Edy Mulyadi, ‘Ente Wartawan Pejuang Tadz!’

Edy Mulyadi.

“Minta maaf, dengan segenap konsekuensinya, harusnya mudah dilakukan oleh siapapun yang belum beku”. -Sujiwo Tejo

Oleh: Rahmi Aries Nova, Wartawan Senior FNN

ITULAH yang dilakukan oleh rekan kami Edy Mulyadi, kala ungkapan ‘Tempat Jin Buang Anak’ yang ia lontarkan menggelinding bak bola salju, menyakiti beberapa pihak sekaligus dimanfaatkan beberapa pihak.

Pada kesempatan pertama Edy langsung meminta maaf, diikuti permintaan maaf kedua, ketiga, dan seterusnya. Segala konsekuensinyapun ia hadapi, dari mulai ancaman, teror, pelaporan, pemanggilan, bahkan penahanan langsung saat awal pemeriksaan.

Bahkan, Edy datang ke Bareskrim Polri dengan membawa kantong plastik berisikan pakaian karena ia sudah merasa tidak bakal dilepas lagi. Edy sadar ia adalah target yang hendak dibungkam, seperti figur-figur kritis lainnya.

“Ini adalah risiko yang harus saya hadapi,” cetus Edy jelang pemeriksaan. Ia menyesal menyakiti hati saudara-saudara kita di Kalimantan, tapi ia tidak menyesal dan tetap pada pendiriannya tidak setuju dengan rencana pemindahan Ibukota ke Kalimantan.

“Saya minta maaf, tapi saya tetap tidak setuju dengan IKN,” tegasnya di hadapan puluhan media yang menghadangnya di halaman Mabes POLRI.

Sebagai rekan Edy di Forum News Network (FNN) kami tentu bangga dengan keberaniannya. Meski untuk memutuskan apakah produk yang diunggahnya hingga menimbulkan peristiwa ini, apakah sebuah produk jurnalistik atau tidak, kami menyerahkan sepenuhnya pada Dewan Pers.

Hanya saja saya (pribadi) menyayangkan, justru ada rekan-rekan sesama wartawan yang ikut-ikutan mendeskreditkan Edy. Boleh dibilang, pada akhirnya, rezim ini tidak hanya berhasil memecah-belah masyarakat, umat, ulama, mahasiswa, bahkan wartawan pun sukses diadu.

Wartawan yang adalah pilar keempat bangsa, yang harusnya mengontrol pemerintah, kini sebagian besar memilih menjadi pendukung mati pemerintah, pro habis-habisan pada rezim yang makin jauh meninggalkan demokrasi.

Sebetulnya dengan alasan itu juga FNN akhirnya dilahirkan. Sesungguhnya kami, semua yang di FNN, merasa sudah waktunya pensiun dari tugas menjadi pilar keempat bangsa ini. Ada yang sudah punya bisnis baru, memilih aktif di kegiatan sosial, dan fokus menomersatukan keluarga, suatu yang puluhan tahun kami nomor duakan.

Tapi melihat bagaimana keberpihakan media mainstream yang tidak lagi pada rakyat, dan bagaimana pemerintah dan wakil rakyat di DPR bebas melakukan apapun tanpa ada kontrol dari media, batin kami berontak.

Terlebih kami sadar bahwa sesungguhnya wartawan atau jurnalis adalah ‘profesi seumur hidup’ karena bebarapa diantara kami meski sudah tidak lagi bergabung dengan media besar, tapi masih tetap aktif  menulis bahkan membuat buku.

“Jurnalisme, saat ini, bagi sebagian praktisinya, hanya dianggap sebagai pekerjaan, tempat menggantungkan hidup. Tapi, bagi lainnya, seperti Kovac (Bill Kovac, jurnalis Amerika Serikat), jurnalisme hampir mendekati agama karena idealismenya sangat tinggi dan visinya sangat mulia,” tulis Dhimam Abror Djuraid, dalam salah satu tulisannya “Wartawan Adalah Profesi Seumur Hidup” yang ia publish pada 2015 lalu.

Wartawan senior ini juga memaparkan bahwa seorang wartawan mempunyai privilege yang tidak dipunyai oleh orang lain, yaitu hak untuk melakukan kontrol sosial. Seorang wartawan boleh mengkritik kebijakan pemerintah meskipun ia bukan politisi.

Seorang wartawan boleh menuntut pertanggungjawaban seorang kepala negara karena kebijakannya yang dianggap tidak pro rakyat. Sang jurnalis tidak harus mempunyai hak angket atau interpelasi seperti yang dipunyai anggota DPR.

Lantas, dari mana sang jurnalis mendapatkan privilege itu? Itulah yang disebut sebagai konsesus demokrasi. Di dalam konsesus itu masyarakat sepakat untuk menegakkan demokrasi dengan menerapkan perangkat-perangkat demokrasi, misalnya sistem Trias Politica yang menerapkan tiga pilar eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Ketiga pilar itu harus melakukan checks and balances, saling mengontrol, saling menyeimbangkan. Ketiga pilar itu tidak boleh melakukan “kong x kong” (kongkalikong) sehingga rakyat dirugikan.

Bagaimana jika ketiga pilar itu tidak menjalankan fungsinya dengan benar? Seperti yang saat ini terjadi di negeri ini. Saat legislatif dan yudikatif hanya berfungsi sebagai ‘tukang stempel’ apapun yang dimaui eksekutif atau pemerintah?

Dalam sistem demokrasi kemudian dimunculkanlah pers sebagai pilar keempat, yang bertugas mengawasi ketiga pilar tersebut.

Dan kami, FNN pun memutuskan menjalankan tugas tersebut di saat kebanyakan media di negeri ini melupakan kewajibannya.

Selalu ada resiko dalam setiap pilihan, seperti wartawan perang yang punya resiko mati di medan perang, FNN pun beresiko tidak disukai oleh penguasa anti kritik dan penjilat yang ‘taklid buta’. Padahal sejatinya, seharusnya, pemerintah bersyukur karena masih ada yang peduli dengan keberlangsungan demokrasi di negeri ini.

Aparat juga harusnya kembali ke fungsinya, menjaga negeri ini, bukan menjaga rezim. Banyak persoalan yang lebih penting dan genting, yang mencemaskan kita semua yang peduli pada negeri ini, dari sekedar menciptakan skenario-skenario pembungkaman pada pengkritik.

Pers Indonesia, yang pada Rabu, 9 Februari mendatang akan merayakan Hari Pers Nasional (HPN), juga sudah seharusnya kembali ke khittahnya, menjadi pengawal Demokrasi di negeri ini. Hari Pers Nasional sendiri indentik Hari Ulang Tahun Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), organisasi yang dipilih FNN untuk menaungi wartawannya.

Untuk Ustadz Edy --begitu kami di FNN memanggilnya-- pasti ada hikmah dari setiap peristiwa. Saya kagum dengan keberanian Anda mengakui kesalahan, meminta maaf serta menanggung segala konsekuensinya. Suatu yang tidak pernah dilakukan penguasa saat ini.

Rezim yang tanpa basa-basi cabut subsidi, korupsi di semua lini, menjual murah negeri demi ambisi ‘pencuri’. Saya kagum dengan keberanian istri Anda, Umi Neneng, yang tegar menghadapi teror dan tak gentar menghadapi media dan aparat yang menyatroni rumah Anda.

Pada akhirnya, saya harus mengakui bahwa: Ente Wartawan Pejuang Tadz! (*)

 

982

Related Post