80 Tahun Bakrie Group ‘Harta Karun’ Keluarga Bakrie

Perjalanan almarhum H. Achmad Bakrie sejak membuka perusahaan “Bakrie & Brothers General Merchant And Commision Agent” di Telukbetung, Lampung pada 1942 hingga akhir hayatnya (wafat 15 Februari 1988, dalam usia 71) memperlihatkan kemampuannya bertahan pada lintasan sejarah dan politik yang berliku-liku. Begitu pun dengan penerusnya.

Oleh Rahmi Aries Nova, Jurnalis FNN

KEMAMPUAN dan ketangguhan Bakrie Group bertahan dan merayakan ulang tahunnya ke-80 pada Kamis (10 Februari) memang luar biasa. Tak banyak perusahaan pribumi (begitu orang biasa mengidentifikasikannya) yang bisa bertahan, bahkan membesar seperti Bakrie Group.

Bukan hanya ‘dihimpit’ oleh perusahaan non pribumi (sebutan perusahaan milik taipan/keturunan) tapi mereka juga harus menghadapi gelombang krisis moneter dan yang paling fenomenal adalah tragedi lumpur Lapindo yang pada 29 Mei 2006 atau16 tahun lalu.

Hebatnya Group ini selalu bisa keluar dari situasi yang bahkan sangat tidak menguntungkan, termasuk memenangkan ‘perang’ melawan pengusaha ‘kelas dunia’ Rothschild pada 2014.

Saat lumpur Lapindo di Sidoarjo disebut akan terus menyembur hingga 30 tahun ke depan, banyak yang meramalkan Bakrie akan ‘habis’, terlebih harga-harga saham mereka di bursa pun melorot ke titik terendah. Ternyata ramalan itu tidak terbukti. Bakrie Group mampu bertahan bahkan melahirkan penerus-penerus generasi ketiga yang siap menggantikan orang-orang tua mereka Aburizal Bakrie, Nirwan Dermawan Bakrie dan Indra Bakrie.

Pada Kamis, 27 Maret 2014 bahkan Harian Tempo menurunkan berita dengan judul: 5 Kekalahan Pemerintah atas Lapindo Brantas.

Pertama karena Sidang Paripurna DPR pada September 2009 menetapkan penyebab semburan Lapindo adalah bencana alam, bukan kesalahan manusia.

Kedua Presiden meneken Peraturan Presiden Nomer 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Dengan dibentuknya BPLS maka seluruh penanganan dampak semburan diambil dari dana APBN. Lapindo Brantas hanya mengurusi ganti rugi peta terdampak.

Alokasi APBN untuk menangani Lapindo dari 2007 sampai 2012 mencapai Rp 6,4 triliun. Sedangkan Aburizal Bakrie mengaku sampai April 2012 sudah mengeluarkan lebih dari Rp 9 triliun.

Ketiga, berbagai upaya untuk menggugat Lapindo Brantas ke ranah hukum gagal total. Terakhir Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi yang diajukan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) terkait dengan penanganan lumpur Lapindo.

Keempat kewajiban ganti rugi Rp 3,831 triliun, baru dibayar Rp 2,910 trilun. Sisanya sebesar Rp 920, 5 miliar belum jelas. Belakangan kekurangan inilah yang ditalangi oleh pemerintah sebesar Rp 773,38 miliar dan kini menjadi hampir Rp 2 triliun karena denda dan bunga.

Dan terakhir, kelima menyangkut penanganan pusat semburan yang sudah bergeser 300 meter pada Agustus 2009 diambil alih oleh pemerintah, tapi itu hanya bertahan hingga Juli 2010, pemerintah menyerah dan memutuskan untuk menyetop penghentian semburan. Akhirnya lumpur di alirkan ke laut melalui Sungai Porong. 

Analisis Journal of  the Geological Society seperti dikutip Tempo menyebut lumpur baru akan berhenti pada 2037. Suatu yang tidak terbayangkan bahkan mungkin mengerikan.

“Pada saat itu yang ada di kepala ini hanya meminta petunjuk ibunda,” kenang Nirwan Bakrie saat  FNN bertanya apa yang ada di benaknya kala itu.

Nirwan mengatakan pembayaran ganti rugi kepada korban adalah pesan dari almarhumah ibunya, Roosniah Bakrie.

“Saya ingat pesan almarhumah, bagaimanapun juga kalian harus bayar,” kata Nirwan di Kantor Kementrian PU dan Perumahan Rakyat pada Jumat, 10 Juli 2015, seperti dikutip detik.com.

Memang Almarhumah Roosniah Bakrie (wafat pada 20 Maret 2012 dalam usia 85) lah yang meminta kepada anak-anaknya untuk membeli (ganti untung) rumah-rumah korban lumpur meski Mahkamah Agung menyatakan Lapindo tidak bersalah.

“Anak-anakku, kalian rizkinya besar, belilah rumah-rumah mereka (korban Lapindo). Bantulah mereka,” ingat Aburizal yang ia anggap sebagai titah sang ibu, seperti tertulis dalam “Anak Sejuta Bintang”, novel karya Akmal N Basral.

Dan kini ternyata di dalam lumpur tersebut ditemukan potensi ‘harta karun’ yang nilainya sangat tinggi. Setelah Badan Geologi Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan potensi kandungan logam tanah jarang atau rare earth element (LTJ) di kawasan yang dahulu adalah wilayah bencana. 

Logam itu sangat penting dan memiliki harga yang cukup tinggi karena digunakan untuk teknologi tinggi.

“Logam tanah jarang ini sangat penting kaitannya pada beberapa bidang tertentu seperti bidang meteorologi untuk pembuatan pesawat luar angkasa, lampu energi tinggi, dan semi konduktor. Sehingga logam tersebut sangat mahal, bahkan jauh lebih mahal dibandingkan emas dan platina,” ungkap Dosen Kimia Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga Dr. rer. Nat. Ganden Supriyanto M.Sc seperti dikutip bisnis.com.

Selain LTJ lumpur Lapindo juga terindikasi mengandung logam raw critical material yang jumlahnya lebih besar dari LTJ.

Penelitian yang dilakukan sejak 2020 juga menemukan adanya potensi mineral berharga berupa Lithium (Li) dan Stronsium (Sr) dalam kandungan lumpur Lapindo.

Lithium dapat diolah menjadi bahan baku baterai. Kendaraan listrik maupun baterai untuk pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT) seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).

Nirwan sendiri menanggapi santai temuan Badan Geologi ESDM tersebut. Menurutnya masih butuh pemboran dan penelitian lagi untuk memastikannya. Kalau pun ‘harta karun’ itu ada ia berharap itu adalah berkah untuk semua. “Ya semoga jadi berkah untuk semua,” cetusnya ringan.

Yang pasti sejak dulu dalam keluarga Bakrie sendiri ada sesuatu yang lebih berharga dari ‘harta karun’ dan kebesaran perusahaan, yaitu kebersamaan dan keakraban dalam keluarga besar mereka dalam suka dan duka.

Saat Roosniah masih ada ia mewajibkan anak cucunya berkumpul untuk sarapan bersama di akhir pekan di rumahnya, suatu yang sangat jarang dilakukan oleh keluarga-keluarga super sibuk di ibukota. Anindya Bakrie bersama adik dan sepupunya tumbuh bersama dalam kehangatan keluarga besar mereka.

Sungguh sebuah tradisi yang harus dijaga oleh generasi penerus keluarga Bakrie karena itulah ‘harta karun’ yang sesungguhnya. (*)

626

Related Post