Kemerdekaan Jiwa
Negara begitu terbuka menyediakan ruang dan waktu bagi setiap kesadaran. Pada Jiwa yang hidup, tak akan pernah lepas dari domain dan irisan negara. Sebagian besar mengambil peran sebagai aktifis, sebagian kecil memilih jalan sebagai pejuang. Aktifis pergerakan lebih banyak meniti karir politik dan ekonomi, ikut menikmati kue kekuasaan, sementara pejuang menyusuri jejak langkah idealisme, berujung penjara atau kematian. Sama-sama memiliki keyakinan dan membangun catatan sejarahnya masing-masing.
Oleh Yusuf Blegur, Pegiat Sosial dan Aktivis Yayasan Human Luhur Berdikari
KEDUANYA seperti serupa tapi tak sama. Memiliki perbedaan yang sangat tipis, meski prinsip dan mendasar. Dituntun oleh eksistensi yang berbeda, dinamika kelompok-kelompok perubahan itu, sering hadir dan dinilai dalam keragaman sudut pandang. Proses dan cara menikmati hasilnya, sering menunjukkan betapa masing-masing memiliki motif dan keinginan sendiri. Pertemuan keduanya kerapkali tidak bisa dihindarkan, saat yang satu berada dalam kekuasaan dan yang lainnya berada di luar sistem. Apa yang dulu diperjuangkan dan dilawan bersama, kini menjadi sebaliknya. Sebagian menjadi barisan pendukung kekuasaan, sebagian lagi mengambil sikap oposisional.
Kesadaran krisis dan kesadaran makna pada setiap orang, menuntunnya pada pilihan-pilihan dan tujuan hidupnya. Pada satu ketika perjalanan akan membawanya menemukan sebuah persimpangan, menuju jalan rasional atau jalan pengabdian. Jalan mainstream yang ramai juga penuh sesak karena menawarkan peluang dan fasilitas hidup berlimpah. Atau jalan kesunyian yang sering dianggap terbelakang dan jauh dari penghormatan. Betapa bengisnya kehidupan, karena menawarkan kehormatan pada orang yang berharta dan memangku jabatan walau dipenuhi kemunkaran. Sementara kehinaan dan pandangan rendah manusia, terus menghinggapi kesahajaan dan yang memilih hidup sederhana meski mengusung kebenaran dan keadilan. Seoertinya tak ada tempat dan kesempatan hidup bagi kemiskinan. Tanpa disadari, sifat mengagungkan materi dan kebendaan itu membangun podasi kapitalisme yang kokoh, yang dideklarasi sebagai musuh bersama.
Melawan Hasrat Memiliki Dunia
Seringnya terjebak dan gagal menciptakan keseimbangan di antara kesadaran rasional materil dan kesadaran ideal spiritual. Membuat banyak orang mengambil pilihan lebih karena tekanan dan tuntutan hidupnya. Berada pada wilayah nyaman, menjadi tempat yang banyak dibanjiri orang. Berbondong-bondong mengejar status sosial, sangat bergantung dan membutuhkan pengakuan publik. Terkadang mengambil jalan pintas, menjadi pilihan yang terbaik dalam mencapai tujuan. Sikap ini cenderung lebih suka menerima dan mengambil sesuatu dari negara atau orang lain. "Jangan tanyakan apa yang telah negara berikan untukmu, tapi tanyakanlah apa yang telah engkau berikan untuk negara". Boleh jadi kata-kata bijak itu, menjadi kegelisahan dan reaksi pada keadaan yang demikian.
Sementara di luar itu, saat keberanian bergumul dengan nilai-nilai spiritual. Gandrung menelusuri kedalaman hakekat dan hubungan sosial dan tresedental. Menjalani hidup dengan melepaskan semua potensi yang ada dan dimilikinya untuk khalayak. Mewujudkan penyerahan dirinya bagi kemanusiaan dan Ketuhanan. Telah menjadi pilihan yang tidak populer, tidak realistis bahkan dianggap gila. Mentalitas ini yang enggan digeluti orang, karena memiliki banyak keterbatasan dan seringnya ketiadaan dalam ukuran materi. Menjadi terasing karena tidak menjadi tempat orang menghamba, meminta dan mengemis.
Kehadiran anak istri dan keluarga lainnya semakin mengokohkan kehadiran dan pengakuan akal sehat. Seiring waktu, suasana batin dan keinginan juga akan berubah. Rela meninggalkan komitmen dan konsistensinya pada daya juang. Hal-hal yang terkait idealisme menjadi lebih kecil dan terbatas, dari negara dan bangsa bergeser untuk orang-orang terdekat yang dicintai. Pengabdian kepada sesama dan kepada Tuhan, lebih banyak muncul sebagai kata-kata mutiara. Sama halnya moralitas dan agama yang indah dan mudah terdengar, namun sulit mewujud dalam laku. Banyak yang kemudian menjadikan revolusi baik diri dan negara bangsa sebagai sesuatu yang tabu, karena harus terpaksa berhadapan dan berjuang memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Sebagai bagian dari rakyat yang tercerahkan. Aktivis pergerakan baik sebagai sekedar aktivis semata maupun sebagai pejuang. Keduanya sama-sama memiliki kesalehan sosial dan ketrampilan sosial. Mengemban amanat penderitaan rakyat yang tak mudah dipikulnya. Meskipun banyak mengeluarkan waktu, tenaga bahkan biaya yang tidak sedikit. Harus berhadapan dengan realitas, menjadi nilai-nilai yang berbeda atau seperti kebanyakan orang pada umumnya.
Menjadi aktivis pergerakan yang telah mendarah-daging dalam hidupnya, namun tetap dapat berkompromi dengan keadaan. Pada pilihan berat, harus menanggung perihnya menjadi pejuang yang terkadang harus mengabaikan dirinya dan menumpahkan darahnya sendiri. Di satu sisi mengikuti kehendak bersama, seiring sejalan meski dengan keakuan. Di lain sisi hidup menggenggam idealisme dalam kesendirian.
Aktivis pergerakan dan pejuang yang sesungguhnya, mungkin akrab dengan dilema. Bertahan dalam keterbatasan atau tak sanggup lagi hidup sengsara. Masih ada pilihan untuk menjadi ofortunis atau setia pada perjuangannya. Biarlah sejarah yang akan mencatat hitam putihnya. Menjadi pahlawan dan dihujat sebagai penghianat. Menerima kekalahan idealisme sebagai pecundang atau teguh berkarakter memiliki kemerdekaan jiwa. (*)