OPINI
Ganti Presiden Lebih Mendesak Ketimbang Pindah Ibu Kota
UU IKN merupakan upaya melegalisasi kejahatan borjuasi korporasi dan membiarkan kuku-kuku oligarki mencengkeram negeri. Dengan kata lain konstitusi direkayasa untuk melindungi para cukong terus merampok sumber daya alam sembari mengembangbiakan korupsi, membuat kerusakan alam dan konflik horisontal sesama anak bangsa. Oleh Yusuf Blegur, Pegiat Sosial dan Aktivis Yayasan Human Luhur Berdikari SEMENTARA di lain sisi presiden gagal menunjukkan kualitas kepemimpinannya, kalau tidak bisa disebut dungu dan penipu. Alih-alih berprestasi membawa kemakmuran dan keadilan bagi rakyat Indonesia. Presiden justru membawa negara menuju kebangkrutan dan disintegrasi bangsa. Negara diambang kehancuran sosial, politik, ekonomi, budaya, hukum, pertahanan dan keamanan nasional. Kalau tidak dijajah kembali oleh asing dan aseng, bisa jadi NKRI bubar seperti yang disampaikan Prabowo Subianto dan Amien Rais. Presiden memimpin negara dengan begitu maraknya KKN, utang negara yang menjulang sulit untuk dikembalikan, penyelenggaraan pemerintahan mengangkangi Panca Sila, UUD 1945 dan NKRI. Rakyat Indonesia tak lagi bisa mengambil resiko dan segala kemungkinan terburuk, bahkan tidak bisa menunggu lagi hingga sisa waktu jabatan presiden berakhir. Meski pesimis, masih ada kemungkinan lembaga-lembaga tinggi negara seperti DPR, MPR dan DPD menggunakan pertanggungjawaban moral dunia akherat dan amanat konstitusinya menyelamatkan negara bangsa. Atau memang revolusi rakyat Indonesia menjadi satu-satunya pilihan dan yang tak terhindarkan. Terpuruknya kehidupan rakyat Indonesia, telah membawa negara dalam kondisi darurat kenegaraan dan kebangsaan. Pelbagai rekayasa dan pengalihan isu tak mampu menghilangkan distorsi kebijakan seperti omnibus law dan UU IKN. Sebelum lebih jauh menimbulkan banyak masalah yang berujung pada kesengsaraan rakyat. Terlebih pada polemik dan kontroversi ibu kota negara baru yang membutuhkan biaya hampir 500 triliun, sementara pemerintah membutuhkan biaya tidak sedikit untuk pemulihan negara. Saat rakyat dengan kemiskinan bertahan hidup karena pandemi, kengototan pemindahan ibu kota negara menandakan gejala hiprokat dan sakit jiwa para penyelenggara negara, utamanya seorang presiden. Jadi, ibarat dipaksa melakukan perjudian dengan nafsu memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Terutama ketika akal sehat, basis akademis, logika hukum dan konstitusi tak dipakai dalam praktek-praktek penyelenggaraan negara. Ada baiknya seluruh rakyat Indonesia mengganti presiden ketimbang memindahkan ibu kota. Selayaknya menjadi agenda yang mendesak dan menjadi skala prioritas bagi negara ini. Itupun jika bangsa Indonesia masih mau selamat dan memiliki masa depan yang jauh lebih baik. Selamat memilih presiden baru, bukan membangun ibu kota baru.(*)
Usut Tuntas Tragedi Km 50
By M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan Itu adalah tulisan dalam baliho yang dipasang di Pamekasan Madura. Kumpulan massa menyatakan tekad untuk menjaga baliho tersebut. Ada gejala upaya untuk menurunkan baliho simpati HRS dan enam anggota Laskar FPI itu. Isi kalimat berkaitan dengan aspek normatif bahwa tragedi Km 50 harus diusut tuntas. Pembunuhan itu dinilai sadis. Aspirasinya adalah bahwa peristiwa pembunuhan 6 laskar FPI merupakan suatu tragedi yang tidak boleh dimain-mainkan, direkayasa, atau diambangkan. Harus dituntaskan. Kritiknya adalah bahwa proses peradilan yang kini sedang berjalan dengan dua orang terdakwa anggota Kepolisian dinilai tidak akan mampu menuntaskan pengusutan tragedi Km 50. Baliho hanyalah baliho, namun ada teriakan keras disana. Pihak yang terusik adalah yang menutup telinga atas suara berisik itu. Dahulu Dudung Abdurrahman semasa Pangdam merasakan suara berisiknya, hingga harus bersusah payah untuk membasminya. Mengomando pencopotan baliho sosok HRS. Bergelarlah ia sebagai Jenderal Baliho. Ketika para \"calon\" Presiden jumawa diri dengan baliho di mana-mana, ada Puan, Airlangga, Muhaimin, Erick dan lainnya atau baliho Presiden yng mengingatkan masker dan vaksin, maka wajar muncul baliho \"lain\" tentang usut tuntas tragedi Km 50 di Madura. Sebenarnya tidak perlu dimasalahkan karena pesannya konstruktif. Persoalan penegakkan HAM menjadi kewajiban bersama bangsa Indonesia. Suara itu tulus dan datang dari \"bawah\" yang merasakan adanya ketidakjujuran dan ketidakadilan dalam penanganan dan pengungkapan tragedi Km 50. Rekayasa kasar untuk menutupi fakta dan melindungi pelaku kriminal yang sesungguhnya. Ketika ungkapan lewat bunga \"say it with flower\" dianggap terlalu lemah, \"say it with law\" tidaklah mudah, maka sekelompok warga Madura menyatakan aspirasinya lewat baliho \"say it with baliho\". Semoga Jenderal Dudung tidak mengerahkan pasukannya ke Madura untuk menurunkannya. Sebaiknya bergerak saja ke Papua. Ada lawan seimbang disana. \" TNI kombatan, kami juga kombatan\" kata Arnoldus Kocu, Komandan TPNPB-OPM Kodap IV Sorong Raya. (*)
Staf Khusus Menteri BUMN: Milenial BUMN Harus Pakai Produk UMKM Lokal
Bandarlampung, FNN - Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga mengajak seluruh milenial BUMN untuk menggunakan produk lokal guna mendorong pengembangan UMKM di daerahnya.\"Seperti tadi yang telah saya sampaikan para milenial, terutama semua milenial BUMN harus bangga menggunakan produk lokal,\" ujar Arya Sinulingga, di Bandarlampung, Sabtu.Ia mengatakan dengan bangga menggunakan produk lokal, para milenial BUMN dapat berkontribusi dalam memajukan sektor UMKM di daerahnya. \"Kita dorong untuk pakai produk lokal, ini bisa membantu UMKM yang ada di daerahnya untuk terus berkembang,\" ucapnya.Menurutnya, produk lokal yang dibuat oleh pelaku UMKM dari segi kualitas cukup baik dan mampu bersaing dengan produk dari brand terkenal.\"Dari kualitas tidak kalah saing dengan brand terkenal banyak yang bagus, jadi jangan malu beli dan gunakan produk lokal,\" katanya.Dia melanjutkan, selain itu untuk mendorong pengembangan UMKM lokal, milenial BUMN pun diminta untuk aktif memanfaatkan rumah kreatif BUMN.\"Rumah kreatif BUMN ini harus dimanfaatkan untuk membuat pelatihan permodalan, pengemasan produk untuk UMKM, jadi teman-teman milenial BUMN harus support UMKM di daerahnya,\" ujarnya.Ia menjelaskan, dengan kolaborasi, kreatifitas, dan kecintaan dari milenial BUMN untuk mengembangkan dan memanfaatkan produk lokal, dapat menjadi salah satu faktor pendorong pertumbuhan UMKM dan ekonomi daerah.\"Kalau UMKM maju, tentu perekonomian daerah pun terbantu. Ini tugas bersama kita insan BUMN terutama milenial BUMN untuk memajukan produk lokal,\" ucapnya pula. (mth)
Menjelang Proklamasi Disintegrasi Bangsa
Tidak ada negara yang memiliki kekayaan sumber daya alam berlimpah, namun rakyatnya hidup begitu miskin. Tidak ada bangsa yang memiliki kekayaan kebhinnekaan dan kemajemukan, namun rakyatnya dipenuhi konflik SARA. Tidak ada negara bangsa yang memiliki kekayaan ideologi sekaligus nilai-nilai adiluhung mewujud Pancasila, namun ditopang dan dituntun oleh neo kolonialisme dan imperialisme. Sulit menemukan kondisi geografis, geopolitis dan geostrategis wilayah seperti itu dalam peta dunia, kecuali yang bernama Indonesia. Oleh Yusuf Blegur, Pegiat Sosial dan Aktivis Yayasan Human Luhur Berdikari BETAPA banyaknya badut-badut di negeri ini. Bertingkah ekspresif dan eksplosif melakukan akrobatik dalam sirkus politik, ekonomi, dan budaya. Begitu luar biasanya amarah dan sikap reaksioner terhadap Sekedar ungkapan \"Jin Buang Anak\". Sementara pada kejahatan kemanusiaan yang sesungguhnya dari korupsi, pelanggaran HAM dan belenggu demokrasi, menyeruak sikap masa bodoh dan serba permissif. Bahkan penguasaan berjuta-juta lahan oleh segelintir orang dan borjuasi korporasi yang berujung deteriorasi melalui pembakaran hutan, perubahan fungsi lahan, eksploitasi sumber daya alam tanpa batas berkedok bisnis dan investasi. Dibiarkan melenggang dengan angkuh sambil mempertontonkan kebengisa konspirasinya. Tampaknya ambigu dan paradoks telah menjadi habit sekaligus penyakit bangsa ini. Bangsa ini seperti mengalami gejala bipolar, disatu sisi menuntut hal sepele yang dianggap baik, di lain sisi secara telanjang membiarkan banyak hal yang esensi dan substansi mengalami distorsi. Genderang perang terhadap KKN yang digaungkan gerakan aktifis 98, surut dan kian kemari nyaris tak terdengar. Begitupun perlawanan terhadap omnibus law dan UU IKN, meredup terdengar sayup-sayup ditengah hiruk-pikuk pengalihan isu dan kelicikan rezim kekuasaan. Termasuk stereotif pesantren dan masjid yang menjadi pusat pembelajaran dan peribadatan agama, dituduh sebagai sarang teroris. Kehilangan kesadaran makna dan kesadaran krisis pada bangsa ini, semakin membuat negara ini meluncur deras ke jurang degradasi sosial dan disintegrasi nasional. Rayat terus sibuk berpolarisasi membangun eksistensi SARA. Menebar kecurigaan, hasad dan dengki pada sesama anak bangsa. Sikap permusuhan dan kebencian semakin tumbuh sumbur ditengah kemerosotan ekonomi dan politik. Kehilangan semangat kolektif kebangsaan dan kemunduran peradaban, seakan mengiringi krisis multi dimensi pada pelbagai sendi kehidupan rakyat. Realitas politik terus sibuk menyalakan api konflik horisontal sembari abai meninggalkan sejatinya nasionalisme. Kehilangan Kepemimpinan Nasional Bukan hanya gagalnya agama merasuki kejiwaan hati dan pikiran bangsa ini. Terlalu banyak pranata sosial yang tergerus oleh sihir massal mengejar materi. Kebudayaan yang kaya kemanusiaan dan orientasi nilai-nilai spiritual bangsa, secara perlahan dan massif mulai mengalami kehancuran. Warisan tradisi, mitos dan etos sebagai kearifan lokal sekaligus entitas nasional, mulai tergulung modernitas yang membonceng penghambaan kepada kebendaan. Rakyat hanya bisa pasrah, menangis dan terunduk lesu menyaksikan kekayaan adat dan budaya leluhur dihancurkan oleh keserakahan pembangunan. Saat agama tak lagi mampu menghadirkan inti dari kemanusiaan dan ketuhanan. Boleh jadi premis agama sebagai candu masyarakat yang pernah didengungkan penganut Marxis, kini semakin menggejala. Melalui perselingkuhan dan hubungan intim penuh syahwat dan gejolak. Kapitalisme dan komunisme begitu mesra melebur, giat mencabik-cabik UUD 1945, Panca Sila dan UUD 1945. Indonesia larut memasuki episode penjajahan berwajah liberalisasi dan sekulerisasi. Saat watak kolonialisme dan imperialisme hadir mewujud oligarki. Maka kekuasaan yang korup akan menjadi ternak-ternak yang terpelihara. Kepemimpinan nasional beserta kekuasaan institusional dan konstitusionalnya, terus menjadi boneka sekaligus budak kepentingan global, korporasi dan kelompok non state. Jadilah rezim atau penguasa yang perilakunya membenarkan celoteh seorang Lord Acton, \"power tend to corupt, absolute power corrupts absolutely\". Dibumbui rasa manis untuk asing dan aseng, namun membuncah represi dan keji pada bangsanya sendiri. Apa mau dikata, sistem pemilu yang menganut demokrasi transaksional yang sudah mengakar dan mendarah daging. Hanya melahirkan wakil-wakil rakyat dan para pejabat yang menjadi ternak-ternak oligarki. Birokrat dan politisi secara berjamaah cenderung menggerogoti negara. Berfungsi dan bertugas sebagai pelayan dari dominasi dan hegemoni pemilik modal. Bagai sunami politik, mesumnya hubungan penyelenggara negara dengan pengusaha, menyebabkan kedaulatan rakyat terhempas. Tak cukup sampai disitu, KKN yang telah memiskinkan bangsa dan menimbulkan kesengsaraan rakyat. Kini mulai mengusik persatuan dan kesatuan bangsa. NKRI menjelang disintegrasi, hanya tinggal menunggu proklamasinya. Seiring sulitnya menemukan pemimpin nasional yang sebenarnya, tak ubahnya bagai keinginan yang uthopi. (*)
Ketika Kaum Intelektual Menjadi Budak Kekuasaan
Oleh Ahmad Sastra, Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa, tinggal di Bogor. SECARA historis, pertumbuhan intelektualitas terjadi sejak adanya manusia itu sendiri. Sebab karakter utama manusia adalah berakal yang maknanya memiliki potensi berfikir, berbeda dengan makhluk berjenis binatang yang hanya diberikan naluri. Intelektualitas adalah anugerah Allah kepada manusia. Dari intelektualitas inilah lahirnya berbagai peradaban di seluruh penjuru dunia dari masa ke masa. Membungkam intelektualitas adalah bentuk kejahatan sekaligus kebodohan. Membungkam intelektualitas suatu bangsa berarti bangsa tersebut tengah mengizinkan kehancuran dan kemusnahan. Kekuasaan anti intelektualitas adalah kekuasaan diktator yang justru sedang membunuh dirinya sendiri. Kekuasaan anti argument adalah kekuasaan terburuk sepanjang sejarah peradaban. Peradaban Islam patut menjadi contoh bagi peradaban manapun di dunia. Peradaban Islam yang dibawa oleh Muhammad Rasulullah telah bertahan lebih dari 13 abad menandakan bahwa peradaban ini sangat menjujung tinggi ilmu dan intelektualitas. Lahirnya para ilmuwan muslim yang sangat dikenal di dunia adalah fakta sejarah. Peradaban agung Islam adalah peradaban ilmu dan adab akan bisa bertahan lama. Sebaliknya, yang dilandasi oleh nafsu dan kepentingan duniawi tak pernah bertahan lama, ia akan segera tumbang oleh kecongkakannya sendiri. Indonesia, bangsa muslim terbesar di dunia ini harus banyak belajar dari peradaban Islam. Peradaban fir’aunisme yang tumbang karena kecongkakannya juga ditopang oleh para budak-budak intelektual yang hanya menjadi stempel dan legitimasi apologetik kezoliman raja fir’aun. Budak-budak intelektual kepada kekuasaan diktator fir’aun lebih bahaya dari penjahat dan lebih hina dari seorang pelacur atau lonte sekalipun. Karena bisikan para intelektual bermental budak, fir’aun begitu membenci dan memusuhi Musa yang seorang utusan Allah. Nabi Musa di mata Fir’aun adalah penjahat dan pemberontak yang layak dimusuhi dan dimusnahkan. Pada awalnya, fir’aun begitu merendahkan Musa, selanjutnya memberikan ancaman, setelah gagal, maka fir’aun lantas mengadu domba rakyat agar memusuhi Musa. Kaum intelektual idealnya berdiri tegak dan jauh dari kekuasaan, jika pada akhirnya hanya menjadi budak. Kaum intelektual yang bergabung dengan kekuasaan mestinya menjadi energi positif bagi lahirkan kekuasaan yang baik serta peradaban mulia. Kampus-kampus mestinya menjadi mimbar akal sehat yang mampu memberikan pencerahan atas perjalanan suatu bangsa. Adalah kekelapan peradaban bagi bangsa jika kampus berubah menjadi penjara bagi argumentasi. Lebih ironis lagi jika kampus ikut menjadi budak kekuasaan sehingga bangsa tersebut tak lagi punya daya pikir. Kampus sesungguhnya adalah satu-satunya ruang bagi tumbuh kembang intelektual, jika telah membudak pada kekuasaan, maka akan lahir dari bangsa tersebut bangsa yang dungu dan terbelakang. Ketika intelektualitas membudak kepada kekuasaan, maka itu pertanda kegelapan masa depan bangsa tersebut. Kegelapan kekuasaan fir’aun dan namrud mestinya cukup menjadi pelajaran bagi suatu bangsa. Padahal kekuasaan hanyalah sesaat yang pada waktunya akan runtuh dan berganti. Peradaban demokrasi sekuler kapitalisme seperti Amerika pada akhirnya runtuh berkeping. Peradaban komunisme ateis seperti Uni Soviet juga tidak lama bertahan. Sementara peradaban Islam telah terbukti bertahan lama, sebab integrasi wahyu dan intelektualitas menjadi energinya. Psikologi keterjajahan bangsa ini memang telah lama mengurat saraf dari generasi ke generasi. Dalam istilah lain bangsa ini dalam kubangan hegemoni dan intervensi kolonialisme. Strategi mencari jalan keluar dari hegemoni dan imperialisme asing inilah yang menjadi tugas pertama para intelektual dengan gagasan dan pemikirannya. Tugas pertama seorang mukallaf (muslim) menurut Imam Syafi’i adalah memikirkan kemajuan agamanya. Dengan potensi sumber daya alam yang melimpah dan potensi cendekiawan muslim yang juga melimpah sudah semestinya Indonesia berdaulat dan bermartabat dari sejak dulu, namun faktanya hingga hari ini bangsa ini justru kian terjajah. Nah. Bagaimana mau mengeluarkan negeri ini dari hegemoni neokolonialisme jika kaun intelektual justru tengah terjerembab pada kubangan pragmatisme kekuasaan. Apa yang bisa diharapkan dari kaum intelektual bermental budak kekuasaan. Apa yang bisa diharapkan dari kaum intelektual yang berubah jadi bunglon, beda saat masih di luar, berbeda lagi saat berkuasa. Benarlah apa yang diungkapkan oleh George Washinton, presiden pertama Amerika bahwa jika ingin melihat manusia berubah, maka beri dia kekuasaan. Artinya kaum intelektual yang dekat dengan kekuasaan bisa jadi berubah jadi jahat dan bodoh, meskipun bisa jadi juga akan berubah menjadi lebih baik. Kesadaran mendalam untuk terus memberikan arah dan pencerahan bagi seluruh bangsa ini merupakan amanah abadi yang harus terus dipikul oleh kaum intelektual, terlebih intelektual muslim. Dengan manhaj Islam yang agung ini, insyaallah bangsa ini akan bermartabat. Sebab bermartabat bukan hanya soal kemajuan dan kedaulatan, namun juga soal kemuliaan. Saatnya menjadi intelektual yang berdiri lurus memberikan pencerahan saat bangsa ini redup dan meluruskan saat bangsa ini bengkok. Saatnya menghidupkan kembali radisi ilmu, argumentasi dan akal sehat di kampus-kampus. Jangan pernah mau menjadi budak kekuasaan yang tiba-tiba jadi dungu. Sebab perbudakan adalah kematian bagi sebuah bangsa. Nah disinilah letak peran strategis kaum intelektual agar tetap berdiri kokoh memerikan pencerahan dan peringatan bagi perjalanan sebuah bangsa dan peradabannya. Pantang seorang intelektual melacurkan diri kepada kekuasaan. Ingat diutusnya Rasulullah adalah sebagai pemberi kabar gembira sekaligus pemberi peringatan. Sesungguhnya Kami telah mengutusmu (Muhammad) dengan kebenaran; sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, dan kamu tidak akan diminta (pertanggungan jawab) tentang penghuni-penghuni neraka. (QS Al Baqarah : 119) (*)
Antara Radikalisme dan Stigma Bergerak: Sebuah Narasi Geopolitik
Oleh Kombes Pol Arif Pranoto (Akpol 1987) DARI perspektif geopolitik, terdapat narasi lain tentang radikalisme yang kini gaduh lagi marak di publik. Entah maraknya pada isu lokal/nasional, regional maupun radikalisme sebagai isu global. Bahwa radikalisme di tingkat lokal dan regional, misalnya, hanyalah dampak dari isu global. Kenapa demikian? Kredo geopolitik menyatakan, bahwa konflik lokal adalah bagian dari sebuah konflik global. Rujukan akademis yang agak pas guna memotret fenomena tersebut barangkali adalah \"butterfly effect theory\"-nya Edward Norton, bahwa kepakan sayap kupu - kupu di rimba belantara Brasil --- yang secara teoritis dapat memicu tornado di Texas beberapa bulan kemudian. Intinya, peristiwa besar kerap dimulai dari peristiwa kecil; atau jangan anggap enteng kejadian kecil, ia bisa membesar dan tak terkendali; dan juga jangan abaikan isu lokal, karena jangan - jangan ia bagian dari isu global. Adapun narasi di atas menerangkan bahwa radikalisme hanyalah: Stigma Bergerak. Memang belum ada definisi dan keterangan yang bersifat text book soal stigma bergerak, cuma perlu realita kasus, sedikit pendalaman, dan contoh-cöntoh peristiwa. Irak di zaman Saddam Hussen dahulu, contohnya, sebelum ia diserbu oleh koalisi militer Barat pimpinan Amerika (AS), dituduh menyimpan senjata pemusnah massal. \"Ini stigma atau isu pertama\" yang dilekatkan AS terhadap Irak. Ketika isu senjata pemusnah massal tak terbukti namun Irak terlanjur porak - poranda dikeroyok koalisi militer, stigma pun berubah menjadi isu menegakkan demokrasi. \"Ini stigma kedua.\" Setelah Saddam di hukum gantung lalu pemerintah Irak dalam kendali koalisi militer asing, stigma pun berubah menjadi \"isu menjaga stabilitas\". Nah, gambaran perjalanan atau perubahan stigma step by step mulai isu pertama, isu kedua, hingga isu terakhir (menjaga stabilitas) disebut: \"Stigma Bergerak\". Ya, (isu) bergerak menyesuaikan situasi dan kondisi terbaru di negara target. Sekarang membahas radikalisme. Tak boleh disangkal, kini ia menjadi stigma atau isu terujung, terakhir, terkini atau terpopuler setelah isu terorisme (\"ini stigma pertama\") tidak laku lagi di panggung global. Mengapa tidak laku, selain raja teroris Osama bin Laden telah \"tewas\" ditembak oleh pasukan elit AS Navy Seal di Pakistan dan mayatnya dibuang ke laut, juga karena faktor \"kekalahan\" militer koalisi pimpinan AS saat melawan Taliban di Afghanistan. Bayangkan saja, peperangan 10-an tahun yang menyedot banyak sumber daya hingga AS dan negara sekutu yang terlibat sharing saham dalam perang mengalami krisis ekonomi akibat modal perang tidak kembali. Taliban melawan mati - matian. Dan tak boleh dipungkiri, perang Afghanistan merupakan perang terlama (2001 - 2011) dalam sejarah petualangan AS di panggung geopolitik. Betapa koalisi 40-an negara ---NATO dan ISAF--- tidak mampu menundukkan Taliban yang padanan di Indonesia hanya sekelas ormas atau laskar pesantren. Taliban bukanlah militer profesional seperti halnya Kopassus ataupun Green Baret. Nah, usai \"drama\" penyerbuan Osama di Pakistan, AS dan sekutu akhirnya cabut dari Afghanistan dengan tagar: Osama Tewas! \"Onani\". Menyenangkan diri sendiri. Dan War on Terrorism (WoT) pun tutup layar. Setelah WoT tutup layar, isu pun berubah menjadi memerangi ISIS. Pertanyaan selidik muncul, \"Bukankah tabir sudah terkuak siapa pencipta, pendukung, siapa operator ISIS?\" False flag operation semacam ini sudah menjadi rahasia umum. Tatkala ISIS pun juga kalah dalam peperangan di Suriah, isu pun berubah lagi menjadi radikalisme. Ya. Inilah (radikalisme) isu terujung dari WoT yang sudah tutup layar beberapa tahun lalu. Sekali lagi, perubahan stigma dari isu pertama (terorisme), isu kedua (ISIS) hingga isu terakhir (radikalisme), dalam geopolitik disebut \"Stigma Bergerak\". Selanjutnya, antara kedua stigma bergerak di atas sebenarnya serupa tetapi tak sama. Serupa dalam hal pola, tidak sama pada modus dan aktornya. Lalu, apa target dan motif stigma bergerak tersebut? Satu kata: Minyak! \"If you would understand world geopolitics today, follow the oil,\" kata Deep Stoat, salah satu pakar strategi di Paman Sam. Bila ingin memahami dunia geopolitik hari ini, ikuti kemana minyak mengalir. Atau, kata Guilford: \"When it comes to oil 90% about politics, 10% is about oil itself\". Silahkan ilustrasikan, bila Irak cuma penghasil nasi kebuli atau susu onta, akankah muncul isu senjata pemusnah massal di era Saddam; atau, seandainya Suriah hanya produsen kurma, misalnya, apakah ISIS akan bermain di negerinya Bashar al Assad? (*)
Masjid Dihancurkan untuk Indomaret
By M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Keagamaan PT KAI akhirnya secara sepihak mengobrak-abrik Masjid \"Nurul Ikhlas\" di Jalan Cihampelas 149 Bandung. Perselisihan sebenarnya belum diselesaikan secara hukum. Namun arogansi PT KAI melakukan tindakan sewenang-wenang dengan membongkar bangunan rumah yang telah lama digunakan untuk Masjid tersebut. Ternyata Masjid Nurul Ikhlas tersebut adalah bangunan Cagar Budaya berdasarkan Perda Kota Bandung No. 7 tahun 2018 tentang Pengelolaan Cagar Budaya. Masjid Nurul Ikhlas tegas tercantum dalam Daftar bangunan Cagar Budaya Kawasan 17 Cipaganti No. 986. Bangunan Belanda yang telah diubah dengan ornamen Sunda dan telah menjadi Masjid unik yang lebih layak disebut Masjid \"Rumah Sunda\" itu telah dihancurkan. Rumah yang awalnya milik H. Moelja AA Wiranatakoesoemah dan Hj. Momoh Sari Adipatioekoer itu telah di wasiatkan untuk digunakan sebagai Mushola/Masjid. Masyarakat Sunda patut prihatin atas penghancuran bangunan Masjid Cagar Budaya tersebut. Parahnya kini di atas tanah penghancuran Masjid tersebut telah berdiri sebuah mini market \"Indo Maret\". Hal ini bukan saja menyakitkan umat Islam tetapi juga melanggar Perda Kota Bandung No 7 tahun 2018 dan Undang-Undang No. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Hebatnya lagi pembangunan \"Indo Maret\" itu sama sekali tidak memiliki ijin. Upaya Pemkot Bandung untuk menghentikan pembangunan tanpa IMB atau Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) tersebut ternyata tidak digubris sama sekali. Ada \"kekuatan siluman\" yang patut diusut. Secara hukum semestinya bangunan tersebut segera disegel dan dibongkar paksa. Atas pelanggaran UU Cagar Budaya yang dilakukan PT KAI atau pihak lain yang menghancurkan warisan budaya masyarakat Sunda maka semua pihak yang terlibat dalam penghancuran tersebut patut diseret ke meja hijau. Ancaman hukuman maksimal bagi mereka adalah 15 tahun penjara. Perbuatan sewenang-wenang dan melecehkan nilai-nilai budaya harus dilawan oleh seluruh elemen baik budayawan, seniman, atau aktivis kebudayaan lainnya. Sedangkan penghancuran Masjid untuk diubah menjadi \"Indo Maret\" telah menistakan umat Islam. Ustadz, ulama, dan aktivis keagamaan mesti mereaksi dan mengoreksi serta mendorong pemberian sanksi atas perbuatan biadab tersebut. Cihampelas yang menjadi ruang kegiatan usaha tidak boleh melecehkan masyarakat dengan menghancurkan peninggalan budaya. Masjid ornamen Sunda yang tidak bisa dipisahkan dari warisan dalem Sunda dahulu harus dijaga. Penghancurannya adalah kriminal. Gubernur, Walikota dan para pemangku kepentingan lain harus berbuat serius untuk melindungi warisan budaya tersebut. Dua dosa hukum berat yang telah dilakukan PT KAI yaitu pertama menghancurkan bangunan cagar budaya dan kedua, membangun tanpa ijin atau Persetujuan Bangunan Gedung (PBG). Menginjak-injak hukum dan arogansi tidak boleh ditoleransi. (*)
Isu Radikalisme dan Perang Persepsi
Yang lebih mengkhawatirkan lagi, jangan-jangan isu radikalisme ini menjadi bagian dari penguatan untuk memudahkan proses oligarki menuju kepada kekuasaan segelintir yang kuat itu. Sehingga segmen terbesar bangsa ini harus dibungkam dan dijegal dengan cara apapun. Oleh: Imam Shamsi Ali, Diaspora Indonesia di Kota New York PADA tahun 2008 lalu seorang anggota Kongres Amerika bernama Peter King (Republikan) dari pemilihan Long Island NY menginisiasi dengar pendapat di Kongres dengan tema: “Radicalization of the American Muslim Community”. Kebetulan saat itu dia menjabat sebagai Ketua Komite Keamanan Dalam Negeri atau Homeland Security. Rencana itu cukup menghebohkan Amerika. Sebuah inisiatif yang sangat kontroversial dan disikapi secara terbelah oleh masyarakat Amerika. Bahkan Presiden Barack Obama sendiri sesungguhnya tidak setuju dengan dengar pendapat dengan tema seperti itu. Tapi karena Kongres saat itu didominasi oleh Republikan, maka merekalah yang menentukan pembahasan isu-isu di Kongres. Umat Islam tentunya tersinggung dan menolak keras rencana dengar pendapat itu. Kami sendiri bersama tokoh-tokoh agama di Kota New York mengadakan demonstrasi besar yang dikenal dengan “Today I am a Muslim too”. Pada rally itu semua unsur agama berkumpul memberikan dukungannya kepada Komunitas Muslim. Tema “today I am a Muslim too” bermakna jika Anda menuduh orang Islam radikal maka semua merasa tertuduh. Jika Anda menyerang orang Islam maka Anda menyerang semuanya. Rally menentang dengar pendapat itu dikenal dengan “Today I am a Muslim too” pertama. Karena sekitar 10 tahun kemudian di saat Donald Trump berkuasa kami melakukan hal yang sama menentang kebijakan “Muslim Ban” atau pelarangan orang Islam masuk Amerika oleh Trump. Keduanya dilaksanakan di Time Square, pusat kota New York. Yang ingin saya sampaikan sebenarnya adalah bahwa pembicaraan tentang radikalisme yang pada umumnya dikaitkan dengan Islam atau orang-orang Islam ternyata lebih ditujukan kepada upaya untuk membangun imej atau persepsi tentang agama dan Umat ini. Seringkali mereka yang melemparkan isu radikalisme itu juga sadar bahwa realita radikalisme itu kalaupun ada bukanlah ancaman seperti yang disuarakan. Pengalaman di Amerika mengatakan demikian. Dengan dukungan pihak-pihak yang memang punya kepentingan, yang memang tidak senang dengan agama dan Umat ini maju, termasuk media. Mereka kerap kali melempar isu radikalisme dari sesuatu yang tidak nyata. Atau sesuatu yang “designed” (dibentuk) untuk kemudian dijadikan sebagai justifikasi radikalisme. Menariknya akhir-akhir ini juga begitu ramai Isu radikalisme di tanah air Beta Indonesia. Bahkan, seperti beberapa waktu lalu disebutkan ratusan Pesantren-Pesantren dan masjid yang terjangkiti radikalisme. Kalau ternyata benar, tentu ini sangat membahayakan. Bayangkan 2-3 orang saja orang radikal bisa menjadikan keamanan sangat terganggu. Karenanya ada baiknya jika radikalisme itu diberikan defenisi yang jelas. Apa, bagaimana dan kapan sebuah paham/karakter dimaknai radikal. Sebab seringkali pemaknaan itu salah alamat. Dan akhirnya mengakibatkan kezholiman kepada pihak/kelompok tertentu. Saya teringat di era Presiden GW Bush Jr. Disebabkan oleh peristiwa 9/11 akhirnya Bush melancarkan peperangan yang disebut “War on Terror”. Peperangan kepada teror ini dilakukan secara masif, baik secara global maupun domestik. Oleh karena defenisi teror saat itu juga tidak diperjelas. Akhirnya peperangan kepada teror itu menjadi remang-remang, tidak jelas juntrungannya. Bahkan belakangan teridentifikasi kalau “war on terror” itu identik dengan “war on Islam” (peperangan kepada Islam). Walaupun Islam yang dimaksud terlabelkan sebagai “Islam radikal”. Satu hal lagi yang menjadi dilema Bush dengan War on Terror ini. Yaitu terjadinya apa yang disebut dengan “guilt by association” atau bersalah karena asosiasi. Hal ini menjadi masalah besar karena apapun bentuk hubungan itu akan dijadikan justifikasi sebagai “bagian atau dukungan” kepada teror. Akibatnya begitu banyak orang-orang yang tidak tahu dan tidak sadar tentang apa yang terjadi tiba-tiba harus menanggung resiko tuduhan teror. Sebagai contoh saja. Karena Hamas terlanjur dituduh sebagai organisasi teroris maka semua yang punya relasi dengannya harus siap dituduh teroris. Termasuk ketika seseorang atau sebuah organisasi menyalurkan donasi untuk perjuangan bangsa Palestina. Jika kebetulan donasi itu ada yang masuk dalam pengelolaan orang atau kelompok yang berafiliasi dengan Hamas maka donatur tersebut dianggap bagian dari jaringan teror. Bahkan lebih radikal lagi ada kasus seorang warga Amerika keturunan Somalia berkunjung ke Magdishu (Ibukota Somalia). Orang tersebut makan di sebuah restoran yang kebetulan dimiliki oleh seseorang yang berafiliasi ke Al-Shabab (organisasi yang ditetapkan sebagai teroris). Warga Amerika tersebut kemudian ditetapkan sebagai donatur ke organisasi teroris. Saya khawatir kalau Isu radikalisme yang banyak diributkan saat ini juga punya tendensi yang tidak jauh berbeda. Bahwa isu radikalisme memang bertujuan untuk membangun persepsi jika mereka yang punya perhatian dan komitmen kepada agama dianggap radikal. Sampai-sampai janggut dan celana cingkrang, bahkan ketampanan sempat jadi kriteria radikal. Bahkan, lebih disayangkan lagi kalau isu radikalisme menjadi gorengan untuk kepentingan-kepentingan sesaat, apapun itu. Mungkin pengalihan isu? Karena ada sesuatu yang ingin diloloskan? Boleh jadi untuk kepentingan politik jangka pendek, termasuk Pilpres 2024? Yang lebih mengkhawatirkan lagi, jangan-jangan isu radikalisme ini menjadi bagian dari penguatan untuk memudahkan proses oligarki menuju kepada kekuasaan segelintir yang kuat itu. Sehingga segmen terbesar bangsa ini harus dibungkam dan dijegal dengan cara apapun. Karenanya semoga semua elemen bangsa berani untuk menyuarakan yang benar. Harus berani menantang semua hal yang dapat mengancam masa depan bangsa. Dan itu tidak jarang terancang (being planned) atas nama legalitas (perundang-undangan). Bahkan juga atas nama pengakuan cinta kepada Pancasila dan NKRI. Tidak ada kepentingan yang lebih besar dari bangsa ini daripada menjaga masa depan bangsa dan negara sesuai dengan amanah dan cita-cita pendiri bangsa (founding fathers). Satu di antaranya yang terpenting bahwa bangsa ini harus mandiri, bermartabat, makmur dan berkeadilan. Bukan sekedar nafsu kemajuan atau kemakmuran dengan menjual harga diri bahkan menzholimi diri sendiri (sesama bangsa). Intinya jangan mudah terpedaya dengan isu radikalisme yang dilemparkan. Jangan-jangan itu sekedar isu yang tidak substantif dan tidak pada tempatnya. Justeru untuk tujuan-tujuan lain dan untuk kepentingan kelompok oligarki itu. Di tanah rantau, 28 Januari 2022. (*)
Wakil Gubernur Banten Minta Mathlaul Anwar Konsisten Berkiprah di Pendidikan
Pandeglang, FNN - Sebagai ormas Islam asli Banten yang bergerak di bidang pendidikan, Wakil Gubernur Banten Andika Hazrumy meminta Mathlaul Anwar (MA) terus konsisten berkiprah di dunia pendidikan.Andika ketika membuka Musyawarah Wilayah IV Mathlaul Anwar Provinsi Banten di gedung aula Badan Pengembangan SDM Pemprov Banten, di Pandeglang, Jumat, mengatakan MA agar senantiasa terus berkiprah dalam mendidik generasi-generasi anak bangsa.Hadir dalam acara itu Wakil Ketua MPR RI Zulkifli Hasan dan Ketua Umum PB MA Embay Mulya Syarif.Andika menyampaikan agar spirit \'khitoh\' MA yang berkarakter modern, harus terus dijadikan ruh pengabdian seluruh keluarga besar MA dalam merancang dan melaksanakan kegiatan pendidikan baik di sekolah umum, kejuruan, dan sekolah tinggi.\"Saya berharap keberadaan lembaga pendidikan Mathla’ul Anwar akan terus bertambah maju dan berkontribusi positif untuk kemajuan Banten dalam bidang pendidikan,\" kata Andika, sebagaimana dikutip dari Antara.Dia juga berharap lembaga pendidikan MA dapat terus bertransformasi dalam rangka merespon kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin modern dan maju.Keluarga besar MA diharapkan senantiasa meningkatkan eksistensi dan perannya, sehingga keberadaannya akan semakin dirasakan manfaatnya dan mendapatkan legitimasi yang kuat dari seluruh komponen masyarakat maupun dari pemerintah dan pihak terkait lainnya.Sementara itu Ketua Karteker PW MA Provinsi Banten, Anang Anak Yaqin mengatakan dalam keadaan belum sepenuhnya keluar dari ancaman serangan virus COVID-19, PW MA Banten tetap menyelenggarakan Muswil dengan protokol kesehatan ketat. Muswil tersebut dilaksanakan selama dua hari, yaitu 28-29 Januari 2022.Hingga Kamis kemarin, kata dia, terdapat tiga kandidat yang menyatakan kesiapannya untuk maju pada Muswil. Ketiganya adalah Edi Suhaedi, Anggota Bidang Hubungan Antar Lembaga PW MA Banten; Taufiqurrohman, Ketua II Bidang Pendidikan PW MA Banten; Dahlan Hasyim, Ketua Perguruan MA Tigaraksa, Kabupaten Tangerang. (MD).
Gubernur Jatim Ingatkan Warga Tidak Panik Hadapi Ancaman DBD
Surabaya, FNN - Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa mengingatkan warganya tidak panik menghadapi ancaman penyakit demam berdarah dengue (DBD), namun tetap harus mewaspadainya.\"Selain COVID-19, warga juga harus berbagi perhatian terhadap ancaman DBD yang di awal tahun 2022 ini melanda dan semakin meningkat,\" katanya di Surabaya, Jumat.Berdasarkan data Dinas Kesehatan Jatim, kata dia, selama periode 1-27 Januari 2022, penderita DBD di wilayah setempat telah mencapai sebanyak 1.220 orang dan dengan jumlah kematian 21 orang (CFR = 1,7 persen) yang didominasi usia 5-14 tahun.Jumlah penderita tertinggi yakni di Bojonegoro (sebanyak 112 orang), Nganjuk (82 orang), Kabupaten Malang (73 orang), Ponorogo (64 orang), Tuban (61 orang).Kemudian, jumlah kematian DBD tertinggi adalah Pamekasan (sebanyak 3 orang), Bojonegoro (2 orang) serta Nganjuk (2 orang).Angka ini meningkat bila dibandingkan tahun sebelumnya yang pada Januari penderita DBD di Jatim tercatat sebanyak 668 orang dengan jumlah kematian lima orang.Total penderita DBD tahun 2021 di Jawa Timur sebanyak 6.417 orang, dengan jumlah kematian sebanyak 71 orang (CFR = 1,1 persen).Menurut Khofifah, pencegahan kasus DBD bisa dilakukan melalui gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) “3M Plus”, yang meliputi menguras atau membersihkan bak mandi, vas bunga, tempat minum binatang peliharaan hingga tatakan dispenser.Kedua, menutup rapat tempat penampungan air, serta ketiga menyingkirkan atau mendaur ulang barang bekas seperti botol plastik, kaleng bekas dan lainnya.\"Program ‘3M Plus’ ditambah dengan upaya memberantas larva melalui pemberian Larvasida, memelihara ikan pemakan jentik, memasang ovitrap. Serta, menghindari gigitan nyamuk dengan menanam pohon pengusir nyamuk, memakai kelambu, antinyamuk dan sejenisnya,\" ucap dia.Tidak itu saja, orang nomor satu di Pemprov Jatim tersebut juga menyarankan sekali setiap pekan melalui kegiatan Gerakan Satu Rumah Satu Jumantik.\"Jadi kami minta peran serta dan pemberdayaan masyarakat dengan melibatkan setiap keluarga untuk pemeriksaan, pemantauan, pemberantasan jentik nyamuk untuk pengendalian penyakit,\" demikian Khofifah Indar Parawansa. (mth)