OPINI
Bib Bahar, Sampeyan Itu Terlalu Lelaki
Oleh Ady Amar, Kolumnis SEPERTI melawan kemustahilan dan ia lagi-lagi jatuh pada hal yang sama. Jatuh yang pasti ia sadari, yang justru ia pilih. Itu setidaknya gambaran yang dihadirkan Habib Bahar bin Smith. Seseorang yang memilih takdirnya di penjara. Ia bisa diibaratkan seseorang dengan saraf takut yang sudah putus. Bahkan sudah putus saat ia masih jadi orok. Itu setidaknya narasi menggambarkannya. Atau untuk menyebut manusia yang tidak merasa perlu takut pada apapun yang nantinya akan merepotkannya. Badannya kurus kering. Tubuh pun relatif pendek, tidak terlalu tinggi. Dan dengan rambut gondrong pirang berjurai lebih dari sepundak, ia lebih pantas dilihat bak penyanyi rock. Melihat sosoknya tidak ada seram-seramnya sebagai orang nekat. Tapi khusus untuknya, kenekatan itu sepertinya tidak perlu tampak sebagai gambaran orang nekat, yang tampil dengan badan gempal dan muka seram. Nada suaranya khas berat seksi. Ia memang asli putra Menado, yang berguru ilmu agama di tanah Jawa. Mendirikan pondok yang masuk di wilayah Kabupaten Bogor. Entah berapa banyak santrinya. Dan tidak tahu pula ia mengajar agama pada bidang apa. Nama pondok pesantrennya Tajul Alawiyyin. Habib Bahar bin Smith semalam jadi tahanan Polda Jawa Barat. Ia ditahan karena kasus ujaran kebencian. Pasal ujaran kebencian ini bisa ditarik kesana kemari, sesuai yang dikehendaki. Itu yang mengena pada Habib Bahar. Mestinya ia bisa menghindar dari persangkaan ujaran kebencian, jika ia menyadari bahwa setiap perkataannya yang diunggah di video dan viral itu punya konsekuensi menjeratnya. Tapi ya itu tadi, ia seolah berakrab dengan persoalan yang lalu membuatnya meringkuk dalam tahanan. Orang lain coba menghindar, tapi tidak dengannya yang seolah tidak hendak bergeser dari apa yang diyakini. Dan karenanya, disuarakan dengan tanpa tedheng aling-aling. Maka mendengarkan ceramahnya, seolah melihat orang sedang marah-marah. Memang ia marah melihat hal tidak sebenarnya dan lalu disampaikan dengan gayanya. Tidak sebagaimana orang lain, yang bisa memilih dengan narasi lebih halus dan dengan intonasi datar-datar saja. Tidak Gentar Saat Kasad Jenderal Dudung Abduracman mengatakan, \"Tuhan Kita Bukan Orang Arab\". Muncul banyak yang mengoreksi pernyataan absurd itu. Tuhan kok diserupakan dengan makhluk. Tidak terkecuali Bahar yang mengkritik keras. Diunggah di video dan viral. Sampai harus Brigjen Achmad Fauzi mendatanginya di pondoknya, dan terjadilah perdebatan seru keduanya. Habib Bahar tampak tegar tidak sedikitpun ada rasa gentar. Video perdebatan keduanya itu pun viral. Beberapa televisi berita pun menampilkan perdebatan itu. Orang lalu mengatakan, bahwa kedatangan Brigjen Achmad Fauzi dengan beberapa anak buahnya semestinya hal tidak perlu. Ada nada ancaman yang disampaikannya, yang disambut dengan jawaban Bahar dengan tegar pula. Nyali lelaki tidak biasa. Adegan perdebatan itu tidak perlu ada jika TNI dalam hal ini AD, tidak mendatanginya, meski menurut Brigjen Achmad Fauzi, itu ada di wilayahnya. Tapi bukan ranah TNI, itu ranah Kepolisian. Tapi ya itu tadi, sepertinya tidak suka seorang Bahar mengoreksi atasannya, Jenderal Dudung Abdurachman, ia jadi abai masuk pada yang bukan tupoksinya. Bahar tampak dominan dalam perdebatan itu, yang tetap dengan suara lantang dengan sesekali telunjuk tangannya dimainkan ke sana kemari. Siang kemarin Bahar mendatangi di Polda Jawa Barat, diperiksa dan ditahan. Bisa jadi \"sudah\" ditemukan alat bukti memberatkan. Harusnya hal demikian tidak perlu harus sampai ditahan segala. \"Harusnya Bantah pendapat dengan pendapat, bukan dengan dikriminalisasikan\". Setidaknya itu pandangan Refly Harun, pakar Hukum Tatanegara, yang juga aktif sebagai pegiat media. Habib Bahar bin Smith sudah ditahan, dan itu pilihannya, meski itu jadi pilihan tidak mengenakkan dalam mengawali tahun 2022. Manusia satu ini sulit bisa dihentikan, ia sudah memilih jalannya sendiri. Jalan yang tidak biasa. Jalan yang mesti dihindari, anehnya ia tetap enjoy memasukinya. Bib Bahar, sampeyan itu terlalu lelaki... (*)
Bertemu Mantan Murid Muallaf
Lalu menurutnya lagi dia ingin mencari sesuatu yang ketika itu dia sendiri tidak tahu. Hanya ingin sesuatu untuk meringankan bebannya. Lalu ketemulah alamat Islamic Center yang juga dikenal sebagai the 96th street mosque itu. Oleh: Imam Shamsi Ali, Muslim Chaplain at Bellevue Hospital SALAH satu kegiatan harian saya di kota New York saat ini adalah Chaplain di hospital, khususnya di rumah sakit Bellevue. Layanan ini biasa juga disebut dengan “Spiritual Care” (pelayanan spiritual). Khusus di hari Senin saya telah meminta kelonggaran untuk masuk siang. Berselang saya masuk kantor pagi ini tiba-tiba saja saya mendapat sms (pesan singkat) dari salah seorang petugas chaplaincy (spiritual care) di Palliative Care Department. Palliative care adalah bagian khusus yang menangani pasien yang dianggap tidak lagi tersembuhkan. Pada umumnya untuk sekedar meringankan sakit dan beban pasien secara umum. “Hey Imam. This is Bob. Can you come to Palliative care office if you have a minute?”, bunyi pesan itu. Bob adalah staf Chaplain yang khusus ditugasi menangani pasien di Palliative Department. Seorang pastor beraliran Kristen Orthodoks. Tapi Bob sendiri adalah warga negara Amerika keturunan India. “Hey Bob. Will be with you soon. Is there any urgency?”, tanya saya. “No. It’s a non urgent request,” jawabnya. “Will be there in 15 minutes,” kata saya singkat. “Wonderful. See you then,” respon Bob. Sekitar 10 menit kemudian saya naik ke lantai 17 South di rumah sakit Bellevue. Di salah satu ruangan itulah kantor para petugas Palliative yang cukup serius. Saya mengetuk pintu dan Bob pun membuka pintu. “Thank you Shamsi,” katanya berterima kasih karena saya datang ke kantornya. “Any time Bob,” jawab saya. Bob pun mempersilakan saya masuk lalu memanggil seseorang. Saya mendengar nama itu dengan jelas: “Annette” (dibaca Annet). Dari dalam sebuah kamar keluarlah seorang wanita baya, nampak orang putih (bule). Dan dengan sangat ramah menyambut saya seperti kenal dekat dan bahagia ketemu. Saya sendiri tidak mengenalnya. Atau mungkin lupa siapa gerangan wanita itu. Yang saya kenal hanya bernama Dr. Annette ….. (saya tidak tuliskan last name untuk privacy) dari mana yang tertulis di baju Dokter yang dia pakai. “Hey Shamsi. Do you remember me?” tanyanya seolah ingin menjabat bahkan ingin memeluk saya. Tapi karena Covid dan tentunya dia tahu tidak mungkin, diapun hanya memperlihatkan “gesture” tubuh dengan sangat ramah. Belum saya sempat menjawab, dia meneruskan: “I don’t think you remember or even you know me”. Saya hanya diam mencoba merenungi siapa gerangan wanita itu? Selain saya tidak ingat, wajahnya juga sepenuhnya saya tidak lihat karena memakai masker. Dia kembali melanjutkan: “I am Annette. Annette G….(dia menyebut nama lengkapnya). I used to attend your class at the 96th street mosque back in 2004 or 2005.” “Oh my God. Truly sorry Annette. I really completely forgot,” jawab saya berpura-pura ingat. Padahal saya memang sudah lupa. “It’s fine Shamsi. But I am so happy to get connected with you,” katanya. Dia kemudian menyampaian terima kasih: “I really thank you. You did change my life. And now I am here with you in the same place.” Saya sebenarnya agak bingung apa maksudnya. Khususnya ketika mengatakan: “you did change my life”. Annette pun mengajak saya duduk di ruang Konferensi (conference room) agar tidak mengganggu petugas lainnya. Annette pun bercerita bahwa ada masa ketika itu, sebelum mengikuti kelas Muallaf saya, dia selalu stress bahkan hampir mencapai situasi keputus-asaan. Saya sendiri lupa, apalagi mungkin wajahnya semakin menua karena memang telah sangat lama. Tapi dia sendiri menurutnya tidak pernah melupakan saya dan kelas yang pernah dia ikuti. Waktu itu saya Imam di Islamic Center of New York. Dan saya membuka kelas khusus Muallaf bernama Islamic Forum for non Muslim. “Sorry Annetted, did you become a Muslim?” Tanya saya dengan pelan agar tidak didengar siapa-siapa. “No. I did not. But I love Islam,” jawabnya singkat. “Oh it’s fine. But we have a mosque down on first floor. You may want to join our Friday service one day,” saya ajak dia ke Jumatan biar bisa dengar khutbah. “Surely one day I will,” jawabnya. Dia kembali dengan penuh semangat bercerita, seolah memutar ulang memori dia di sekitar tahun 2004 itu. “I was deeply stressful” (saya sangat stress ketika itu). Lalu menurutnya lagi dia ingin mencari sesuatu yang ketika itu dia sendiri tidak tahu. Hanya ingin sesuatu untuk meringankan bebannya. Lalu ketemulah alamat Islamic Center yang juga dikenal sebagai the 96th street mosque itu. “I really like the way you handled each of your student. You paid attention to each one of them,” katanya tentang kelas Muallaf waktu itu. “Oh thank you,” jawab saya singkat. “And you know what? I am here now. When I left your class I was back to my school. I took medicine…and now I am doctor,” katanya penuh semangat. “Annette, I am happy for you. But I am happier to meet you again,” kata saya. Kami pun harus mengakhiri pertemuan itu. Sekali lagi Anette nampak sangat gembira dengan pertemuan itu. “I am so happy to reconnect.” Tak lupa dia mengambil nomor cell saya. Dan sesaat setelah berpisah saya menerima pesan singkat dari nomor yang belum terdaftar di HP saya. Isinya: “Hi Shamsi Ali. This is Annette G. from Palliative Care. Such a pleasure to re-meet you!!! Look forward to seeing you again and working with you at Bellevue.” Saya harus kembali ke masjid karena waktu Zhuhur telah tiba. Di saat sholat saya menyampaikan rasa syukur kepada Allah bahwa apa yang pernah kita lakukan atau ucapkan hampir 16 tahun lalu ternyata merubah hidup seseorang. Annette G yang ketika itu stress dan hampir putus asa karena keadaan, tersadarkan dengan motivasi Islam. Saya yakin ketika itu saya memotivasi dia untuk tetap kuat, bersemangat menghadapi apapun tantangan dalam hidup. Di akhir sholat siang tadi saya doakan secara khusus semoga pertemuan ulang (re-meeting) ini menjadi jalan hidayah bagi Annette. Karena saya sangat yakin, memberi hidaya itu memang adalah hak prerogatif Allah SWT. Saya hanya penyebab semata. Semoga…. Mohon doa untuk Annette! Bellevue Hospital NYC, 3 Des 2021. (*)
Gerindra Takut Capres Anies
Oleh M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan DARI getaran politik ungkapan kader Gerindra DKI Jakarta M. Taufik mengindikasi adanya rasa kekhawatiran Anies Baswedan bakal maju sebagai Capres. Tentu menjadi ancaman serius bagi tokoh \"old crack\" Prabowo. Pandangannya yang menegasi menjadi sinyal. Taufik menyatakan Anies lebih cocok menjadi Calon Gubernur DKI. Anies Baswedan tidak cocok maju sebagai Capres karena tidak punya kendaraan partai politik. Capres harus berbasis threshold, begitu menurutnya. Rupanya Taufik melihat dengan kacamata kini. Lupa bahwa Pilpres itu tahun 2024 yang memungkinkan munculnya partai-partai yang akan mendukung Anies Baswedan. Taufik sendiri mengakui bahwa Anies memiliki elektabilitas tinggi. Prabowo yang digadang-gadang Gerindra untuk Capres 2O24 tentu khawatir, mungkin juga takut, jika harus berhadapan dengan Anies Baswedan. Elektabilitas tinggi Prabowo hasil survei diragukan di tengah banyaknya lembaga survei abal-abal, bayaran, dan bermisi politik jangka pendek. Prabowo potensial menjadi korban dari permainan lembaga survei. Bung Taufik, soal threshold Gerindra juga tidak memenuhi syarat karena minus dari 20 persen. Hanya PDIP yang cukup. Pasangan Prabowo-Puan pun belum pasti karena fenomena Ganjar bisa mengubah konstelasi. Jangan-jangan saat pencalonan esok Gerindra ditinggal. Malah dukungan partai kepada Anies menjadi lebih dari cukup, nah lho. Proses politik itu serba mungkin, bisa terjadi : Pertama, Presidential Treshold menjadi 0 % hingga calon-calon baru berpeluang apakah Gatot Nurmantyo, Rizal Ramli, Mattalitti, atau lainnya. Jika turun saja angka Threshold maka kompetisi sudah cukup seru. Kedua, jika dengan tetap Presidential Threshold 20 % lalu memunculkan polarisasi calon pada dua pasangan misal pasangan Anies versus pasangan Ganjar, maka Gerindra terpaksa harus berhitung untuk berada pada pasangan mana. Prabowo sendiri sudah lebih dini out. Ketiga, politik bergerak tak terduga sehingga perubahan politik terjadi lebih cepat, sebelum 2024, maka format politik baru akan terbentuk. Semua canangan Pilpres 2024 dipastikan berubah total. Ada \"new political configurations\". Jadi desakan Taufik agar Anies bersiap saja untuk menjadi Gubernur DKI sangat prematur, tendensius dan tidak rasional. Dalam kondisi normal Pilkada dilaksanakan setelah Pilpres. Calon potensial Presiden akan bertarung dahulu dalam Pilpres. Bagi Anies Baswedan terbuka pilihan yang lebih beragam. Getar politiknya Gerindra khawatir pada figur Anies Baswedan. Siapapun yang Gerindra calonkan bila kelak berhadapan dengan Anies sulit untuk memenangkannya. Bukan mustahil dalam Pilpres nanti M.Taufik justru menjadi Timses dari pemenangan Anies untuk Presiden. Jokowi dulu awalnya tidak punya partai politik akan tetapi akhirnya dikeroyok dukungan oleh banyak partai. Partai politik kita memang lemah dalam menjaga konsistensi sehingga mudah tergeser oleh godaan transaksi. Nah bung Taufik, sabar dulu ya. Pak Prabowo juga belum pasti karena dukungan juga mungkin minim. Ini bukan 2024. (*)
Bahaya Sekterianisme/Pengelompokan
Realita ini sesungguhnya digambarkan dalam Al-Quran: “Dan taatilah Allah dan rasulNya. Dan janganlah kamu berselisih (berpecah) yang menyebabkan kamu gagal dan kekuatanmu hilang” (Al-Anfal: 46). Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation DALAM sebuah ceramahnya yang sangat menggugah, Sheikh Hamzah Yusuf, salah seorang prominent Imam (Imam Besar) di Amerika Serika mengutip sebuah pernyataan Ali bin Abi Thalib sebagai berikut: “Being with the group with its impurities is better than sectarianism with purifies” Pernyataan ini kira-kira dapat diterjemahkan bahwa “Bersama kelompok yang menyeluruh (besar) dengan segala kekurangannya itu lebih baik daripada menggabungkan diri dengan kelompok kecil yang (terkadang) merasa lebih suci”. Pernyataan Ali Karroma Allahu wajhahu (Semoga Allah memuliakannya) ini menjadi sangat krusial dan penting ketika tendensi perpecahan Umat semakin besar. Perpecahan (tafriiq) dan bukan ikhtilaf (perbedaan) tanpa diragukan lagi menjadi penyakit terbesar Umat masa kini. Perpecahan Umat yang nampak di hadapan mata kita itu menjadi sangat terasa ketika Umat ini bagaikan sepotong daging empuk yang diperebutkan oleh anjing-anjing yang kelaparan. Dan mungkin saja anjing-anjing itu telah berubah menjadi srigala yang berbulu domba. Atau juga menjelma bagaikan buaya-buaya liar yang terbiasa mengeluarkan airmata (buaya). Di mana-mana Umat ini menjadi sasaran empuk. Menjadi objek yang menarik untuk diperebutkan. Tidak tanggung-tanggung para buaya dan srigala liar itu rela bekerjasama demi memangsa sepotong daging yang empuk dan lezat itu. Di sisi lain perpecahan itu menjadikan Umat ini bagaikan onggokan gabus di tengah lautan luas. Terombang-ambing oleh pergerakan ombak seiring arah perjalanan angin. Tidak punya nilai (harga atau kehormatan) dan tidak punya posisi yang jelas. Realita ini sesungguhnya digambarkan dalam Al-Quran: “Dan taatilah Allah dan rasulNya. Dan janganlah kamu berselisih (berpecah) yang menyebabkan kamu gagal dan kekuatanmu hilang” (Al-Anfal: 46). Kata “tanaazu’” itu sendiri berasal dari kata “naza’a-yanza’u” yang artinya mencabut atau menarik sesuatu. Artinya kata tanaazu’ di sini bukan sekedar berselisih paham dalam arti berbeda pandangan. Tapi sebuah sikap yang memecah belah akibat perbedaan yang ada. Dan karenanya Islam tegas bahwa di satu sisi menghormati perbedaan/keragaman, termasuk perbedaan opini dalam banyak hal adalah hal biasa. Tapi tegas melarang tendensi memecah atau berpecah dari kelompok besar keumatan. Tentu kata “keumatan” ini dapat dipahami pada tingkatan yang berbeda. Ada keumatan pada tingkat global, tingkat nasional, dan juga pada tataran lokal (Komunitas). Secara global Umat ini dengan segala ragam perbedaan yang ada di dalamnya, termasuk perbedaan nasional kenegaraan (nation state), hendaknya tetap menjaga persatuan keumatan secara global. Semua anggota Umat terikat oleh satu ikatan ukhuwah imaniyah (innamal mu’minuuna ikhwah). Secara nasional juga demikian. Bangsa Indonesia dengan “Persatuan Indonesia” pada Pancasila sebagai falsafah negara hendaknya menjadi landasan bagi semua tetap berada dalam berisan kesatuan NKRI. Demikian halnya pada tataran lokal (Komunitas). Komunitas Muslim di mana saja harus memperhatikan kebersamaan besar (umum) ketimbang kecendeungan-kecenderungan kelompok yang menjadi benih-benih perpecahan di antara anggota Komunitas di lokalitas masing-masing. Dan kalau kita merujuk kembali ke surah Al-Anfal: 46 tadi, ketaatan seharusnya menjaga Umat ini dari perpecahan. Dengan sama-sama membangun ketaatan Umat itu akan tetap bersatu. Walau mungkin saja ada perbedaan-perbedaan penafsiran. Tapi sangat disayangkan justeru seringkali “atas nama ketaatan” terjadi sikap dan prilaku yang cenderung memecah belah dengan pengelompokan-pengelompokan (tafriiq yang melahirkan firqah). Biasanya sebagian besar anggota Komunitas yang ikut dalam pengelompokan (firqah) itu “innocent” (korban ketidak tahuan) saja. Mereka tidak tahu jika di balik pengelompokan itu ada pribadi-pribadi egoistik yang berkarakter sektarianis (sectarian). Penggerak atau motor dari pengelompokan itu seringkali dilakukan oleh pribadi-pribadi yang punya dorongan egoistik. Kelompok-kelompok yang ada biasanya jadi sarang persembunyian dari kekecewaan-kekecewaan karena hal-hal tertentu. Kalau di masa Rasulullah SAW ketika itu biasanya didorong oleh kemunafikan. Bahkan mereka mendirikan masjid untuk memecah belah Umat. Masjid mereka ini dikenal dengan “masjid Dhiror” atau “masjid yang membawa marabahaya”. Karenanya masjid yang didirikan karena dorongan kekecewaan dan balas dendam pada waktu itu adalah masjid dhiror yang terbangun oleh jiwa-jiwa kemunafikan. Semoga kecenderungan seperti ini dijauhkan dari kita semua. Amin! New York City, 3 Januari 2021. (*)
Tidak Anti Vaksin Tapi Pro Kebenaran
Rata-rata produk vaksin dijual kepada negara, dan menjadi pengeluaran negara, dan menjadi mandat dari Badan Kesehatan Dunia kepada setiap Pemerintah Negara yang menjadi anggotanya. Oleh: Dr. Tifauzia Tyassuma, President of Ahlina Institute, Penulis Buku Best Seller Body Revolution, Nutrisi Surgawi 7 Colors Garden DALAM dua tahun ini, saya menelusuri ratusan buku, yang khusus menulis tentang Anti-vax, dan ratusan buku tentang vaksinasi yang ditulis oleh orang-orang yang kemudian diberi label sebagai Antivaxxer sekaligus Pseudoscientist atau Ilmuwan Palsu. Mereka adalah para Ilmuwan, doktor, profesor, dokter, peneliti, yang bekerja di laboratorium, di pabrik farmasi, di dunia vaksinasi, yang memahami betul sejarah dan perkembangan vaksinasi, karena mereka adalah orang-orang yang betul-betul terlibat di dalamnya, merencanakan penemuannya, dan menjalankan pembuatannya. Mereka bukan orang-orang yang biasa-biasa saja. Mereka para ilmuwan yang betul-betul hebat di bidangnya. Bidang pembuatan vaksin. Mengapa mereka kemudian disebut Anti-Vaxxer atau Pseudoscientist? Apakah gelar mereka palsu? Apakah tulisan-tulisan hebat mereka dalam jurnal-jurnal ilmiah tidak bermutu? Apakah penelitian-penelitian yang mereka lakukan abal-abal? Tidak! Mereka disebut demikian, karena secara terbuka, membuka sejarah vaksinasi, termasuk sejarah kelamnya. Mereka menceritakan bagaimana cara pembuatan vaksin dengan detail, termasuk kandungan-kandungan di dalamnya. Mereka sampaikan bagaimana vaksin baru diujicobakan pertama kali dalam tubuh manusia, sebagai suatu Human Experimental, dan apa saja efek samping hingga efek mematikan yang terjadi selama puluhan tahun. Mereka secara terbuka juga menyampaikan, bisnis vaksin merupakan bisnis yang sangat menguntungkan selama dua ratus tahun, yang dinikmati segelintir orang saja. Rata-rata produk vaksin dijual kepada negara, dan menjadi pengeluaran negara, dan menjadi mandat dari Badan Kesehatan Dunia kepada setiap Pemerintah Negara yang menjadi anggotanya. Sehingga vaksin, tanpa perlu diberi biaya marketing yang besar, sudah memiliki marketnya sendiri, para bayi baru lahir, ibu hamil, pasangan mau menikah, orang-orang yang akan bepergian. Tak akan ada habis-habisnya itu tambang vaksin mengeluarkan raturan triliun tanpa perlu dikeruk dan dibor. Dan, para dokter selalu senang hati akan memasarkannya kepada pasien-pasien mereka dengan penuh semangat. Pro-Truth Dengan membaca ratusan buku dan ribuan jurnal (yang tidak usah saya sebutkan berapa ratus dan berapa ribu tepatnya. Kecepatan membaca buku in English, 500 halaman 90 menit dan non English 500 halaman 3 jam, dan membaca jurnal 20 jurnal per hari, silakan dihitung dikalikan 24 bulan). Membaca buku dan jurnal adalah pekerjaan utama saya sebagai penulis dan peneliti berbasis lieratur, termasuk observasi, pengamatan langsung di lapangan, adalah cara saya, dedikasi saya, menjadi seorang Pro-Truth. Vaksin, terlepas dari sejarah kelamnya, terlepas dari kandungan logam dan bahan haramnya, terlepas dari efek samping KIPVI (Kejadian Ikutan Paska Vaksinasi ) yang ringan maupun yang mematikan adalah produk kesehatan berbasis teknologi yang memberi manfaat tidak sedikit. Beberapa vaksin, mampu mengeradikasi sejumlah penyakit infeksi yang mematikan, semisal Variola (cacar), Polio, dan Diphteri, dan menurunkan risiko sejumlah penyakit lainnya, seperti BCG untuk TB, DPT untuk Pertusis dan Tetanus, dan Hepatitis. Sejumlah vaksin lainnya masih menunggu sejarahnya, apakah memang bermanfaat atau tidak. Sebab, vaksin Variola, vaksin Cacar, memerlukan waktu 200 tahun hingga Cacar menjadi lemah, tidak lagi mematikan, dinyatakan punah oleh WHO pada 1980. Tetapi belakangan Bill Gates dan WHO sendiri menyatakan, Variola akan bangkit sebagai Pandemi berikutnya, setelah Coronavirus. Jadi ya memang belum punah. Artinya, Virus Cacar masih bergentayangan di seluruh permukaan bumi, menunggu waktu untuk menjadi Pandemi. Vaksin Polio, memerlukan waktu 70 tahun, hingga membuat Polio tidak lagi mematikan, tidak lagi membuat lumpuh. Tetapi sampai dengan hari ini, tidak ada satupun negara ataupun lembaga yang bisa mengklaim bahwa Polio sudah punah di negaranya. Kasus polio masih banyak di negara-negara ketiga, termasuk Indonesia. Karena itu, ketika Vaksin Baru, yaitu Vaksin Coronavirus, memasuki masa Human Eksperimental-nya, dimulai pada awal 2021, sejumlah ahli, dokter dan ilmuwan yang hati nuraninya tak bisa berbohong, selama dua tahun ini menggunakan berbagai media untuk menyampaikan warning kepada umat manusia, melalui facebook, twitter, instagram, youtube, youmaker, buku, jurnal, video, yang beredar di seluruh dunia. Siapa yang getol memberikan mereka cap Anti-Vaxxer dan Pesudoscientist? Kalau Anda perhatikan, rata-rata mereka ini dokter-dokter atau spesialis yang baru lahir, sedang genit-genitnya pakai jas putih dan mondar-mandir kesana kemari dengan stetoskopnya. Doktor-doktor muda yang sedang semangat, seperti anak itik baru keluar dari cangkangnya. Sedang memuja gelarnya, dan sedang senang-senangnya menghujat orang lain. Dan, ilmuwan-ilmuwan muda yang sedang senang-senangnya namanya dimuat di jurnal berbasis Scopus. Yang bacaannya mungkin beberapa buku, dan beberapa jurnal. Dokter dan Peneliti yang seusia atau di atas saya, lebih banyak terpekur, diam, semoga juga sedang tafakur. Saya memilih untuk bicara. Walaupun dalam ruang gerak serba terbatas. Ancaman berkarung-karung saya terima, membuat harus akrobat juga dalam menyampaikan apapun. Saya memilih sosial media. Bukan media mainstream, karena kesel banget setiap kali diundang TV, ternyata cuma jadi iklan-getter, bicara cuma 4 menit dan diserobot-serobot. Lebih lama pasang bulu mata di belakang panggung daripada bicara di depan kamera. Kesel, kan? Makanya saya malas sekalipun diundang ke TV-TV lagi. Yang penting kebenaran sudah saya sampaikan. (*)
Kematian Ustad Abdul Aziz yang Menginspirasi
Model dakwah Ustad Aziz itu memadukan ilmu berreferensi klasik dengan fenomena aktual. Untuk itu dia sering mengajak diskusi saya terkait isu-isu aktual. Meminta pandangan saya tentang fenomena yang berkembang di masyarakat. Oleh: Anwar Hudijono, Veteran Wartawan Tinggal di Sidoarjo TENTU saja saya kaget begitu mendengar kabar seorang sahabat terbaik, Ustad Abdul Aziz meninggal. Tapi saya bersyukur karena dia meninggal pada saat memberikan tausiyah usai Shalat Ashar di Masjid Aisyah, Jalan Teluk Nibung, Surabaya, Ahad, 2 Januari 2022. Momentum kematiannya insya’ Allah termasuk sangat baik. Ustad Abdul Aziz, pengasuh Pengajian Assalam di TVRI Jawa Timur. Dia seorang pendakwah papan atas Surabaya. Jamaahnya meliputi banyak kalangan. Mulai komunitas majelis taklim, jamaah masjid sampai pejabat dan selebriti. Saya berkawan dengan almarhum mulai kelas 1 Pendidikan Guru Agama Atas (PGAA) Mujahidin, di jalan Tanjung Perak Barat, Surabaya. Saya pindah dari PGAA Al-Islam Mojorejo, Caruban, Kabupaten Madiun selepas dari tahanan Orde Baru dalam kasus rencana melakukan aksi demonstrasi Kebijakan 15 November (Kenop 15) 1978 terkait kebijakan ekonomi. Tapi baru menggelar rapat aksi bersama sekitar 40 pelajar se-Caruban, sudah keburu dibekuk aparat. Jadilah penghuni sel tahanan mulai Polsek Caruban, Polres, dan Kodim Madiun. Terakhir di Rumah Tahanan Militer (RTM) Jl. Yos Sudarso Madiun bersama tahanan politik PKI dan Komando Jihad. Di antara pengajar di PGAA Mujahidin adalah Ustad Prof Dr Rum Rowi, ulama Jatim. Ustad Muhadjir Sulthon, penemu metode belajar Al Quran, Al Barqi. Ustad Hasun, imam legedaris Masjid Mujahidin. Talenta Ustad Aziz menjadi mubaligh sudah terlihat sejak PGAA. Kalau berdiri di atas mimbar terlihat wibawa. Tangannya merentang merangkul mimbar. Suaraya berat menggelegar. Vokalnya mantap seperti Bung Karno. Sejak muda kalau berpidato tidak bawa krepekan. Hafalannya kuat. Kemampun olah vokalnya ini juga diasah sebagai penyiar Radio Mujahidin yang kemudian berganti nama menjadi Radio PTDI dan terakhir Radio Suara Perak Jaya. Radio yang terkenal dengan alunan lagu Panggilan Jihad untuk pembukaan dan penutupan acara. Lagu karya Buya Hamka itu benar-benar menggetarkan jiwa. Model dakwah Ustad Aziz itu memadukan ilmu berreferensi klasik dengan fenomena aktual. Untuk itu dia sering mengajak diskusi saya terkait isu-isu aktual. Meminta pandangan saya tentang fenomena yang berkembang di masyarakat. Saya juga beruntung mendapatkan wawasan bagaimana memandang fenomena aktual dalam perspektif agama. Apalagi setelah saya jadi veteran wartawan saya harus melakukan transformasi keilmuan. Jika wartawan melihat fenomena aktual dengan referensi pakar, buku, kini dalam transformasi keilmuan harus belajar dengan perspektif Al Quran dan Hadits. Dengan meninggalnya dia, saya kehilangan mitra diskusi pelbagai masalah kehidupan, sekaligus tempat saya belajar agama. Jujur saja, saya ingin meninggal dalam momentum yang sangat baik seperti Aziz ini. Status husnul khotimah atau tidak memang hanya Allah yang tahu, tetapi secara kasat mata tak bisa diingkari itu sangat baik. Betapa tidak baik. Bakda Shalat Ashar berjamaah. Pas saat memberikan tausiyah. Sangat mungkin dia masih dalam kedaan berwudhu. Konon siapa yang mati dalam keadaan jaga wudhu, Allah mengharamkan api neraka menjilat dirinya. Di kubur, Allah mengharamkan jazadnya bagi cacing dan serangga. Cara kematian Ustad Abdul Aziz sangat menginspirasi. Rabbi tawaffani musliman wa alhiqni bis-shalihin. (Ya Tuhan,wafatkanlah aku dalam keadaan muslim dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh). Rabbi a’lam. (*)
Bahar Smith dan Terorisme Negara
Oleh M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan LANGKAH Danrem 061 Suryakancana Brigjen TNI Achmad Fauzie mendatangi Habib Bahar Smith mengancam akan membubarkan pengajian dan ultimatum agar menghadiri panggilan Kepolisian adalah teror petinggi TNI yang berbau premanisme. Pekerjaan yang di luar kompetensinya. Dalih dalam rangka pengawasan PPKM dinilai mengada-ada dan tidak rasional. Prosedur hukum diabaikan atau dikesampingkan. Terorisme negara. Teror lain kepada Bahar Smith adalah pengiriman tiga kepala anjing. Di samping hal ini menunjukkan perilaku primitif, juga dapat dimaknai sebagai ancaman serius. Apabila obyektif dan jujur Polisi segera mengusut siapa pengirim kepala anjing tersebut. Jika dibiarkan maka patut diduga ada kolaborasi sistematik yang mengarah pada terorisme negara. Moga ungkapan Kapolri \"potong kepala busuk\" tidak diterjemahkan dengan \"potong kepala anjing\". Konon saat Bahar Smith dipanggil ke Kepolisian, akan ada aksi jalanan yang mengingatkan dahulu saat Habib Rizieq Shihab diperiksa di Mapolda. Saat itu ormas yang dikenal binaan mantan Kapolda Anton Charliyan digerakkan untuk membuat tekanan psikologis. Adakah model seperti ini bagian dari terorisme negara? Mungkin bagi Smith sendiri tekanan atau teror-teror tersebut bisa tidak berarti karena baginya mati pun sudah masuk dalam kalkulasi. Risiko pribadi berdasarkan keyakinan keagamaan. Persoalannya adalah publik atau rakyat kini sedang disuguhi tontonan yang memuakkan. Bagaimana entitas negara menjadi pecundang oleh ulah atau sikap seorang warga negaranya. Begitu panik dan kehilangan kepercayaan diri sehingga gaya preman dan koboy harus ditampilkan. Kembalilah pada upaya memulihkan kedaulatan hukum, jangan hukum dikoyak-koyak oleh kepentingan politik atau oleh ketakutan dan kebencian. Hukum jangan memilih dan memilah-milah sekedar untuk menghukum siapapun yang tidak sejalan. Keragaman yang dibungkam oleh keseragaman. Otoritarian. Demokrasi memang bukan dewa tetapi kita kadung menyepakati bahwa sistem ini yang dipilih. Sila keempat Pancasila mendasari model dan pelaksanaan demokrasi. Karenanya perbedaan termasuk pandangan, gaya dan cara da\'wah Habib Bahar Smith tidak perlu dianggap berbahaya apalagi merusak. Jika dipandang biasa dan bagian dari keragaman mungkin bangsa ini akan menjadi semakin dewasa. Tak perlu ada kriminalisasi. Tujuan negara antara lain adalah untuk melindungi segenap tumpah darah yang . membuat warga nyaman menjalankan tugas dan fungsinya. Termasuk berdakwah. Bila ada hal keliru patut untuk diluruskan dengan persuasif. Langkah represif digunakan hanya jika suatu perkataan atau perbuatan itu benar-benar destruktif. Habib Bahar bukan teroris karenanya tidak layak diambil tindakan \"counter teror\" yang merusak citra negara. Terorisme negara harus dihindari dan dieliminasi. Apalagi kepada umat Islam yang dirasakan semakin terpojokkan di bawah rezim ini. Penzaliman itu sangat dirasakan dan tentu merugikan umat, bangsa dan negara. (*)
Eijkman Korban Ngawurisme
Oleh Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar Riset Operasi dan Optimasi Institut Teknologi 10 November (ITS) Surabaya BONGKAR pasang kementrian dan LPND kini menimbulkan korban lagi. Kali ini korbannya Lembaga Biologi Molekuler Eijkman yang melegenda itu. Ini terjadi setelah Kemenristek dilebur ke dalam Kemendikbud, sementara fungsi riset dan inovasi dikelola oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional. Hemat saya, perombakan ini mubazir karena tidak mengubah proses-proses bisnis utama yang terjadi di kabinet secara signifikan, bahkan setelah ada KSP segala serta beberapa Menteri Koordinator. Bahkan penguatan oligarki parpol yang mendukung rezim saat ini, serta adanya Kemenko kesimpangsiuran kebijakan masih sering terjadi. Akar masalahnya satu biaya politik yang makin tinggi menyebabkan pengelolaan kementerian menjadi sangat dirundung ego sektor. Koordinasi mensyaratkan kesimetrian informasi lintas-sektor, sedangkan ego-sektor merupakan resep bagi inefisiensi koruptif yang justru diharapkan parpol. Ketidaksimetrian informasi membuka insentif untuk tata kelola yang buruk dan dissinergi. Akar masalah lainnya adalah peleburan Dikti ke dalam Kemendikbud. Dikti dianggap perpanjangan Dikdasmen. Padahal tugas universitas berbeda dengan persekolahan yang kini memonopoli sistem pendidikan nasional. Di negara maju, tradisi kampus jauh lebih tua daripada tradisi sekolah dan tugas universitas adalah knowledge creation and innovation. Sekolah hanya merupakan instrumen teknokratik penyiapan buruh yang cukup trampil menjalankan mesin-mesin pabrik sekaligus cukup dungu untuk setia bekerka pada kepentingan pemilik modal, terutama asing yg sanggup memberi gaji besar. Menempatkan perguruan tinggi sekedar kelanjutan SMA adalah keliru. Kebijakan Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka jadi lelucon. Peleburan Dikti ke Kemendikbud menguatkan agenda penjongosan sekaligus pendunguan nasional. Kekuatan kontrol setelah parlemen lumpuh dan media massa hanya menjadi corong pemerintah hanya tinggal perguruan tinggi. Namun kekuatan kontrol berbasis kampus itu kini hilang sama sekali. Perguruan tinggi bukan lagi lembaga yang memiliki kemerdekaan untuk menyatakan pendapat yang berbeda dengan kebijakan pemerintah. Alasan pokok perguruan tinggi memiliki keistimewaan memberi gelar akademik mulai dipertanyakan. Kampus kini disibukkan untuk memperbaiki lulusan SMA yang tidak mandiri dan tidak dewasa serta melakukan hampir semua hal kecuali yang penting bagi penciptaan pengetahuan dan inovasi. Pengalaman saya selama 30 tahun lebih di universitas dan menjadi mitra kerja berbagai kementrian menunjukkan bahwa pemerintah sering terlalu percaya diri untuk menerima masukan pakar mandiri dari kampus. Apalagi banyak anggota eksekutif dan legislatif kini memburu gelar akademik hingga jabatan profesor. Hampir-hampir tidak pernah ada hasil penelitian perguruan tinggi digunakan dalam perumusan kebijakan Pemerintah. Proyek-proyek penelitian juga dijadikan instrumen korupsi melalui banyak kick back yang berujung di kantong anggota parlemen lagi. Bahkan kini pakar dari universitas sering dipandang sebelah mata oleh birokrat. Keterpaduan penelitian yang sudah lama diwacanakan oleh Dewan Riset Nasional hingga hari ini masih sekedar mimpi di siang bolong. Posisi DRN makin lemah selama lima tahun terakhir. Ini menjelaskan mengapa kapasitas inovasi bangsa ini makin tertinggal. Saya ragu apakah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN yang diamanahkan dalam UU no. 19 tentang SisNas Iptek) yang langsung di bawah Presiden akan mampu mengorkestrasikan banyak lembaga riset yang jauh lebih tua seperti LIPI, LAPAN, BPPT, LBM Eijkman dsb. Apalagi jika Dewan Pengarah BRIN diambil dari kalangan politikus atau bahkan Ketua Partai berkuasa. Dengan mengambil kesempatan yg dibuka oleh pandemi Covid-19 sebagai public health emergency of international concern, sulit menolak kesan kecenderungan ngawurisme pemerintah saat ini. LBM Eijkman yang semestinya paling kompeten untuk menetapkan apakah status pandemi ini layak diteruskan, malah dilemahkan. Seperti persekolahan tidak pernah dirancang untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai prasyarat budaya bagi bangsa merdeka, BRIN tidak dirancang untuk membangun kedaulatan iptek yang diperlukan untuk melengkapi bangsa merdeka itu dengan iptek untuk bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Para peneliti bangsa ini akan diposisikan sebagai pemulung iptek, jika bukan jongosnya. Wis pokok-e awuren wae! Rosyid College of Arts, Gunung Anyar, 2/12/2022.
BRIN: Riset dalam Kendali Kuasa Gelap?
Oleh Gde Siriana, Penulis Buku “Keserakahan di Tengah Pandemi” KATE Dibiasky (Jennifer Lawrence), seorang mahasiswi kandidat doktor astronomi, bersama profesornya Dr. Randall Mindy (Leonardo Di Caprio), ketika sedang melakukan penelitian mengenai pergerakan benda-benda luar angkasa, menemukan sebuah komet besar seukuran gunung Everest yang mengorbit di dalam tata surya, yang berada pada jalur tabrakan langsung dengan Bumi. Dengan bantuan Dr. Oglethorpe (Rob Morgan) dari NASA (Badan Antariksa AS), Kate dan Dr. Randall menghadap Presiden Orlean (Meryl Streep) dan putranya yang penjilat sekaligus Kepala Staf, Jason (Jonah Hill). Presiden acuh tak acuh, dan tidak ingin membuat kepanikan di masyarakat. Lalu mereka bertiga memulai tur media dalam siaran The Daily Rip untuk memperingatkan manusia. Tetapi media tidak perduli dan menganggapnya hanya sebagai hiburan sensasional. Dengan data-data yang akurat Kate, Dr. Randall dan Dr. Oglethorpe berhasil meyakinkan Presiden Orlean untuk melakukan tindakan menghadang komet dengan nuklir agar hancur sebelum masuk tata surya bumi. Tetapi ketika senjata nuklir telah diluncurkan tiba-tiba operasi dibatalkan Presiden Orlean akibat seorang milyarder super kaya Peter Isherwell (Mark Rylance) yang juga penyumbang terbesar kampanye presiden berhasil mempengaruhi presiden untuk tidak menghancukan komet karena mempunyai kandungan alam (emas dan tembaga) yang bernilai ekonomis tinggi. Presiden Orlean dan Peter memilih untuk menuntun komet mendarat di bumi tanpa kehancuran komet. Sayangnya operasi tersebut gagal dan bumi hancur musnah. Itu adalah kisah dalam film Don’t Look Up, produksi tahun 2021. Bergenre komedi, film ini secara satire mengingatkan kita, bahwa kekusaan tanpa kontrol, dan riset-riset yang dikendalikan oleh kepentingan bisnis adalah sangat berbahaya, yang berdampak fatal bagi kehidupan manusia. Setelah menonton film ini saya jadi teringat dengan BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) yang menciptakan kontroversi karena diprotes kalangan peneliti dan masyarakat umum. Dalam webinar bertajuk The Kickoff Pameran Riset & Inovasi Ritech Expo 2021 (3/11/2021), Plt Deputi Pemanfaatan Riset dan Inovasi IPTEK BRIN Mego Pinandito mendorong industri untuk memanfaatkan sumber daya periset maupun infrastruktur yang dimiliki BRIN untuk melakukan riset. Tujuannya agar kontribusi pendanaan riset dari sektor swasta nantinya bisa semakin besar. Saat ini, 80 persen kontribusi riset masih didanai pemerintah, sementara swasta baru 20 persen. Tidak saja aspek pendanaan swasta, Mego menjelaskan fasilitas BRIN adalah bagian dari industri yaitu unit risetnya industri, sehingga boleh digunakan industri. Menarik untuk mengamati struktur BRIN. Sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 78 Tahun 2021 yang telah dilansir pada 24 Agustus 2021, struktur organisasi BRIN terdiri dari kepala BRIN, wakil kepala BRIN, inspektorat utama dengan tiga inspektorat, sekretariat utama dengan lima biro, dan tujuh deputi. Kemudian, tiga unit pendukung yaitu Pusat Data dan Informasi (Pusdatin), Pusat Pelayanan Teknologi (Pusyantek), dan Politeknik Teknologi Nuklir. Ketujuh deputi akan fokus untuk melakukan pelayanan eksternal dan terkait infrastruktur riset. Sedangkan sekretariat utama akan melayani pelayanan administrasi dan internal, serta infrastruktur perkantoran. Terkait aktivitas riset, akan dilakukan dan dieksekusi oleh organisasi riset. Menariknya, Ketua Dewan Pengarah BRIN dijabat Megawati Soekarnoputri yang juga Ketua Umum PDIP, dan di bawahnya ada dua ex-officio Menteri Keuangan dan Menteri PPN/Kepala Bappenas. Tujuh Deputi BRIN akan membawahi tujuh organisasi riset (OR) yaitu OR Tenaga Nuklir, OR Penerbangan dan Antariksa, OR Pengkajian dan Penerapan Teknologi, OR Ilmu Pengetahuan Hayati, OR Ilmu Pengetahuan Kebumian, OR Ilmu Pengetahuan Teknik, dan OR Ilmu Pengetahuan Sosial Humaniora. Pembentukan organisasi riset dilakukan sejak proses integrasi empat lembaga pemerintah non kementerian (LPNK), yaitu Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), dan 44 unit penelitian dan pengembangan yang tersebar di kementerian/lembaga lain. Penggabungan lembaga-lembaga riset ini disertai penggabungan anggaran tentunya, yang untuk tahun 2022 Kepala BRIN Laksana Tri Handoko mengharapkan akan ada anggaran Rp 10,5 triliun untuk BRIN. Hal lainnya adalah setiap lembaga riset universitas maupun Lembaga Penelitian Non-Kementrian (LPNK) akan dimudahkan dalam mendaftarkan usulan riset mereka di Sistem Informasi Manajemen Prioritas Riset Nasional atau SIM-PRN. Terlepas dari persoalan nasib peneliti Eijkman setelah berintegrasi dengan BRIN yang menjadi berita heboh awal tahun 2022, saya mengkritisi kelembagaan BRIN pada 3 faktor strategis, yaitu : Kemandirian Lembaga Lembaga riset, sebagaimana halnya perguruan tinggi, dalam perannya dalam penyelenggaraan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, memiliki kemandirian dan kebebasan untuk menjalankan proses-proses yang meliputi penelitian, pengembangan, pengkajian dan penerapan teknologi. Ini diakomodasi dalam UU Sisnas IPTEK No.11 tahun 2019. BRIN, seperti halnya perguruan tinggi tidak layak dipimpin oleh orang-orang yang berlatar belakang Partai Politik dan bukan dari kalangan peneliti, apakah sebagai kepala lembaga atau ketua dewan pengarah. BRIN semestinya tidak di bawah pengaruh serta kendali kekuatan politik tertentu dan kekuasaan. Integrasi BRIN meliputi semua penelitian-penelitian yang merupakan aset negara, ditambah lagi dengan anggaran yang cukup besar, yang dapat melebihi Rp10 triliun jika semua lembaga penelitian di perguruan tinggi kemudian juga dilebur ke dalam BRIN. Jadi dalam hal ini ada dua isu besar terkait integrasi BRIN, yaitu konsentrasi kekuasaan dan anggaran negara yang besar. Semestinya Presiden Joko Widodo dan Ibu Megawati Soekarnoputeri sebagai Ketua Dewan Pengarah BRIN memahami ini, jangan sampai upaya memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi berada dalam kuasa gelap (shadow-state). Sangat mungkin di kemudian hari, seorang pebisnis besar, setelah mendapatkan gelar doctor honoris causa lalu memimpin BRIN, tanpa integritas dan track record sebagai peneliti. Efektifitas dan Kinerja Penelitian Dari dua negara besar dengan sistem pemerintahan yang berbeda, AS dan China, tidak ada di kedua negara itu meleburkan semua lembaga risetnya ke dalam satu lembaga. Di AS, ada sekitar 70 lembaga riset milik negara, dan di China sekitar 150 lembaga penelitian milik negara. Lembaga riset memiliki bentuk dan struktur organisasi yang khas. The Policy Institute pada King’s and RAND Europe mengatakan bahwa \'perekat\' yang menciptakan unit penelitian berkinerja tinggi adalah budaya penelitian, nilai-nilai yang mendasari dan kepemimpinan. Itulah mengapa lembaga penelitian tidak cocok untuk disatukan. Tetapi pemerintah dapat berfungsi sebagai fasilitator yang menciptakan kompetisi penelitian yang sehat, dan menyediakan anggaran yang dibutuhkan. Jadi sebenarnya BRIN tidak perlu meleburkan semua lembaga riset yang telah ada menjadi organisasi riset di bawahnya. BRIN cukup menjadi fasilitator dan koordinator dari semua upaya riset nasional, dan menyerahkan semua penelitian dan pengembangan teknologi kepada setiap lembaga riset. Bahkan seharusnya BRIN fokus mengembangkan fungsi litbang di setiap perguruan tinggi agar lebih maju. Di AS misalnya NASA menduduki peringkat 43, kalah dari lembaga riset perguruan tinggi. Jadi dalam hal ini saya melihat isunya adalah bukan Re-Organisasi yang diperlukan, melainkan Revitalisasi IPTEK nasional. Dalam militer kita juga bisa melihat, karena kekhasannya, maka angkatan darat, angkatan laut dan angkatan udara tidak digabung dalam satu struktur organisasi di mana setiap angkatan hanya menjadi unit tempur berbeda. Meskipun ada Panglima TNI yang memegang komando tertinggi TNI tetapi pengembangan setiap angkatan tetap di bawah kendali setiap kepala staf angkatan. Dalam UU Sisnas IPTEK No.11 tahun 2019 pasal 13 (2) dijelaskan bahwa penyelenggaraan ilmu pengetahuan dan teknologi dilakukan secara meluas oleh perseorangan atau kelompok, badan usaha atau perguruan tinggi, lembaga pemerintah atau swasta. Intinya tidak ada satu lembaga yang memonopoli ilmu pengetahuan dan teknologi. Keamanan Data Penelitian Menyerahkan pendanaan riset negara kepada sektor swasta memiliki potensi riset dikendalikan oleh pihak swasta atau industri. Proposal-proposal riset sangat mungkin lebih banyak datang dari dunia usaha karena terbuka pintu BRIN bagi swasta untuk mengunakan fasilitas BRIN. Meskipun komersialisasi hasil riset itu dapat dinikmati masyarakat tetap saja konteksnya adalah profit bisnis. Jadi pada poin ini isunya adalah Riset yang Sales-Oriented. Lembaga riset memiliki etika ilmiah yang menuntut kejujuran dan integritas dalam semua tahap praktik ilmiah. Sistem etika ini memandu praktik sains, mulai dari pengumpulan data hingga publikasi dan seterusnya. Yang paling dikuatirkan adalah bocornya data-data penelitian negara selama ratusan tahun sejak era kolonial kepada pihak swasta atau asing, misalnya spesimen-spesimen penyakit langka khas Indonesia, yang kemudian pihak swasta atau asing membuat vaksinnya lalu kemudian dijual kepada pemerintah Indonesia. Serta resiko hilangnya koleksi-koleksi langka seperti tumbuh-tumbuhan yang kemudian penelitian dilakukan oleh pihak swasta dan asing lalu dipatenkan atas nama mereka. (*)
Tahun Baru Rezim Baru
Belum pernah sepanjang republik berdiri, jelang pergantian tahun dipenuhi begitu banyak persoalan krusial dan membahayakan eksistensi sekaligus keberadaan negara bangsa. Suasana kebatinan rakyat diliputi emosi, luka dan kepedihan yang menyayat jiwa. Hampir 2 periode perjalanan pemerintahan, perilaku kekuasaan cenderung memastikan Indonesia menuju negara gagal. Cukup satu tahun rezim pencitraan mampu memporak-porandakan kehidupan rakyat. Menggerus pondasi negara dan mengikis pilar-pilar kebangsaan. Oleh: Yusuf Blegur Pegiat Sosial dan Aktivis Yayasan Human Luhur Berdikari Bukan hanya oligargi yang menyuburkan korupsi. Rezim boneka yang lebih condong ke komunisme Tiongkok ini, semakin mengukuhkan pemerintahannya yang anti demokrasi. Mengandalkan represi dan menggunakan tangan besi dalam menjalankan roda pemerintahan. Tak cukup membentuk dinasti kekuasaan tanpa kemaluan dan penuh kebohongan. Pelbagai kegagalan dan kebobrokan perjalanan pemerintahan. Telah membuat rezim amburadul menempatkan NKRI dibibir jurang kebangkrutan nasional dan disintegrasi bangsa. Mewujud negara kekuasaan, rezim terus membangun kejatuhannya. Alih-alih menghadirkan kesejahteraan bagi kehidupan rakyatnya. Rezim justru sibuk menggalang kekuatan untuk memamerkan penindasan dan kedzoliman terhadap rakyatnya. Menyulap institusi dan aparatur pemerintahan sebagai alat kekuasaan, bukan sebagai alat negara. Dengan cepat birokrasi berubah setia kepada penguasa namun menjadi penghianat rakyat. Banyak Pejabat yang ahli menjilat pimpinannya namun bejat kepada rakyat. Tanpa terasa jarak semakin melebar antara negara dengan rakyatnya. Dililit utang negara yang membengkak dan kebablasan serta berpotensi gagal bayar. Rakyat seperti hidup di jaman kolonial, dipaksa hidup dengan pajak membumbung tinggi. Pejabat yang berutang, rakyat yang harus membayar. Rakyat terus memikul beban berat dari gaya hidup dan keangkuhan aparat. Penyelenggaraan negara terus digerogoti ulah pejabat yang kemaruk bisnis. Bukan hanya lingkaran istana dan sub-koordinatnya semata. Keluarga pejabat juga semakin ramai terlibat korupsi, kolusi dan nepotisme. Perampokan uang negara besar-besaran dan aji mumpung memanfaatkan kekuasaan, telah menjadi satu-satunya keahlian penyelenggara negara. Termasuk dramatisasi dan politisasi pandemi, untuk mengeruk bisnis dan melanggengkan kekuasaan. Situasi ekonomi yang terus terpuruk. Ditambah gonjang-ganjing politik yang tidak sehat. Malah membuat rezim bersikap otoriter dan diktator sembari mengabaikan masalah -masalah pokok dan prinsip negara. Semua kesadaran kritis dan upaya menyelamatkan bangsa dan negara. Dihadapi pemerintah dengan logika dan hukum kekuasaan. Aktifis pergerakan dan para ulama dikriminalisasi. Gerakan mahasiswa dibungkam dan kekuatan buruh dilumpuhkan. Rezim juga tak segan-segan melakukan intimidasi, teror dan bahkan pembunuhan dengan dalih tindakan tegas dan terukur. Semua yang dianggap menentang dan melakukan perlawanan akan berhadapan dengan rezim kekuasaan. Berujung di penjara atau berakhir dengan kematian. Entah globalisasi kapitalisme atau komunisme yang sama-sama mengusung sekulerisasi dan liberalisasi, yang terus menaungi kekuasaan di republik ini. Sementara penguasa di negeri ini begitu bangga dan bahagia menjadi budaknya. Kini, dengan terus melambungnya harga-harga kebutuhan pokok yang mencekik rakyat dan daya beli rakyat semakin menurun. Ditambah produk kontitusi yang banyak melahirkan peraturan inkonstitusional. Mampukah pemerintah keluar dari krisis multi dimensi dan kemelut negara gagal?. Mungkinkah akan ada perbaikan negara atau kehancuran yang lebih menyengsarakan rakyat?. Ataukah pergantian tahun ini akan menjadi pergantian kekuasaan juga?. Tak ada yang mampu memprediksinya. Apakah tahun baru ini bisa menuju kelahiran rezim baru. Tahun baru rezim baru dengan cara konstitusional atau dengan proses inkostitusional sekalipun. Jangan tanya pada rumput yang bergoyang, karena sudah tak ada lagi lahan tempat tumbuhnya di negeri ini. Jangankan untuk sekedar tanaman, bahkan kemanusiaan pun tak lagi dapat berkembang di persada Panca Sila. Selamat menjalani kebaruan, selamat menelusuri rezim baru. Wallahu a\'lam bishawab. (*)