugas profesinya. Tidak sedang bersembunyi. Diskriminasi hukum sangat kentara ketika hukum ditempatkan sebagai alat kepanjangan kekuasaan. Hukum yang berada dalam kangkangan politik. Tidak jauh berbeda dengan masa penjajahan dahulu dimana hukum bukan untuk membuka ruang keadilan tetapi memang untuk menghukum lawan politik atau penentang kekuasaan. Dua aturan hukum yang saat ini up date untuk menjadi alat kepanjangan politik yaitu UU ITE dan UU Antiterorisme. Dengan UU ITE betapa mudah pelapor abal abal melaporkan sasaran pesakitan untuk diproses perbuatan pencemaran atau hoaks. Kriminalisasi untuk membungkam kebebasan berekspresi dan perbedaan pandangan politik mudah ditarik ke ranah UU ITE. Pasal karet digunakan. Demikian juga dengan UU Antiterorisme yang awalnya dibuat untuk kasus spesial super berat kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan rasa takut, korban massal, kerusakan atau kehancuran obyek vital strategis, kini bisa ditarik ke "menghadiri baiat" atau dalam kasus mutakhir "membuat kotak amal" dan "berkebun kurma". Tuduhan yang jauh dari semangat pembuatan UU Antiterorisme tersebut. Apalagi sampai menyasar kepada lembaga keagamaan MUI segala. Terorisme negara lebih menakutkan, mengancam dan merusak daripada terorisme swasta. Perjuangan berat saat ini adalah menegakkan aturan Konstitusi yang berbunyi : "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan hukum yang sama di hadapan hukum" (Pasal 28D ayat 1 UUD 1945). *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Cakar-cakaran Berebut Pengaruh dan Kue Kekuasaan di lingkaran Jokowi

Oleh: Yusuf Blegur Kasus terlibatnya para pejabat dalam bisnis pengadaan alat tes PCR, selain menyedot perhatian juga melahirkan gugatan publik. Menariknya, salah satu krisis penanganan pandemi selain korupsi bansos yang lagi-lagi menyeret para menteri Jokowi, juga rotes unjuk rasa dan gugatan hukum, tak hanya dilakukan oleh kekuatan oposisi, tetapi elemen kritis seperi Prodem hingga Joko Mania yang relawan Jokowi pun ikut ambil bagian dalam karut-marut pengadaan PCR di tengah pandemi. Emanuel Ebanezer yang menjadi ketua Jokowi Mania belakangan kencang dan tajam menyerang menteri-menteri Jokowi yang dituding terlibat korupsi. Setidaknya terkait nepotisme dan kolusi dalam bisnis PCR seperti yang diungkap Iwan Sumule Ketua Prodem. Emanuel Ebanezer yang biasa dipanggil Noel, secara terbuka dan lantang menyampaikan tuntutan hukuman mati bagi semua yang terlibat dalam kasus PCR. Lebih lanjut Noel menyatakan, lingkaran Jokowi banyak diisi oleh penjahat-penjahat layaknya monster yang menggerogoti kekuasaan Jokowi. Noel relawan Jokowi yang berlatar dari eksponen 98. Seperti menyuarakan kegelisahan dan tuntutan publik. Tak tanggung-tanggung, Emanuel Ebanezer meminta pelaku extra ordinary crime termasuk para menteri yang terlibat bisnis PCR dan terbukti melakukan korupsi. Harus di hukum gantung, celoteh aktifis pergerakan yang bermetamorfosis jadi relawan pilpres pendukung Jokowi. Saling Sikut dan Adu Jotos Jokowi kini benar-benar dalam tekanan yang hebat dan seperti mengalami depresi. Selain dirongrong oleh kinerja para menterinya yang jeblok. Jokowi sampai harus marah-marah dan menunjukan temperamennya di hadapan jajaran direksi dan komisaris PLN serta Pertamina. BUMN primadona yang dililit banyak masalah. Kondisi miris yang jadi tontonan publik. Di satu sisi betapa bobroknya orang-orang lingkaran kekuasaan. Di lain sisi menegaskan betapa lemahnya nenejemen kepemimpinan Jokowi sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Jokowi pada esensinya menjadi yang paling bertanggungjawab atas karut-marutnya negara. Banyak yang menduga gestur, gimick dan mimik Jokowi yang emosi merupakan reaksi dari pernyataan Erick Tohir yang menyeretnya dalam kasus PCR. Ditambah lagi jejengkelan dan amarah terpendam Jokowi terhadap kinerja para menteri lainnya yang minimalis dan suka blunder. Jokowi seperti seolah-olah sedang giat kerja dan bersih-bersih tapi seketika dilempari kotoran di mukanya oleh konco-konconya sendiri. Hasilya Jokowi dinilai publik sebagai "King of The Lip Service" dan raja-rajakekonyolan lainnya. Lemahnya kepemimpinan serta kemampuan yang dibawah ekspektasi dan kapasitas. Membuat banyak pihak pesimis terhadap tata kelola negara dibawah pemerintahan Jokowi. Bahkan publik sudah pada satu kesimpulan bahwasanya, Jokowi harus mundur demi kepentingan dan keselamat rakyat, negara dan bangsa. Jokowi Mania sendiri melalui Emanuel Ebanezer, mengakui dan bersikap tegas. Bahwa kekuasaan dilingkari penjahat-penjahat yang membentuk gangster yang merampok uang negara dan membangun dinasti politiknya. Emanuel Ebanezer sesungguhnya menelanjangi secara langsung dan tidak langsung Jokowi. Meski dia berusaha mencari kambing hitam kisruh penyelenggaraan negara. Sekaligus justifikasi terhadap Jokowi yang dianggapnya baik dan cuma dikelilingi para penjahat dari dalam lingkungannya. Atau mungkin juga manuver Emanuel Ebanezer merupakan 'by desain'. Apa yang disampaikan Ketua Joman itu, sebenarnya merupakan bahasa Jokowi. Presiden sedang menggunakan instrumennya untuk menggebuk orang disekelilingnya. Ini menjadi kebiasaan dan seperti karakter Jokowi yang tidak pernah berani menghadapi secara konfrontasi langsung orang yang tidak disukainya atau mengkritiknya. Termasuk orang dekatnya yang penting dan berpengaruh, namun sering membuat masalah. Atau mungkin juga ini cuma presur dan upaya bargaining pentolan Joman yang ingin berebut pengaruh dan mendapat kue kekuasaan lebih banyak lagi. Seperti apa yang selama ini dilakukan lingkaran dalam kekuasaan Jokowi dalam balutan oligarki dan partisan politik lainnya. Tampaknya, cakar-cakaran dan saling sikut di "inner circle" Jokowi semakin eskalatif dan akumulatif menggerogoti pemerintahan dan beresiko pada korban rakyat dan kehancuran negara. Seiring dan menjadi indikator akan tumbangnya rezim kekuasaan Jokowi yang kisruh di dalam dan di luar dirinya. Penulis, Pegiat Sosial dan Aktifis Yayasan Human Luhur Berdikari.

Bahaya "Long Covid" bagi Penyintas

Oleh: Mochamad Toha Dr David Johnson, Kepala Departemen Gastroentologi pada Eastern Virginia Medical School mengungkap, masalah pada sistem pencernaan dapat timbul sebagai gejala lanjutan COVID-19. Ini dikenal sebagai Long Covid-19, yakni saat kerja dan fungsi organ menjadi terganggu akibat infeksi virus itu. Gejala-gejala yang dirasakan usai sembuh dari Covid-19 ini merupakan bagian dari Long Covid. Pada awal kemunculan Covid-19, virus ini diketahui memengaruhi saluran pernapasan. Namun belakangan ini malah semakin banyak pasien Covid-19 yang mengalami gangguan pencernaan. Setelah melalui riset, ternyata virus penyebab Covid-19, yakni SARS-CoV-2 ini, bisa menginfeksi sel-sel di saluran pernapasan dan pencernaan. Sel usus yang terinfeksi memicu pelepasan sitokin, yaitu protein yang berperan dalam proses peradangan. Proses itu bisa menyebabkan gejala yang memengaruhi sistem pencernaan. Bahkan, banyak penyintas Covid-19 yang terus-menerus mengalami gangguan pencernaan meskipun sudah dinyatakan sembuh dari Covid-19. Kondisi itu, senada dengan pernyataan dr. Rabbinu Rangga Pribadi, SpPD, staf medik Divisi Gastroenterologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSCM-FKUI, bahwa pada beberapa kasus Covid-19, pasien bisa datang dengan keluhan gejala penyakit asam lambung, khususnya gastrointestinal (GI). Artinya, pasien datang bukan hanya mengeluh sesak napas dan demam, tapi juga gejala gastrointestinal berupa mual, muntah, dan tidak nafsu makan. Ini terungkap saat diskusi Webinar 'Kupas Tuntas Penyakit Asam Lambung' yang diselenggarakan Kalbe, Kamis (18 Februari 2021). Adapun data di laporan Medical News Today menunjukkan, gejala GI memang menjadi bagian dari gejala Covid-19. Gejala GI paling umum adalah kurang nafsu makan (19,9%), tidak mampu mencium bau dan rasa (15,45%), diare (13,2%), mual (10,3%), muntah darah atau perdarahan GI (9,1%). Bahwa gejala terkait sistem pencernaan terjadi akibat virus merusak jaringan sistem pencernaan, yang biasanya menimbulkan gejala seperti nyeri, mual, dan diare. Bahkan, beberapa penelitian juga menunjukkan, Covid-19 dapat mengubah mikrobiota pada usus. Ingat, dalam usus-12 jari itu terdapat sekitar 17 juta mikrobiota dengan tugas membantu pencernaan. Untuk membantu memelihara daya tahan tubuh serta mengatasi berbagai gangguan saluran pencernaan, saat ini telah hadir produk herbal berkualitas yang telah memperoleh izin BPOM. Produk herbal itu mengandung herbal dengan bahan utama kunyit (ekstrak Curcuma domestica rhizoma) dan daun kelor (ekstrak Moringa oleifera folium). Berikut adalah penjelasan kandungan dan manfaat yang terdapat di kunyit dan daun kelor (sumber: Buku Saku Bahan Pangan Potensial untuk Anti Virus dan Imun Booster, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian). Senyawa utama rimpang kunyit yaitu kurkuminoid, suatu golongan flavonoid yang memiliki 3 senyawa turunan, yaitu kurkumin, bisdesmetoksikurkumin, dan desmetoksikurkumin. Bahwa, kunyit sudah banyak diteliti baik secara in vitro maupun in vivo pada tahap pra klinis serta riset klinis dan terbukti memiliki banyak manfaat bagi kesehatan. Tidak kurang dari 3000 uji pra klinis telah dilakukan terhadap kurkumin. Manfaat kunyit secara umum bagi kesehatan antara lain sebagai antioksidan, antiinflamasi, antitumor, antimikroba, pencegah kanker, menurunkan kadar lemak darah dan kolesterol, serta sebagai pembersih darah. Hasil uji klinis kurkumin ini bisa meningkatkan sistem imunitas tubuh, yaitu berperan sebagai imunomodulator. Kurkumin bersama beberapa bahan aktif sudah diteliti berpotensi sebagai kandidat antivirus SARS-CoV-2. Kurkumin mampu berikatan dengan reseptor protein SARS-CoV 2, melalui ikatan dengan domain protease (6Lu7) dan spike glikoprotein. Ikatan ini berpotensi untuk menghambat aktivitas Covid-19. Hasil penelitian lain di India juga menyimpulkan, kurkumin dan katekin, keduanya itu memiliki ikatan/afinitas yang kuat dengan S-protein dan ACE2. ACE2 merupakan reseptor/pintu masuk virus. Hal itu menunjukkan bahwa kurkumin bisa memblokir reseptor sel inang untuk masuknya virus sehingga infeksi virus bisa dicegah. Selain itu kedua polifenol tersebut (kurkumin dan katekin) merupakan imuno stimulan yang kuat. Kurkumin diketahui menghambat pelepasan senyawa tubuh penyebab peradangan atau sitokin proinflamasi seperti interleukin-1, interleukin-6 dan tumor necrosis factor-α. Pelepasan sitokin dalam jumlah banyak (badai sitokin) dapat menumpuk pada organ paru-paru kemudian menimbulkan sesak. Dengan terhambatnya pengeluaran sitokin, maka tidak akan terjadi badai sitokin. Mekanisme ini menjelaskan tentang peran kurkumin dalam mencegah terjadinya badai sitokin pada infeksi virus. Kurkumin juga memiliki efek menghambat proses pertumbuhan virus, baik secara langsung dengan cara merusak fisik virus maupun melalui penekanan jalur pensinyalan seluler yang penting dalam proses replikasi virus. Daun kelor mengandung senyawa fenolik, flavonoid, saponin sitokinin dan asam caffeolylquinat yang merupakan sumber antioksidan. Daun kelor juga mengandung komponen asam lemak tak jenuh diantaranya yaitu linoleat (omega 6) dan alfalinolenat (omega 3). Asam amino esensial juga terdapat di dalam daun kelor, yaitu asam aspartat, asam glutamat, glisin, treonin, alanin, valin, leusin, isoleusin, histidin, fenilalanin, lisin, triptofan, sistein dan metionin tersebut bisa meningkatkan sistem imunitas tubuh. Komponen aktif yang terdapat pada daun kelor cukup banyak, yaitu dari golongan glikosida, fenol, sterol, flavanol yang penting untuk membangun sistem imunitas dan nutrisi bagi tubuh. Dua komponen aktif glikosida daun kelor yaitu niazirin dan niazirinin, selain itu kuersetin dan kaemferol ada pada komponen flavonoidnya, yang terdiri dari quercetin-3-O-glukosida, quercetin-3-O (6-mlonylglukosida), kaemferol-3-O (glukosida) dan kaemferol-3-O (6-malonyl-glukosida), asam 3-caffeoylquinat dan asam 5-affeoylquinat. “Tiokarbamat dan isotiosianat memiliki kemampuan sebagai antitumor dan menurunkan tekanan darah,” ungkap salah seorang periset herbal Indonesia dari PT Bios Pro Siklus. Secara ringkas perpaduan kedua bahan utama yang ada pada formula herbal, yakni ekstrak kunyit dan ekstrak daun kelor dapat membantu meningkatkan kesehatan saluran cerna serta meningkatkan imunitas di dalam tubuh untuk melawan berbagai infeksi, termasuk infeksi yang disebabkan oleh virus. Penulis Wartawan FNN.co.id

"Saya Anak Bintang Tiga” Terjadi di Semua Bilik Kekuasaan

By Asyari Usman “Saya anak bintang tiga” sebenarnya terjadi di mana-mana. Di semua bilik kekuasaan. Bahkan di level yang tertinggi sekali pun. Hanya saja ‘setting’-nya berbeda dan bahasanya juga lain. Tidak langsung dikatakan “Saya anak Panglima Tertinggi”, milsanya. Tapi, itu terjadi. Sering tanpa ucapan atau intsruksi. Singkatnya, “abuse of power” (penyalahgunaan kekuasaan) itu terjadi meluas. Jalan mulus yang disediakan di pilkada untuk para calon VVIP adalah bentuk “Saya anak bintang tiga” seperti yang diucapkan oleh seorang wanita ‘hebat’ kepada anggota DPR PDIP, Arteria Dahlan, dalam insiden di Bandara Soekarno-Hatta beberapa hari lalu. Ada beberapa orang yang ikut pilkada dan bisa menang mudah. Diduga kuat para calon VVIP itu dibantu penuh oleh para pejabat pemerintah setempat. Ini jelas “Saya anak bintang tiga” versi lain. Ini jelas penyalahgunaan kekuasaan. Berlangsung di seluruh pelosok dan sektor. Ada menteri yang terkait dengan pertambangan batubara. Ada juga yang terkait dengan bisnis PCR. Bukankah ini “abuse of power”? Arteria sudah benar menuntut agar Panglima TNI dan KSAD membenahi “abuse of power” protokol TNI oleh wanita yang memaki-maki ibu anggota DPR yang sarat dengan kontroversi itu. Tetapi, Arteria sebaiknya melakukan gerakan berantas penyalahgunaan kekuasaan dengan lebih luas lagi. Termasuk di lingkungan DPR sendiri. Di DPR banyak “abuse of power”. Ketuaya, Puan Maharani, juga melakukan itu. Dia mematikan mik anggota dewan yang ingin menggunakan hak berkomentar. Puan bertindak otoriter. Puan menyalahgunakan kekuasaannya. Tidak jauh beda dengan perempuan anak bintang tiga itu. Begitu juga pengesahan UU Omnibus Law dan revisi UU yang membuat KPK menjadi lemah dan tebang pilih. Ini semua terjadi karena penyalahgunaan kekuasaan. Yang dilakukan secara kolaboratif oleh pemerintah dan DPR. Sedikit ke belakang. Pangdam Jaya Dudung Abdurrachman menyalahgunakan kekuasaan dengan mengerahkan sejumlah panser dan unit militer lainnya ke Petamburan akhir November 2020. Waktu itu, tentara dikerahkan untuk menurunkan baliho H125. Nah, sekarang bagaimana mungkin Dudung sebagai KSAD diminta oleh Arteria untuk membenahi penyalahgunaan kekuasaan? Penyalahgunaan kekuasaan juga dilakukan oleh para pejabat tinggi lainnya. KSP Moeldoko melakukan ini dalam upaya untuk mengambil paksa Partai Demokrat. Ini tidak mungkin dilakukannya kalau dia bukan pejabat yang memegang kekuasaan besar. Di tingkat terendah, “abuse of power” juga ada. Contoh, apakah sepedamotor atau mobil “fore rider” (forijder) bisa diminta mengawal kendaraan jenazah semua orang? Saya belum pernah dengar. Tapi saya sering lihat mobil pembawa jenazah kelompok orang berduit, dikawal oleh kendaraan Patwal. Dan Anda mungkin masih ingat kasus pengawalan orang hebat ketika ‘jogging’ di Bali pertengahan Oktober 2020. Jadi, bagus sekali kalau Arteria Dahlan melancarkan kampanye nasional melawan penyalahgunaan kekuasaan. Pasti banyak yang mau ikut. InsyaAllah DPR bersih, Istana bersih, TNI-Polri bersih, dan semua kontestasi demokrasi menjadi besih. Tidak ada lagi walikota yang terpilih dengan indikasi “abuse of power”.[] (Penulis wartawan senior FNN)

Kekuasaan Kian Sekarat

Oleh: Yusuf Blegur Saat kekuasaan semakin represif dan bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya, sejatinya kekuasaan tidak sedang menunjukkan kekuatannya. Justru sebaliknya, bukan cuma sekadar kelemahan. Kekuasaan itu malah terlihat sedang limbung dan mengalami sakit yang serius. Sebenarnya tak berdaya tapi memaksakan menjadi dzolim. Serba permisif dan terkesan melakukan pembiaran terhadap korupsi dan extra ordinary crime lainnya. Kejahatan-kejahatan institusional dilakukan secara kolektif kolegial yang dilakukan dengan masif, sistematik dan terorganisir dalam penyelenggaraan negara. Sementara di sisi lain begitu tegas, keras dan terkesan bengis dalam menyikapi suara kritis. Rezim yang di dalamnya digerogoti oleh disfungsi dan kerusakan baik dari sistem maupun aparaturnya, berangsur-angsur dan perlahan, sedang menuju kematiannya. Ia hanya menunggu waktu untuk terhempas dari kekuasaannya. Baik secara konstitusional maupun oleh tuntutan gerakan rakyat di luar mekanisme formal. Jatuhnya kekuasan dengan proses 'soft landing' atau harus menempuh terjadinya 'bleeding', bisa saja mengiringi transisi kekuasaan yang akan berlangsung. Rezim dan kroninya akan dipaksa dan terpaksa mundur secara terhormat atau dengan cara dinistakan. Kekuasaan yang dijalankan oleh rezim yang hanya memiliki legalitas tanpa legitimasi, menandakan bahwa rezim sudah tidak lagi memiliki kepercayaan dari rakyat. Apalagi jika sudah muncul sikap skeptis dan apriori dari publik. Bahkan diolok-olok dan dipermalukan oleh rakyatnya sendiri. Desakan dan tuntutan mundur kepada seorang presiden, pada substansinya telah menegaskan sosok dan jabatan yang melekat padanya, sudah tidak berfungsi dan berlaku lagi. Keputusan dan kebijakan sebagai seorang pemimpin tak akan lagi akan didengar, didukung dan dilaksanakan rakyat. Hanya butuh administrasi dan kaidah hukum untuk melengkapi sekaligus mengesahkan seorang presiden harus meletakkan jabatannya. Bukan hanya kegagalan-kegagalan program pembangunan dan runyamnya kebijakan strategis lainnya. Rezim oligarki sekaligus boneka konspirasi global ini, dinilai telah membawa kehidupan rakyat, bangsa dan negara pada kemunduran. Apa yang dihasilkan pemerintahan selama ini justru menimbulkan kerusakan dan kehancuran dalam pelbagai sektor kehidupan. Setidaknya ada tiga aspek penting dan fundamental yang selama ini dinyatakan oleh banyak pihak, telah hilang dalam tata kelola negara. Pertama, terkait kedaulatan dalam bidang politik. Kedua, soal kemandirian ekonomi. Ketiga, kegagalan melahirkan kebudayaan yang berkepribadian bangsa. Semua prinsip dan nilai-nilai kebangsaan itu sudah terlepas, dimiliki dan dikuasai asing. Rakyat dan negeri ini sudah kadung dieksploitasi. Dirampok hartanya dan diberangus hak asasinya. Negara kekuasaan dengan sadar atau tanpa sadar, harus menggerus dan memakan tubuhnya sendiri. Pada akhirnya harus mengorbankan rakyat dengan pelbagai kesengsaraan dan penderitaan hidup. Alam pun ikut bereaksi memperlihatkan murkanya. Dari banjir Sintang Kalbar hingga Mandalika yang pongah dan memalukan di Lombok. Seakan muncul sebagai penolakan proyek lumbung pangan yang serampangan dan lintasan sirkuit yang ceroboh mengabaikan kelestarian alam dan memanipulasi hak rakyat atas tanah. Rakyat hanya punya simbol-simbol dan lambang negara tanpa keberadaan Panca Sila, UUD 1945 dan NKRI yang sesungguhnya. Rakyat seperti berada di negeri merdeka yang terjajah. Direndahkan martabat dan harga dirinya oleh bangsa asing, sembari dikhianati oleh sebagian bangsanya sendiri. Hidup sebagai budak dan didera penderitaan panjang di negeri yang terbilang penuh anugerah. Kehilangan faktor-faktor mendasar dan prinsip dalam membangun negara tersebut. Pada hakekatnya sama dengan keadaan negara dengan raga saja tanpa kehadiran jiwa. Hanya lahiriah tanpa batiniah. Negara dengan adat kekuasan, seperti zombie yang memangsa siapa saja dan mencari korban yang paling lemah. Kenyataannya akan menampilkan ketiadaan aturan, hukum rimba dan kebiadaban di sana-sini. Jika tidak ada lagi yang bisa dikorbankan. Gerombolan penguasa itu saling memangsa dan berusaha mempertahankan diri dan meneruskan kesinambungan kehidupannya masing-masing. Sampai tidak ada lagi yang bisa dimangsa, tidak lagi yang bisa dikanibal sesamanya. Monster kekuasaan itu pada akhirnya mengalami sekarat. Menghadapi kematian karena pertarungan di kalangannya sendiri. Dengan realitas dan fakta tak terbantahkan bahwasanya NKRI dalam keadaan gawat. Kebhinnekaan dan kemajemukan bangsa saban hari makin tersekat. Degradasi sosial dan disintegrasi nasional terus menguat. Kebijakan dan perilaku aparat cenderung menampilkan banyak maksiat. Diperburuk dengan kepemimpinan yang sarat mudharat. Akankah negara ini pulih dan kembali menjadi sehat ?. Atau mungkin juga solusi terbaik dari kekuasaan yang kian sekarat. Tidak ada kata dan pilihan lain lagi, selain harus segera tamat. Penulis, Pegiat Sosial dan Aktifis Yayasan Human Luhur Berdikari.

Agama Para Buzzer

Oleh Ady Amar *) ADA yang bertanya, apa sih agama para buzzer itu? Pertanyaan serius tentunya. Memang pantas itu ditanyakan. Fenomena buzzer makin hari makin menjadi atau ngelunjak dengan intensitas menyerangnya, bahkan melecehkan agama. Sudah keterlaluan. Maka menjadi wajar jika ada yang bertanya, apa sebenarnya agama para buzzer itu. Karena mustahil orang beragama apalagi mengaku Islam, bisa menjadi buzzer. Teringat apa yang dikatakan Allahyarham Ustadz Tengku Zulkarnain, berkenaan posisi seseorang yang mengaku Islam tapi berprofesi sebagai buzzer, "Jika ia beragama Islam, maka ia telah murtad." Makna murtad di sini tentu tidak semacam Sukmawati Soekarnoputri, yang deklarasi pindah agama dengan melakukan ritual Sudhi Wadani, upacara pelepasan agama ayah bundanya, dan memilih agama Hindu. Pastinya itu juga akan dilanjut dengan perubahan pada kolom agama di KTP nya. Murtadnya para buzzer, sebagaimana dimaksud Ustadz Tengku Zul di atas, itu tidaklah akan sampai berani melepas agama Islam di KTP nya, meski tiap saat mereka menyerang Ulama dan para aktivis dakwah. Bahkan agamanya sendiri dilecehkan dan jadi bahan candaan. Pilihan sikap itu yang bisa disebut murtad. Tapi ada pendapat lain menyebut, bahwa sebenarnya para buzzer itu tidak beragama (atheis). Karena cuma atheis yang bisa mencaci maki dan mengolok agama (Islam) sepuasnya. Itu bisa diserupakan dengan era Orde Lama dulu, di mana kesenian ludruk, yang saat itu jadi primadona tontonan rakyat, disusupi Lekra, sebuah lembaga kesenian rakyat yang berafiliasi pada PKI. Kerap lakon pertunjukannya menghina Islam. Bahkan menyerupakan Allah dengan makhluk, yang bisa kawin dan mati. Misal, muncul pertunjukan ludruk di Jawa Timur, tahun 1960 an, dengan lakon Gusti Allah Mantu (Tuhan Dapat Menantu) dan lakon Matinè Gusti Allah (Matinya Tuhan). Maka korelasi bisa ditarik, bahwa agama seseorang, apapun itu, jika memilih buzzer sebagai profesi, itu sebenarnya pilihan menjadi murtad, pilihan menjadi atheis. Karenanya, pertanyaan apa agama para buzzer, itu setidaknya bisa terjawab: tidak beragama dan bahkan tidak mengakui keberadaan Tuhan (atheis). Bisa atas kesadarannya sendiri memilih jalan atheis, atau bisa karena kebodohannya yang menjadikan ia atheis. Mayoritas para buzzer memang bodoh, bahkan masuk kategori akut, yang cuma bisa mendengung atau menggonggong jadi profesi dengan imbalan tidak seberapa. Perbuatan yang cuma bisa dilakukan oleh orang yang tidak beragama. Dengan menanggalkan agama, para buzzer itu menjadi fasih dalam menghina agama sesukanya. Tidak merasa sedikit pun jengah dengan apa yang diperbuat. Adalah hal biasa, jika agama jadi bahan candaan-hinaan. Itu bisa makin menjadi, jika hati memang sudah lama mati. Mereka tiap saat menjadi makin beringas memproduk ujaran hinaan/pelecehan pada ulama lurus, yang berdakwah amar ma'ruf nahi munkar. Pelecehan juga menyasar pada tokoh yang punya kepakaran pada bidang tertentu, yang memilih berjarak dengan rezim pemerintahan. Maka, para buzzer menyerang yang bersangkutan dengan menyasar personalnya secara kasar dan sadis. Setidaknya hari-hari ini suasana demikian dihadirkan. Kesabaran pun Ada Batasnya Para buzzer acap beraksi dengan laku aneh-aneh, laku bodoh, yang pastinya ingin mengundang respons. Baru saja pentolan buzzer diberitakan menikah, itu secara Islami. Tiba-tiba memposting dengan istrinya sedang sembahyang di Pura, tampaknya di Bali. Postingan yang berharap umat Islam merespons marah dengan kelakuan bodohnya itu. Tapi yang muncul justru netizen beramai-ramai mendoakan, agar yang bersangkutan bisa secepatnya pindah agama. Umat sepertinya senang jika ia pindah agama. Para buzzer itu, banyak kalangan menyebut, bekerja untuk istana. Bekerja untuk rezim. Memang itu yang tampak. Maka setiap yang mencoba mengkritisi kebijakan rezim, maka bersiap-siap dihajar para buzzer di seputar kekuasaan. Bukan dengan beradu argumen ilmiah dengan pengkritik kebijakan tadi, tapi menghajar personal yang bersangkutan dengan hal yang sama sekali tidak ada hubungan dengan apa yang dikritik- dikoreksinya. Membuka aib yang bersangkutan, meski itu dengan tidak sebenarnya, memfitnah. Itu hal biasa. Dilakukan agar menimbulkan ketakutan pada yang lain untuk tidak coba-coba nekat memilih jadi oposan berseberangan dengan rezim. Maka, siapa saja akan dihajar dengan dirusak nama baiknya, bahkan jika itu harus menyasar pada bapak kandungnya sekalipun, buatnya itu tidak masalah. Fenomena buzzer dihadirkan dengan cakupan pekerjaan tidak saja mengamankan kebijakan rezim, tapi juga menghantam pejabat siapa pun itu, yang sekiranya bisa menjadi ancaman kekuatan masa depan. Maka, Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, jadi pihak yang disasar terus menerus dengan pemberitaan tidak sebenarnya. Di mata para buzzer, Anies tampak tidak ada baik-baiknya, tidak ada benar-benarnya, bahkan tidak berprestasi. Anies dikesankan sebagai gubernur gagal. Publik seolah bisa digiring dengan nalar koplaknya. Menghantam terus menerus pada tokoh tertentu, itu seperti gerakan yang dikomando. Atau kata lain dari "pesanan", sebuah konsekuensi dari pekerjaan yang dipilihnya. Maka, jangan heran jika karya berjibun yang ditoreh Anies Baswedan, seperti tidak terlihat. Bahkan dicari kesalahan, meski tidak ditemukan, tetap saja digoreng dengan tidak sebenarnya. Maka, jagat pemberitaan pada Anies dibuat atau dihadirkan dengan negatif yang tidak sebenarnya. Anies Baswedan, juga para ulama yang memilih dakwah tidak hanya bisa menyanjung penguasa, tanpa bisa memerankan peran nahi munkar, itu pun jadi sasaran empuk dihajar para buzzer. Habib Rizieq Shihab, Ustadz Abdul Shomad diantaranya, terus dihantam bertubi-tubi sekenanya. Ia dikesankan seolah musuh utama negara. Teranyar adalah Ustadz Dr. Anwar Abbas, Wakil Ketua MUI, yang memang kritis jadi sasaran untuk dikesankan buruk. Bahkan MUI sebagai lembaga berkumpulnya Ormas-ormas Islam pun disasar dengan menyuarakan pembubarannya. Itu karena satu anggota pengurusnya dicokok Densus 88, padahal itu baru dugaan terlibat jaringan teroris. Kerja para buzzer ini sudah terlalu jauh dan amat berbahaya. Mestinya, perannya dihentikan. Sudah pada tahap mengkhawatirkan jika harus diterus-teruskan. Kesabaran umat pun ada batasnya, dan itu mestinya disadari. Para buzzer memang tidak mengenal kata dosa. Karenanya, tidak merasa ada pertanggungjawaban pada Tuhan, tentu dalam pandangan umum, menjadikan sikapnya merasa tidak ada yang perlu ditakutinya. Ditambah lagi, apa saja yang dilakukan itu aman-aman saja. Tidak berlaku UU ITE buatnya. Ia menjadi kebal hukum. Para buzzer memang tampak dimanjakan. Tapi waktu pun terus bergerak, dan pada saatnya akan mampu menghentikan kesewenangan. Gusti Allah ora sare. (*)

Saatnya Kita Mandiri dengan Platform Digital Model Sendiri (3)

Oleh: Agus M Maksum PRINSIP utamanya adalah aplikasi harus dimiliki oleh komunitas, bukan komunitas diakuisisi user dan potensinya oleh pembuat aplikasi. Al Quran Surat Al Hasyr 59 : 7 memberikan perintah dengan tegas: Agar Ekonomi diatur Supaya Harta/Aset tidak berputar di miliki oleh orang-orang kaya saja. Inilah prinsip utama model Bisnis Syariah yang akan kita jadikan pijakan yakni Distribusi Modal/Aset dan Sharing Ekonomi, Model Bisnis ini juga implementasi dari Prinsip Ekonomi Konstitusi Dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau kepemilikan anggauta-anggauta masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas usaha kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi. Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi segala orang. Sebab itu monopoli dagang korporat asing harus di imbangi oleh kesadaran community yg di dorong oleh pemimpin lokal yg punya visi yang kuat, cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai secara bersama. Kalau tidak, maka tampuk produksi jatuh ke tangan orang seorang bisa juga berbentuk korporat asing yg powerful modal dan berkuasa dan rakyat yang banyak akan ditindasnya. Platform digital 4.0 berbasis Ekonomi Untuk kesejahteraan bersama. Distribusi artinya kepemilikan Alat-alat produksi berupa Platform Digital/ Aplikasi harus terdistribusi pada stake holder umat, bukan terpusat pada para pemilik modal atau pemilik aplikasi, di sini harus di pikirkan adanya alat-alat produksi bisa di miliki secara bersama oleh stake holder umat, dan alat produksi tersebut bisa di gunakan oleh stake holder umat secara murah terjangkau. Sharing Ekonomi artinya profit yang dihasilkan dari putaran ekonomi terbagi kepada umat juga, tidak mengalir terpusat pada pemilik modal yang memiliki dan menguasai alat-alat produksi. Siapakah stake holder umat yang secara bersama-sama akan memiliki aset berupa alat produksi dalam hal ini Platform Digital/Aplikasi tersebut. Stake Holder yang dimaksud dalam kajian dan diskusi di Musyawarah Ulama dan Tokoh Umat (MUTU) di Bandung adalah Komunitas. Mengapa Komunitas, ya karena komunitas ini adalah modal sosial kita, umat yang besar ini akan sulit dikonsolidasi karena tidak adanya leader yang bisa mengkomando umat secara nasional. Oleh karena itu untuk mengkonsolidasi harus dicari unit terkecil umat, di mana di sana ada leader yang bisa mengomando, menggerakkan dan mengkonsolidasi umat, di sinilah setiap komunitas pasti ada leader-nya masing-masing. Misalnya, sekolah Islam Kepala Sekolah adalah leader, Pondok Pesantren Kyai adalah leader-nya, Masjid ada takmir, khotib dan penceramah kajan rutin sebagai leader penggerak komunitas. Sekarang marilah kita pikirkan Model menurut Ekonomi Pancasila dan Model Bisnis syariahnya, bagaimana agar setiap komunitas bisa memiliki alat produksi berupa Platform Teknologi Digital untuk komunitasnya secara murah terjangkau atau bahkan gratis. Kemudian, putaran ekonomi dalam komunitas akan menghasilkan sharing ekonomi berupa akses pasar dan modal serta profit sharing lainnya pada semua stake holder yang terlibat. Sebelum kita masuk pada Platform aplikasi digitalnya marilah kita buat gambaran konsepnya dulu. Dari Gambaran ini sudah terlihat bahwa tidak terjadi pemusatan putaran ekonomi pada para pemilik modal. Konkretnya bagaimana? Untuk bisa menghasilkan alat produksi, dalam konteks Ekonomi digital di perlukan Platform Digital yang canggih dan terus update teknologinya, dan untuk ini kita harus memiliki Pusat Pengembangan Teknologi Digital milik umat, seperti Silicon Valley. Sebab bila setiap komunitas/stake holder harus membuat sendiri biayanya akan mahal bisa puluhan sampai ratusan milyar bisa tidak terjangkau, serta platform digital juga harus memiliki tenaga IT Programmer/Developer sendiri tidak boleh hanya membayar programmer lepasan akan sangat mahal dan tidak aman. Jadi, Pusat Pengembangan Teknologi Umat akan merekrut anak-anak terbaik di bidang IT untuk mengembangkan Platform Digital untuk umat. Lalu Platform Digital bisa dipakai oleh masing-masing stake holder/ komunitas secara murah terjangkau bahkan kalau mungkin gratis antar komunitas. Bila semua stake holder memakai platform digital yang sama maka nantinya akan memudahkan integrasi untuk sinergi antar komunitas, karena platform-nya sama. Lebih konkret lagi bagaimana? Lebih konkret lagi Pokja Ekonomi MUTU telah membuat cikal bakal pusat pengembangan Teknologi umat tersebut dan telah menghasilkan sebuah Platform Teknologi Digital untuk bisa dipakai oleh masing-masing stake holder/komunitas untuk melakukan konsolidasi Uang dan Pasar di masing-masing komunitas. Platform dan Pusat Pengembangan Teknologi umat tersebut harus tidak boleh di miliki oleh segelintir orang, agar tidak terjadi pemusatan ekonomi, juga agar platform tersebut di miliki bersama oleh umat dari berbagai unsur dan latar belakang, sehingga nantinya tidak ada pertanyaan Platform/Aplikasi ini milik siapa? Jawabnya jelas milik umat milik bersama. Lalu Plaform dipakai secara bersama pada semua stake holder/komunitas untuk konsolidasi uang dan pasar di masing-masing komunitas. (Bersambung) Penulis Adalah Pokja Ekonomi MUTU

Anak Dr Zain an Najah,"Saya Takut Bapak Saya Meninggal Seperti Suyono"

Oleh: Nuim Hidayat Beberapa hari lalu saya menemui anak Dr Zain an Najah di suatu tempat. Anak ini menangis. Saya tanya kenapa menangis,"Saya takut bapak saya seperti Suyono. Ditangkap polisi kemudian meninggal." Saya kaget. Dalam batin saya, pintar anak ini ingatannya tajam. Kemudian saya katakan,"Jangan takut insya Allah bapak kamu nggak apa-apa. Polisi nggak akan berani macam-macam. Banyak yang mengawasi, ustadz-ustadz, masyarakat, media dan lain-lain. Saya kenal bapakmu kok. Ia orang baik. Para pahlawan itu banyak yang dipenjara. Bapakmu hebat. Pak Natsir, Buya Hamka dan lain-lain itu pernah dipenjara. Jangan minder, justru kamu harus bangga.Jadi tetaplah belajar yang rajin. Bapak kamu ingin lihat kamu rajin dan terus semangat belajar." Saya memang tidak mengenal akrab Dr Zain an Najah. Tapi saya pernah satu grup di wa dengannya dan puluhan ustadz lainnya. Hampir akhir di grup wa itu saya ingat Dr Zain membagi tulisan di detik.com tentang Nasaruddin Umar yang meraih rekor MURI sebagai penulis kolom terbanyak. Ia menulis,"Dalam 5 tahun menulis 6000 artikel secara konsisten. Setiap hari menulis 12 halaman, dari jam 2-6 pagi.". Ia kemudian menyemangati para da'i di grup itu agar menulis. Saya ketemu Dr Zain beberapa kali dan saya lihat, selain orangnya cerdas juga ramah. Sehingga dia mengajar di banyak tempat. Di kantor-kantor, perumahan, masjid dan lain-lain. Saya pernah diberi buku Membangun Negara dengan Tauhid. Buku ini saya lihat bagus isinya. Penuh dengan ayat Al Qur'an, Hadits dan pendapat para ulama. Apakah dengan buku ini Dr Zain ingin seperti Kartosuwiryo mendirikan Darul Islam di Indonesia? Tidak. Dr Zain setahu saya mengidolakan Partai Masyumi. Ia ingin memperjuangkan Islam menjadi nilai bangsa ini dengan cara konstitusional (dengan dakwah dan parlementer). Dr Zain juga kritis kepada ulama lain yang pendapatnya menyimpang. Lulusan doktor dari Al Azhar Kairo ini berani menerbitkan buku mengkritik pendapat Dr Quraisy Syihab tentang jilbab. Ia menyatakan bahwa jilbab hukumnya wajib, bukan mubah/sunnah seperti pendapat Quraisy Syihab. Ia menguraikan dengan bagus dalil-dalil Al Qur'an, Hadits dan pendapat para ulama Islam yang terkemuka (muktabar). Bagaimana dengan Ustadz Farid Okbah? Ia memang seorang da'i dengan orasi yang bagus. Saya juga satu grup wa dengannya dan puluhan da'i lainnya. Saya beberapa kali berbincang dengannya. Orangnya ramah dan tidak suka menghina orang. Pernah suatu kali ia memprotes tulisan saya Mengapa Partai Islam Mudah Pecah?. Saya dianggap outsider oleh dia. Saya katakan bahwa saya telah berbincang lama dengan KH Kholil Ridwan tentang Partai Dakwah Rakyat Indonesia, jadi saya tahu sejarahnya. Kemudian ia menjelaskan perpecahan yang terjadi pada awal pembentukan partai itu. PDRI memang ingin menjadi Partai Islam Masyumi yang dalam sejarahnya disegani oleh kawan atau lawan. Kyai Kholil Ridwan adalah salah satu tokoh penggagasnya. Kyai Kholil adalah pengagum Mohammad Natsir, tokoh Masyumi. Dalam perbincangan di wa itu, ustadz Farid kemudian menawari saya sesuatu. Tapi saya mendiamkannya (off the record). Saya tidak cerita kepada Farid bahwa tulisan saya mendapat pujian dari seorang profesor. Memang saya tahu Ustadz Farid ini dikenal anti Syiah. Ia punya pengalaman buruk dengan orang-orang Syiah di Indonesia, sehingga ini terbawa dalam gaya dakwahnya dalam menghantam Syiah. Tapi setahu saya ia hanya menyerukan waspada terhadap Syiah, tidak menyuruh pembunuhan kepada orang-orang Syiah. Memang sikap Muslim yang beraliran Sunni berbeda-beda kepada Syiah. Tergantung pada bacaan dan pengalaman hidupnya. Di grup wa itu, Ustadz Farid juga aktif membagi ceramah dan sosialisasi PDRI di berbagai daerah. PDRI memang ingin menjadi partai resmi dengan mendaftar ke Menkumham. Tentu, sebelum menjadi partai resmi, ia harus sosialisasi dan mendirikan cabangnya di berbagai provinsi dan kabupaten dulu. Dengan Dr Anung Al Hamad, saya tidak begitu mengenal. Saya ketemu beberapa kali, tapi tidak pernah ngobrol lama. Di grup wa, ia juga jarang berkomentar. Ia memang mengagumi Abdullah Azzam, terutama buku Tarbiyah Jihadiyahnya. Seperti diketahui, Abdullah Azzam adalah guru para mujahid di Afghanistan. Azzam, adalah seorang ulama yang alim dan semangat jihadnya tinggi melawan penjajah Afghanistan. Yang saya sedih, banyak orang tidak faham Pesantren Ngruki dan alumni Afghanistan. Wartawan-wartawan yang malas baca, bila nulis alumni Ngruki dan alumni Afghanistan langsung diopinikan jelek. Begitu juga polisi atau masyarakat yang awam terhadap dunia pesantren dan dunia Islam yang terjajah. Alumni Ngruki macam-macam. Ada yang menjadi wartawan, ada yang menjadi pengusaha, ada yang menjadi da'i dan ada yang menjadi 'terduga teroris.' Dr Zain an Najah yang merupakan alumni Ngruki, saya sedih ia dianggap terduga teroris. Netizen, bahkan di MUI sendiri ada yang mencap dia teroris karena ditangkap Densus. Mereka menganggap teroris menyusup ke ormas-ormas Islam. Sebuah tuduhan yang keji. Dr Zain itu seorang intelektual Islam yang ikhlash ingin menyumbangkan ilmunya untuk membangun masyarakat dan negara berdasarkan ilmu yang diperolehnya Begitulah orang yang tidak mengenal dengan baik seseorang. Seringkali prasangka buruk ia dulukan. Padahal sebagai Muslim, ia harus mendulukan prasangka baik. Apalagi ia seorang guru Islam yang cerdas dan selama ini diketahui mengajar dimana-mana. Begitu juga ustadz Farid Okbah. Banyak wartawan yang awam terhadap Keislaman, nulis ngawur. Mengopinikan bahwa Farid adalah mentor yang pintar berkamuflase dan lain-lain. Wartawan malas untuk mengambil opini dari sumber selain polri. Padahal prinsip wartawan harusnya cover both side. Ada juga sih wartawan yang mencoba berimbang, tapi jumlahnya saya lihat sedikit. Alumni Afghanistan itu bermacam-macam profesinya setelah kembali di tanah air. Ada yang jadi guru/ustadz, penulis, mendirikan pesantren dan ada pula memang yang pingin mengebom musuh di tanah air. Orang-orang teralhir seperti ini biasanya pengalaman, pergaulan dan bacaannya tidak luas. Saya lihat ustadz Farid itu mempunyai bacaan dan pergaulan yang luas. Sehingga ia mampu mendirikan Pesantren Al Islam di Bekasi. Ia mempunyai kemampuan yang bagus sebagai guru, sehingga bisa memberikan nasihat mulai dari tukang becak sampai presiden. Bagaimana dengan Dr Anung Al Hamad? Ia juga seorang guru atau dosen. Ia mengajar di berbagai tempat. Kekagumannya terhadap Abdullah Azzam dalam Tarbiyah Jihadiyah tidak menjadikannya melakukan aksi-aksi pengeboman di tanah air. Kekagumannya, karena melihat sosok laki-laki yang berani melawan penindasan Soviet di Afghanistan. Muslim yang baik dimanapun akan mempunyai semangat melawan kezaliman atau penindasan. Karena itu jelas diperintahkan Al Qur'an dan Hadits. Abdullah Azzam adakah gurunya mujahid Afghanistan. Ia adalah pengagum Sayid Qutb. Azzam dengan anaknya akhirnya syahid di dalam mobil yang ternyata telah ditaruh bom sebelumnya. Itulah sekelumit kisah tentang tiga da'i yang ditangkap itu. Saya hanya berdoa semoga pimpinan Polri dibukakan pintu hatinya oleh Allah. Sehingga bisa melihat yang putih adalah putih dan yang hitam adalah hitam. Tidak melihat putih dengan kesimpulan hitam karena lupa menaruh kacamata. Semua kejadian ada hikmahnya. Dan semoga kita semua bisa mengambil pelajaran dari kejadian yang menggoncang umat Islam di tanah air ini. Kata Al Qur'an,"Mereka buat rekayasa. Allah buat rekayasa. Dan Allah lah sebaik-baik pembuat rekayasa." Allah Maha Perkasa, Allah Maha Bijaksana. Wallahu azizun hakim. Nuim Hidayat, Penulis Buku Sayid Qutb dan Kejernihan Pemikirannya

212: Injury Time Rezim Jokowi

Oleh: Yusuf Blegur Eskalasi intimidasi, tekanan dan bahkan teror terhadap kekuatan Islam di Indonesia terus meningkat. Strategi melumpuhkan pemimpin-pemimpin Islam yang teguh dan istiqomah terhadap Al Quran dan sunah, menjadi prioritas dan mendesak untuk diprogram dan direalisasikan secara masif, sistematik dan terorganisir. Pemerintah yang di dalamnya kental dengan gerombolan anti Islam ini, tahu betul memanfaatkan umat Islam yang rapuh, tercerai-berai dan patron klain terhadap pemimpin-pemimpin agama. Seperti memuntahkan peluru dari pelbagai penjuru mata angin. Serangan brutal rezim kekuasaan mulai menggerogoti umat Islam. Satu persatu mulai dibidik, terutama mulai dari para ustadz, kyai hingga kalangan habaib. Kepemimpinan Islam dalam ranah struktural, kultural hingga barisan intelektual dan pro demokrasi mulai dilumpuhkan. Rezim sepertinya sangat paham dengan memasung Ulama, umat Islam bagai rangkaian gerbong tanpa lokomotif. Seperti apa yang disampaikan Kapolri Jenderal Sigit Sulistyo belum lama ini. "Kalau tidak bisa mengatur ekor, potong kepalanya. Narasi bersayap yang tepatnya mengarah ke umat Islam ketimbang pada pembenahan internal jajaran polri. Sejarah selalu menunjukkan fakta yang tak terbantahkan. Bahwa kekuatan Islam yang begitu radikal dan fundamental yang melahirkan kemerdekaan Indonesia. Namun sepanjang kemerdekaan itu berlangsung hingga kini. Islam tetap tidak pernah menikmati buah perjuangannya yang begitu besar dan tak ternilai. Selain tergusurnya penerapan syariat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Praktis penyimpangan awal dan dasar dalam balutan konsensus nasional. Hingga kini terus diikuti problematika dan kegagalan-kegagalan mewujudkan masyarakat adil makmur. Paling terdampak signifikan dari kerusakan sistem dan tata kelola negara adalah keberadaan umat Islam. Selain urung menikmati negara kesejahteraan, umat Islam seperti menjadi langganan dan abadi mengalami destruksi dan pendangkalan aqidah. Melalui framing jahat dan penghancuran halus dengan narasi moderasi. Islam secara bertubi-tubi dan tak pernah berhenti, mengalami serangan dahsyat dari konspirasi peradaban gelap dunia. Secara global ataupun di Indonesia khusunya, Islam selalu menjadi korban dari kebencian dan peperangan yang dilakukan kaum kapitalis-komunis. Begitu luas dan bervariasi tuduhan dan fitnah terhadap umat Islam dari siapapun golongannya. Seperti maklumat visioner Al Quran yang menyebutnya kaum kafirun, munafikun dan fasikun. Semua produk pemikiran sesat yang sejatinya sama, bisa tampil dalam kemasan liberal, sekuler dan termasuk atheis. Aliran pemahaman yang menghilangkan keberadaan Tuhan dan menjadikan dunia beserta materi sebagai berhala. Mereka yang menyiram umat Islam dengan julukan intoleran, radikal, fundamental hingga teroris. Padahal merekalah sejatinya asal dan yang mengembangkan. Merekalah perangai setan berwujud orang-orang diluar Islam yang membuat kerusakan, tipu muslihat dan beragam makar di dunia. Peradaban menunjukkan penganiayaan bahkan mengarah genosida terhadap umat Islam tak bisa ditutup-tutupi dari kenyataan umat Islam di Irak, Mesir, Suriya, Uyghur China, Tibet dll., yang dilakukan non muslim. Situasi Kritis dan Kekalahan Rezim Rezim Jokowi saat ini boleh mengusung dada telah memiliki segalanya. Merasa kekuasaannya telah memiliki dan mengatur semua kehidupan rakyat. Apa yang kurang untuk menyatakan kekuatan absolutenya selain birokrasi, politisi dan militer termasuk intelektual sesat dan organiasasi massa yang melacur. Belum lagi ditambah sokongan dana dari para cukong yang mewakili negara-negara adidaya dan borjuasi korporasi. Rezim yang menyandang status pemerintahan boneka dan kumpulan oligarki ini. Seperti jumawa dan merasa angkuh dengan kekuasaannya yang mampu membawanya pada fase diktator dan otoriter. Rezim tiran yang represif dan bengis ini berhasil melumpuhkan kedaulatan rakyat. Pemerintahan yang sarat dipenuhi korupsi, kolusi dan nepotisme dalam setiap kebijakan dan bahkan pada mimpinya sekalipun. Namun sedemikian besar dan kuat kekuasaan yang digenggamnya. Seiring waktu rezim Jokowi juga punya batasan. Tak ada pesta yang tak akan berakhir. Seperti kapitalisme betapapun kuatnya, ia akan sekarat dari dalam. Begitu juga dengan rezim Jokowi, yang didalamnya sudah saling lempar bola, menuding dan cakar-cakaran. Termasuk bola panas menteri BUMN Erick Tohir yang sudah menyeret-nyeret Jokowi dalam kasus sengkarut bisnis PCR. Pertengkaran di dalam lingkaran istana boneka itu bukan yang pertama dan terakhir mengiringi pemerintahan Jokowi. Termasuk pentolan relawan Joko Mania, Emanuel ebanezer yang menuntut hukuman mati bagi para menteri yang terlibat bisnis PCR. Tuntutan yang mengarah salah satunya pada Luhut Binsar panjaitan orang dekat Jokowi sekaligus presiden bayangan. Apapun motifnya relawan dan para buzzer, setidak menandai gontok-gontokan saling berebut pengaruh dan kue kekuasaan dari dalam sendiri. Kerapuhan dan gentingnya pemerintahan Jokowi juga dipenuhi oleh banyaknya kegagalan pembangunan dan kinerja buruk para pembantu dan gerbong akomodasi politiknya. Selain tidak sedikit mangkraknya proyek infra struktur dan bangkrutnya BUMN strategis. Banjir Sintang Kalbar yang belum surut sebulan ini, seperti menyiratkan perilaku rezim yang suka merusak lingkungan dan ekosistem kehidupan mahkluk hidup. Negara juga terancam lilitan utang yang tak terbayar akibat manajemen ugal sang presiden. Kemunduran dan kegagalan kinerja seakan menyempurnakan rezim Jokowi yang kadung telah distempel rakyat dengan raja segala keburukan dan sebagai presiden yang tak pernah tepati janji. Akan tetapi, dari buruknya performancenya dan berbahayanya rezim Jokowi menjaga kedaulatan NKRI dalam soal-soal ekonomi, politik, hukumuyyg dan keamanan. Sepertinya, ada yang jauh lebih beresiko. Lebih mengkhawatirkan dan berdampak fatal, tatkala Jokowi dan instrumen kekuasaannya memusuhi dan cenderung anti Islam. Hingga perkembangan terakhir setelah penangkapan Ustadz Dr. Farid Ahmad Okbah, Dr. Ahmad Zain An Nazah dan Ustadz Dr. anung Al-Hamat. Mereka yang menjadi bagian dari Ulama dan representasi umat Islam. Mendapat perlakuan yang tidak bermartabat dan tidak senonoh dari perilaku rezim Jokowi. Kekuasan Jokowi benar-benar merendahkan marwah para Ulama yang bisa berarti merendahkan para Nabi dan selanjutnya pada agama Islam secara keseluruhan. Apapun motif, alasan dan justifikasi pemerintah, di mata umat Islam telah usang dan tak berdasar. Terutama saat masih bernafsu mengumbar masalah terorisme dan atau stereotif lainya untuk mengeksploitasi dan menggembosi umat Islam. Selain tingkat kejumudan yang akut dari umat Islam. Jualan isu dan sentimen keagamaan itu, justru malah membangkitkan emosi umat Islam. Gejolak psikis yang memungkinkan mendorong kemarahan dan perlawanan umat Islam. Sederet penistaan, kriminslisasi, bahkan pendangkalan aqidah terhadap pemimpin, umat dan agama Islam. Mungkin saja tidak meledak karena benteng shalat dan kesabaran umat Islam. Namun kali ini, seiring waktu umat Islam mulai melakukan refleksi, evaluasi dan kontemplasi. Boleh jadi berubah mewujud klimaks dari kesadaran krisis umat Islam. Terlebih waktu mendekat pada kalender tanggal 2 desember penghujung tahun ini. Sebagai flasback peristiwa 2-12-2016 yang monumental bagi gerakan Islam yang hakikatnya kehendak IIahi. Momentum ikonik dan bersejarah bagi umat Islam yang telah membuktikan kekuatan umat Islam di Indonesia. Oleh situasi dan keadaan, sepertinya akan memaksa terjadinya pengulangan sejarah itu. Apa yang dikenal dengan 212 itu, akan menjadi senjata efektif bagi umat Islam untuk mengembalikan kebaikan dan kebenaran bagi agama, negara dan bangsanya. Tentu saja kebalikan yang akan dirasa rezim Jokowi. Situasi dan kondisi itu jika sampai terjadi lagi. Tampaknya akan menjadi episode yang menentukan bagi keberadaan dan kesinambungan eksistensi pemerintahan Jokowi. Bagi umat Islam sendiri, ini menjadi menarik. Selain merupakan titik balik. Upaya reunian 212 itu akan menjadi roh dan giroh kekuatan umat Islam untuk bangkit dari keterpurukan selama ini. Bukan sekedar gerakan kultural, 212 juga akan mewujud sebagai kekuatan politik Islam yang selama ini tidur panjang dan mengalami mati suri. Negara dan rakyat seakan menunggu, akankah kebangkitan Islam bukan sekedar utopi. Mampukah ukuwah Islamiyah hadir ditengah degradasi keagamaan selama ini?. Akankah resolusi jihad secara substansi dan esensi dapat mewujud melawan semua kedzoliman sebagai upaya menegakan amar maruf nahi mungkar pada kejahiliyahan zaman modern?. Layaknya perjalanan sebuah episode, bukan tidak mungkin momentum 212 menjadi injury time bagi pemerintahan Jokowi. Sebuah pembuktian game, diantara kedigdayaan atau kekalahan sebuah rezim dari geliat rakyat. "There is point of no return" begitulah menggambarkan situasi dan kondisi yang berkembang. Bisa juga "blessing in disquise" bisa diambil bagi keduanya yang saling berhadap-hadapan, sembari berharap dan menunggu ketentuan Allah Subanahu wa ta'ala. Wallahu a'lam bishawab. Penulis, Pegiat Sosial dan Aktifis Human Luhur Berdikari.