OPINI
Perang Opini dan Realitas Kelapa Sawit Indonesia
Sejauh ini, tanaman kelapa sawit --terlepas dari kampanye negatif yang terus digencarkan-- sudah menunjukkan potensinya yang luar biasa. Kenyataan ini perlahan-lahan mengubah kesadaran manusia. Interaksi yang intens antar individu pun makin memperbaiki kualitas pengelolaan perkebunan kelapa sawit Oleh: Mochamad Husni, Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Sahid SEBAGAI praktisi komunikasi yang bekerja di perusahaan perkebunan kelapa sawit, saya sering memanfaatkan kesempatan berdiskusi di hadapan mahasiswa untuk memeriksa sejauh mana persepsi mereka tentang komoditas yang menjadi core business tempat saya bekerja.Sebagian besar positif. Tapi pernah pula saya temui mahasiswa yang mengutip berita dengan isi yang menggugat tata kelola tanaman yang tumbuh subur di Indonesia ini. Di antara beragam opini kontradiktif yang bertebaran di media massa, mana yang harus dipercaya publik?Ini tentu bukan sekadar pertanyaan yang ingin memastikan perihal benar dan salah. Jawaban yang diberikan harus komprehensif. Sebab, implikasinya sangat panjang. Tidak semata-mata persoalan image dan reputasi industri kelapa sawit Indonesia. Strategi pembangunan nasional bisa dikoreksi. Apalagi sekarang ini tengah dirumuskan roadmap atau peta jalan pembangunan industri kelapa sawit nasional, senafas dengan keinginan Presiden Joko Widodo bahwa kelak sektor komoditas unggulan ini setop mengekspor bahan mentah (Crude Palm Oil/CPO). Di balik keinginan itu tentu ada harapan agar hilirisasi industri kelapa sawit bisa memberi added value dan memperkuat dampak positif terhadap neraca perdagangan Indonesia. Ketika merenung-renungkan pertanyaan seputar kebenaran dalam industri kelapa sawit, ingatan saya melambung pada buku lama yang ditulis Peter Ludwig Berger, Social Contructions of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge. Buku lawas yang ditulis sosiolog Amerika tahun 1966 bersama sosiolog Jerman bernama Thomas Luckmann ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan sangat baik oleh Hasan Basari. Diterbitkan LP3ES tahun 1990 dengan judul \"Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan\". Teorinya masih sangat relevan. Sebagai pisau analisis, pendekatan yang digunakan masih tajam membedah fenomena era post truth seperti sekarang.Kendati Berger dan Luckman menulis buku tersebut lebih dari setengah abad lalu, “teorinya hingga hingga kini masih tetap relevan untuk dijadikan semacam alat analisis atau sebagai objek kajian bagi studi-studi ilmu sosial, khususnya sosiologi dan ilmu komunikasi di berbagai perguruan tinggi di Indonesia,” tulis Alex Sobur ketika memaparkan paradigma konstruktivis Berger dalam buku \"Filsafat Komunikasi: Tradisi dan Metode Fenomenologi\", terbitan Rosda Karya, 2013. Memang, paparannya tetap mampu menjernihkan pandangan ketika digunakan untuk menepis kebingungan publik di tengah perang opini tentang kelapa sawit Indonesia yang masih terjadi hingga hari ini.Konstruksi sosial Social contruction atau konstruksi sosial seperti yang dipaparkan panjang lebar Peter Berger bersama Thomas Luckmann, secara sederhana dapat dipahami sebagai penyusunan, pembentukan, terbangunnya sesuatu, sebagai hasil atau buah dari aktivitas sosial (masyarakat). Ketika kedua sosiolog itu menggunakan frase social construction of reality, “sesuatu” dalam pemikiran mereka merujuk pada realitas. Seperti apakah realitas industri kelapa sawit Indonesia? Apakah sama persis dengan opini-opini maupun publikasi yang bisa ditemukan masyarakat di media massa dan forum-forum diskusi? Apakah kelapa sawit sejahat virus atau bakteri hingga sebuah produk makanan harus diberi label palm oil free saat di-display di supermarket? Sedemikian buruk itukah realitas tentang kelapa sawit? Di sinilah arti penting pendekatan Berger dan Luckmann. Mereka mendefinisikan realitas atau kenyataan sebagai suatu kualitas yang terdapat dalam fenomena-fenomena. Fenomena ini memiliki keberadaannya (being) sendiri dan sama sekali tidak tergantung pada kehendak manusia. Fenomena-fenomena itu nyata (real) dan memiliki karakteristik yang spesifik. Berger dan Luckmann memandang bahwa realitas atau kenyataan itu dibangun secara sosial. Artinya, individu-individu dalam masyarakat-lah yang sebenarnya membangun masyarakat. Karena itu, pengalaman individu tidak dapat terpisahkan dengan masyarakat. Manusia sebagai pencipta realitas sosial yang objektif melalui momen dialektis yang melibatkan tiga proses yaitu: eksternalisasi, obyektivasi, dan internalisasi. Keseluruhan proses ini berlangsung secara simultan dan terus menerus. Dialektikanya dipicu oleh karakter dasar manusia sebagai makhluk sosial (organisme) yang mau tak mau pasti berinteraksi dengan sesama maupun alam semesta. Interaksi-interaksi itu kemudian melahirkan kesadaran. Dalam tahap eksternalisasi, maka nilai-nilai, norma, etika, dan segala bentuk maupun cara dalam memperlakukan individu lain serta alam sekitar (termasuk kelapa sawit) terekam dan menjadi pengetahuan individu. Obyektivasi berlangsung ketika pengetahuan individual itu bertemu dengan pengetahuan individu lainnya. Maka, tidak perlu heran ketika petani-petani kelapa sawit memahami komoditas yang ia budidayakan sebagai realitas yang baik dan bermanfaat. Pemerintah kabupaten yang wilayahnya mekar serta berkembang pesat tentu merekam dalam ingatan mereka tentang begitu banyak dampak positif perkebunan kelapa sawit bagi kesejahteraan masyarakat. Begitu juga dengan konfirmasi dari pemerintah pusat yang melihat langsung betapa devisa negara menjadi sehat berkat ekspor kelapa sawit ke pasar global. Sebaliknya, pemahaman berbeda mungkin saja muncul pada individu-individu lain. Semua bergantung pada interaksi dan pengalaman-pengalaman kongkrit mereka ketika bersentuhan dengan kelapa sawit, individu-individu lain dan alam sekitar mereka. Mungkin saja opini mereka tentang tanaman menjadi sangat negatif. Penjelasan Berger dan Luckmann ada di ranah ilmu sosiologi. Kendati begitu, kajian komunikasi berada di posisi yang tak kalah penting. Eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi berlangsung melalui perantaraan berkat kemampuan manusia berkomunikasi.Bahasa, menurut Berger dan Luckmann, “merupakan instrumen pokok untuk menciptakan realitas”, seperti ditulis Alex Sobur yang mengutip disertasi Ibnu Hamad yang berjudul “Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa: Sebuah Studi Critical Discourse Analysis terhadap Berita-Berita Politik”. Di dalam studinya yang mengaitkan paradigma konstruksi sosial dengan media itu, Hamad sampai pada kesimpulan bahwa seluruh isi media, tiada lain merupakan realitas yang telah dikonstruksikan (constructed reality). Pembuatan berita di media, menurutnya seperti ditulis Sobur, pada dasarnya adalah menyusun realitas-realitas hingga membentuk sebuah cerita atau wacana yang bermakna. Itu sebabnya, karena realitas sosial merupakan hasil konstruksi sosial –seperti ditulis Sobur-- maka kebenaran realitas sosial bersifat relatif. Semua bisa benar, semua juga berpeluang mengandung ketidakbenaran. Termasuk, opini-opini yang banyak dikonsumsi publik mengenai kelapa sawit Indonesia.Pekerjaan Rumah Berger dan Luckmann tentu tidak berkepentingan dengan status benar atau salah. Sebagai sosiolog, analisisnya dapat kita gunakan untuk secara jernih memahami sebaran informasi di ranah publik yang kadang membingungkan. Yang pasti, dialektika terus bergulir. Bersamaan dengan itu, ia akan memperbaharui pengetahuan dan kesadaran individu-individu dan masyarakat. Satu hal yang amat menarik adalah penegasan Berger dan Luckmann perihal manusia sebagai organisme. Sebagai organisme, manusia mempunyai kebutuhan-kebutuhan dasar yang harus mereka penuhi untuk keberlangsungan hidup mereka. Pangan, energi, dunia yang lestari, merupakan sederet daftar yang tak bisa ditiadakan. Di antara sekian banyak ciptaan Tuhan di bumi, tentu manusia akan sampai pada penemuan tentang makhluk terbaik yang paling pas dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu. Sejauh ini, tanaman kelapa sawit --terlepas dari kampanye negatif yang terus digencarkan-- sudah menunjukkan potensinya yang luar biasa. Kenyataan ini perlahan-lahan mengubah kesadaran manusia. Interaksi yang intens antar individu pun makin memperbaiki kualitas pengelolaan perkebunan kelapa sawit yang sesuai dengan prinsip-prinsip sustainability. Seperti ditegaskan Hamad bahwa media juga berperan dalam mengkonstruksi realitas sosial, maka perhatian kita terhadap media tidak boleh dilupakan. Berita-berita ataupun opini tentang dampak positif kelapa sawit yang selama ini mungkin baru beredar di sekitar petani, sentra-sentra perkebunan kelapa sawit, kawasan-kawasan eks transmigrasi yang berubah menjadi pusat pemekaran wilayah akan semakin banyak dikonsumsi publik berkat pemberitaan media.Seiring dengan interaksi langsung antarindividu, masyarakat dan alam yang akan menanamkan kesadaran baru tentang kelapa sawit, sosialisasi di media massa dari mereka yang telah meyakini kelapa sawit sebagai kebaikan akan menggeser relativitas kebenaran yang terkandung dalam kelapa sawit. (*)
Giring Meracau
Meracau bisa dimaknai luas, dan itu serupa seorang yang bicara penuh kebohongan, bahkan sampai pada aromah fitnah. Meracau tak menentu dan penuh kebohongan, pastilah fitnah, itu yang ditampilkan Giring Ganesha, Ketua Umum PSI. Oleh Ady Amar, Kolumnis BUKAN cuma orang mabuk yang jika bicara meracau. Pastilah tidak jelas apa yang diomongkan. Terus pede meracau, meski orang lain ngelus dada tanda ibah melihatnya. Dan yang meracau tak merasakan kehadirannya tak disuka, bahkan mengganggu. Meracau bisa dimaknai luas, dan itu serupa seorang yang bicara penuh kebohongan, bahkan sampai pada aromah fitnah. Meracau tak menentu dan penuh kebohongan, pastilah fitnah, itu yang ditampilkan Giring Ganesha, Ketua Umum PSI. PSI diinisialkan dengan olok-olok, dan itu melatarbelakangi aktivitas partai yang hadir cuma menyoroti Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dengan tidak semestinya. Maka, muncul inisial PSI yang dipelesetkan dengan Partai Seputaran Ibu kota. Inisial yang meski tampak olok-olok, sepertinya memang pantas disematkan pada partai yang tidak mampu membangun langkah visioner, sebagaimana karakter khas anak muda. Yang dilakukan sebaliknya, cuma nyinyir pada prestasi yang dihadirkan Anies Baswedan. PSI seperti tidak mampu beranjak dari isu itu ke itu saja. Seperti tidak ada isu strategis lain bisa dimuncul-kembangkan. Membutakan hati dalam melihat pembangunan kota Jakarta dengan penilaian sebaliknya. Menyerang dengan narasi meracau bak sedang mabuk. Narasi yang dibangun diseputaran Anies itu pembohong, intoleran, pengusung politik identitas, jual ayat saat kampanye... dan seterusnya. Sepertinya tidak beranjak dari itu. Tidak mampu mengungkap pada kasus apa Anies berbohong, intoleran dan seterusnya. Yang penting meracau, berharap siapa tahu ada yang percaya fitnah yang ditebarkan. Bernyanyi di Hadapan Jokowi Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkekeh, meski tak tampak giginya karena tertutup masker, mendengar \"nyanyian\" Giring Ganesha, dalam Pembukaan HUT PSI ke-7. Nyanyian meracau Giring tampaknya disukai Jokowi, ia terhibur melihat dialektika Giring yang jauh dari kesantunan. Giring memang tidak menyebut nama seseorang yang disasar dalam pidatonya. Meski tidak muncul nama disebut, tapi pastilah yang disasar itu Anies Baswedan. Apa yang disampaikan Giring, itu sama dengan pernyataan sensasional sebelumnya yang menyebut Anies pembohong. Giring dan partainya tampil bak buzzer, yang tidak mampu melihat kekurangan yang dianggap lawan politiknya. Dan karenanya, terpaksa memakai penilaian terbalik. Maka, saat menilai prestasi dan kemajuan yang telah ditorehkan Anies Baswedan, ia menyatakan dengan penilaian sebaliknya. Saat menyatakan Anies pembohong dan intoleran, itu sebenarnya tanpa disadari ia tengah memberi sebuah panduan bahwa apa yang disampaikannya bisa dimaknai sebaliknya. Giring sedang meracau, dan pasti yang keluar dari mulutnya itu hal-hal tidak sebenarnya. Dan adab kesantunan tidak menjadi penting dikedepankan. Terpenting nekat dalam meracau. Giring tidak suka pemimpin yang suka berbohong dan intoleran, dan itu pastilah Anies yang disasarnya. Jika ditanya, memangnya Anies berbohong dan intoleran pada hal apa, pastilah ia tergagap tanpa bisa memberi bukti khas para buzzer yang cuma pintar ngoceh di dunia maya. Sikap Giring yang meracau, itu tentu seperti biasanya setidaknya belum ditanggapi Anies, tapi beberapa elit partai politik menyesalkan sikapnya yang jauh dari budaya kesantunan. Tidak demikian dengan Jokowi, yang justru tampak menikmati ocehan meracau Giring itu. Memang duduk, berdiri dan melangkah jadi asyik, jika sama-sama dalam satu barisan, satu frekuensi. (*)
Menggiring Pembohong
Ketua Umum PSI Giring Ganesha mulai pandai bersilat lidah. Di depan Presiden Jokowi ia menyebut Indonesia akan suram apabila dipimpin oleh seorang pembohong. Padahal ia sedang mngadu pada sosok bergelar \"The King of Lip Service\". Oleh M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan TIGA rasa muncul setelah membaca berita sambutan Giring Ganesha Ketum PSI di depan Jokowi. Tiga rasa itu adalah kaget, sedih, dan lucu. Kaget karena beraninya Giring menyebut \"pembohong\" untuk seseorang di depan figur bergelar \"The King of Lip Service\". Sedih karena sebuah partai \"milenial\" terhimpit dalam sesak nafas puja puji dewa. Lucu karena bermindset terbalik. Sepatu jadi topi dan topi sebagai sepatu. Terbalik melihat seolah-olah Jokowi adalah Presiden terbaik padahal rakyat memandang sebagai sosok Presiden terburuk. Sulit melihat prestasi signifikan dari kepemimpinannya.Yang mudah untuk diinventarisasi adalah berbagai kegagalan dan sikap inkonsistennya. Tampaknya nama Giring Ganesha berkaitan dengan peristiwa dulu saat menggiring gajah besar-besaran di Lampung. Kini dalam acara Ultah PSI di hadapan Jokowi Giring ingin menggiring sebutan pembohong ke arah Anies Gubernur DKI dengan nada kekhawatiran bahwa Anies akan menjadi pengganti Jokowi. Bagai mengajukan proposal siap menghantam figur intoleran, pembohong, sentimen agama, ayat-ayat dan sebutan lainnya itu. Sayang giringan pembohong untuk Anies tidak rasional dan tidak berbasis fakta, sebaliknya justru yang ramai di media diberi predikat pembohong adalah yang ada di depan Giring sendiri yaitu Jokowi \"The King of Lip Service\" julukan yang diberikan oleh BEM UI. Giring menggiring kebohongan soal Jokowi terbaik atau Anies pembohong. PSI yang dipimpinnya menjadi partai genit sok kritis yang memandang Anies Gubernur yang harus terus disalahkan dan dipojokkan. Ada nuansa pesanan dan kendali. Kekhawatiran dan gemetarnya Giring oleh Anies bukan hal mustahil menjadi pertanda kebenaran akan terjadi apa yang ditakutinya. Dulu Fir\'aun takut ada anak lelaki yang akan menjatuhkannya. Maka ia berusaha keras menutup peluang itu dengan membunuh setiap bayi laki-laki yang dilahirkan. Ternyata ramalannya terbukti. Laki-laki yang meruntuhkan kekuasaannya itu berada tidak jauh dari Istananya sendiri. Musa \"the messenger\" menenggelamkan Fir\'aun \"si pembohong sombong\" bersama seluruh kroninya. Pidato Giring yang menyodok Anies Baswedan habis-habisan hanya memberi cap diri bahwa PSI adalah partai islamophobia yang menafikan bahkan melecehkan ayat-ayat. Partai penggiring kebohongan baru di kancah perpolitikan bangsa Indonesia. (*)
Demi Marwah NU, KPK Harus Usut Dugaan Politik Uang di Muktamar
Patut diduga, dugaan praktik politik uang dalam Muktamar ke-34 NU karena elit politik ikut bermain, dan ingin menang. Oleh: Jajang Nurjaman, Koordinator CBA CENTER for Budget Analysis (CBA) meminta KPK turun tangan mengusut dugaan praktik politik uang dalam ajang Muktamar ke-34 Nahdlatul Ulama (NU). KPK harus menyelidiki aktor utama serta sumber dananya dari mana saja.Muktamar ke-34 NU terancam rusak marwahnya karena dugaan praktik politik uang. Diduga beberapa Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) ditawari Rp 50 juta. Angka ini jika dikali dengan total suara sah sekitar 219 totalnya mencapai Rp25.950.000.000 perkiraan uang yang siap dibagi-bagikan oknum tim sukses di ajang muktamar itu.Jika dugaan politik uang benar-benar terjadi, muktamar NU tidak ada bedanya dengan pemilihan ketua umum partai politik, dimana jual beli suara lazim terjadi. Praktik politik uang sangat berbahaya karena bisa melahirkan pemimpin yang tidak berintegritas dan bahkan bisa merugikan keuangan negara.Patut diduga, dugaan praktik politik uang dalam Muktamar ke-34 NU karena elit politik ikut bermain, dan ingin menang. Mentang-mentang sudah banyak duit, dan jadi pejabat, mereka mempengaruhi pengurus NU daerah dengan memberikan duit, dan lalu melakukan karantina seperti warga kena Covid 19.Pengurus dan tokoh NU harus sadar bahaya praktik politik uang dan jangan sampai tergoda dengan bujuk rayuan oknum tim sukses, atau politisi busuk. Jangan sampai Muktamar ke-34 NU melahirkan pemimpin yang tidak berintegritas karena tidak siap kalah dan akhirnya menghalalkan segala cara.Akan menjadi aib bagi warga Nahdlatul Ulama jika pengurusnya tergoda uang haram dalam acara sakral. Jangan sampai pengurus NU selesai muktamar dari Lampung dan pulang ke kampung masing-masing malah membawa aib dan aroma busuk karena menerima uang haram seperti korupsi uang kardus durian, yang sampai sekarang, bau kardus durian, tidak hilang-hilang lantaran penciuman umat sangat tajam tidak bisa diakalin. (*)
Pidato Revolusioner, Kelakuan Kontra-Revolusioner
Kebohongan bercampuraduk dengan kejahatan. Mengandalkan rekayasa dan konspirasi, memanfaatkan kepolosan rakyat. Jadilah ia boneka oligarki. Ngomongnya ke sana, kelakuannya ke sini. Oleh: Yusuf Blegur, Pegiat Sosial dan Aktivis Yayasan Human Luhur Berdijari MEMANG mahal harga sebuah integritas. Tidak semua orang bisa membeli atau memilikinya. Satunya kata dan perbuatan itu, tak dapat dirasakan dalam sebatas pidato dan hanya beraneka model pencitraan. Media massa dan pelbagai upaya pembentukan opini tak akan mengubah watak seseorang yang sebenarnya. Betapapun topeng digunakan, tetap tak dapat menyembunyikan wajah aslinya. Apalagi cuma mengandalkan kekuatan kapital dan akses politik yang memaksa seorang figur tampil dengan kepalsuan. Kebohongan bersama kejahatan semakin bercampur, mengandalkan rekayasa dan konspirasi, memanfaatkan kepolosan rakyat. Jadilah ia boneka oligarki. Ngomongnya ke sana, kelakuannya ke sini. Segudang janji mulai dari kampanye hingga menjabat presiden. Semua hanya berupa pepesan kosong. Mirisnya lagi, saat mengemban amanat sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Dengan situasi dan kondisi negara yang begitu amburadul. Pemimpin yang cenderung lebih sering cengengesan dan planga plongo itu, terkesan sibuk panjat sosial. Masih gemar pencitraan, terasa masih menjalani kampanye pilpres. Sementara sikapnya selalu diam atau pergi lari menghindar saat menghadapi masalah negara, persoalan di lingkungan pemerintahannya dan atau problem yang terkait dengan dirinya. Entah dalam keadaan tidak sadar atau memang sebatas itu kemampuannya, hanya publik yang bisa menilai. Rakyat Indonesia belum mengalami amnesia, sehingga mampu merekam jejak rezim selama lebih dari 7 tahun ini. Menjanjikan ekonomi meroket. Membatasi utang negara. Menolak impor pangan dan kebutuhan industri lainnya. Mengadakan mobil nasional ESEMKA berseliweran di tanah air. Rakyat juga menyimak, dengan bangganya presiden mengatakan kangen di demo dan menyimpan uang di kantongnya sebesar 11ribu triliun. Masih banyak lagi bualan presiden yang sampai terbawa dalam mimpi rakyat. Namun kenyataannya tak pernah mewujud. Malah saat rakyat sekarat karena pandemi, rezim semakin bejat memanfaatkanya untuk bisnis menumpuk cuan dan mepanggengkan kekuasaan. Rasanya, rakyat sudah terlalu kenyang menikmati makanan instan ideologi dan politik. Rakyat butuh makanan pokok dengan nutrisi yang tinggi untuk kemakmuran dan keadilan. Bukan jampi-jampi dan sihir massal kekuasaan. Rakyat memang rapuh dan lemah. Begitu mudahnya terombang-ambing dan dipermainkan rezim. Namun, cepat atau lambat akan ada perubahan. Karena tidak ada yang abadi, selain perubahan itu sendiri. Seperti boneka dan sekumpulan mainan anak-anak dikeranjang besar yang tersimpan di gudang. Seperti itulah pejabat presiden dan konco-konco-konconya terlihat lucu dan menghibur. Pantas saja rakyat tak bisa berharap banyak. Hanya bisa menikmati hiburan sesaat. Setelah itu usang, rusak dan tidak bisa dipakai lagi. Boleh disimpan dimasukan dalam kotak kardus atau bisa juga dibuang. Rakyat semakin jumud dan mendesak untuk menentukan dan memilih pemimpinnya sendiri. Dengan penampilan apa adanya namun jujur dan lebih nyata. Cerdas dan berwibawa, namun lebih utama mampu mengemban amanat penderitaan rakyat. Pemimpin berani dan tegas yang dicintai rakyatnya. Bukan yang pidatonya revolusioner, namun kontra revolusiober tindakannya. (*)
Ibu Kota Hantu?
Pada saat banyak gedung-gedung hantu di kota-kota besar di Indonesia, saya khawatir IKN baru di Kaltim itu akan menambah daftar kota hantu baru. Hanya para hantu yang cukup berani untuk datang ke Kota Hantu. Oleh: Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS dan Rosyid College of Arts and Maritime Studies, Gunung Anyar, Surabaya SEJAK dua minggu ini, DPR bersama pemerintah sedang kejar tayang untuk meloloskan RUU Ibu Kota Negara sebagai pijakan hukum bagi pemindahan Ibu Kota Negara dari DKI Jakarta ke sebuah kawasan hutan seluas 180.000 ha di perbatasan Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Penajam Pasir Utara, Kalimantan Timur. Biaya pemindahan IKN ini semula diperkirakan sekitar Rp 500 Triliun, sebagian besar dari swasta yang menginginkan return on investment.Disebut bahwa alasan pemindahan IKN ini adalah karena DKI Jakarta sudah tidak layak lagi sebagai IKN, sekaligus untuk memeratakan pembangunan yang Indonesia Sentris. Hemat saya, baik secara teknikal, spasial, temporal dan finansial rencana pemindahan IKN ini berpotensi menjadi monumen kegagalan berskala raksasa yang akan ditinggalkan oleh rezim saat ini. Resiko keterlambatan dan cost overrun selalu mengancam proyek-proyek mercusuar semacam ini yang kalau dihentikan akan menyebabkan femonena dilematis too big to stop. Secara teknikal, kawasan IKN baru itu terancam bahaya laten kekurangan air bersih. Secara geoteknik, jaringan jalan dan bangunan-bangunan beton maupun baja yang akan dirancangbangun di atas kawasan gambut itu memerlukan rekayasa pondasi yang lebih mahal. Pasokan listrik memerlukan pembangkit baru yang situasinya kini justru over supply. Disamping sebagai lingkungan fisik, ibu kota negara adalah lingkungan sosio-kultur yang penting. Aspek ini yang dilupakan sama sekali oleh rencana IKN baru ini. Jakarta menyimpan nilai sentimental yang tak tergantikan. Marwah sejarah itu tidak ada di hutan Kalimantan Timur. Secara spasial, ketimpangan antara Kawasan Barat dan Kawasan Timur Indonesia ini disebabkan oleh obsesi pertumbuhan tinggi selama Orde baru hingga hari ini telah menyebabkan pembangunan terkonsentrasi pada wilayah dengan kepadatan infrastruktur seperti listrik, air bersih dan jaringan transportasi terintegrasi serta dekat dengan pasar yang besar. Untuk memeratakan pembangunan, yang diperlukan adalah penyebaran kawasan industri. Artinya, perlu dilakukan relokasi industri dari Jabodetabek Punjur ke kawasan-kawasan baru di Kawasan Tengah dan Timur Indonesia sebagai sumber bahan baku dan bahan mentah berbasis agromaritim ataupun pertambangan. Relokasi industri itu harus didahului oleh penyiapan kawasan-kawasan pertumbuhan baru itu dengan prasarana yang cukup: energi -terutama listrik dan gas-, air bersih, dan jaringan jalan ke hinterland kawasan-kawasan baru tersebut untuk memperbesar pasar. Juga diperlukan kebijakan transmigrasi yang progresif agar warga muda trampil sudi bekerja di kawasan-kawasan baru tersebut. Penguatan sektor kemaritiman menjadi kunci dalam pemerataan pembangunan di negara kepulauan dengan bentang alam seluas Eropa bercirikan Nusantara ini. Itu berarti diperlukan pengadaan armada kapal niaga dan perikanan dalam jenis dan jumlah yang cukup, serta tata kelola pemerintahan maritim yang efektif. Saat ini satu pemerintahan maritim dengan satu tanggungjawab belum ada sama sekali, termasuk perundang-undangannya. Sudah banyak kementrian dan lembaga yang memiliki tugas dan wewenang di laut, tapi belum ada satu pemerintahan maritim. Pemerintahan maritim ini mutlak bagi ketertiban dan keamanan operasi-operasi di laut sebagai upaya mempersatukan Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Secara temporal, saat ini justru sedang terjadi keruntuhan bisnis property yang dipicu oleh China. Salah satu pengembang terbesar China, yaitu Evergrande telah mengalami gagal bayar dan memicu kemarahan para investornya. Ini telah merembet ke Indonesia. Kebutuhan property telah menurun sebelum pandemi dan makin turun selama pandemi. Sudah banyak ditemukan apartemen-apartemen dan mal-mal hantu serta rumah-rumah hantu. Banyak hotel-hotel berbintang dijual, juga rumah-rumah mewah di kota-kota besar. Secara finansial, pemindahan IKN itu mengandung paparan resiko yg besar sekali, termasuk ancaman keruntuhan sistem keuangan global yg dipicu oleh krisis property China. Hutang pemerintah dan swasta nasional saat ini telah mencapai Rp 10 ribu Triliun lebih. Pada saat banyak gedung-gedung hantu di kota-kota besar di Indonesia, saya khawatir IKN baru di Kaltim itu akan menambah daftar kota hantu baru. Hanya para hantu yang cukup berani untuk datang ke Kota Hantu. Di samping itu, setiap investasi publik hanya akan value for money jika birokrasinya bersih dan operatornya kompeten. Setahu saya birokrat dan operator hantu tidak memenuhi kualifikasi itu. Jika ini yang terjadi maka investasi besar itu hanya akan value for ghost monkeys yang sekarang banyak menghuni hutan beton di Jakarta. (*)
Biar Kembali Greget KPK Mesti Kembali Periksa Kasus Cak Imin
Oleh: Jajang Nurjaman, Koordinator CBA Bulan Desember ini masih dalam suasana perayaan Hari Anti Korupsi Sedunia (Hakordia), momentum ini juga seharusnnya jadi ajang pembenahan bagi Aparat Penegak Hukum terkait pemberantasan korupsi khususnya Komisi Pemberntasan Korupsi (KPK). Agar Hakordia tidak sebatas perayaan semata tapi tindakan nyata.Menjelang akhir 2021 semangat pemberantasan korupsi terasa hampir padam, KPK Contohnya saat ini kurang greget bahkan berpuas diri dengan kasus-kasus kecil yang terjadi di daerah. Ditambah dengan jumlah OTT yang baru 7 kali di tahun 2021, sama buruknya dengan jumlah OTT di tahun 2020 yang hanya 7 kali.Dibandingkan tahun-tahun sebelumnya sebelum era Firli Bahuri kinerja KPK sangat buruk, untuk OTT di tahun 2019 bisa sampai 21 bahkan di tahun 2018 mencapai 30. Terkait tangkapan juga KPK di era sebelum Firli sanggup menjerat nama-nama besar bahkan sekelas Ketua Umum Partai Politik, misalnya 15 Maret 2019 KPK saat itu melakukan OTT dan tangkapannya bukan ecek-ecek tapi sekelas Romahurmuziy atau Romi dicokok saat menjabat Ketum Parpol.Sebelum Romi, Setya Novanto saat itu sebagai Ketum Parpol juga dicokok KPK dan divonis April 2018. Mirisnya setelah KPK dipimpin Firli Bahuri sejak 2020, jumlah OTT dan target tangkapan sangat mengkhawatirkan. OTT di 2021 hanya tercapai di satu digit serta tangkapan hanya sekelas pejabat daerah seperti DPRD, Kepala Dinas, Bupati, paling banter Gubernur itupun hanya satu.Oleh karena itu, kinerja KPK yang masih buruk sebaiknya membuka kasus-kasus lama yang melibatkan nama besar yang belum tuntas. Sebagai contoh, kasus kardus durian di mana nama Muhaimin Iskandar disebut-sebut. Selain kasus kardus durian, nama Muhaimin Iskandar juga disebut-sebut dalam kasus suap pembahasan anggaran optimalisasi di Direktorat Jenderal Pembinaan Pembangunan Kawasan Transmigrasi pada Kemenakertrans 2014 yang saat ini bernama Kementerian Ketenagakerjaan. Serta nama Muhaimin Iskandar juga disebut-sebut dalam kasus korupsi proyek pembangunan jalan yang digarap Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) tahun 2016.Center for Budget Analysis (CBA) meminta KPK untuk kembali ke marwahnya dalam memberantas korupsi. Salah satu langkah real dengan memanggil dan memeriksa Muhaimin Iskanda terkait kasus-kasus yang menyeret namanya. (*)
Tak Cukup Kata-kata
Saat rezim telah berubah menjadi ancaman yang menebar kecemasan, ketakutan dan teror bagi rakyat, sesungguhnya hanya ada dua pilihan bagi rakyat: hidup tertindas atau bangkit melawan. Bertindak dengan kesadaran kritis dan ingin meraih kehidupan negara yang lebih baik. Atau pasrah menerima keadaan sambil menyesali, menggerutu di sana-sini, atau sekadar menampilkan kegarangan di media sosial. Segelintir yang mau turun ke jalan, sebagian besar lainnya tak peduli dan apatis sembari menelan mentah-mentah keterpurukannya juga. \"People Power\" tunduk oleh ancaman tergusur dari zona nyaman dan kriminalisasi atau juga ancaman nyawa. Rezim kekuasaan terus digdaya seiring kematian massal perlawanan dan maraknya kelahiran penghianat bangsa. Oleh: Yusuf Blegur, Pegiat Sosial dan Aktivis Yayasan Human Luhur Berdikari PERLAKUAN kepulangan TKI ke negerinya sendiri, sungguh pedih dan menyayat hati. Birokrasi prosedur karantina Covid-19 di Bandara Soetta, benar-benar melengkapi praktik-praktik eksploitasi manusia atas manusia dan eksploitasi bangsa atas bangsa. Buruh migrain yang tidak jelas bagaimana nasibnya selama bekerja di negera lain, kini harus menjadi warga negara asing di negerinya sendiri. Entah karena begitu rendah dan hinanya para TKI ini, atau betapa terlalu mulia dan agungnya para penguasa di negeri Pancasila. Ramah dan hangat menyambut kedatangan TKA, namun bengis menerima kepulangan TKI. Rezim benar-benar diragukan kemanusiaannya. Atau memang hanya sekadar wujudnya yang manusia.Hal-hal seperti ini menjadi pemandangan keseharian. Di negeri yang katanya menjunjung adab ketimuran dan sarat religiusitas, belakangan melakukan reposisi sistem secara cepat dan masif. Menjungkirbalikkan semua realitas ideal. Ada yang tergantikan dan ada yang bertukar posisi. Keladziman telah hilang dari kebiasaan yang ada selama ini. Seperti berpindahnya kutub utara ke kutub selatan dan atau sebaliknya. Membuat semua hukum menjadi serba subhat. Mengubur Pancasila dan UUD 1945 sedalam-dalamnya.Nilai-nilai dikalahkan oleh materi dan kebendaan dunia lainnya. Kebenaran semakin tersudut dan tergeser oleh penyimpangan. Kesejahteran seperti digembok oleh segelintir orang dan kelompok dalam tampilan oligarki dan borjuasi korporasi. Keadilan menjadi hak veto dan hanya versi penguasa. Rakyat kini hidup dalam selimut penyesatan dan distorsi yang membuat sesak nafas, pikiran, dan kesadaran.Meyakini Tujuan dan Risiko PerjuanganMenghadapi kekuasaan yang mengabaikan dan tak takut lagi pada Tuhan, seharusnya membuka mata rakyat bahwa rezim itu cenderung telah bersekutu dengan iblis. Ia seperti penjelmaan dari Firaun, Namrud, dan semua pemimpin-pemimpin dzolim masa lampau. Suasana kejahatan dan kebiadaban seakan menunggu kemunculan \'reneisans\", pada masa-masa kegelapan di era kekinian. Begitu absolutnya kekuasaan manusia atas manusia yang lain. Merendahkan peradaban manusia seperti jaman jahiliyah, saat manusia belum mengenal dan mengakui keberadaan Sang Pencipta sejati.Betapa pun kesombongan dan keangkuhan manusia pada sesamanya. Sejarah menjelaskan bahwa ada kekuasaan Tuhan yang jauh di atas kekuasaan manusia. Tatkala manusia sudah berlebihan dan melampaui batas. Maka cepat atau lambat akan berlaku hukum dan azab Sang Ilahi. Kekuasaan dan kebesaran Tuhan akan mewujud pada kekuatan alam dan juga pada orang-orang yang teguh dan istiqomah di jalan kebenaran.Rakyat Indonesia sudah selayaknya belajar pada sejarahnya sendiri. Betapa perjuangan itu sangat perih. Membutuhkan lebih dari sekadar kerja keras, tujuan kebaikan-kebaikan itu mestilah ditebus dengan pengorbanan. Belajar dari pengorbanan para syuhada dan pahlawan. Menjadi keinsyafan bagi semua pihak, bahwasanya berjuang menegakkan amar maruf nahi munkar itu seperti menggenggam bara api. Semakin digenggam, semakin dahsyat panasnya dan membakar. Ketulusan dan keikhlasan pejuang itu dituangkan dalam cucuran keringat, darah, dan jiwa mereka. Tak terbantahkan lagi, kemerdekaan Indonesia dan upaya mempertahankan NKRI selalu disusun dan dirangkai oleh semangat pengorbanan.Kini, usai lampau seruan jihad para ulama ditambah pidato Bung Karno yang penuh agitasi dan propaganda atau orasi Bung Tomo yang membakar revolusi dalam mengusir penjajah, Indonesia tak cukup lagi hanya dengan sekadar kata-kata untuk menyelamatkan negara dan bangsa ini. Rakyat tak boleh lagi larut pada syair \"Kuasanya Kerongkongan\" dari Pramoedya Ananta Toer dan \"Dari Lidah Berawal Kemerdekaan\" oleh A.D. Donggo.Gerakan menyelamatkan Indonesia dari cengkeraman oligarki serta sekulerisasi dan liberalisasi oleh kapitalisme barat maupun komunis, tidak cukup hanya dihadapi dengan cuitan dan chating-an di media sosial. Turun ke jalan secara massif dan massal mutlak dibutuhkan. Seperti \"kita harus turun ke jalan, robohkan setan yang berdiri mengangkang\" lirik Bongkar Iwan Fals yang sudah mulai sendu suaranya.Seperti kata para sufi, Al Quran adalah kalam Illahi yang Agung. Kitabnya bak cerita sejarah yang begitu puitis dan sarat keindahan sastra tak tertandingi. Tapi wahyu itu bukan sekadar guratan kata-kata. Ia mengandung makna kebenaran yang hakiki, penuh hikmah dan menunggu tindakan nyata untuk mewujudkannya. Bukan sekadar kata-kata. (*)
Ilhan Omar dan Masa Depan Habib Rizieq
Persoalannya adalah kemudian New York Post, milik Rupert Murdoch, memprovokasi pernyataan Omar dengan headline berjudul \"Some people did something\", di mana Omar dianggap membelokkan definisi teroris yang membomb WTC, membunuh hampir 3000 orang dengan istilah \"some people\". Oleh Dr. Syahganda Nainggolan, Presidium KAMI TERORIS itu adalah soal definisi. Itu kata saya pada seorang tahanan di penjara Bareskrim, ketika saya dengannya berdialog soal teroris. Dia adalah seorang perwira polisi anti-teroris, dengan pangkat Kombes, yang di penjara karena tuduhan mengolok-olok Kapolri. Pernyataan saya itu terkait keinginan tahuan dia mengapa aku begitu menghormati Habib Rizieq Shihab. Menurut dia, organisasi FPI mempunyai kaitan dengan radikalisme dan cenderung mempunyai kaitan dengan gerakan teroris. Saya mengatakan padanya semakin kita banyak membaca buku, semakin luas pengetahuan kita, maka spektrum berpikir kita akan mampu menjelaskan tentang teroris lebih baik lagi. Namun, dia bertahan bahwa dia mempunyai pandangan baku dan tata kerja operasional baku untuk mengetahui tentang teroris atau bukan. Ilhan Omar adalah petarung tangguh dalam pendefinisian teroris ini. Dia adalah anggota DPR Amerika Serikat, dari partai demokrat, seorang perempuan muslim berkulit hitam, yang paling populer belakangan ini. Pada April tahun 2019, Omar mengatakan, \"CAIR was founded after 9/11 because they recognized that some people did something and that all of us were starting to lose access to our civil liberties.\" Dalam pernyataan utuh Omar mengekpresikan kekecewaan atas diskriminasi terhadap orang-orang Islam di Amerika dan seluruh dunia atas peristiwa 9/11 . Persoalannya adalah kemudian New York Post, milik Rupert Murdoch, memprovokasi pernyataan Omar dengan headline berjudul \"Some people did something\", di mana Omar dianggap membelokkan definisi teroris yang membomb WTC, membunuh hampir 3000 orang dengan istilah \"some people\". Provokasi ini menggetarkan seluruh elit politik Amerika, baik kubu demokrat maupun republik. Bahkan, seorang lelaki ditangkap polisi karena mengancam akan membunuh Omar, terkait hal itu. Organisasi lobby Jahudi Amerika (AIPAC) adalah musuh besar Omar. Pada bulan Juni 2021 Omar, sebagai anggota DPR yang bermitra dengan Menteri Luar Negeri, mengatakan kepada Blinken, dalam suatu rapat, agar melakukan cara yang adil dalam melihat korban kekerasan, baik yang dilakukan Amerika, Israel, Taliban dan Hamas. AIPAC membayar FB dan beberapa media untuk menyerang Omar. Menurut mereka, Omar tidak boleh menyamakan organisasi teroris, seperti HAMAS dan Taliban dengan negara seperti Amerika dan Israel. Pro-kontra soal ini pun membuat Omar mengalami tekanan dan ancaman. Bahkan, AIPAC menuduh Omar bagian dari pasukan teroris. Namun, Omar sekali lagi adalah perempuan yang tangguh. Dia adalah perempuan hitam Somalia yang terlunta-lunta selama 5 tahun sebagai pengungsi di Kenya, ketika umurnya 7 tahun. Tahun 1995, keluarganya berhasil masuk sebagai imigran ke Amerika. Tahun 2018 dia terpilih sebagai perempuan pertama yang memakai jilbab di DPR Amerika, yang membuat DPR harus menghapus aturan sepanjang 181 tahun, yang tidak membolehkan wanita berkerudung. Tahun 2018-sekarang Omar bertarung untuk pendefinisian ulang tentang terorisme. Menurutnya yang ada saat ini bukan terorisme melainkan kebencian terhadap Islam (Islamophobia). Omar sukses. Keberhasilan Omar 8 hari lalu adalah menggolkan UU Anti Islamophobia. UU ini telah disetujui DPR Amerika dan tinggal minta persetujuan Senat. Tentu saja kita harus menunggu, tapi setidaknya semua jajaran Partai Demokrat, termasuk Presiden Biden menyetujui gerakan Omar ini. Yakni menghancurkan kekuatan anti Islam di Amerika dan di seluruh dunia. Jika senat menyetujui, itu akan berimplikasi lebih dahsyat lagi, sebab akan ada unit anti Islamophobia di kementerian luar negeri mereka, yang akan mengawasi praktek kebencian pada Islam, di seluruh dunia. Apa hubungannya UU Anti Islamophobia ini dengan Habib Rizieq? Hubungan ini sangatlah jelas. Sudah puluhan tahun Amerika mengendalikan isu terorisme. Dengan sponsor yang besar, seluruh dunia Islam di teror dengan stigma teroris. Amerika telah menggelontorkan dana ke seluruh lembaga di berbagai penjuru dunia dengan tema deradikalisasi. Untuk kepentingan hegemoni dan dominasi, Amerika menciptakan terorisme dan sekaligus anti terorisme. Bahkan, Donald Trump menuduh Hillary Clinton, dalam kampanyenya dahulu, sebagai pencipta ISIS. Dalam era Biden ini, mungkin karena perubahan orientasi Amerika ke Indo-Pasifik, dan bersaing dengan Peking, Amerika melihat Islam harus dirangkul. Dalam situasi seperti ini, maka peluang Habib Rizieq untuk menjelaskan kisahnya dan organisasinya kepada Amerika, setidaknya via Ilhan Omar, dapat mengklarifikasi bahwa dia bukan bagian dari permusuhan Amerika dan sekutunya. Hal ini penting agar, khususnya, konteks perjuangan Habib Rizieq dipetakan kembali sebagai \"civil society\", yang berbasis Islam. Bukan sebuah gerakan fanatisme buta, seperti yang distigmakan selama ini. Perlu ditambahkan pula, kehadiran dan pesan Menteri Luar Negeri Amerika, dalam pidatonya seminggu lalu di Universitas Indonesia, sangatlah jelas, bahwa Amerika akan bersekutu baik dalam hubungan antara negara maupun antar masyarakat, sepanjang usaha untuk membangun kehidupan masyarakat yang adil, bebas, demokrasi dan peduli lingkungan hidup di Indo-Pasifik. Habib Rizieq harus memanfaatkan pesan Ilhan Omar dan Blinken ini, agar kehadiran dia sebagai tokoh Islam bukan hanya keluar dari benturan tuduhan radikal, tapi bisa menjadikannya sebagai tokoh Islam kelas dunia. Pemanfaatan momentum ini bukan berarti tunduk pada reorientasi politik Amerika terhadap Islam. Memanfaatkan adalah sebuah strategi saja. Karena baru kali ini ada peluang mencairkan hubungan Islam dan barat, khususnya Islam ala Habib Rizieq. Baru kali ini pula seorang wanita berdarah Yaman dari ibunya, Ilhan Omar, berhasil mempengaruhi seluruh Amerika tentang redefinisi terorisme. (*)
Kebangsaan dan Kebhinekaan
Mengangkat tema Kebangsaan dan Kebinekaan adalah cara Wahdah Islamiyah mensyukuri proses kebangsaan dan kebersamaan sebagai anugerah. Oleh: Tamsil Linrung, Ketua Kelompok DPD RI di MPR RI KEBANGSAAN dan kebhinekaan. Dua kata yang disodorkan panitia pelaksana Muktamar IV Wahdah Islamiyah sebagai tema diskusi kita ini memang harus terus digaungkan. Argumen di belakangnya adalah tentang kesatuan dalam keberagaman, keutuhan negeri, dan semangat nasionalisme. Sejak jaman kemerdekaan, slogan-slogan kebangsaan, kebhinekaan, dan sejenisnya tak pernah kering menyertai perjalanan sejarah bangsa. Namun, hari-hari belakangan penggunaannya terasa semakin lentur. Satu saat slogan-slogan itu dipidatokan dengan mulia sebagai identitas keindonesiaan sekaligus cara kita merawat negeri, namun di saat yang bersamaan slogan yang sama dipakai membungkam kelompok yang dipandang berseberangan. Kita merasakan, misalnya, pekik slogan “NKRI harga mati” hari-hari belakangan seolah menjadi milik kelompok tertentu. Slogan ini tidak hanya digunakan untuk menonjolkan kelompoknya, tapi juga dijadikan senjata mendiskreditkan kelompok lainnya. Begitulah, politik identitas bisa dilekatkan pada apa saja, ya suku, agama, ras, atau bahkan mengakumulasi slogan-slogan kebangsaan secara karet. Seseorang bisa menuding kelompok lain menggunakan politik identitas, sementara di saat yang bersamaan, yang bersangkutan sendiri justru melakukannya dengan mengkapitalisasi dan menempatkan slogan kebangsaan secara keliru. Indikasinya sederhana. Slogan-slogan kebangsaan seringkali lalu lalang di linimasa media sosial. Slogan ini acapkalai dipakai untuk mempertentangkan isu agama atau (tuduhan) politik identitas berbasis agama dengan isu budaya atau nasionalisme. Ada kesan kedua isu ini tak akur. Padahal, sebaliknya, mereka yang mendalami agama dapat dipastikan mencintai negerinya sepenuh hati karena agama mengajarkan hal tersebut. Sebaliknya, mengaplikasi Pancasila sebagai pedoman hidup bangsa tentu melaksanakan sila pertama dengan baik. Namun, pertentangan demi pertentangan seolah-olah dibiarkan tumbuh dan berkembang liar. Ada indikasi malah dirawat oleh jawara-jawara politik untuk kepentingan tertentu. Indikasi ini muncul bila melihat keberadaan buzzer yang demikian bebas mengumbar ujaran kebencian. Jelas, situasi ini berbahaya bagi proses berbangsa dan berbhineka kita. Mengapa berbahaya? Pertama, perbincangan di media sosial berpotensi mengonstruksi pemahaman publik terhadap tema tertentu. Kita tahu, media sosial tidak hanya menggeser peran media konvensional sebagai sumber informasi, tetapi juga menjadi wahana interaktif para netizen. Bila slogan-slogan (baik kebangsaan, agama, budaya atau slogan apapun) diklaim dan dipersepsikan keliru, maka pelan tapi pasti akan memunculkan persepsi publik yang keliru pula. Kedua, membiarkan perseturuan terus bertumbuh membuat fokus kita terhadap persoalan riil bangsa menjadi buyar. Debat yang hanya menghasilkan kegaduhan umumnya mengalihkan perhatian, di tengah utang yang menumpuk, pembangunan infrastruktur tidak tepat sasaran, penegakan hukum yang tidak berkeadilan, ekonomi yang semakin sulit, kesenjangan yang melebar, oligarki yang semakin menjadi-jadi, dan kohesivitas sosial semakin merenggang. Sebagai bangsa, kita semakin rapuh. Setiap orang atau kelompok tampak semakin agresif memperlihatkan posisi politiknya. Perbedaan pendapat atau pilihan politik semakin menajamkan polarisasi. Anak bangsa asyik saling menyalahkan sementara negara luar tak henti mengintai Indonesia dengan aneka kepentingannya. Demokrasi meniscayakan perbedaan pendapat. Tetapi politik telah merusak cara bangsa ini berbeda pendapat. Nafsu mengambil alih kuasa atau mempertahankan kekuasaan telah mengkapitalisasi publik untuk terus berseberangan, sementara insting memburu rente sejumlah oknum tak surut di tengah situasi sulit pandemic Covid-19. Tujuh tahun belakangan kita hidup dalam situasi mengkhawatirkan. Terasa sekali, bangsa semakin rapuh. Kita berdoa segera terjadi perubahan mendasar. Perlu kerja keras bersama, apalagi isu Pemilu 2024 mulai menghangat. *** Indonesia butuh keteladanan. Tetapi, pada bagian ini pula bumi pertiwi kering. Pidato-pidato kebangsaan dilakukan di sana-sini, namun di waktu yang sama nilai-nilai kebangsaan dibiarkan terinjak oleh saling hasut, saling lapor, hukum yang tidak adil, demokrasi yang terkangkangi, dan seterusnya. Sejatinya, keteladanan harus dimunculkan oleh semua pihak, terutama oleh pemimpin dan para tokoh bangsa. Kebijakan-kebijakan yang dihasilkan harus berkeadilan sosial. Namun, terlalu banyak contoh yang membuat kita harus kecele. Urusan kerumunan di tengah pandemi misalnya. Tidak sedikit warga negara diseret ke ranah hukum karena soal kerumunan. Namun, hal yang sama sepertinya tidak berlaku untuk semua orang. Bahkan Presiden Jokowi sendiri diduga telah menimbulkan kerumunan di beberapa tempat. Pun ketika anak dan mantu presiden mencalonkan diri. Atau ketika sejumlah Menteri berbisnis PCR. Salahkah? Tidak. Tetapi secara etika ada yang janggal di sana. Secara etika, itu tidak bijak dan tidak menunjukkan keteladanan yang baik. Ini sama halnya dengan memberikan hadiah ke rakyat dengan cara melempar. Tidak melanggar hukum, namun juga tidak etis. Negeri tanpa sosok teladan mengindikasikan adanya krisis kepemimpinan yang akut. Padahal, negeri ini bukannya tidak punya (calon) pemimpin teladan. Kita punya banyak stok. Namun, banyak hal yang membuat mereka tidak muncul ke permukaan. Salah satunya disebabkan oleh sistem dan cara kita meramu aturan dalam memilih pemimpin, khususnya pemimpin nasional. Untuk maju menjadi presiden, seorang kandidat harus melalui partai. Sedangkan untuk mengusung satu pasang kandidat Capres dan Cawapres, partai politik harus memenuhi ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold (PT) sebesar 20 persen. Artinya, Parpol dapat mengajukan Capres-Cawapres jika memperoleh 20% kursi di DPR atau 25% dari suara sah nasional pada Pemilu DPR sebelumnya. Syarat itu sangat berat. Saking beratnya, sampai-sampai tak ada Parpol yang saat ini mampu mengusung pasangan kandidat presiden secara mandiri. PDIP sebagai fraksi terbesar di DPR saja hanya berjumlah 128 kursi atau 19,33 persen. Jadi, apapun parpolnya, harus membentuk koalisi atau gabungan parpol. Namun, masalahnya bukan di sana. Masalahnya presidential threshold membuka peluang bagi elit politik tanah air untuk mengatur siapa yang bakal bertarung dalam pemilihan presiden. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan untuk menciptakan calon tunggal. Soal atur-mengatur ini, Fahri Hamzah pernah menyindir lewat cuitannya. \"PT 20 persen mempermudah elite mengatur sandiwara pemilu, supaya siapa pun yang menang ya dia-dia juga. Rakyat berantem beneran. Sampai sekarang belum kelar. Sementara dia berantem pura-pura ternyata\". Jika oligarki dapat menentukan kandidat capres-cawapres melalui PT, maka itu berarti calon pemimpin yang benar-benar unggulan berpotensi tidak mendapat tiket sehingga tidak muncul ke permukaan. Musababnya bisa banyak hal. Ya fulus, kedekatan politik, dan sebagainya. Manfaat dan mudharat PT itu telah banyak dianalisa dan telah menjadi diskursus berpuluh tahun, sehingga dengan mudah kita temui di media massa. Saya sendiri telah beberapa kali menulis soal ini. Kini, yang mendesak dilakukan adalah mencari jalan keluar. Secara hukum, menggugat ke MK adalah solusi paling popular. Namun, ada solusi lain bila Presiden menginginkan. Presiden bisa berinisiatif menerbitkan Perppu, sebagaimana tuntutan Ketua Dewan Kehormatan petinggi Partai Demokrat Hinca Panjaitan. Memang, dilemanya cukup ruwet. Perppu menuntut “kegentingan yang memaksa” sehingga debat soal indikator situasi genting dipastikan akan alot. Lagi pula, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri sering menyatakan bahwa Jokowi adalah petugas partai. Sementara PDIP sendiri menolak dihapuskannya presidential threshold. Kolega saya di Badan Pengkajian MPR RI politisi senior PDIP Hendrawan Supratikno bahkan memandang angka ambang batas pencalonan presiden idealnya 30 persen, lebih tinggi 10 persen dari yang berlaku saat ini. Bila Perppu tidak memungkinkan, solusi lainnya bisa diinisiasi DPR. Namun, agaknya sulit berharap lebih ketika PT telah membuai dan membuat nyaman partai-partai besar. Saking sulitnya, Anggota DPR sendiri bahkan menyerukan agar masyarakat sipil, pers, hingga mahasiswa ramai-ramai mengepung senayan. Seruan ini diajukan oleh Fadli Zon. Kita tentu tidak ingin negeri ini gaduh berkepanjangan. Tetapi, bisa dipastikan pula bahwa kita juga tidak ingin membiarkan aturan yang nyata-nyata mengangkangi demokrasi menjadi kenikmatan segelintir kelompok, dan di saat yang sama menginjak-injak hak warga negara lain. Konstitusi menjamin setiap warga negara berhak dipilih dan memilih, serta bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan. Lalu apa solusinya? Mantan Pimpinan DPD Laode Ida beberapa saat lalu menuliskan gagasan jalan tengah di salah satu media. Menurut Laode, aspirasi PT tidak realistis bila dikaitkan dengan representasi politik di Indonesia. Mengapa? Karena Parpol yang tidak memiliki kursi di parlemen dipandang tidak legitimat mengusung pasangan calon presiden. Laode lalu mengusulkan agar, pertama, parpol yang masuk parliamentary threshold otomatis sudah memiliki legitimasi hukum dan legitimasi rakyat untuk mengusung Capres. Kedua, dengan melihat basis dukungan fraksi di MPR yang berarti DPD sebagai salah satu fraksi di MPR pantas dan legitimat untuk mengusung Capres/Cawapres. Bahkan sebagai Fraksi terbesar di MPR RI. Gagasan itu cukup rasional dan menarik didiskusikan. Namun, semakin aspiratif penyelenggaraan pemilu, tentu akan semakin berkualitas. Oleh karena itu, perlu upaya membuka saluran seluas-luasnya bagi partisipasi anak bangsa yang merasa punya kemampuan memimpin negeri. Dalam perspektif itu, selain opsi Capres/Cawapres dari fraksi-fraksi di MPR (DPR dan DPD), layak dipertimbangkan opsi tambahan ketiga yakni Capres/Cawapres Independen. Capres Independen memungkinkan warga bangsa yang merasa siap dan mampu memimpin negeri mendapatkan salurannya. Hal-hal teknis menyangkut kualifikasi, syarat, dan ketentuannya bisa dibicarakan dan diperketat melalui aturan perundangan. Bobotnya tentu harus sebanding dengan mereka yang maju melalui fraksi di MPR. Capres independen meluaskan partisipasi politik rakyat dalam Pemilu. Capres independent bukan hal tabu, sebab dalam pemilihan kepala daerah, keabsahan calon kepala daerah independen telah kita sepakati. Lalu, kenapa tidak untuk kontestasi kepemimpinan nasional? Bukankah substansinya sama? Oleh karena itu, kita membutuhkan dukungan rakyat agar perluasan rekrutmen calon pemimpin nasional dapat dilakukan. Proses kebangsaan dan kebhinekaan dapat kita perkuat salah satunya dengan memilih pemimpin terbaik.