OPINI
Jejak Anies Menguat Menuju Presiden Pilihan Rakyat
Oleh: Yusuf Blegur Bergeser dan menyimpangnya perjalanan demokrasi di Indonesia bukan saja membentuk sistem demokrasi yang mengusung pemilu yang kapitalistik transaksional. Mekanisme pemilihan langsung yang awalnya merepresentasikan kedaulatan rakyat, seiring waktu hanya melahirkan pemimpin dan kebijakan politik yang tersandera kekuatan liberal dan sekuler. Pemimpin dan birokrasi tak berdaya di bawah kekuasan partai politik dan kekuatan oligarki. Konsitusi direkayasa sedemikian rupa, menghasilkan undang-undang yang justru membajak negara dari kedaulatan rakyat yang sesungguhnya. Anies Rasyid Baswedan adalah sosok yang unik. Lahir dan tumbuh besar dari kalangan keluarga pendidik. Anies yang sempat lama mengenyam pendidikan di Amerika merupakan seorang pemimpin yang komplit. Akademisi yang memiliki trah pahlawan nasional. Terbentuk dari struktur sosial dan keagamaan yang kuat. Ia juga menyerap nilai-nilai demokrasi yang mengembangkan prinsip-prinsip kesetaraan dan keberagaman. Anies seorang muslim yang inklusif sekaligus berjiwa demokrat dan pluralis. Proses pembelajaran dan pengalaman itu semakin mengokohkan Figur Anies yang selalu berada di tengah. Menjadi salah satu pemimpin yang konsisten menjaga keharmonisan peradaban. Menjaga keseimbangan pendulum ideologi agar tidak miring, berat sebelah dan doyong ekstrim. Tidak terlalu atau condong berlebihan ke kiri maupun kanan. Hal ini penting untuk tetap menempatkan figur Anies berada diatas kepentingan aliran politik dan ideologi tertentu. Anies penting dan strategis untuk setia dan loyal menghidupkan kebangsaan. Bukan pada golongan atau agama tertentu. Anies idealnya dapat menjadi pemimpin bagi semua suku, agama, ras dan antar golongan yang ada di seantero Indonesia. Betapa pun dia bergaul dan memiliki kedekatan dengan kalangan agama dan kelompok sosialis sekalipun. Karakter Anies harus ditampilkan sebagai behavior pemimpin yang kuat menjaga kebhinnekaan dan kemajemukan. Lebih dari sekedar menjunjung nasionalisme. Pikiran ucapan dan tindakan seorang Anies yang kuat literasinya itu. Layak dan mampu mewujud pada pengejawantahan nilai Panca Sila dan UUD 1945 secara nyata dalam kehidupan warga Jakarta dan berarti juga buat seluruh rakyat Indonesia. Kesehariaan Anies harus terus dibaluti oleh sikap dan langkah-langkah kongkrit yang membuat rakyat merasa bermakna telah memiliki negara, membuat pemerintahnya melayani dan mengayomi rakyat. Lebih dari itu, Anies yang menggemari sejarah, hendaknya selalu dapat hadir memenuhi kebutuhan warga negara, terhadap kesadaran dan perlindungan konstitusi serta aparatur penyelenggara negara. Sebagai gubernur Jakarta, wilayah kepemimpinan yang identik dengan Indonesia. Anies yang sering diganjar penghargaan karena prestasinya. Telah membuktikan maju kotanya, bahagia warganya. Selanjutnya bersama kepercayaan rakyat, berpeluang menjadikan Indonesia jauh lebih baik. Pemimpin yang dikenal tetap senyum meski sering dibanjiri hujatan dan fitnah. Seperti teguh untuk tetap berorientasi pada kebijakan pemerintah atau negara yang bisa menjadikan kemanusiaan jauh lebih penting dari persoalan apapun dalam dinamika kehidupan rakyatnya. Bahkan aspek hukum harus seiring dan sejalan dengan komitmen dan tujuan yang memanusiakan manusia. Bukan hukum kekuasaan atau bahkan malah hukum yang menjadi alat penindasan bagi rakyat. Anies tidak cukup hanya sekedar cerdas, tenang dan santun. Lebih dari itu, ia juga harus menjadi humanis. Salah satu aspek prinsip dan fundamental yang menjadi syarat seorang pemimpin. Beberapa hal yang mutlak untuk diupayakan, dijaga dan terus menjadi ruhnya negara dan bangsa Indonesia. Kepemimpinan Anies saat ini dan kedepannya. Diharapkan dapat bersandar dan berlandaskan pada apa yang disebut Trisakti oleh Bung Karno. Pertama, berkedaulatan dalam bidang politik. Kedua, kemandirian dalam bidang ekonomi. Ketiga, Berkepribadian dalam kebudayaan bangsa. Kesemua faktor itu, sejauh ini bisa dibilang gagal total atau setidaknya nyaris hilang dari eksistensi keindonesiaan selama ini. Indonesia terus dirundung ketidaksesuaian. Jika ingin menjadi pemimpin yang sesungguhnya, mau tidak mau dan suka atau tidak suka. Anies harus berketetapan hati dan bersungguh-sungguh mewujudkan Indonesia yang sejatinya dituangkan dalam Panca Sila dan UUD 1945 dalam bingkai NKRI. Memang sebagai warisan yang tidak ideal, Indonesia saat ini masih jauh dari nasionalisme yang apinya telah dibuat, ditiup dan dikobarkan oleh para pendiri bangsa dan seluruh rakyat Indonesia. Tapi apapun itu, Anies sebagai pemimpin dapat menjadi harapan dan solusi dari semua kelemahan dan kekurangan negara dan bangsa ini sekalipun. Jika dibutuhkan, untuk mewujudkan negara Indonesia yang sesuai amanat dan cita-cita proklamasi kemerdekaan RI. Anies perlu lebih lagi bekerja cerdas dan bekerja keras serta berkorban dengan segala yang dimilikinya untuk kemajuan serta kebesaran Indonesia. Sebagaimana yang dilakukan saat NKRI dilahirkan oleh para pendahulu bangsa. Bukan hal yang tidak mungkin dan mustahil, Anies Rasyid Baswedan dapat menjadi pemimpin pilihan rakyat. Kepemimpinan yang selama ini hilang dan sulit ditemukan di negeri ini. Kepemimpinan yang terpinggirkan oleh kepentingan politik yang menghamba pada materi dan kesenangan dunia. Semoga. Penulis, Pegiat Sosial dan Aktifis Yayasan Human Luhur Berdikari.
Ambisi Erick
Oleh M Rizal Fadillah Hak siapapun termasuk Menteri untuk memiliki keinginan menjadi Presiden. Masalahnya adalah pada kemampuan dan reputasi yang menunjangnya. Erick Tohir Menteri BUMN tidak terkecuali. Fenomenanya adalah semangat besar Erick untuk melangkahkan kaki bahkan berlari menuju persaingan pemilihan Presiden 2024. Kampanye sepertinya sudah dimulai. Dari memasang foto diri di berbagai ATM hingga ikut gaya Jokowi blusukan. Saat ke SPBU Pertamina tampil mencari simpati meminta penggratisan WC yang tentu ditertawakan oleh banyak orang khususnya netizen. Kok Menteri BUMN ngurus WC begitu celetukannya. Kasus Real Time Polymerase Chain Reaction (RT PCR) masih membelitnya. Bersama Luhut Binsar Panjaitan Erick dituduh di saat pandemi berbisnis mencari keuntungan pelayanan test PCR. Dari awal dua jutaan hingga turun menjadi 275 ribu. Dugaan betapa besar keduanya mengeruk keuntungan. Hebatnya menurut Erick Tohir soal harga itu ternyata dibahas bersama dengan Presiden. Nah Presiden terseret. Luhut mengakui ada keuntungan tetapi konon untuk kepentingan sosial. Tidak menerima keuntungan pribadi, sergahnya. Publik masih bertanya tentang KKN dalam bisnis PCR. Tentu Erick disorot tajam. Mungkinkah untuk menambah pundi biaya kampanye Presiden yang mulai dijalankannya ? Adakah prestasinya yang signifikan menjadi modal politik untuk berkompetisi ? Jawabannya tidak. BUMN kalang kabut nyaris pada bangkrut. BUMN yang terancam bubar seperti Merpati Nusantara, Istaka Karya, PT Iglas, PT Kertas Leces, dan Sandang Nusantara. Jalan Tol dijual murah, Bandara Kualanamu terambil oleh India dan Perancis. Pertamina, KAI, dan Angkasa Pura megap-megap. Pengelolaan aset dan perusahaan pelat merah memang amburadul. Hutang besar dan berat BUMN tentu menjadi tanggung jawab sang Menteri. PLN (500 Trilyun), Waskita Karya (91,76 Trilyun) Garuda (70 Trilyun), Wijaya Karya (45,2 Trilyun), Krakatau Steel (40 Trilyun), Adhi Karya (34,9 Trilyun), dan lainnya. Ambisi di tengah keterpurukan adalah contoh budaya tak sadar diri dan tak punya malu. Modal pengusaha dan kekayaan pribadi saja tidak cukup. Prestasi kerja yang jeblok. Ambisi tanpa prestasi menjadi wajah pejabat negeri. Deklarasi pedukung Luhut untuk Presiden jadi lucu-lucuan. Begitu juga dengan Pendukung Cinta Republik (PCR) yang mendeklarasikan pasangan Luhut-Erick Tohir. Konon PCR rasa lain. Ada juga deklarasi Ganjar-Erick Tohir. Erick sendiri membantah deklarasi atas inisiatif nya. Presiden Jokowi untuk tiga periode, atau memperpanjang jabatan dengan alasan pandemi atau mendorong kandidat boneka untuk proteksi adalah adalah wujud dari ambisi tanpa prestasi. Sama dan serupa dengan Erick Tohir yang blusukan ke WC sebelum masuk ke dalam gorong-gorong. Gorong-gorong yang menjadi awal bencana politik bangsa. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Guru Harus Menjadi Prioritas Investasi
Indonesia seharusnya berinvestasi pada guru dan pendidikan secara umum. Kurangi atau tunda dulu investasi pada proyek-proyek besar yang belum menjadi kebutuhan utama. Alihkan untuk peningkatan kualitas hidup dan kompetensi guru, bangun sekolah, dirikan madrasah, tumbuhkan pusat-pusat ilmu pengetahuan. Oleh: Tamsil Linrung SEPERTI biasa, SETIAP 25 November bertabur kata elok tentang guru. Di sana-sini, seremoni hari guru terlihat semerbak. Para pelajar merangkai puisi, birokrat berteori, dan pengamat mengkritisi. “Bergerak Dengan Hati, Pulihkan Pendidikan,” begitu tema hari guru tahun ini. Maka, ayo kita bicara dengan hati. Empat puluh tahun lalu, Iwan Fals menggubah lagu Oemar Bakri. “Jadi guru jujur berbakti memang makan hati…” begitu salah satu liriknya. Kini, empat puluh tahun berlalu, lirik itu agaknya masih relevan. Padahal, tema lagunya diinspirasi kisah hidup oleh seorang guru yang mengabdi di zaman Jepang hingga pascakemerdekaan. Namanya Abah Landoeng, hidupnya sederhana. Kini berusia 94 tahun dan tinggal di daerah Cimahi, Jawa Barat. Menuju ke rumahnya harus melewati gang kecil yang hanya bisa dilalui sepeda motor. Kini, umur republik telah 76 tahun dan usia reformasi sudah 23 tahun. Tetapi, kehidupan sebagian guru tidak jauh beda dengan Abah Landoeng. Kemerdekaan bangsa belum sepenuhnya memerdekakan guru. Mereka terjajah oleh pengabdian dengan penghasilan di bawah standar. Ada yang bahkan hanya menerima Rp200-300 ribu, itu pun per tiga bulan. Sungguh tidak manusiawi. Mereka yang bergaji rendah umumnya guru non Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sebagian besar di antaranya adalah guru honorer. Namun, ekspektasi orang tua siswa yang menitipkan anaknya di sekolah tidak mengenal itu. Seperti kita, semua orang tua ingin anaknya dididik oleh guru berpengetahuan luas, berkepribadian baik, paham perubahan zaman, mengerti teknologi, dan menguasai psikologi siswa. Abad 21 menuntut peran guru melampaui sekat ruang kelas. Guru dituntut tidak sekadar mengajar, tetapi juga menjadi agen perubahan sekolah, aktif di ruang-ruang sosial dan menunjukkan diri pada bidang politik kebangsaan. Namun, bagaimana mungkin kita berharap lebih, jika urusan perut saja mereka masih bingung? Kita membangun infrastruktur ini dan itu. Sebagian tidak tepat sasaran, sebagian lagi menggerogoti anggaran negara. Kereta cepat Jakarta- Bandung, misalnya. Atau Bandara Kertajati, Sumedang, Jawa Barat yang berubah menjadi bengkel pesawat, Bandara Jogja yang sepi dan terancam bangkrut, Bandara Kualanamu yang 49 persen sahamnya dijual ke asing, dan lain-lain. Jumat 23 Juli 2021, media Kontan online menuliskan judul besar: Puluhan Jalan Tol Milik BUMN Bakal Dijual, Tiga Investor Asing Siap Memborong. Sudah begitu, pemerintah tidak surut langkah merencanakan pemindahan Ibu Kota Baru, sementara ibu kota negara yang saat ini ada masih sangat representative, lebih dari sekadar layak. Cobalah dihitung-hitung, berapa duit negara yang habis untuk itu? Berapa yang mubazir? Belum lagi sejumlah di antaranya lenyap dikorupsi. Bahkan dalam urusan bantu sosial kepada rakyat miskin saja dengan tega ditilap menteri yang mengurusinya, yaitu Menteri Sosial waktu itu Juliari Peter Batubara. Begitulah, kita menumpuk hutang demi pembangunan, tetapi luput membangun kehidupan guru, para pencetak SDM itu. Pemerintah harusnya sadar, ada jasa guru pada semua orang hebat tanah air. Maka jika gurunya hebat, di masa depan akan bermunculan orang-orang Indonesia yang lebih luar biasa lagi. Indonesia seharusnya berinvestasi pada guru dan pendidikan secara umum. Kurangi atau tunda dulu investasi pada proyek-proyek besar yang belum menjadi kebutuhan utama. Alihkan untuk peningkatan kualitas hidup dan kompetensi guru, bangun sekolah, dirikan madrasah, tumbuhkan pusat-pusat ilmu pengetahuan. Kita harus menyadari, ada kekeliruan dalam menentukan skala prioritas pembangunan. Tidak perlu malu, tengsin, atau merasa gagal. Tidak mudah memang, tetapi bukan hal yang mustahil. Karena tujuan kita bukan saling menyalahkan, tetapi saling mendukung dalam memilih ikhtiar terbaik demi masa depan negeri. Diakui atau tidak, sangat terasa bahwa kohesivitas sosial mulai merenggang. Oligarki menguat, kesenjangan melebar, keakraban beragama terusik dan ketenteraman bernegara mulai mengikis di tengah merajalelanya fitnah, saling tuding, dan saling lapor. Di hulu, guru telah berupaya menciptakan kader-kader bangsa unggulan, tetapi di hilir politik kekuasaan memelintir segalanya. Jika situasi itu menjadi wajah baru Indonesia kini, lalu bagaimana wajah negeri di masa depan? Pulihkan Pendidikan. Pulihkan pendidikan. Dua kata dalam tema hari guru ini seolah menegaskan pengakuan negara bahwa ada problem di sektor pendidikan kita. Guru adalah salah satu elemen pendidikan itu. Maka keseriusan kita mengurus sektor pendidikan, semestinya juga tercermin dalam upaya mengatrol derajat dan kualitas guru, khususnya problem guru honorer yang super akut. Pemerintah telah memberi solusi dengan meluncurkan program Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Namun, solusi ini memunculkan problem baru, seperti penolakan sebagian guru honorer, persoalan teknis pelaksanaan tes, kualifikasi peserta, nilai ambang batas, dan seterusnya. Untuk itu, Panitia Khusus (Pansus) Guru dan Tenaga Kependidikan Honorer Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dalam 5-6 bulan terakhir bekerja ekstra keras guna memberikan alternatif solusi. Pansus sekaligus melakukan mekanisme check and balances terhadap jalannya program PPPK, melakukan evaluasi agar program PPPK tahap dua berjalan lebih baik. Faktanya, realisasi penerimaan guru honorer dalam seleksi PPPK tahun ini masih sangat kecil. Dari lebih sejuta lowongan guru PPPK yang dibuka, hanya separuhnya saja atau 506.252 yang mendaftar. Dari jumlah tersebut, hanya 173.329 guru honorer yang lulus tahap awal. Jumlah ini jelas masih jauh dari harapan. Faktor yang memengaruhi banyak. Selain penolakan sebagian guru honorer, ada kekhawatiran dari pemerintah daerah bahwa anggaran pengadaan guru PPPK akan menggerus keuangan daerah. Maklum saja, gaji guru PPPK disuplai APBD. Sementara pemerintah pusat menegaskan, gaji guru PPPK telah masuk dalam alokasi Dana Alokasi Umum (DAU) yang disalurkan kepada pemerintah daerah. Angkanya mencapai Rp19,4 triliun. Apa pun itu, minimnya guru honorer yang terjaring mengindikasikan, dalam masa tertentu, negeri ini masih akan memiliki guru honorer. Jumlah guru honorer saat ini adalah sebanyak 742.459 orang. Sedangkan yang lulus PPPK tidak sampai seperempatnya. Padahal, UU sesungguhnya tidak lagi mengenal istilah guru honorer. Lalu, bagaimana status dan perlindungan hukum bagi guru honorer yang belum terjaring, namun masih tetap mengabdi di sekolah-sekolah? Pemerintah harus memperhatikan mereka. Meski dipandang sebagai solusi, namun program PPPK bukan payung hukum. Pengabaian terhadap hak-hak guru honorer adalah pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM). Demikian pula ketiadaan aturan dan perlindungan hukum terhadap sebuah profesi yang eksis, namun tidak diakui Undang-Undang. Itu kalau kita ingin bicara dengan hati, dari hati ke hati, dan bukan sekadar slogan. Selamat hari guru! Penulis adalah Ketua Pansus Guru dan Tenaga Kependidikan Honorer DPD RI.
Formula E Lepas dari Kebuntuan Siasat Jahat
Oleh: Yusuf Blegur Saking tidak ada lagi isu atau celah yang bisa dimainkan untuk menjatuhkan Anies Baswedan, PDIP dan PSI seperti memaksakan wacana Formula E untuk terus mendiskreditkan Gubernur DKI Jakarta. Sudah hampir setahun ini, kedua partai politik di parlemen Kebon Sirih seperti ngotot, gigih dan pantang menyerah mengeksploitasi program balap mobil listrik yang akan diselenggarakan Pemprop DKI. Setelah kegagalan penggunaan hak interpelasi, pemeriksaan BPK yang clear dan pengerahan pendengung, influencer dan buzzer, bahkan hingga menggunakan jejaring dan kekuasaan politisnya memaksa membawa program Formula E ke KPK. PDIP dan PSI yang berkecamuk dendam dan nafsu terus berupaya menggusur orang nomor satu di balai kota itu. Tidak sedikit pun dapat memenuhi ambisi dan syahwat politiknya. Anies bergeming dan tetap melanjutkan program Formula E. Justru dari sekelumit itu, figur Anies banjir simpati dan dukungan baik dari warga Jakarta maupun nasional. Seperti gajah di pelupuk mata tak tampak, namun semut di seberang lautan terlihat. PDIP dan PSI larut dalam emosi dan dikendalikan kedengkian yang berlebihan terhadap Anies. PDIP dan PSI selalu abai, bahwa internal partainya termasuk yang paling sering terlibat korupsi, mengumbar janji yang tak pernah ditepati dan melahirkan kebijakan yang menindas dan menyengsarakan rakyat. Kader-kader partai PDIP dan PSI yang sering bolak-balik berurusan dengan instrumen seperti KPK dan kejaksaan agung. Mulai dari korupsi bansos saat pandemi, korupsi E-KTP hingga sulitnya menemukan hilangnya Harun Masiku ditelan kasus suap KPU. Termasuk kehilangan semua jejak dan keterlibatan yang ada dalam kasus itu. Begitu pun dengan kegagalan pembangunan infra struktur baik karena mangkrak maupun sebab dibangun dengan utang yang mencekik rakyat, namun begitu saja dijual murah. Ada lagi kereta cepat Jakarta Bandung yang lambat pekerjaannya namun cepat membengkak biayanya. Juga soal banjir pun begitu, dari mulai Jawa Barat, Jawa Tengah hingga banjir Sintang Kalimantan Barat. Semua kegagalan-kegagalan program pembangunan yang diikuti maraknya korupsi dan kerusakan alam seakan tak tampak dan tak ada dalam pengetahuan serta kesadaran mereka. Padahal PDIP dan PSI merupakan partai politik dalam lingkar kekuasaan yang melaksanakan pembangunan dan menggerakkan sebagian besar birokrasi pemerintahan di keseluruhan negeri. Kader PDIP begitu juga PSI seperti orang-orang yang sedang berlarian telanjang bulat di jalan, sembari teriak mengumumkan peraturan dan norma kesusilaan kepada masyarakat. Bagai orang yang sedang mabuk alkohol dan narkotika, seakan percaya diri menasehati orang yang masih sadar dan sehat. Bagi PDIP dan PSI, tidak ada urusan yang lebih besar dari fenomema korupsi dan extra ordinary crime lainnya yang melilit tubuh mereka sendiri, selain program Formula E. *Tak Berhenti Sampai Anis Bisa Dijegal* Sepertinya dan kecenderungannya perlu ada tes kejiwaan dan psikis bagi orang seperti Giring Ganesha yang Ketua Umum PSI dan Pasetyo Edi Marsudi yang kader PDIP sekaligus ketua DPRD DKI. Pasalnya, kedua orang ini begitu ngotot dan ngoyo mencari-cari kesahan Anies dalam program Formula E. Giring yang tumbuh dalam habitat keartisan, dianggap belum memiliki pengalaman dan kematangan dalam politik. Begitu Juga dengan Prasetyo yang jejak rekam dan behaviornya politiknya biasa-biasa saja. Kelihatan sok tahu dan merasa lebih pintar dari Gubernur Jakarta yang sudah kenyang di dunia pendidikan dan birokrasi pemerintahan. Giring dan Prasetyo memang berani, tapi tak punya cukup akal sehat dan kemampuan wawasan kebangsaan yang mumpuni. PDIP dan PSI yang hanya bermodalkan kekuasaan politik dan mungkin sudah lumayan menimbun kapital. Memaksakan hasrat dan target kepentingan politiknya, mendobrak mekanisme dan aturan struktur formal lainnya yang sudah ada dan berjalan dalam perencanaan Formula E. Selain penegasan dari BPK dan Ketua MPR RI yang juga Ketua Ikatan Motor Indonesia (IMI). Bahwasanya sejauh ini tidak ada masalah dan tidak diketemukan penyalahgunaan uang negara. Bambang Soesatyo pun mempersilahkan proses hukum ditempuh namun kegiatan Formula E tetap bisa berjalan. Selain itu, diperkuat juga dari Co-founder Formula E merangkap Wakil Formula E Operations (FEO), yakni Alberto Longo. Seperti yang dilansir tempo.co dan Jakarta (Antara). Alberto Longo membantah isu bahwa Jakarta adalah satu-satunya kota penyelenggara yang membayar commitmen fee. Beberapa kota di negara lain juga melakukan hal yang sama. Dalam jumlah pembiayaan Jakarta juga tidak lebih besar dari kota-kota penyekengara Formula E lainnya. Ia juga mengatakan bahwa sejauh ini tidak ada hal-hal yang menyalahi prosedur dari rencana dan proses kegiatan Formula E. Tidak ada klausul yang menyimpang, ujarnya. Bahkan saat presiden dan pemerintah pusat mendukung pelaksanaan Formula E di Jakarta. Sebuah event yang mengangkat trust dunia terhadap Indonesia dan membuka peluang investasi yang sedang digenjot pemerintah pusat. Belum mampu juga memulihkan kewarasan berpikir legislator PDIP dan PSI di kawasan Balai Kota. Formula E yang dimasalahkan secara politis bukan teknis, dieksplotasi PDIP dan PSI guna memuaskan syahwat politik keduanya di Jakarta. Ini sudah diluar batas fatsun politik dan keberadaban demokrasi. Dimana ambisi telah membunuh kewarasan politisi tanggung ala Garing dan Prasetyo. Formula E juga tetap lebih rendah dan dianggap tidak istimewa ketimbang balapan WSBK Mandalika 2021 di Sirkuit Mandalika yang berbiaya besar juga dan dibangga-banggakan. Namun even dunia itu seketika diawal pembangunan, telah menjadi wahana air tempat bermain anak untuk bule-bule pembalap internasional. Banjirpun tumpah ruah ke tempat dan ajang olah raga dunia. Entah harus bilang menakjubkan atau memalukan bangsa?. Jadi seperti biasa buat Anies. Tetap tenang, santun dan cerdas. Ketidakwarasan politisi kerdil dan picik jangan sampai membuat Jakarta jadi ikuti-ikutan edan. Lagipula, banjir Jakarta juga sudah pindah ganasnya ke Jabar, Jawa Tengah hingga Sintang Kalimantan Barat. Begitu juga korupsi, semakin marak dan mewabah diluar birokrasi Pemvrop DKI Jakarta. Tetap lepas dan waspada dari kebuntuan politisi licik dan siasat jahatnya. Penulis, Pegiat Sosial dan Aktifis Yayasan Human Luhur Berdikari.
Lupakan Tirani Kekuasaan PBNU, Bangun Rumah KKNU-26
Oleh: Abdul Malik Said KITA telah disuguhi sebuah tontonan panggung Deklamasi dan Deklarasi dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) selama 2 periode, tampak dalam sudut pandang mata awam terlihat Tirani Kekuasaan Absolut dan Show of Force Benih Fir'aun dan Qorun. Tirani Kekuasan ini tak mampu tertembus oleh apapun bak baja yang kuat dan tebal menghalau pedang samurai untuk mencabiknya dan sasaran anak panah yang lepas dari busurnya. Kokohnya pelindung PBNU oleh para Naga yang siap mencaplok mangsa yang mengusiknya. Instrumen barisan Penguasa yang merasa kuasa di atas kuasa Tuhan telah memperisai tubuh PBNU secara gagah dan elegan dan juga barisan kaum orientalis kapitalis zionis, komunis Chines, sekularis libralis, syi'is dan Islam Nusantara. Oh, begitu aman dan nyamannya sang Deklamator dan Deklarator di tubuh Jam'iyyah Nahdlotul Ulama yang berkuasa dalam 2 dekade ini. Kita semua tahu bahwa Nahdlotul Ulama lahir dari rahim para Wali-Wali Alloh Yang Mulia, suci bersih tanpa darah yang terkumandang Adzan dan Iqomah tanda kebangkitan Ulama dan Ummat Manusia di bumi Nusantara. Kelahiran NU memenuhi panggilan sang perintis jagat Nusantara untuk melawan segala bentuk penindasan dan penjajahan. Sejarah telah menorehkan tinta emasnya bahwa Kemerdekaan Republik Indonesia adalah andil besar para kyai dan ulama yang ada di dalam Jam'iyyah Nahdlotul Ulama. Kini sejarah berubah akan eksistensi NU Tempo Dulu. Sejarahnya tertoreh dengan tinta air comberan yang tak berbekas kalimatnya, hanya bau busuk yang menyengat dirasa. Gonjang ganjing tontonan yang tak patut dilakukan oleh PBNU saat ini sebagai penerus para Mu'assis Nahdlotul Ulama, maka lahirlah KKNU-26 (Komite Khitthoh Nahdlotul Ulama 1926) untuk meluruskan jalan semestinya yang merujuk pada konsistensi garis-garis perjuangan Visi Misi yang sesuai dengan Qonun Asasi dan Khitthoh NU. KKNU-26 lahir di tengah-tengah badai besar yang menghempas lepas semua sendi-sendi kehidupan beraqidah Aswaja dan ittihaadus syakhshiyah di bumi nusantara. Memang KKNU-26 lahir masih dalam kondisi prematur, butuh incubator untuk memulihkan dan menumbuhkembangkan jiwa raganya agar menjadi kuat dan besar untuk berjuang melawan angkara murka dan orang-orang yang mengobrak-abrik sendi-sendi Jam'iyyah NU secara masif dan terstruktur. Tapi apa daya tangan tak kuasa dan sang Pengusa Alam belum turunkan nushroh-Nya kepada bayi yang prematur ini. Gerak sedikit, sudah muncul kekhawatiran akan efek dan imbalan dari gerakannya. Statement dari tokoh-tokoh KKNU-26 seperti alm KH Sholahuddin Wahid, KH Khoirul Anam, KH Suyuthi Thoha, KH Abdulloh Muchid, Prof. Dr. KH Ahmad Zahro, MA, Prof. Dr. KH Rahmad Wahab, Gus Sholahul Aam Wahib, KH. M. Ghozi Wahib dengan kalimat yang sama. Bahwa PBNU menampakkan arogansi kekuasaan, NU sudah dijual dengan harga rendah dan murahan, PBNU sudah sangat menyimpang dan melenceng dari qonun asasi dan Khitthoh. Beraneka narasi yang disampaikan untuk mengkritik dan meluruskan jalannya PBNU dan memulihkan marwah Jam'iyyah NU ternyata mendapat serangan balik dan ocehan-ocehan yang menyakitkan, dibilang Kyai-kyai frustasi, kurang kerjaan, gak dapat bagian dan banyak kalimat yang menyakitkan didengar. Serangan balik ini ada dua kemungkinan, bisa memicu bangkitnya KKNU-26 atau jadi kendornya perjuangan. Maka dari itu pertumbuhan KKNU-26 belum normal dan tidak sempurna. Realitas kondisi masih lemah dan tak berdaya karena gak ada biaya. Dan itu kita menyadari semua, bahwa motorik suatu organisasi adalah SDM dan SDA. Lalu apa yang seharusnya KKNU-26 perbuat? Dengan kuatnya perisai-perisai yang kokoh mengelilinginya yang tak bisa tertembus apapun anak panah yang bertubi-tubi? Sejalan dengan pemikiran saya oleh Bpk. KH Ahmad Fauzi mengharap Pengurus KKNU-26 untuk tidak terus-menerus melawan tembok raksasa itu, yaitu PBNU Now and New, biar mereka bertarung sendiri kita sebagai penontonnya. Lanjut beliau PB KKNU-26 fokus merawat rumah sendiri dan para penghuninya kaum nahdliyin dan para simpatisan dari kalangan para tokoh yang tidak tersentuh oleh kepemimpinan NU sekarang. Pendapat dan pikiran ini sungguh sangat Rasional dan Obyektif melihat ummat sekarang ini sudah apriori dan terpecah belah baik dari kalangan ulama ulamanya maupun warga nahdliyin itu sendiri, baik yang ada di struktural maupun yang ada di kultural NU. Oleh karenanya, KKNU-26 segera kembali mengurus rumah sendiri dan ummat ysng semakin parah kondisinya dalam persatuan dan kesatuan juga dalan konstruksi beragama ala ahlus sunnah wal jamaah. Rumah sendiri bisa lebih aman dan nyaman dirasa, maka mulailah kita Membangun dan Merenovasi Bangunan ysmg Rapuh yang Ditinggalkan oleh PBNU Ini. Penulis Adalah Pengasuh PP HAQ An-Nahdliyah, Sidoarjo
Anies Menepis Pesimis
Oleh: Yusuf Blegur Mengulas program-program pembangunan yang dilaksanakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, baik menyangkut fisik dan non fisik maupun penataan wilayah dalam ranah fungsi dan estetika, sejatinya memang menampilkan perubahan yang progresif dan signifikan pada wajah Ibu kota negara yang menjadi episentrum bagi jalannya roda pemerintahan pusat. Keberhasilan pembagunan di Jakarta dapat dilihat dari beberapa indikator termasuk beberapa penghargaan baik dari dalam negeri maupun internasional serta tingkat kepuasan publik atas perubahan Kota Jakarta yang lebih modern namun tetap humanis. Pun demikian, kinerja Pemprov DKI yang digawangi Anies Risyad Baswedan, masih saja terdengar suara sinis dan riuh dari segelintir orang dan atau beberapa kelompok. Tentunya dari kalangan tertentu yang sejak awal sudah menunjukkan sikap subyektif, apriori dan skeptis. Bahkan sejak figur Anies memenangkan Pilkada DKI tahun 2017 dan belum menjalankan roda pemerintahan di Tanah Betawi tersebut. Faktanya, Anies memang memiliki dua tanggung jawab besar selaku gubernur DKI Jakarta. Pertama ia harus mengemban dan menuntaskan amanat warga Jakarta. Sesuai dengan mottonya, "Bangun Kotanya, Bahagia Warganya". Alhamdulillah, lepas dari segala kekurangan dan kelemahannya. Anies berhasil memenuhi keinginan warga Jakarta akan pembangunan yang tidak sekedar menghasilkan pembangunan fisik semata. Pemimpin yang lama mengenyam pendidikan di Amerika, bukan saja menampilkan karakter demokratis dan moderat. Ia juga mampu menyentuh pembangunan pada kedalaman sisi lahiriah dan spiritualitas masyarakat Jakarta yang plural dan heterogen. Anies mampu menangkap aspirasi dan kebutuhan warga Jakarta termasuk yang notabene tidak sedikit kurang beruntung dan termarginalkan oleh pembangunan sebelumnya. Sebut saja beberapa diantara sekian banyaknya. Ada pembangunan rumah aquarium, ada kebijakan air minum murah dan terjangkau. Sampai yang prestisius pembangunan mendunia dari Jakarta Internasional Stadium (JIS). Paling menyentuh dan emosional, ketika pembebasan pajak bumi bangunan (PBB) bagi para pahlawan veteran dan orang atau kelompok yang telah berjasa bagi Kota Jakarta khususnya dan Indonesia pada umumnya. Belum lagi yang fenomenal dan membanggakan bagi seluruh warga Jakarta, soal kemudahan dan pemberian ijin pembangunan (IMB) rumah ibadah umat beragama, terutama selain masjid. Beberapa kebijakan yang sepertinya sepele dan sederhana, namun memberi makna yang dalam bagi warga Jakarta secara sosiologis dan psiko politik. Anies tidak hanya memanusiakan manusia warga Jakarta. Belum lagi segudang prestasi yang telah ditorehkan dan mungkin sudah sulit dihitung. Secara prinsip dan mendasar, Anies juga menampilkan figur kuat dalam dirinya yang jauh dari intoleran, radikalis dan apalagi fundamentalis. Mengusung kebhinnekaan dan kemajemukan Indonesia. Cucu dari pahlawan nasional Rasyid Baswedan itu. Telah nyata dan terus-menerus mewujudkan Panca Sila dalam tindakan, ketimbang sekedar kata-kata atau slogan. Kedua, Anies ini juga harus menghadapi serangan-serangan dari luar yang berbasis politis tendensius dan sangat personal. Hal yang juga menjadi handicap tersendiri, meskipun pada dasarnya bukan menjadi masalah substansi dan esensial. Anies cukup lama menjadi sasaran ketidaksukaan dan kebencian dari suatu kelompok atau kepentingan baik dari Jakarta ataupun kalangan pusat. Beberapa diantaranya partai politik seperti PDIP dan PSI. Kedua kekuatan politik yang ada di parlemen dan wilayah eksekutif. Mereka semacam sedang menyusun agenda yang terskenario. Mereka juga didukung oleh beberapa pendengung, influencer hingga buzzer yang intensif dan masif merongrong Anies. Sepanjang Anies memimpin Jakarta, sepanjang itu pula, siasat menggerus dan mengganjal Anies berlangsung. Terakhir belakangan ini, bagai dagelan dan sinetron pajang. Formula E ditayangkan terus oleh penyuka isu, intrik dan fitnah, guna menghimpun kekuatan dan konspirasi jahat melumpuhkan Anies. Namun semua itu tidak membuat goyah gubernur yang dikenal santun, cerdas dan berwibawa itu. Anies Baswedan tetap tenang, santun dan humanis. Ia bahkan tidak kehilangan senyum dan akal sehat betapapun hujatan dan hinaan menderanya. Anies tidak kehilangan kesantunan budi pekerti dan teguh menjunjung adab. Tidak seperti kebanyakan pejabat yang lepas kendali emosinya saat dalam posisi 'under pressure' atau hanya sekedar bergaya. Gambaran dari birokrat yang temperamen dan suka marah-marah di depan publik tapi ingin disebut pemimpin. Begitulah produk kepemimpinan di luar sana yang sudah mewabah. Kepemimpinan semu yang hanya dan ditopang bermodalkan pencitraan. Anies sangat-sangat jauh dari semua itu. Anies pada akhirnya harus ikhlas dan sabar, namun harus terus fokus membangun Jakarta. Sebagai pemimpin, ia kudu bisa menerima hal-hal yang kurang menyenangkan dan terasa pahit bagi dirinya. Betapapun keberhasilannya masih dipandang buruk dan derasnya sikap merendahkan dari orang lain. Justru hal seperti itulah yang yang semakin mematangkan dan membuat Anies menjadi lebih bijak. Anies hendaknya bisa memetik buah dan hikmah perjalanan sejarah Indonesia. Dalam hal kepemimpinan, banyak tokoh dan pejuang yang begitu besar pengorbanan dan jasanya. Tidak pernah berhenti mengalami kesulitan dan tantangan. Sebagian besar pemimpin itu mengokohkan dirinya dalam jalan penderitaan hidup. Bahwasanya menjadi pemimpin itu merupakan penyerahan diri. Pemimpin itu keseluruhannya melayani dan berkorban. Seperti banyak disampaikan oleh pemimpin-pemimpin yang mashur dan layak diteladani. Bahwasanya jalan kepemimpinan itu adalah jalan penderitaan. Terus semangat buat Anies. Kritik dan gerakan menjatuhkan sekalipun, tetaplah dilihat sekaligus dimaknai pada hakekatnya semakin menguatkan tegaknya kepemimpinan. Anies yang humanis walaupun dilumuri skeptis. Jangan kendor dan konsisten pada Jakarta. Terus berupaya bangun kotanya dan bahagia warganya. Rakyat baik Jakarta dan seantero Indonesia, seiring waktu memahami siapa pemimpin sesungguhnya dan siapa pemimpin yang abal-abal. Semoga mampu dan mewujud, Anies menepis pesimis. Lanjutkan! Penulis, Pegiat Sosial dan Aktifis Yayasan Human Luhur Berdikari.
Buzzer Itu Agitprop Amatiran
Oleh M Rizal Fadillah Baru di rezim ini Istana menggunakan buzzer untuk memproteksi dan menyosialisasikan kebijakannya. Dengungan para buzzer mengisi jagad maya bukan saja dalam makna proteksi dan sosialisasi konstruktif tapi juga pencemaran, hoaks, dan fitnah. Target sengatan dan dengungan adalah para oposan dan pengkritik Pemerintah. Ulama dan aktivis keagamaan juga sering terkena ocehan kadrunisasinya. Buzzer itu divisi kominfo informal Istana. Konon bayaran, baik reguler atau per proyek. Ketika bayaran tersendat suara buzzer agak sumbang. Bila membandingkan dengan Pemerintahan komunis maka fungsi atau pekerjaan untuk menanamkan keyakinan kebenaran dari suara Pemerintah itu dikerjakan oleh yang namanya Departemen Agitasi dan Propaganda atau Agiprop. Bekerja terstruktur, sistematis, dan tentu berbiaya besar. Awalnya Agitprop dikenal dari Bolshevist Rusia. Departemen Agitasi dan Propaganda ini merupakan bagian dari Komite Partai Komunis Uni Sovyet baik Pusat maupun Daerah. Tugasnya menyampaikan dan menanamkan ideologi dan program atau kebijakan pemerintah. Hal yang biasa di negara komunis. Di negara demokrasi seperti Inggris, Agitprop dilakukan oleh kelompok sayap kiri untuk menggalang simpati serta mendoktrin kan ideologi dan misi politik perjuangan kirinya. Di Indonesia PKI lah yang memiliki Departemen Agitasi dan Propaganda. Menyebarkan isu perjuangan wong cilik, jaminan kesehatan, tanah untuk rakyat, pendidikan hingga rekreasi. Spiritnya anti borjuasi dan imperialisme. Di sisi lain musuh perjuangannya adalah Masyumi, partai berbasis agama. Akibat agitasi dan propagandanya Soekarno membubarkan Masyumi. Hal hal yang menjauhkan agama menjadi isu dari agitasi dan propagandanya pula. Istilah kadal gurun atau kadrun dipopulerkan untuk memojokkan aktivis keagamaan, santri, dan ulama. Ide fundamental komunis adalah Islamophobia bahkan anti agama. Agama sebagai candu dan penghambat kemajuan. Buzzer adalah agitprop rintisan. Sumber daya manusianya belum sekualitas kader PKI apalagi anggota Departemen Agitasi dan Propaganda di negara-negara komunis. Akan tetapi semangat membela kekuasan "right or wrong" patut diacungi jempol. Meski jelas dominasi dan orientasi materi cukup kuat. Netizen menjuluki dengan buzzeRp. Mungkin maksudnya mata duitan. Kecanggihan dalam beragitasi dan propaganda serta mengolah media tidak terlalu canggih. Masih banyak anggota pasukan yang berprofil cengengesan atau imut-imut. Mudah untuk diserang balik atas isu-isu yang dilemparnya. Buzzer adalah Agitprop amatiran. Dan Istana juga sering dibuat kikuk oleh ulahnya. Buzzer itu perusak demokrasi dan menjadi squad demoralisasi. Keberadaannya tidak boleh dilestarikan karena di samping hanya menjadi sampah dari kultur politik luhur, juga wujud dari pemerintahan yang lemah. Pemerintah yang butuh penopang dari kaum dagelan yang aktingnya tidak lucu dan menyebalkan. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Inilah Landscape Ekonomi Digital Indonesia
Oleh: Agus Maksum UNTUK memperkaya literasi digital dan memahami peta persaingan dalam dunia Ekonomi Digital di sekitar kita, kami kirimkan kajian singkat berikut. Situasi paling mutahir adalah investasi miliaran US$ di Indonesia sehingga melahirkan Decacorn dan Unicorn yaitu: 1. Tokopedia; 2. Gojek; 3. Shoope; 4. Bank Jago; 5. OVO; 6. J&T; 7. Bukalapak dan lain-lain. Selain itu, terjadi pengelompokan bisnis dalam dua kelompok besar: 1) Gojek Tokopedia (GoTo) dan Lazada (yang di-invest oleh Alibaba) 2) Shopee, JD, Traveloka (yang di-invest oleh Tencent) Strategi jangka panjang Alibaba adalah Strategi menguasai infrastruktur di Asia Tenggara, utamanya Indonesia melalui kendaraan ecommerce lalu berkembang ke Bank Digital, jasa pengiriman, dan pergudangan. Alibaba sudah membangun infrastruktur FBL (Fulfilled by Lazada – 60.000 SQM gudang di Cimanggis dan terus membangun di kota-kota lain dan memiliki infrastruktur delivery sendiri dengan LEX – Lazada Express. Pesaing kuat Alibaba adalah Tencent (induk semang dari JD.co). Tencent masuk ke Indonesia melalui JD.id, juga menanam saham di pesaingnya yakni Gojek. Traveloka tak luput dari incaran. Tencent pun ingin menguasai infrastuktur payment Go-PAY yang dipakai Go-JEK, yang saat ini sudah menjadi e-wallet terbesar di Indonesia, bahkan telah memiliki Bank bernama Bank Jago. Bank Jago bahkan sudah mampu mengalahkan e-wallet yang dibuat bank dan telko. JD.id sudah mulai membangun gudang Distribution Center di Jakarta maupun di kota-kota besar di Indonesia beserta Hub pengirimannya sendiri. Tencent semakin kuat dengan investasi besar-besaran di Shopee.co.id. Kedua pemain raksasa ini sudah mengubah peta ekonomi digital di Indonesia. Setahun terakhir ini GMV-( total barang dagangan) di pasar Indonesia meningkat pesat dengan membawa produk-produk murah China. Petinggi Shopee menyatakan, saat ini juga ke depan pasar Indonesia hanya akan menjadi medan pertempuran dua raksasa ecommerce dari China: yaitu Group Alibaba Vs Group Tencent dengan berbagai varian startup. Bagaimana Nasib Pemain Lokal? Hingga saat ini pemain Ekonomi Digital lokal belum bisa mengimbangi pertempuran dengan para pemain raksasa China tersebut. Pemain lokal kalah dalam pengalaman, finansial, teknologi, bigdata, dan jaringan. Ada dua kemungkinan bagi pemain lokal: 1) Diakuisisi atau 2) Ditutup karena kehabisan pendanaan di tengah jalan. Persaingan Ekonomi Digital ini juga berdampak pada bidang-bidang pendukung lanskap-nya. Pemain di bidang logistics dan payment yang berkembang menjadi Bank Digital, akhirnya akan menguasai berbagai lini bisnis yang menguasai hajat hidup kita. Yang mengkhawatirkan, supplier produk lokal akan tergantikan oleh produk-produk asing, jika kita tak mampu mengambil peluang emas berkembangnya Ekonomi Digital ini. Rumor yang beredar saat ini.... Para Petinggi Raksasa Digital berusaha melobi pemerintah untuk dapat melonggarkan aturan impor finish goods untuk dijual via e-commerce Indonesia, juga melakukan lobi-lobi perubahan UU agar mereka lebih leluasa bergerak berselancar di Wilayah Digital Indonesia dan membagi-bagikan sebagian kecil saham dan jabatan komisaris pada para pejabat. Apa yang harus kita lakukan? Kita tidak memiliki Venture Capital untuk membiyayai Platform digital melawan pemain-pemain raksasa. Telah banyak pemodal lokal kapok berinvestasi pada startup digital umat karena akan habis dan hangus dimakan para raksasa. Untuk mengimbangi mereka kita harus Membuat Model Bisnis yang Berbeda dengan para raksasa digital. Strategi kita adalah strategi dengan memanfaatkan modal sosial melalui konsolidasi di tingkat komunitas, yakni kita konsolidasikan kekuatan modal sosial kita di tingkat komunitas. Konsolidasikan dana/modal dengan membuat Bank Digital Syariah di tingkat Komunitas, Bank Digital dimiliki dan dikendalikan oleh masing-masing komunitas. Selain Konsolidasi dana/modal, secara bersamaan, modal yang terkumpul harus segera digunakan untuk melakukan konsolidasi pasar di tingkat komunitas, komunitas harus dibangun dengan karakter dan komitmen untuk memenuhi kebutuhan dari dan oleh anggota, di sinilah peran Kyai Ulama dan leader-leader lokal di tingkat komunitas di sangat dibutuhkan. Penyadaran dan pembentukan komitnen umat harus segera dibentuk untuk menggerakan Ekonomi Digital Umat, yakni komitmen menabung di Bank Digital milik komunitas dan Belanja dari dan oleh kita. Kalau kita tidak segera melakukan konsolidasi untuk mengimbangi para raksasa di atas, kalau kita tidak melindungi pasar Indonesia dan mendorong produsen lokal bisa punya pasar sendiri, yakni pasar lokal di komunitas, maka akan semakin habislah kita. Yuk kita bangun dan mulai konsolidasi! Asing terus menyerang dan berdatangan. Kalau kita cuma diam, matilah kita semua. Penulis Pokja Ekonomi Musyawarah Ulama dan Tokoh Umat (MUTU)
Dukungan untuk Haris Azhar dan Fathia Maulidiyanti
Oleh: Yusuf Blegur Kekuasaan terus merangsek mengangkangi norma dan aturan. Dengan bekal pengaruh, harta dan jabatan yang dimiliki, ambisi dan keangkuhan itu berusaha menaklukkan semua yang ada di hadapannya. Hadir dalam pelbagai rupa dan perangai menguasai kehidupan rakyat dan negara. Hawa nafsu yang dominan dan sistemik dalam dirinya tampil arogan dan sewenang-wenang. Pribadi dan atau bersama kelompoknya, memamerkan kekuatan dan seolah menunjukkan kelakuannya tak bisa digugat dan dihadapi oleh siapapun. Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar dan Koordinator Kontras Fathia Maulidayanti. Aktifis pergerakan yang konsern dalam mengeksplorasi relasi negara dengan kehidupan rakyatnya. Kali ini berhadapan dengan Luhut Binsar Panjaitan usai mengangkat bisnis pertambangannya di Papua dalam channel youtube. Haris Azhar dan Fathia Maulidiyanti harus berseteru hingga mungkin sampai ke pengadilan dengan Luhut Binsar Panjaitan, seorang pejabat sekaligus pengusaha yang banyak terlibat langsung dan memengaruhi kebijakan negara. Sifat birokrat pengusaha yang satu ini bukan hanya cenderung manipulatif terhadap undang-undang. Ia juga eksploitatif terhadap kekayaan negara dan mengancam esistensi dan kesinambungan ekosistem lingkungan. Wajar saja Haris Azhar dan Fathia Maulidiyanti menuntut transparasi dan akuntabilitas politik bisnis Luhut. Demi kebenaran dan demi keadilan bagi kehidupan rakyat. Rakyat sudah tahu dan memahami bagaimana semua sektor kehidupan negara telah dikuasai oligarki dan kelompok borjuasi korporasi. Termasuk Luhut yang mengemban segudang jabatan dan memiliki daya pengatur bertekanan tinggi, bahkan kepada seorang presiden sekalipun. Bukan hanya bisnis pertambangan dan infra strukur semata. Luhut juga tersandung bisnis alat tes PCR, yang miris menghebohkan publik. Untuk sekian kalinya, Luhut menyakiti rakyat yang sudah sekarat menghadapi pandemi. Luhut benar-benar menampakan dirinya sebagai contoh wajah penguasa yang aji mumpung, serakah dan juga bengis. Seandainya napas manusia itu tidak gratis dari Tuhan, Luhut Pastinya akan melirik itu, sebagai sesuatu yang mungkin bisa diperjual-belikan juga. Keberanian Membongkar Kejahatan Haris Azhar dan Fathia Maulidiyanti, merupakan sedikit kenyataan bahwa betapapun kedzoliman hadir menyesaki ruang-ruang kehidupan publik di negeri ini. Kebenaran dan keadilan tidak akan pernah mati, walaupun terlihat redup dan terdengar sayup-sayup. Suara-suara kritis dan keberpihakan terhadap rakyat tertindas itu, masih menggema meski di tengah ingar bingar dan gemuruh konser kejahatan konstitusional. Walaupun mengundang resiko dan mengundang bahaya. Haris Azhar dan Maulidiyanti tak gentar. Betapapun tidak terlupakan oleh mereka, tidak sedikit kolega seperjuangannya yang terdahulu harus menjadi korban penganiayaan, hilang dan harus kehilangan nyawa. Berdua konsisten, teguh dan istiqomah berjuang. Mereka berdua seperti menghadapi tembok besar yang tiba-tiba dan seketika bisa saja berbalik merobohkan. Haris Azhar dan Fathia Maulidiyanti layaknya representasi pesan moral dan nilai-nilai agama yang selama ini terpinggirkan, menjadi formalitas dan dianggap uthopis. Jiwa yang berserah pada kebesaran Ilahi tak akan surut menghadapi kekuasaan manusia yang sejatinya tidak absolut. Rezim boleh korup dan represif, tapi tidak langgeng dan abadi. Selain seiring waktu melemah, ia juga tetap tak berarti dan tunduk pada kekuatan Tuhan yang hakiki. Haris Azhar dan Fathia Maulidiyanti, sejatinya merupakan kesadaran keberanian dan perlawan rakyat yang masih terserak di sana-sini. Ia hanya belum bersatu, masih seperti puzzel yang belum terangkai namun tetap bisa disusun menjadi indah, solid dan bermakna. Semoga perlawanan Haris Azhar dan Fathia Maulidiyanti kepada rezim kekuasaan yang tiran mendapatkan keberpihakan dari rakyat, alam dan Tuhan yang Maha Besar dan Maha Kuasa. Sebagaimana keduanya begitu peduli dan memasuki kedalamannya. Tak perlu takut, tak perlu ciut bahkan ketika harus menghadapi seribu Luhut. Karena hanya kekuasaan Tuhan yang absolut. Penulis, Pegiat Sosial dan Aktifis Yayasan Human Luhur Berdikari.
Algojo Baliho Siap Terapkan Gaya Era Soeharto
By M Rizal Fadillah Indonesia adalah negara demokrasi bukan negara fasis, dimana militer dapat berbuat sewenang-wenang. TNI adalah tentara rakyat dan tentara pejuang bukan tentara gertak-gertak dan ancam-ancam. Bukan tentara hantu yang menakut-nakuti rakyat dengan bahasa radikal-radikul. Radikalisme belum memiliki definisi berbasis hukum. Masih multi tafsir dan tentu saja tidak boleh ditafsirkan versi sendiri. KSAD baru Jenderal Dudung mulai berwajah Benito Mussolini. Pernyataan yang tidak bijak dari seorang pemimpin "Saya akan berlakukan seperti zaman Pak Soeharto dulu". Rupanya Angkatan Darat hendak dikerahkan untuk membantai kelompok yang secara sepihak diberi label "radikal". Wuih mau dibawa ke mana negara ini. KSAD Jenderal Dudung Abdurrahman menampilkan diri sebagai Jenderal yang justru radikal. Teriak radikalisme yang diarahkan pada kelompok masyarakat padahal dirinya sendiri yang justru mengembangkan faham radikalisme. Sewaktu Pangdam Jaya, Dudung memerintahkan penurunan baliho FPI dan HRS. Karena itu, umat menjulukinya, jenderal baliho (karena dia berpangkat Mayor Jenderal). Malah ada yang sebutan lainnya, "Algojo baliho." Sebuah sebutan yang tidak pantas ditujukan kepadanya. TNI AD dalam bahaya. TNI AD jangan dibawa untuk menjadi tukang pukul. Jika mau perang lawan itu KKB di Papua yang sudah terang-terangan berani mengejek dan menantang. Bukan rakyat sebangsa dan setanah air. Tugas TNI melindungi segenap bangsa dan tumpah darah. UU No 34 tahun 2004 tentang TNI menegaskan bahwa TNI dibangun dan dikembangkan sesuai kepentingan politik negara, mengacu pada prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional dan ketentuan hukum internasional yang telah diratifikasi. Berbeda dengan KSAD terdahulu yang perkasa, berwibawa, dan tidak membangun kegaduhan, kini KSAD seperti melebihi kewenangannya, mengobrak-abrik ranah politik, main ancam dan tidak berwibawa. Jauh dari spirit UU TNI yang menempatkan jati diri TNI sebagai tentara rakyat, tentara pejuang, tentara nasional, dan tentara profesional. Semangat Dudung untuk membawa TNI AD ke era pemerintahan Soeharto jelas suatu kemunduran. Mundur seratus langkah. Sungguh hal ini merupakan sikap yang melanggar prinsip demokrasi, menginjak-injak supremasi sipil, serta mengancam hak asasi manusia. Dipastikan mengoyak undang-undang dan aturan hukum nasional-internasional. Semoga Jenderal Dudung menyadari posisi diri sebagai pemimpin yang dituntut untuk mampu membawa TNI khususnya Angkatan Darat menjadi kekuatan yang berwibawa dan manunggal dengan rakyat. Bukan menginteli dan memecah-belah kebersamaan rakyat yang justru membahayakan kesatuan dan persatuan bangsa. Semakin brutal Jenderal Dudung justru akan semakin mengganggu dan membuat goyah posisi Presiden Jokowi yang telah bersusah-susah "pasang badan" untuk memberi kepercayaan kepada Dudung Abdurrahman sebagai KSAD. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan