Pers Nasional Masih Punya Masa Depan Jika Segera Menyesuaikan Diri
Kasus mutakhir peristiwa Wadas. Setengah mati pemerintah melalui sebagian pers menyangkal tragedi kemanusiaan itu. Percuma. Fakta peristiwanya telanjang membuktikan memang begitu. Melalui media sosial, video aksi kekerasan aparat di Wadas menjadi konsumsi publik. Percuma polisi membantah.
Catatan Ilham Bintang, Ketua Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat.
ADA lima poin yang cukup menjelaskan mengapa program migrasi televisi (TV) dari analog ke digital tidak akan menjadi isu seksi bagi rakyat. Jika boleh saya katakan, tidak punya korelasi kuat dengan produk jurnalistik. Pers Nasional masih punya masa depan jika segera berubah, segera menyesuaikan diri dengan kaidah- kaidah baru media digital. Mayoritas warga net sudah lama beradaptasi dengan kehidupan digital dan global.
Pertama, sepuluh tahun tahun lalu, saat pemerintah menetapkan migrasi televisi (TV) analog ke digital, smartphone belum lahir. Waktu itu, kita pun membayangkan proyek nasional itu berat. Berat bagi tenaga kreatif dan awak newsroom. Ibarat lompatan jauh dari kultur layar tancap ke kelas bioskop sinepleks 21. Cacat-cacat teknis yang bisa dimaklumi di medium layar tancap akan menjadi masalah besar dan serius di mata sebagian besar masyarakat yang sudah terbiasa menonton di bioskop sineplek 21.
Atau mengikuti berita dari siaran TV global yang sudah mudah diakses masa itu. Sound yang cempreng dan gambar yang bintik- bintik akan menjadi kendala besar bagi penonton menyesuaikan diri dengan tontonan sekelas layar tancap.
Kedua, perkembangan teknologi informasi yang pesat 10 tahun terakhir, yang produknya antara lain, smartphone, mengantarkan masyarakat lebih cepat familiar dengan teknologi digital sebelum pemerintah memutuskan migrasi TV tahun ini. Terjadi saat masyarakat telah menemukan kembali kedaulatannya bebas memilih program hiburan maupun berita.
Rakyat yang berdaulat (lewat) jari-jari tangannya cepat menemukan program-program yang dia butuhkan dan sukai. Dalam konteks program news atau berita, mereka mau yang isinya " daging" semua, sesuai fakta peristiwa yang disajikan secara akurat, berimbang dan obyektif. Itu substansinya.
Sedangkan saluran digital berubah posisi. Hanya saja, kemasan lebih bersifat teknis yang aroma bisnisnya tidak bisa dielakkan. Menurut rekan Apni Jaya Putra, sahabat saya yang pakar televisi, migrasi TV digital bakal menciptakan infrastruktur internet yang akan semakin baik karena akan ada digital dividend. Katanya, itu perlu peran serta pers dalam melaksakan fungsi kontrol sosial.
Kembali ke netizen. Perkembangan selanjutnya, tidak hanya mengkonsumsi, warga net pun memproduksi informasi yang melalui risetnya, disukai rakyat luas dengan memanfatkan momentum masyarakat yang mulai membelakangi layar kaca. Mereka sering menangkap basah ada pemilintiran substansi berita. Wartawan malas atau kurang waktu mengidentifikasi duduk perkara suatu peristiwa sebelum menyiarkan suatu berita. Mereka hanya asyik meliput sumber bicara menghabiskan durasi.
Lewat gadgetnya, warga net 24 jam berselancar di dunia maya. Sekalian meninggalkan kultur menonton televisi. Yaitu menonton TV bersama-sama di satu tempat dan waktu tertentu yang diatur bagian programming. Secara kualitatif terhadap produk pers, sekali lagi mereka fokus pada substansi. Selamat tinggal talkshow yang sumbernya itu- itu saja. Yang selalu bertengkar dan membuat gaduh, bahkan urusan remeh-temeh.
Ada yang menyadari pertengkaran malah menjadi selling point bagi satu media untuk mengejar rating. Maka, yang tampil pun yang kuat bertengkar saja. Kuat mencaci. Atau saling caci. Ini jelas mengabaikan etika pers dan karena abai memperhatikan kompetensi sumber berita.
Belakangan berita kriminal perkotaan yang menjadi domain Harian Pos Kota zaman dulu, kini jadi menu TV sehari-hari. Menghabiskan durasi berjam-jam. Kita tahu itu maksudnya membidik segmen penonton masyarakat bawah yang masih setia menonton TV.
Supaya ditonton sekeluarga, berita kriminal seperti itu disajikan dalam siaran digital pun sulit dipakai mengajak segmentasi masyarakat menengah supaya berpaling. Artinya, program TV digital tidak terlalu penting. Yang penting ketika berbicara masa depan pers adalah hasil kerja wartawan yang sepenuhnya mematuhi kode etik jurnalistik. Yaitu berita akurat, obyektif berimbang, jujur dan terpercaya. Itu mahkota pers yang masyarakat selalu tagih dari wartawan platform apa pun.
Ketiga, data terakhir, 200 juta orang Indonesia telah terhubung dengan internet (secara global 4.46 M). Itu mengkonfirmasi telah terjadi disrupsi, goyahnya posisi media televisi. Secara kuantitatif, jumlah pengguna internet di Tanah Air saja lebih banyak dari pemilih Pemilu 2019. Atau lebih kurang 80 persen penduduk Indonesia. Jauh di atas 60 juta pemirsa yang diperebutkan media-media televisi konvensional lokal maupun nasional.
Fenomena di media sosial semakin menggairahkan setelah melahirkan miliuner-miliuner, seperti Deddy Corbouzier, Raffi Ahmad, Atta Halilintar, Ria Richis, Baim Wong, yang jika diakumulasi subscriber mereka total menguasai hampir 100 juta pengguna internet. Melebihi akumulasi jumlah gabungan penonton seluruh stasiun televisi dan pembaca media cetak maupun online.
Meskipun perolehan kue iklan Rp 168 triliun masih didominasi televisi, fenomena media sosial itu jelas merupakan ancaman serius yang menuntut perubahan mendasar insan pers dan televisi. Saya sudah berkali-kali dalam tulisan mengingatkan kawan wartawan segera berubah, berbenah, mengkaji ulang politik pemberitaannya, gencar berinovasi, kalau tidak mau tinggal nama.
Keempat, fenomena medsos telah menjadi isu nasional dunia pers Indonesia hari- hari ini. Sudah tiga kali momen Hari Pers Nasional membahas itu secara serius. Informasi produk netizen yang mendominasi ruang publik, menjadi sumber ancaman bagi keberlangsungan pers dan industrinya.
Juga dianggap mengganggu kelangsungan penyelenggaraan negara. Pada Hari Pers Nasional di Kendari, 9 Februari 2022, pemerintah dan pers, resmi berkolaborasi kembali setelah reformasi. Pertemuan antara media pers yang tergerus audiensnya pembaca/pendengarnya dengan pemerintah yang merasa kewibawaannya dirongrong warga net, seperti pertemuan mangkok dan tutupnya yang lama terpisah.
Akan tetapi, kolaborasi itu berpotensi mengabaikan pagar api yang mutlak ditegakkan institusi pers. Seakan lupa sumber hukum wartawan adalah Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, yang sejak reformasi telah menutup akses campur tangan dari pihak pemerintah. Tidak ada makan siang gratis. Sebagian wartawan masih trauma praktik penguasa di masa Orde Lama dan Orde Baru. Pengalaman puluhan tahun dikooptasi penguasa masih membekas.
Media sosial bukan tanpa cela. Banyak produk mereka yang berbahaya. Masih banyak netizen yang tidak memahami etika berkomunikasi di ruang publik. Masih banyak informasi didasari kebencian. Paling mengerikan, kalau netizen bekerja mendapatkan nafkah dari konten yang memecah-belah bangsa.
Saya hanya hormat pada warganet yang murni melakukan kontrol dengan cara militan dan jujur. Saya membayangkan itu akan menjadi kekuatan pers alternatif di masa depan. Sekarang memang masih bergerilya di bawah tanah, menerima risiko sumpah serapah, padahal keberadaan mereka diakomodasi dalam UU Pers. Buka Pasal 17 yang mengatur Peran Serta Masyarakat.
Mereka (netizen itu) mempunyai jaringan luas membuat semua dinding punya mata dan telinga. Itu yang paling berharga di alam demokrasi, meski itulah yang sering dinilai oleh penguasa sebagai merongrong kewibawaan pemerintah. Memang celaka jika warga net memergoki pemimpin yang tidak satu kata dengan perbuatan.
Kelima, fakta-fakta empirik itu menurut saya menjadi salah satu alasan masyarakat berpaling dari media mainstream ke produk netizen di media sosial. Skandal penyalahgunaan kekuasaan, perampokan uang negara, praktik mafia hukum, yang relatif sensitif dan sering tidak disentuh oleh media mainstream, diangkat oleh netizen. Pers media mainstream baru menyusul meramaikan setelah isu menjadi trending topic.
Kasus mutakhir peristiwa Wadas, Jawa Tengah. Setengah mati pemerintah melalui sebagian pers menyangkal tragedi kemanusiaan itu. Percuma. Fakta peristiwanya telanjang membuktikan memang begitu. Melalui media sosial, video aksi kekerasan aparat di Wadas menjadi konsumsi publik. Percuma polisi membantah.
Secara audio visual polisi yang menangkap warga yang tanahnya mau diambil paksa. Terbukti, esoknya dilepas sendiri setelah berbagai elemen masyarakat memprotes keras. Sebagai gongnya, permintaan maaf berulang-ulang Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo. Kabar terbaru kini ada kegiatan bakti sosial bagi-bagi sembako bagi penduduk di desa itu.
Untung Ganjar Pranowo pemain medsos, sehingga tahu karakter warga net. Apalagi sebagai kandidat Presiden 2024. Ganjar tahu persis, tabu jika pemimpin tertangkap tangan netizen berbohong.
Lima point di atas saya kira cukup menjelaskan mengapa program migrasi tv dari analog ke digital sekarang tidak akan menjadi isu seksi bagi masyarakat. Jika boleh saya katakan, tidak punya korelasi kuat dengan produk jurnalistik. Pers Nasional masih punya masa depan jika segera berubah, segera menyesuaikan diri dengan kaidah- kaidah baru media digital. Mayoritas warga net sudah lama beradaptasi dengan kehidupan digital dan global.
Ingat 200 juta pengguna internet, (bisa dibaca) sebanyak itu sudah menikmati pergaulan secara global. Menonton dan menyimak sebuah peristiwa secara real time dari tempat kejadian perkara sebelum disiarkan oleh media mainstream. Jangan pernah mengulang reportase liputan live "teroris" di Mabes Polri tempo hari. Narasi yang dramatis dan menggebu-gebu hanya jadi cemoohan dan cibiran pemirsa.
Narasi melaporkan peristiwa penyerbuan teroris di markas polisi, tetapi gambarnya tidak mendukung. Yang tampak hanya ada satu perempuan di sana dalam posisi tidak berbahaya seperti disebut dalam narasi wartawan. Kita yang mengikuti reportase peristiwa itu secara live, merasa wartawan melecehkan nalar publik.
Padahal, reportase itu diambil dari kamera petugas Hubungan Masyarakat Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Humas Mabes Polri) yang di-relay oleh TVNews. Dan, petugas menembak tewas terduga pelaku yang posisinya tidak membahayakan aparat.
Peristiwa tersebut membuat Kepala Kepolisian RI (Kapolri) malu. Sejak hari itu, ia melarang anak buahnya menyiarkan secara live operasi penangkapan.
Berbagai peristiwa besar yang disiarkan media mainstream selalu memicu kecurigaan berbau "intervensi" terselubung otoritas di news room. Logikanya sederhana. Sebanyak 90 persen pemilik media di Tanah Air adalah politisi atau pengusaha yang menjadi bagian dari oligarki dalam pemerintahan.
Sudah "bersepupu" dengan penguasa. Pers mainstream rasanya sulit di masa depan jika prinsip kerjanya masih seperti itu. Walaupun dengan saluran super digital.
Disampaikan dalam acara Webinar Migrasi Siaran TV Digital Menuju Pers Masa Depan, Senin, 14 Februari 2022.