OPINI
Anies Tidak Melawan Tetapi Mengubah
Oleh M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan DUKUNGAN kepada Anies Baswedan untuk menjadi Presiden menggantikan Jokowi semakin menguat. Berbagai kelompok relawan mendeklarasikan diri dengan sukarela, bukan \"by design\" yang dirancang atau digerakkan Anies sendiri. Ada keinginan dan harapan dari para relawan bahwa Anies dapat mengubah keadaan sosial, politik, dan ekonomi negeri. Situasi saat ini dinilai menyesakkan dan hampir membuat putus asa rakyat. Pemimpin ada tetapi seperti tiada. Relawan tidak berharap Anies Baswedan melawan rezim, mereka hanya ingin Anies menyelesaikan tugas sebagai Gubernur DKI dengan baik dan selamat. Berbagai penghargaan atas prestasinya menjadi investasi untuk meningkatkan kepercayaan sebagai Presiden kelak. Anies memang manis memainkan ritme permainan politik. Tidak mudah terpancing oleh tantangan atau ejekan ecek-ecek. Sebagaimana semangat dan sukses dalam mengubah Jakarta, maka Anies akan bersemangat dan sukses pula untuk mempimpin Indonesia. Kuncinya adalah dukungan tulus rakyat bukan dukungan bayaran, pencitraan atau kecurangan. Rakyat muak dengan ketiga pola atau model dukungan tersebut. Pengganjalan padanya luar biasa baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Termasuk kelicikan politik dengan Pilkada serentak tahun 2024. Konsekuensinya Anies harus berhenti sebagai Gubernur pada bulan Oktober 2022. Rezim menyiapkan permainan dengan para Kepala Daerah yang kemungkinan kuat adalah \"all the President\'s men\". Rakyat menjadi target dari proses penggiringan, pembodohan dan penipuan politik lagi. Rezim sendiri tak perlu dilawan oleh Anies karena rezim ini sedang melawan dirinya sendiri. Sibuk mengatasi penyakit keangkuhan dan perselingkuhan dengan dirinya. Rezim Jokowi akan dikalahkan dengan \'knock out\' oleh bayangannya sendiri. Shadow boxing yang melelahkan dan menghentikan detak jantung. Dua periode kepemimpinan Jokowi boleh dibilang ruwet. Korupsi yang berdempetan dengan kolusi cukup marak. Nepotisme tidak malu malu. Kesewenang-wenangan dengan memperalat hukum menjadi kultur. Demikian juga nilai minus pada penegakkan HAM. Penanganan pandemi tidak ajeg, tajam ke luar tumpul ke dalam. Virus terus menari-nari dalam alunan dan pukulan gendang ambivalensi. Di samping muncul aspirasi agar \"stop now and here\" juga pengubahan adalah harapan dan tuntutan. Anies nampaknya siap untuk melakukan mengubah atmosfir maupun substansi politik, ekonomi, sosial dan budaya. Meskipun dipastikan warisan Jokowi adalah hutang berat dan keruwetan tersebut. Eskalasi elektabilitas dan popularitas Anies membuat banyak lembaga survei tiarap. Bila bergerak, maka sulit membendung hasil polling teratas. Tidak ada pesaing kuat selain hanya bisa \"memainkan Prabowo\". Ganjar terus merosot. Puan dan Airlangga belum bisa di dongkrak. Erick baru masuk box atas gencarnya kampanye. Anies sendiri yang \"belum\" melangkah sudah bagus support publiknya. Secara jujur dan obyektif Anies memang unggul. Kualitas akademik, reputasi politik, maupun stabilitas emosi yang cukup mumpuni. Belum lagi nilai tambah dari kesantunan dan relijiusitasnya. Jika Anies Baswedan menjadi Presiden, nampaknya rakyat Indonesia tidak akan dipermalukan dalam forum-forum internasional. Sebagai Gubernur, Anies Baswedan tidak berada dalam kancah perlawanan, akan tetapi langkah dan prestasinya membuka ruang bagi perubahan. Untuk skala yang lebih luas. (*)
Parpol Jangan Bingung, Anies Bakal Mendulang Suara
Dari banyak penilaian dan seleksi capres yang ada, ada faktor korelatif yang seharusnya menjadi tolok ukur paling penting dan fundamental. Salah satunya, seorang capres itu tidak boleh memiliki dendam sejarah dan hutang budi politik kepada siapapun. Figur Anies menjadi pilihan terbaik dan memenuhi syarat itu yang mutlak tidak boleh diabaikan. Oleh: Yusuf Blegur, Pegiat Sosial dan Aktivis Yayasan Human Berdikarip⁰ POLA pendekatan \"wait and see\" terhadap dinamika politik, memang menjadi sesuatu yang lumrah. Begitupun dengan partai politik dalam menghadapi pilpres 2024, terutama terkait penentuan siapa capres yang bakal diusungnya. Kalkulasi pragmatis, menuntut partai politik untuk jeli dan hati-hati dalam memilih capres. Mendukung capres tertentu yang dijagokannya dan menang dalam pilpres, harus dimaknai juga sebagai upaya mendongkrak perolehan suara partai dalam pemilu 2024. Betapapun perhitungan yang cermat sembari melihat perkembangan politik. Partai politik juga diharapkan untuk tidak lemot menentukan dan menggadang-gadang capres yang potensial. Jangan sampai kehilangan inisiatif dan momentum pesta demokrasi yang ikut menentukan arah perjalanan bangsa. Selain itu, karena pilihan mengekor dalam menentukan capres, parpol juga relatif beresiko kehilangan posisi tawar baik dalam pemerintahan maupun pada kebijakan publik strategis lainnya. Boleh jadi terlambatnya menentukan capres dari parpol, karena didahului parpol lain yang menjadi kompetitornya. Berdampak akan merugikan eksistensi parpol itu sendiri terutama dalam proses politik kedepannya. Pada situasi itu, parpol yang \"lola\" alias \"alon-alon ora klakon\" akan jauh tertinggal dalam bersikap menentukan capresnya. Bahkan bisa sampai ketinggalan kereta, kalaupun keburu hanya akan mendapat tempat dan duduk di gerbong paling buncit. Terlebih parpol harus cerdas juga memilih salah satu capres yang paling prospektif dan efektif dalam memenangkan pilpres. Figur Anies R Baswedan adalah capres yang memenuhi syarat sekaligus melampau lebih dari tolok ukur elektabilitas. Anies dengan segala rekam jejak dan segudang prestasi, Anies juga merupakan capres yang tidak tersandera kasus-kasus korupsi, skandal perselingkuhan, dan atau kejahatan-kejahatan kemanusiaan lainnya. Bukan hanya populis dengan variabel dikenal, disukai dan dipilih oleh rakyat Indonesia. Lebih dari itu, dengan memilih Anies dan berjuang bersama rakyat memenangkan pilpres 2024, partai politik juga bakal menerima efek domino dari pencalonan capres Anies yang diusungnya. Partai politik dan Anies akan equivalen dalam meningkatkan perolehan suara. Dengan kata lain, partai politik akan terdongkrak peringkatnya dengan figur Anies yang potensial menjadi pendulang suara. Oleh karena itu, buat parpol manapun jangan ragu-ragu, apalagi sampai bingung. Tentukan sikap sekarang juga, jadilah partai politik yang mampu dengan cepat dan tepat menjaring suara rakyat. Karena memenangkan Anies dalam pilpres 2024, sejatinya bagi partai politik juga berarti memenangkan hati rakyat. sebuah pilihan yang tepat, karena suara dan aspirasi rakyat kini berlabuh pada Anies. So far, buat partai politik jangan ragu dan jangan bingung memilih Anies. Karena sesungguhnya, Anies mendulang suara juga buat partai politik. In syaa Allah. (*).
80 Tahun Bakrie Group ‘Harta Karun’ Keluarga Bakrie
Perjalanan almarhum H. Achmad Bakrie sejak membuka perusahaan “Bakrie & Brothers General Merchant And Commision Agent” di Telukbetung, Lampung pada 1942 hingga akhir hayatnya (wafat 15 Februari 1988, dalam usia 71) memperlihatkan kemampuannya bertahan pada lintasan sejarah dan politik yang berliku-liku. Begitu pun dengan penerusnya. Oleh Rahmi Aries Nova, Jurnalis FNN KEMAMPUAN dan ketangguhan Bakrie Group bertahan dan merayakan ulang tahunnya ke-80 pada Kamis (10 Februari) memang luar biasa. Tak banyak perusahaan pribumi (begitu orang biasa mengidentifikasikannya) yang bisa bertahan, bahkan membesar seperti Bakrie Group. Bukan hanya ‘dihimpit’ oleh perusahaan non pribumi (sebutan perusahaan milik taipan/keturunan) tapi mereka juga harus menghadapi gelombang krisis moneter dan yang paling fenomenal adalah tragedi lumpur Lapindo yang pada 29 Mei 2006 atau16 tahun lalu. Hebatnya Group ini selalu bisa keluar dari situasi yang bahkan sangat tidak menguntungkan, termasuk memenangkan ‘perang’ melawan pengusaha ‘kelas dunia’ Rothschild pada 2014. Saat lumpur Lapindo di Sidoarjo disebut akan terus menyembur hingga 30 tahun ke depan, banyak yang meramalkan Bakrie akan ‘habis’, terlebih harga-harga saham mereka di bursa pun melorot ke titik terendah. Ternyata ramalan itu tidak terbukti. Bakrie Group mampu bertahan bahkan melahirkan penerus-penerus generasi ketiga yang siap menggantikan orang-orang tua mereka Aburizal Bakrie, Nirwan Dermawan Bakrie dan Indra Bakrie. Pada Kamis, 27 Maret 2014 bahkan Harian Tempo menurunkan berita dengan judul: 5 Kekalahan Pemerintah atas Lapindo Brantas. Pertama karena Sidang Paripurna DPR pada September 2009 menetapkan penyebab semburan Lapindo adalah bencana alam, bukan kesalahan manusia. Kedua Presiden meneken Peraturan Presiden Nomer 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Dengan dibentuknya BPLS maka seluruh penanganan dampak semburan diambil dari dana APBN. Lapindo Brantas hanya mengurusi ganti rugi peta terdampak. Alokasi APBN untuk menangani Lapindo dari 2007 sampai 2012 mencapai Rp 6,4 triliun. Sedangkan Aburizal Bakrie mengaku sampai April 2012 sudah mengeluarkan lebih dari Rp 9 triliun. Ketiga, berbagai upaya untuk menggugat Lapindo Brantas ke ranah hukum gagal total. Terakhir Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi yang diajukan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) terkait dengan penanganan lumpur Lapindo. Keempat kewajiban ganti rugi Rp 3,831 triliun, baru dibayar Rp 2,910 trilun. Sisanya sebesar Rp 920, 5 miliar belum jelas. Belakangan kekurangan inilah yang ditalangi oleh pemerintah sebesar Rp 773,38 miliar dan kini menjadi hampir Rp 2 triliun karena denda dan bunga. Dan terakhir, kelima menyangkut penanganan pusat semburan yang sudah bergeser 300 meter pada Agustus 2009 diambil alih oleh pemerintah, tapi itu hanya bertahan hingga Juli 2010, pemerintah menyerah dan memutuskan untuk menyetop penghentian semburan. Akhirnya lumpur di alirkan ke laut melalui Sungai Porong. Analisis Journal of the Geological Society seperti dikutip Tempo menyebut lumpur baru akan berhenti pada 2037. Suatu yang tidak terbayangkan bahkan mungkin mengerikan. “Pada saat itu yang ada di kepala ini hanya meminta petunjuk ibunda,” kenang Nirwan Bakrie saat FNN bertanya apa yang ada di benaknya kala itu. Nirwan mengatakan pembayaran ganti rugi kepada korban adalah pesan dari almarhumah ibunya, Roosniah Bakrie. “Saya ingat pesan almarhumah, bagaimanapun juga kalian harus bayar,” kata Nirwan di Kantor Kementrian PU dan Perumahan Rakyat pada Jumat, 10 Juli 2015, seperti dikutip detik.com. Memang Almarhumah Roosniah Bakrie (wafat pada 20 Maret 2012 dalam usia 85) lah yang meminta kepada anak-anaknya untuk membeli (ganti untung) rumah-rumah korban lumpur meski Mahkamah Agung menyatakan Lapindo tidak bersalah. “Anak-anakku, kalian rizkinya besar, belilah rumah-rumah mereka (korban Lapindo). Bantulah mereka,” ingat Aburizal yang ia anggap sebagai titah sang ibu, seperti tertulis dalam “Anak Sejuta Bintang”, novel karya Akmal N Basral. Dan kini ternyata di dalam lumpur tersebut ditemukan potensi ‘harta karun’ yang nilainya sangat tinggi. Setelah Badan Geologi Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan potensi kandungan logam tanah jarang atau rare earth element (LTJ) di kawasan yang dahulu adalah wilayah bencana. Logam itu sangat penting dan memiliki harga yang cukup tinggi karena digunakan untuk teknologi tinggi. “Logam tanah jarang ini sangat penting kaitannya pada beberapa bidang tertentu seperti bidang meteorologi untuk pembuatan pesawat luar angkasa, lampu energi tinggi, dan semi konduktor. Sehingga logam tersebut sangat mahal, bahkan jauh lebih mahal dibandingkan emas dan platina,” ungkap Dosen Kimia Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga Dr. rer. Nat. Ganden Supriyanto M.Sc seperti dikutip bisnis.com. Selain LTJ lumpur Lapindo juga terindikasi mengandung logam raw critical material yang jumlahnya lebih besar dari LTJ. Penelitian yang dilakukan sejak 2020 juga menemukan adanya potensi mineral berharga berupa Lithium (Li) dan Stronsium (Sr) dalam kandungan lumpur Lapindo. Lithium dapat diolah menjadi bahan baku baterai. Kendaraan listrik maupun baterai untuk pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT) seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Nirwan sendiri menanggapi santai temuan Badan Geologi ESDM tersebut. Menurutnya masih butuh pemboran dan penelitian lagi untuk memastikannya. Kalau pun ‘harta karun’ itu ada ia berharap itu adalah berkah untuk semua. “Ya semoga jadi berkah untuk semua,” cetusnya ringan. Yang pasti sejak dulu dalam keluarga Bakrie sendiri ada sesuatu yang lebih berharga dari ‘harta karun’ dan kebesaran perusahaan, yaitu kebersamaan dan keakraban dalam keluarga besar mereka dalam suka dan duka. Saat Roosniah masih ada ia mewajibkan anak cucunya berkumpul untuk sarapan bersama di akhir pekan di rumahnya, suatu yang sangat jarang dilakukan oleh keluarga-keluarga super sibuk di ibukota. Anindya Bakrie bersama adik dan sepupunya tumbuh bersama dalam kehangatan keluarga besar mereka. Sungguh sebuah tradisi yang harus dijaga oleh generasi penerus keluarga Bakrie karena itulah ‘harta karun’ yang sesungguhnya. (*)
Megawati, Jokowi dan Anies
Oleh: Jusuf Blegur, Pegiat Sosial dan Aktivis Yayasan Human Betdikari Megawati dan Jokowi telah berhasil menjadikan Indonesia sebagai episentrum corak produksi kapitalisme global. Sebuah industri yang melahirkan korporasi dan birokrasi borjuasi yang ditopang oligarki. Negara sekedar menjadi etalase distribusi modal dan pasar, sementara para pejabat dan politisi ereksi libido menjadi agen-agen kapitalis para cukong pengusaha. SUKA atau tidak suka terhadap Megawati, Jokowi dan Anies, ketiganya harus diakui sebagai figur yang tak pernah surut dari sorotan publik, setidaknya selama hampir delapan tahun ini. Pro dan kontra menyelimuti eksistensi ketiga tokoh berpengaruh yang berkelindan dengan keberadaan dan masa depan NKRI. Jejak rekam mereka terutama dari bagaimana kemunculan dan membangun proses politik dalam meraih panggung kekuasaan meski sekilas, menjadi sisi yang menarik diantara begitu banyak torehan sejarah pribadi yang dimiliki masing-masing. Pilpres 2024 yang disinyalir menjadi ajang pertaruhan negara bangsa, sudah begitu menguras emosi dan energi rakyat. Belum juga dihelat, ajang pemilihan presiden lima tahunan itu, kali ini akan menjadi momentum strategis sekaligus titik balik keberlangsungan NKRI. Selain mencekam dan harap-harap cemas dari proses suksesi kepemimpinan nasional yang rentan rekayasa dan kecurangan itu. Mengapa demikian?. Banyak yang beranggapan, pilpres 2024 nanti, menjadi semacam pertarungaan \"to be or not tobe\" bagi seluruh rakyat, apakah masih bisa melihat dan merasakan, atau tidak sama sekali adanya harmoni dan kelestarian konsensus nasional yang mewujud negara dalam bingkai Panca Sila, UUD 1945 dan NKRI. Sebelum menuju pilpres 2024, Indonesia seperti berada dalam siklus sejarah mengulangi keadaan seperti menjelang peristiwa G 30 S/PKI atau disebut-sebut sebagai Gestok 1965. Peristiwa bersejarah yang tak terlupakan itu, begitu membekas dalam memori kolektif bangsa karena bukan hanya peristiwa politik dan transisi kekuasaan semata. Lebih dari itu menjadi polarisasi dari pertarungan ideologi besar dunia, dan salah satu tragedi kemanusiaan terbesar dalam peradaban manusia setelah perang dunia ke dua. Lepas dari polemik latarbelakang dan politik subversif yang menyelimutinya, lengsernya Soekarno dan naiknya Soeharto sebagai presiden RI, menyisakan kengerian politik dan babak baru politik Indonesia yang efek dominonya begitu dinamis dan terus berlanjut hingga saat ini. Termasuk setelah reformasi bergulir pun, anasir-anasir aliran politik dan ideologi masa lalu itu masih terus bergentayangan. Indonesia yang tidak pernah lepas dari konflik internal baik secara horisontal dan vertikal bahkan sebelum mencapai kemerdekaannya. Setelah 76 tahun tak kunjung mencapai tujuan nasional, konflik seperti menjadi warisan abadi yang tetap terjaga, walaupun dipermukaan seolah-olah tidak ada masalah dengan kebhinnekaan dan kemajemukan bangsa serta seakan-akan hidup dalam kerukunan dan kedamaian. Terutama tatkala tidak adanya kesadaran dan keengganan untuk mengakui, bahwasanya dalam wilayah dari sabang sampai merauke, telah terjadi pembelahan sosial, pertentangan kelas dan maraknya politik identitas, kalau tidak mau disebut nihilnya kemakmuran dan keadilan dalam negeri yang diibaratkan laksana surga dunia. Kenyataan situasi dan kondisi negara yang sangat mengenaskan dibawah kepemimpinan Jokowi. Kelahiran rezim kekuasaan dari seorang presiden yang saat kampanyenya begitu sederhana dan bersahaja, humanis dan terkesan membela orang kecil. Menjadi terbalik seribu persen pada kenyataan-kenyataan tindakan dan kebijakannya. Pergerakan, Rekayasa dan Takdir Pemimpin Baik Megawati, Jokowi maupun Anies, dengan struktur pengalaman dan behavior yang berbeda. Mereka merupakan Tokoh sekaligus pemimpin politik yang mampu memberi warna terhadap konstelasi dan konfigurasi politik kontemporer. Bukan sekedar membuat sejarah, mereka juga signifikan menentukan arah dan baik buruknya perjalanan negara bangsa. Menjadi menarik dan ada baiknya, rakyat kebanyakan penting memahami dan memaknai komparasi figur ketiganya terkait awal mula terjun ke politik, proses dan sampai mereka pada posisi puncak kepemimpinan nasional. Tentunya dengan karakteristik, motivasi dan orientasi yang berbeda-beda pula dari ketiganya. Diah Permata Megawati Setiawati Soekarno Putri yang akrab disapa Megawati atau Mba Ega. Perjalanan karirnya berangkat dari panggilan sejarah dan trah Soekarno yang menyeretnya ke panggung politik kekuasaan. Jelas dan tak terbantahkan Megawati lahir sebagai sosok yang pernah menjadi simbol perlawanan rakyat. Meski mendapat intimidasi dan tekanan hebat dari rezim Soeharto, Megawati saat itu menjadi satu-satunya pemimpin pengerak massa yang mampu melakukan konsolidasi perlawanan secara terorganisir dan sistematik melalui partai politik. Setelah peristiwa 27 Juli 1996 dan semua dinamika politik PDI yang berubah menjadi PDIP Megawati yang mampu menggerakan people power pada masanya, tak terbendung memasuki panggung kekuasaan, mulai dari sebagai anggota DPR, wapres, presiden hingga memimpin \"the rolling party\" hingga sekarang ini dalam pemerintahan Jokowi. Sayangnya dan menjadi miris pula, di usia senja dan ujung karir politiknya baik sebagai ketua umum partai politik besar maupun menjadi orang berpengaruh di republik. Megawati dengan pertarungan ideologi dan kekuasaan politik yang digenggamnya menjadi semakin tidak populer dan dilingkupi resistensi yang luas. Megawati terlanjur dicap publik sebagai orang dibalik skenario dan yang bertanggungjawab terhadap pemerintahan dan penyelenggaraan negara yang penuh distorsi. Dominannya PDIP dalam kebijakan strategis dan menempatkan Jokowi yang seorang presiden sebagai kader partainya. Melengkapi performens putri sulung proklamator dan presiden pertama RI itu menemui anti klimaks dari personal historis politik dan kepemimpinannya. Megawati yang dulu dianggap revolusioner, kini menjadi kontra revolusioner. Bagaikan membelokan jalan pergerakan dan tujuan cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia. Betapapun memulai kiprah perjuangan politiknya dengan komitmen dan konsistensi pada wong cilik serta mendapatkan dukungan rakyat jauh sebelumnya. Dulu membela wong cilik, sekarang mbela wong licik, begitu kesan rakyat. Faktanya, Megawati dianggap publik sebagai sumber masalah dan menjadi biang keladi dari semua kekisruhan dan kekacauan negara. Seperti yang diungkapkan oleh Rachmawati Soekarno Putri yang notabene adik kandungnya sendiri. Sementara seorang Joko Widodo yang sebutan populernya Jokowi, dengan latarbelakang politik yang tidak jelas dan kering dunia aktifis pergerakan. Sekonyong-konyong dan seketika muncul sebagai pemimpin nasional. Berangkat dari tugas walikota Solo, kemudian menjabat gubernur DKI hingga menjadi presiden, Jokowi dianggap melewati proses yang instan dan cenderung sebagai instrumen politik kekuasaan yang lebih besar di belakangnya. Dengan pekerjaan tukang meubel, Jokowi yang bermodal kebijakan menolak pembangunan mal dan membela pedagang pasar tradisional saat menjadi walikota, begitu drastis dan bombastis menjadi media darling hingga disokong para cukong bermodal besar menduduki orang nomor satu di Indonesia. Dengan taburan uang berlimpah yang mampu membeli semua instrumen politik, jadilah Jokowi sebagai sihir massal yang menghipnotis, menghilangkan kesadaran dan menghancurkan akal sehat rakyat. Akibat seoranng pemimpin yang gigih memoles citra baik namun berujung buruk dan nestapa. Seperti yang rakyat rasakan saat ini, Jokowi tidak lebih dari sekedar boneka oligarki yang menggunakan sistem politik yang tidak hanya memisah negara dari agama. Jokowi sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan juga memisah Panca Sila dan UUD 1945 dari praktek-praktek penyelenggaraan negara, alias menggunakan kapitalisme yang mengusung liberalisasi dan sekulerisasi dalam kekuasaan pemerintahannya. Kekuasaan pemerintahan Jokowi yang salah satunya ditopang Megawati dengan kekuatan struktur dan sistem partainya. Membuat rezim Jokowi sebagai sub koordinat dari kejayaan kapitalisme global di Indonesia. Pemerintahan yang telah menjadi korporatisme negara, menyuburkan oligarki dengan cara produksi yang terus beraksi dan ekspansi mengembangkan industrialisasi kapitalistik yang menghisab negara dan rakyat. Fenomena IKN, masalah Wadas dan sejenisnya, JHT hingga kelangkaan minyak goreng dinegeri penghasil sawit terbesar dunia dan begitu banyak kasus-kasus eksploitasi manusia atas manusia dan eksploitasi bangsa atas bangsa, telah menjadi ciri dan watak kapitalisme di tubuh rezim Jokowi. Negara tak ubahnya hanya sebagai etalase atas semua produk-produk industri kapitalistik. Pejabatnya hanya berfungsi sebagai agen-agen kapitalis dan borjuasi korporasi. Dalam dominasi dan hegemoni kapitalisme yang begitu masif menjalar ke seluruh sendi kehidupan manusia secara global. Indonesia yang potensial menyimpan kekayaan sumber daya alam sekaligus pasar potensial, nyaris tak pernah menguasai dan menikmati faktor penting aspek geografis, geopolitis dan geostrategis itu. Selain dirampok, diperkosa dan dianiaya oleh asing dan aseng, tak sedikit ternak-ternak oligarki dalam negeri yang ikut terlibat dan enjoy merasakan peran-peran kejahatan kemanusiaan kepada bangsanya sendiri. Rakyat kini semakin terpuruk merasakan kekecewaan dan frustasi, seperti tanpa pemerintahan, tanpa negara dan tanpa kehadiran seorang pemimpin sejati yang mampu mengemban amanat penderitaan rakyat negeri ini. Pseudo Demokrasi dan Manipulasi Politik Kehadiran seorang Anies Baswedan dari geliat dan dinamika Jakarta yang menjadi Ibu kota negara. Tidak hanya membuat gubernur DKI itu tuntas memenuhi harapan dan keinginan warganya yang plural. Anies gigih memperjuangkan kesejahteraan itu mutlak bagi masyarakat banyak, berbasis komunal bukan individual. Bukan hanya untuk segelintir orang atau kelompok tertentu. Anies secara sederhanana dan lugas sukses menerjemahkan, bagaimana distribusi hasil pembangunan oleh kekuasaan itu, mutlak untuk rakyat banyak, bukan terakumulasi pada korporasi kapital dan borjuasi-borjuasi birokrat dan politisi. Bukan juga semakin memiskinkan orang miskin, dan semakin memperkaya orang kaya. Keberhasilan membangun mental fisik warga kota metropolitan terbesar di Indonesia, seolah mengokohkan Anies sebagai figur yang paling siap lahir batin menahkodai Indonesia yang sedang mengalami krisis dan darurat kepemimpinan nasional. Anies perlahan dan sedikit demi sedikit memenuhi dahaga kalangan marginal untuk dapat merasakan makna dan kue-kue pembangunan. Karakteristik dan sifat-sifat pada diri Anies dalam memimpin, layaknya bisa menjadi sintesa juga problem solving dari pseudo demokrasi dan manipulasi politik yang diperankan oleh Megawati dan Jokowi. Meski sebagai gubernur Jakarta, Anies terbatas dan terbentur mainstream kekuasaan pemerintahan pusat. Sejauh ini sosok yang penyabar dan santun, berhasil mengukir idealisme dalam kewenangan memimpin birokrasi pemerintahan Jakarta di tengah turbulensi dan berkecamuknya gejolak politik nasional. Anies yang tumbuh besar mengakrabi dunia pergerakan dan pendidikan, menjadi energi yang mengisi ruang-ruang kosong intelektual dan ilmiah dari pemerintahan, yang selama ini terabaikan dalam proses penyelenggaraan negara. Anies seperti ingin mengembalikan hakekat betapa integrasi antara ilmu pengetahuan dan akhlak menjadi faktor radikal dan fundamental dalam membangun sebuah negara bangsa. Betapa moralitas menjadi dasar yang menuntun langkah-langkah dan kebijakan publik. Tak mungkin ada jiwa yang memiliki karakter yang amanah, jika masih menganga lebar jarak antara nilai-nilai dan tindakan dari seorang pemimpin. Pada akhirnya, rakyat punya refleksi dan evaluasi sendiri, seperti apa situasi dan kondisi negeri saat ini. Dimana negara yang seharusnya mulia menjadi hina dihadapan rakyat. Termasuk menyeret rakyat dalam suasana merana dan sengsara. Setelah kegagalan Megawati dan Jokowi membawa negara meraih cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia. Anies dituntut untuk mampu merubah keadaan dan menyelamatkan rakyat, negara dan bangsa menjadi lebih baik. Itupun hanya bisa dilakukan dengan dukungan rakyat, yang bisa memilih menentukan masa depannya sendiri. Memilih dan memenangkan Anies atau menangis di pilpres 2024 dan untuk jangka waktu yang tak terkira. Dalam arus dan gelombang panjang produk industri peradaban bangsa, yang bercorak kapitalisme mewujud oligarki. Tak sabar rakyat menyaksikan Anies menduduki kursi presiden Indonesia, demi melihat masa depan yang lebih baik dan beradab. Wallahualam bishawab. (*)
Erick Thohir Ingatkan Pelaku UMKM Disiplin Keuangan Terkait Pinjaman
Jakarta, FNN - Menteri BUMN Erick Thohir mengingatkan kepada para pelaku UMKM agar disiplin keuangan terkait pinjaman yang mereka peroleh untuk berusaha.\"Kita harus ingatkan UMKM untuk disiplin keuangan, mana modal kerja untuk usaha dan mana yang untuk makan. Kadang-kadang akhirnya baru untung sedikit dipakai untuk hal-hal yang konsumtif. Ini yang mesti disiplin di UMKM,\" ujar Erick Thohir dalam diskusi daring di Jakarta, Sabtu.Menteri BUMN itu berpesan kepada para ibu nasabah PT Permodalan Nasional Madani Membina Ekonomi Keluarga Sejahtera (PNM Mekaar), mengingatkan kepada mereka agar pinjaman usaha yang mereka peroleh tidak digunakan untuk hal-hal konsumtif dan hanya diperuntukkan bagi modal kerja usaha mereka.Hal ini dikarenakan kalau pinjaman tersebut dibelanjakan untuk hal-hal konsumtif, maka uang pinjaman yang mereka peroleh tidak akan berputar.\"Utang itu kalau untuk untuk hal-hal yang produktif tidak apa-apa, tapi kalau utang untuk hal-hal yang konsumtif itu yang bahaya,\" kata Erick Thohir.Sebelumnya Menteri BUMN Erick Thohir mengapresiasi para ibu nasabah PT Permodalan Nasional Madani Membina Ekonomi Keluarga Sejahtera (PNM Mekaar) yang berhasil membuka 7,1 lapangan pekerjaan di desa-desa pada masa pandemi COVID-19.Erick Thohir mengatakan bahwa Program ibu-ibu Mekaar yang tadinya 5,6 juta nasabah sekarang menjadi 12,7 juta nasabah, naik 7,1 juta nasabah pada saat pandemi COVID-19.\"Ketika di perkotaan melepas pegawai, di desa-desa membuka lapangan pekerjaan sebanyak 7,1 juta pekerjaan karena masing-masing ibu nasabah Mekaar tersebut membuka satu lapangan pekerjaan,\" ujar Erick.Menteri BUMN menyampaikan apresiasinya kepada masyarakat yang berhasil membuka lapangan pekerjaan sehingga dapat membantu masyarakat lainnya di masa pandemi saat ini. (mth)
Anggaran Jumbo untuk Pemilu Tidak Demokratis
Aturan penjaringan kandidat sangat menentukan demokratis atau tidak demokratisnya Pemilu kita. Jika pada bagian mendasar ini aturannya tidak demokratis, maka sulit mengatakan Pemilu kita demokratis, sebagus apapun kerja KPU dan setinggi apapun anggaran yang diberikan. Oleh: Tamsil Linrung, Anggota DPD RI NEGERI ini seperti telah kehilangan akal sehat. Di tengah situasi ekonomi bangsa yang memprihatinkan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengajukan rencana anggaran penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 sebesar Rp 76,6 triliun. Meski angka ini telah merosot tajam dari 119 triliun yang menjadi usulan awal, namun tetap saja naik tiga kali lipat dibanding dana Pemilu 2019. Kita memahami banyak perubahan yang mengharuskan KPU menangguk beban anggaran. Sebut saja, misalnya, jumlah pemilih diperkirakan bertambah hingga 15 juta orang, yang juga berarti penambahan Tempat Pemungutan Suara, personel KPU, dan efek domino lainnya. Tapi, apa iya harus 300 persen? Sebagai pembanding, anggaran Pemilu tahun 2014 adalah 15,6 triliun, naik sebesar 61 persen pada 2019, yakni 25,59 triliun. Sayangnya, peningkatan anggaran tidak selalu berbanding lurus dengan kualitas pelayanan kepemiluan. Pengalaman Pemilu 2019 setidaknya dapat menjadi tolak ukur. Anggaran naik, tapi jumlah permasalahan Pemilu ikut naik, banyak, dan pelik. Sebutlah indikasi kecurangan di sana-sini, sistem informasi penghitungan suara yang keliru, 894 petugas yang meninggal dan 5.175 yang mengalami sakit, adanya suara pemilih yang hilang, dan seterusnya. Lagi pula, esensi diadakannya pemilu serentak adalah penghematan anggaran. Tetapi, KPU terlihat kurang memahami esensi ini. KPU begitu bersemangat berbicara anggaran namun tak kelihatan gregetnya mengevaluasi Pemilu bobrok yang telah diselenggarakan. Barangkali, ada baiknya KPU, Bawaslu, dan seluruh badan penyelenggara Pemilu ikut mendorong proses pemilu agar lebih demokratis secara substansial. Saat ini, ramai warga negara menggugat presidential threshold. Saya dan beberapa kolega dari DPD RI, salah satunya. Tapi kita tak pernah mendengar atau setidaknya jarang sekali suara KPU dalam konteks itu. Padahal, nyawa demokrasi ada di sini. Apa gunanya menjaga proses Pemilu demokratis bila metode penjaringan kandidat tidak demokratis? Itulah sebabnya DPD RI sebagai lembaga memutuskan untuk ikut ambil bagian dalam uji materi pasal 222 UU Pemilu, pasal yang mengatur tentang presidential threshold. Keputusan lembaga itu telah disepakati oleh anggota DPD dalam Sidang Paripurna ke-8 Masa Sidang III Tahun 2021-2022, Jumat 18 Februari 2022. Langkah DPD ini mungkin merupakan sejarah pertama di dunia di mana lembaga legislatif yang sejatinya merupakan pembuat UU ikut menggugat UU tersebut. Namun, langkah ini harus ditempuh setidaknya karena tiga hal. Pertama, upaya atau usul DPD memasukkan usulan revisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ke dalam prolegnas 2022 tidak diakomodir oleh DPR dan pemerintah. Kedua, sebagai upaya DPD untuk mengakomodir aspirasi masyarakat dan beberapa elemen organisasi kemasyarakatan yang diperoleh dalam banyak kegiatan, antara lain rapat dengar pendapat, FGD, kunjungan kerja, dan lain-lain. Ketiga, sebagai upaya DPD menegakkan demokrasi secara substansial dalam proses Pemilu Indonesia. Kita berharap, KPU tidak hanya menjadi lembaga penyelenggara teknis pelaksanaan Pemilu, tetapi juga lembaga yang mendorong dan menggaransi Pemilu berlangsung demokratis pada semua tahapan, termasuk tahapan penetapan pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden. Dalam kaitan ini, pandangan KPU terhadap presidential threshold perlu kita dengarkan. Aturan penjaringan kandidat sangat menentukan demokratis atau tidak demokratisnya Pemilu kita. Jika pada bagian mendasar ini aturannya tidak demokratis, maka sulit mengatakan Pemilu kita demokratis, sebagus apapun kerja KPU dan setinggi apapun anggaran yang diberikan. Biang kerok di tahap penjaringan kandidat adalah presidential threshold yang mewajibkan pasangan calon presiden dan wakil presiden hanya dapat diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki sekurang-kurangnya 25 persen kursi di DPR atau 20 persen suara sah nasional dalam Pemilu Legislatif (periode sebelumnya). Analisis tentang dampak buruk syarat ambang batas ini telah banyak didiskusikan dalam berbagai forum. Namun, yang paling substansial adalah presidential threshold nyata-nyata tidak tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pun, tidak ada frasa dalam konstitusi kita yang dapat menjadi pijakan presidential threshold. Semangat konstitusi dalam konteks Pemilu adalah membuka seluas-luasnya ruang partisipasi rakyat untuk mengajukan calon pemimpin, sementara semangat presidential threshold begitu membatasi. Pertentangan ini merupakan beban moral bagi kita semua untuk meluruskannya, demi demokrasi yang sehat. Jadi, debat yang seharusnya dibangun adalah debat yang menjurus ke arah substansi, yakni tentang demokratisasi atau konstitusionalitas sebuah aturan, bukan melulu mengedepankan anggaran. Pengajuan anggaran jumbo oleh KPU melabrak nalar kita semua. Dalam situasi ekonomi bangsa yang memprihatinkan, KPU seharusnya kreatif melahirkan gagasan-gagasan efesiensi, bukan sebaliknya. (*)
Alhamdulillah Banyak Sekali Relawan Anies, Tapi Perlu Hati-Hati
Oleh Asyari Usman, Jurnalis Senior FNN PULUHAN atau mungkin ratusan, juta orang ingin agar Anies Baswedan (ABW) terpilih menjadi presiden berikutnya. Sejalan dengan indikasi jajak pendapat publik yang menunjukkan Anies sedang ‘trendy’, eforia pembentukan kelompok atau komunitas relawan untuk Anies 2024 pun semakin marak. Di mana-mana muncul semangat untuk mengantarkan Anies ke kursi presiden. Anies menjadi fokus harapan untuk menyelamatkan Indonesia yang sekarang berantakan di tangan Presiden Jokowi. Segala aspek kehidupan menjadi amburadul. Rakyat tampaknya menyadari kekeliruan mereka memilih Jokowi. Karena itu, pilpres 2024 harus milik Anies. Ini yang mungkin mendorong masyarakat di seluruh pelosok Indonesia untuk ikut memastikan kepresidenan Anies setelah Jokowi. Jangan sampai rakyat tertipu dan ditipu lagi. Proses pilpres wajib dikawal ketat. Promosi Anies harus digencarkan. Partisipasi rakyat untuk Anies Presiden 2024, luar biasa. Tidak ada pengerahan. Semuanya inisiatif sendiri. Kalau ada biaya, mereka tanggung sendiri. Yang sangat menarik, banyak sekali komunitas relawan yang tidak terkoneksi atau berkomunikasi sama sekali dengan lingkaran Anies. Mereka tampil spontan. Dan di sana-sini, mereka muncul seadanya. Misalnya, ada yang cuma sendirian atau beberapa orang membawa poster dukungan untuk Anies. Banyak deklarasi dukungan. Menjamur di segala pelosok. Singkat cerita, suasana yang ada saat ini bagaikan kampanye pilpres ABW. Di level lain, komunitas penulis untuk Anies pun sedang ‘booming’. Komunitas penulis sangat penting bagi seorang figur yang diidolakan seperti Anies. Sebab, mereka adalah orang-orang yang membuat deskripsi dan perspektif tentang Anies. Dari segala sisi. Tulisan-tulisan mereka dibaca oleh masyarakat luas melalui berbagai platform portal online dan media sosial. Para penulis menjadi salah satu ‘outlet’ yang sangat krusial bagi ABW. Mereka, dengan konten dan ragam penyampaian, bisa mempengaruhi pemilih, khususnya ‘floating mass’ alias massa yang belum punya preferensi. Yang belum menentukan pilihan. Komunitas penulis dan juga komunitas relawan sangat diperlukan Anies. Tetapi, ada satu hal yang perlu diperhatikan. Dan ini sangat mendasar sekali terkait dengan pengelolaan pemerintahan di bawah Presiden Anies Baswedan, kelak. Dalam kesempatan ini, saya ingin mengerucutkan sorotan ke komunitas penulis. Maksud saya, Anies sebaiknya aktif melihat dan mendalami motif para penulis meskipun dia, secara pribadi, kenal baik dengan mereka. Saya punya pengalaman pribadi yang, menurut hemat saya, sangat memprihantikan. Ada penulis yang bermentalitas “katak di bawah tempurung”. Dia kelihatan ingin mendominasi kedekatan dengan Anies. Penulis itu sangat piawai dan cendekia. Dia kelihatan punya banyak sumber informasi yang “well-placed” –yaitu orang-orang yang berada di pusaran politik Indonesia. Sumber tingkat tinggi, lebih-kurang. Tak perlu dan tak boleh saya sebutkan identitas penulis dimaksud. Cukuplah saya gambarkan gelagat dia yang bisa merugikan Anies. Penulis itu mungkin merasa “Anies is mine”. Anies itu saya punya. Yang lain tak boleh berada lebih dekat ke “milik saya itu”, begitu kira-kira. You’re not allowed to come close to him. Anda tak boleh dekat dengan dia (Anies). Padahal, saya tidak bermaksud untuk dekat atau menjadi akrab dengan ABW. Saya hanya ingin menyapa saja. Karena, saya dengar, Anies pernah membaca tulisan-tulisan saya. Menjelang Pilkada DKI 2017, mohon maaf terpakasa mengatakan ini, saya sangat aktif membantu Anies dalam bentuk tulisan. Bisa digoogling keyword “Asyari Usman Anies Baswedan”. Pernah suatu hari saya meminta nomor HP/WA Anies kepada teman penulis itu. Dia bilang, dia harus kasih tau Anies dulu. Saya tunggu-tunggu, sampai hari ini teman tersebut tidak mengatakan apa-apa. Kalau pun dia berikan, tidaklah mungkin akan saya salahgunakan. Saya tidak mungkin meminta apa-apa dari Anies. Saya juga pahamlah kesibukan luar biasa seorang gubernur. Konon pula gubernur Jakarta. Tak mungkinlah saya bombardier Anies dengan dering telefon atau chat WA. Mentalitas “Anies is mine” itu bisa merugikan ABW. Orang akan menyangka Anies tidak mau dihubungi, tidak mau berkomunikasi, dan sangkaan-sangkaan negatif lainnya. Saya yakin Anies akan melayani tegur-sapa sewajarnya. Dan inilah yang saya maksudkan. Bukan ingin mendekat seperti si penulis itu. Wallahu a’lam. Boleh jadi teman penulis itu ingin menjadi “sole agent” (agen tunggal) untuk Anies. Orang lain tak boleh kenal Anies. Kalau tulisan ini bisa sampai ke HP Pak Anies, saya hanya ingin berpesan: berhati-hatilan terhadap orang-orang yang merasa paling berhak kenal dengan Ente, Pak. Saya tak tahu persis apakah Ente pernah mengatakan kepada penulis itu agar tidak memberikan nomor HP Ente kepada orang lain, khususnya kepada saya. Rasa-rasanya tak mungkin. Sebetulnya, ada cara lain untuk terhubung dengan ABW. Saya kenal dengan sejumlah orang tinggi yang kenal baik dengan Pak Gub. Bisa saja saya “manfaatkan” beliau-beliau itu. Tapi, jalur ini tidak akan saya lakukan karena ada kesan kebelet mau jumpa Anies. In-sya Allah tidak akan saya lakukan. Selain itu, saya juga –kalau mau-- bisa saja mampir ke Balai Kota dan terobos langsung ke kantor Anies. Somehow, ABW tahu juga kok nama saya. Tapi, cara kedua ini pun tidak baik. I’m old enough to avoid such a dignity-degrading act. Jadi, sekali lagi, ABW perlu hati-hati. Saya merasa kurang enak diperlakukan seperti oportunis oleh si penulis. Saya memang bukan siapa-siapa bagi Ente, Pak Gub. Tapi, sekecil apa pun saya di mata si penulis –boleh jadi juga di mata Ente—tentunya Ente tidak menginginkan “bad image” dalam pandangan saya, apalagi “unpleasant and hostile perception”. Alhamdulillah, sampai detik ini saya tidak punya “bad intention”. Tak mungkin saya berada di barisan Anies Presiden 2024 dengan pikiran kotor tentang Ente.[]
Penyebab Konflik yang Mendasar Adalah Ketidak-adilan
Dalam setiap ajaran agama, tentu ada nilai dan norma untuk mewujudkan hidup bernegara yang baik, damai, dan sejahtera. Oleh: Bambang Sulistomo, Ketua Umum IP-KI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia KARL Marx pernah bilang bahwa agama itu candu bagi masyarakat. Mereka selalu ketagihan lari ke agamanya jika merasaa tertindas, manusia itu tidak berani melawan penindasan. Masalah konflik di dunia ini penyebabnya yang paling mendasar adalah ketidak adilan, sehingga orang yang beragama sama juga bisa berbeda pendapat tentang keadilan. Konflik klasik mengapa muncul gerakan Protestan, gerakan Syiah dan sebagainya, itu semua diakibatkan terjadinya ketidak adilan tersebut. Jadi kalau sudah ada negara yang mampu menegakkan hukum yang adil, tidak ada penindasan, ketidak adilan, artinya negara itu sebenarnya sudah menjalankan perintah Tuhan (melalui agama) untuk menegakkan keadilan, kemanusiaan, kebenaran, kejujuran, (sehingga rumah ibadah jadi sepi). Jadi konflik di Timur Tengah, dulu di Irlandia Utara, di Afrika Selatan, di India dan sebagainya. Antar sesama pengikut keagamaan sering konflik, sumber utamanya adalah ketidak adilan. Tidak ada agama apapun di dunia ini yang mengajarkan kemunafikan, fitnah, kebohongan, ketidak adilan, penindasan, itu sebabnya ada golongan yang sebenarnya ingin berkuasa secara otoriter, paling benci pada gerakan keagamaan yang menuntut keadilan. Lihat saja masa Ferdinand Marcos di Filipina yang dilawan oleh Kardinal Sin, lihat rezim Apartheid di Afsel yang dilawan oleh para pendeta yang mendukung Nelson Mandela. Juga bagaimana Resolusi Jihad para ulama di Jawa yang membangkitkan perlawanan pada penindasan para penjajah. Jadi, jangan khawatir jika ada tokoh umat beragama di manapun yang mengajak umatnya untuk melawan ketidakadilan. Dalam setiap ajaran agama, tentu ada nilai dan norma untuk mewujudkan hidup bernegara yang baik, damai, dan sejahtera. Jika saja para pemimpin umat beragama mengajak umatnya untuk hidup bernegara dengan baik, misalnya dengan menegakkan hukum dan keadilan, memberantas korupsi yang menyebabkan ketimpangan sosial ekonomi dan kemiskinan; Memberantas praktek jual beli hukum, jabatan dan kehormatan yang menyebabkan rusaknya moral birokrasi, politisi dan penegak hukum, mari kita ajak saja para pemimpin umat beragama untuk berjuang agar nilai dan norma agama apapun akan diwujudkan untuk mempersatukan semua umat beragama negeri ini. Salam. (*)
Bisik-Bisik Tetangga, Kini Mulai Memilih Anies
Oleh: Yusuf Blegur, Pegiat Sosial dan Aktivis Yayasan Human Berdikari Anies terasa menghentak kesadaran publik dan elit politik. Gubernur Jakarta itu menjadi berbeda dengan kebanyakan pemimpin lainnya. Anies menegaskan, bahwasanya pembangunan itu tak semestinya melenyapkan dimensi humanisme. Bagaimanapun upaya menciptakan kesejahteraan dan keadilan pada masyarakat melalui pembangunan, semua menjadi tak berarti sama sekali jika dilakukan dengan cara mengabaikan kemanusiaan. Apalagi dengan cara kekerasan dan pendekatan keamanan, sungguh terlalu. SEPERTI kerinduan yang dalam dan hasrat yang tak terbendung, rakyat terlihat tak sabar agar secepatnya pilpres 2024 digelar. Selain kondisi yang begitu tak terkira dari karut-marutnya negara bangsa. Ditambah sulitnya menemukan pemimpin yang mampu mengemban amanat penderitaan rakyat. Rakyat benar-benar mendesak membutuhkan figur pemimpin yang memiliki kejujuran, kecakapan kerja dan tanggungjawab menunaikan amanah yang diberikan kepadanya. Bagaikan air bah yang tak terbendung lagi, suara dan kedaulatan rakyat seperti tumpah-ruah menghendaki Anies Baswedan yang gubernur Jakarta itu, sesegera mungkin menjadi presiden Indonesia. Senyap mengukir prestasi dan pelbagai keberhasilan program pembangunan. Anies tuntas melaksanakan sebagian besar tugas menata kota Jakarta tanpa hingar bingar pencitraan. Anies terbukti merubah Jakarta menjadi kota yang modern tanpa mengabaikan sisi-sisi humanis di dalamnya. Anies memiliki kesabaran dan kesantunan dalam melayani warga Jakarta. Dengan banjir hujan kritik, hujatan kebencian dan fitnah, Anies bergeming dan malah fokus mengurus kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Kerendahan hati dan kesantunan itu yang tetap menuntun Anies teguh dan kokoh membuahkan kebaikan bagi Jakarta dan warganya. Tak cukup sekedar maju kotanya bahagia warganya, Anies tahu betul bagaimana cara memanusiakan manusia. Hal-hal yang demikian itu membuat bahkan sebagian besar rakyat jatuh hati dan tak mudah berpaling dari Anies. Saking banyaknya, keberhasilan dan prestasi Anies semakin susah diukur dengan deret hitung dan angka. Anies melampaui batas dari sekedar pembangunan fisik semata. Pemimpin yang sarat intelektual dan kandungan religi itu, mampu membangun kesadaran spiritual bukan hanya warga Jakarta, melainkan juga bagi seluruh rakyat Indonesia. Anies menyatukan pikiran dan rasa pada masyarakat akan pentingnya hubungan pembangunan kota dengan masalah-masalah kemanusiaan. Pembangunan yang dilakukan sepatutnya tidak bertentangan dengan tujuan utamanya, yaitu menciptakan kemaslahatan bagi seluruh masyarakat. Program-program pembangunan yang mampu menangkap dan mewujudkan aspirasi dan psikologi rakyat untuk meraih kesejahteraan dan keadilan sosial. Jakarta yang lebih manusiawi dengan sarana dan prasarana fisik yang layak dan memadai, sistem transportasi terpadu yang aman dan nyaman serta kebijakan-kebijakan pemvrop DKI lainnya yang memadukan serapan teknologi dan ramah akomodasi layanan publik. Membuat kerja-kerja Anies tak berhenti sampai di situ saja. Anies juga mengokohkan dirinya sebagai pemimpin yang demokratis dan egaliter di Indonesia. Pria rendah hati yang pernah menjadi rektor Universitas Paramadina dan menteri pendidikan, mampu menjadi contoh bagaimana demokrasi bisa dikembangkan secara lebih sehat, rasional dan berkeadaban di tengah kompleksitas persoalan ekonomi, politik dan hukum. Bahwa kritik otokritik merupakan bagian yang tak terpisahkan dari interaksi dan pergaulan sosial dalam ranah negara bangsa. Tidak hanya sebatas sesama masyarakat, antara pemimpin dan rakyatnya juga mengedepankan rasa saling menghormati dan menghargai. Anies menyadari sesungguhnya disebut pemimpin itu karena ia memang menjadi pelayan rakyat. Pemimpin tak berarti apa-apa tanpa kehadiran rakyatnya. Sebagai Gubernur Jakarta yang berada dalam ruang terbuka Indonesia. Sejatinya pikiran, perkataan dan tindakan Anies di Jakarta, telah menyentuh suasana kebatinan seluruh rakyat Indonesia. Anies yang senyumnya memesona dan karyanya membahana, kini semakin banyak dirumpi bukan hanya oleh kalangan emak-emak. Terlebih dari para lansia, veteran pejuang, dan mayoritas lapisan sosial yang tak berpunya dan rentan yang begitu memprihatinkan, seperti buruh, petani dan nelayan, tak terasa telah disentuh kebijakan Anies juga. Seluruh rakyat di seantero negeri, semakin tak bisa lepas perhatian dan fokusnya pada Anies. Suasana politik yang semakin panas menjelang pilpres 2024, terus membawa nama Anies menyelimuti tiap-tiap perkampungan dan perumahan serta gedung-gedung perkantoran dan pabrik baik di desa maupun di kota. Anies tak luput, ikut serta menjadi bagian dari kehangatan desas-desus dan pembicaraan rakyat di seluruh negeri. Tak hanya maraknya deklarasi dukungan Anies, memelih Anies sebagai presiden RI menjadi harga mati bagi rakyat, sebagaimana semangat pada NKRI dan Panca Sila. Seperti yang didendangkan biduan Elvie Sukaesih, pesohor pelantun lagu dangdut yang merakyat itu. \"Bisik-bisik tetangga kini mulai terdengar selalu, hingga menusuk di hatiku\". Bisik-bisik tetangga itu, kini mulai ramai dan terdengar selalu, memilih Anies di pilpres 2024. In syaa Allah. (*)
Syekh Junaid alBatawi Menurut Buya Hamka
Oleh Ridwan Saidi, Budayawan SUATU hari Buya Hamka meminta aku datang ke rumahnya sekitar tahun 1980. Kebetulan, aku ingin kebih jauh mendengar tentang Syekh Junaid alBatawi dari beliau, karena Buya pernah menulis tentang Syekh Junaid di majalah Panji Masyarakat. Ridwan, tahun 1930-an Buya lama di Mekkah dan sempat bertemu dengan pemukim2 yang alami jaman Syekh Junaid. Buya simpulkan almarhum ini Syaikhul Masyaikh. Kamu Betawi, Ridwan, mesti tau ini. Dirangsang Buya aku mencari info tentang Syekh Junaid dari laporan2 Snouck Hurgronje. Saya juga omong2 dengan sejarahwan Belanda Aku juga berkunjung ke rumah keluarga Guru Mansur di Jembatan Lima. Guru Mansur ponakan Syekh Junaid. Pemukim2 Andunusi disebut Belanda Kontingen Jawa di Mekkah. Sejak pemberontakan Ahmad Rifangi 1856 di Pekalongan, lalu Tambun 1869, dan Puncaknya Cilegon 1883 Belanda mulai curiga pada Kontingen yang dianggapnya memberi darah segar pada pelawan2 Belanda. Belanda tau kalau tokoh Kontingen itu Syekh Junaid alBatawi. Syekh Junaid lahir di Jembatan Lima pada tahun 1810-an. Diperkirakan tahun 1830-an Syekh Junaid dan isteri mulai mukim di Mekkah. Beliau dikaruniai anak dua putra dan dua putri. Kelak seorang putrinya dinikah oleh Al Mishri, ulama dan penulis. Al Mishri nenyaksikan seorang Betawi nama Bapa Slamet dilantik Daendels sebagai pejabat tinggi Nederlands Indie Batav, Perancis. Bapa Slamet artinya bin Slamet. Akhirnya Belanda nenugaskan Snouck Hurgronye untuk bertemu dengan Syekh Junaid al Betawi. Belanda sudah menerima laporan bahwa Syekh Junaid dipercaya Kerajaan sebagai satu2nya orang Non Hejaz dan satu2nya Andunisi yang nenjadi Imam Masjidil Haraam, dan Syekh Junaid pun mendapat izin mengajar di serambi Masjidil Haraam. Claim a/n pemda DKI yang sebut2 nama lain tak berdasar. Saya ber-tanya2 kenapa kok dari pemda DKI bisa terbit omongan yang a-historis. Snouck Hurgronye tiba dii Makkah 1894. Selama hampir setahun ikhtiar mau bertemu Syekh Junaid, tapi Syekh Junaid menolak. Snouck akhirnya balik naar Holland pada 1895. Sebagai anak Betawi aku berusaha pahami Syekh Junaid. Dalam bahasa Betawi Syekh Junaid alBatawi itu parku. Keras berpegang pada prinsip yang diyakininya. Keterangan foto di atas Buya Hamka, kanan, dan RS kiri, tahun 1980. (*)