OPINI
Mewaspadai Varian Virus Baru OMICRON
Konsumsi air kelapa pada saat demam merupakan langkah yang paling efektif untuk mencegah tubuh lemas yang berakibat pada kepanikan anggota keluarga untuk memasang infus. Oleh: Mochamad Toha, Wartawan FNN ADA catatan menarik dari Zoom Meeting bertajuk “Mewaspadai Varian Baru Omicron” pada Rabu, 29 Desember 2021, 19.00-selesai. DR. Sulfahri, SSi, MSi, Dosen Biologi Fakultas MIPA (Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam) Universitas Hasanudin (UNHAS) Makassar, menjadi narasumbernya. Dr. (Can.)Safrina Yenni, SKM, MKes sebagai moderator dalam zoom meeting yang diikuti 135 peserta yang terdiri dari dokter, apoteker, nakes, aktivis herbal, dan para konsumen produk BioSyafa. Doktor Sulfahri telah berpengalaman melakukan penelitian bersama timnya dan menghasilkan formula yang terbuat dari tumbuhan herbal dengan kandungan Purpuri untuk melawan virus yang mengganggu ketahanan imun, termasuk Covid-19. “Obat herbal yang mampu meningkatkan imunitas dan berdasarkan hasil riset mampu melawan virus Corona,” katanya. Dalam penelitiannya, Fahri berpacu dari jurnal-jurnah ilmiah dan protein yang membahas SARS CoV-2. Bersama asistennya, Riuh Wardhani, menggagas obat herbal yang mampu meningkatkan imunitas. Fahri juga bekerja sama dengan Siti Mushlihah, Founder Indonesia Green Innovation Institute demi kelancaran penelitiannya. “Beberapa penelitian dunia telah mempublikasikan berbagai judul terkait SARS CoV-2. Virus ini juga sudah masuk list protein data bank, sehingga kami bisa menggembangkan penelitian lebih lanjut,” ucapnya. Berikut ini catatan dari zoom meeting tersebut. Menurut Fahri, demam seringkali muncul bersamaan dengan gejala lain, seperti mual, batuk, hidung tersumbat, sakit tenggorokan, nyeri sendi, meriang, dan lain-lain. Namun, jangan langsung menganggap demam sebagai musuh dan terburu-buru mengobatinya. Justru, sebagian besar demam itu memiliki manfaat dan membantu tubuh dalam melawan infeksi. Demam merupakan tanda bahwa sistem imun sedang bekerja melawan infeksi virus, bakteri, jamur, atau zat asing lain yang masuk ke dalam tubuh. Alasan penanganan demam yaitu hanya untuk meringankan rasa tidak nyaman. Penyebab demam sendiri sangat beragam, tergantung kondisi masing-masing penderita. Suhu tubuh normal masing-masing orang berbeda. Namun secara umum, suhu tubuh dikatakan sudah di atas normal ketika mencapai 37 derajat Celcius melalui pengukuran mulut, atau 37,2 derajat Celcius ketika diukur melalui anus. Demam ringan, yaitu ketika suhu tubuh belum mencapai 38 derajat Celcius. Pada masa ini, demam belum perlu diobati karena dianggap sebagai upaya alami tubuh menghalau infeksi virus danbakteri yang tidak dapat hidup pada suhu panas. Demam lebih dari 38 derajat Celcius baru memerlukan penanganan. Demam yang mencapai 40 derajat Celcius atau lebih tinggi, dapat dianggap sebagai kondisi berbahaya dan harus segera diberikan bantuan medis. Jika sudah mencapai angka 40 derajat Celsius, demam yang dialami dapat dikategorikan sebagai demam yang berbahaya, sehingga harus segera diberikan bantuan medis untuk mencegah kondisi berbahaya. Ketika demam, maka tidak boleh langsung mengkonsumsi obat penurun demam, karena virus yang masuk ke dalam tubuh akan mengeluarkan zat kimiawi yang beredar di dalam darah dan mencapai hipotalamus. Salah satu fungsi hipotalamus adalah sebagai pusat pengatur suhu tubuh. Saat hipotalamus mendeteksi adanya virus, suhu tubuh akan dinaikkan, misalnya hingga 38°C. Tujuan kenaikan suhu tubuh tersebut adalah untuk meningkatkan laju metabolisme dan memaksimalkan kinerja enzim di dalam tubuh untuk melawan virus, karena enzim di dalam tubuh akan optimal kinerjanya pada suhu yang lebih tinggi di kisaran 38-39°C. Oleh karena itu, demam dapat dipahami sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap infeksi. “Mengkonsumsi obat kimia non herbal penurun demam di saat suhu tubuh masih di kisaran suhu aman (38-39°C) justeru akan memperlambat proses penyembuhan,” ungkap Doktor Sulfahri. Langkah yang paling tepat adalah mempertahankan demam pada kisaran 38-39°C secara alami sehingga demam tersebut akan normal ke suhu 37°C dan beberapa saat kemudian kembali lagi ke suhu 38-39°C, namun dalam waktu yang tidak lama akan kembali ke suhu 37°C secara berulang. Metodenya adalah sebagai berikut: 1. Rajang 1-3 siung bawang merah lalu tambahkan 3-5 sendok makan minyak (bias minyak kelapa, minyak zaitun, minyak balur dll) diaduk selama beberapa menit. 2. Bawang merah yang telah bercampur dengan minyak tersebut lalu dibalurkan di sepanjang tulang belakang dari tengkuk hingga ke tulang ekor, belakang lutut, telapak kaki, dan sela sela jari kaki. 3. Ketika mengalami demam, seringkali nafsu makan berkurang. Oleh karena itu, upaya antisipasi yang dapat dilakukan adalah dengan mengkonsumsi air kelapa muda. Air kelapa muda kaya akan kandungan L-arginine yang merupakan asam amino yang mampu membantu produksi nitric oxide. Nitric oxide dapat melebarkan pembuluh darah, sehingga bisa memperbaiki aliran darah arteri ke jantung dan mencegah trombosis (penggumpalan darah). Selain itu, L-arginine dapat mengurangi radikal bebas. Dengan demikian, stres oksidatif di sel jantung bisa berkurang. Asupan Nutrisi Berkualitas Langkah yang perlu dilakukan saat terjangkit virus Omicron yaitu dengan memberi asupan nutrisi berkualitas. Konsumsi makanan bergizi akan membantu mencukupi kebutuhan kalori, protein, vitamin, mineral sehingga proses pemulihan akan semakin cepat. Berikan Nutrisi terbaik bagi tubuh (cukupi vitamin dan mineral organik). Selama proses terapi, sangat disarankan mengkonsumsi makanan terbaik. Selama proses terapi, sangat disarankan mengkonsumsi makanan terbaik. Makanan terbaik adalah makanan Non GMO (Genetically Modified Organism - hasil rekayasa genetika) dan ditanam secara Organik. Selain itu, kategori yang tidak kalah penting adalah konsumsi makanan dengan warna yang beragam dengan jumlah yang mencukupi bagi tubuh. Beberapa makanan superfood yang dapat menjadi pilihan diantaranya adalah buah kurma, buah pisang, buah semangka, buah nanas, buah anggur, buah apel, sayur bayam, sayur kelor, sayur ketimun, wortel, terong dan labu. Penyajian makanan tersebut juga menjadi poin penting, hal mana dalam memproses makanan sebaiknya dihindari menggunakan temperatur tinggi seperti makan yang digoreng. Selain itu, solusi yang perlu diperhatikan adalah pada saat terapi, penderita disarankan melakukan white fasting (hanya mengkonsumsi air mineral) selama minimum 12 jam. Hal itu dilakukan untuk memberikan waktu pada saluran pencernaan beristirahat mencerna makanan. Konsumsi Air Kelapa Sebanyak Mungkin Konsumsi air kelapa pada saat demam merupakan langkah yang paling efektif untuk mencegah tubuh lemas yang berakibat pada kepanikan anggota keluarga untuk memasang infus. Sebaiknya hindari infus di saat lemas maupun asupan makanan tidak bisa masuk secara maksimal. Langkah alternatif adalah konsumsi air kelapa muda sebanyak mungkin, jika memungkinkan, ganti air minum reguler dengan air kelapa muda. Sangat direkomendasikan jika air kelapa dimaksimalkan dengan menambahkan beberapa sendok madu dan jeruk nipis. Berjemur di Bawah Sinar Matahari Sebelum Pukul 10.00 Berjemur di pagi hari dan menghirup udara lebih dalam merupakan salah satu terapi yang efektif. Sinar matahari pagi menghasilkan sinar UV (ultraviolet) yang menyentuh permukaan kulit untuk diubah oleh tubuh menjadi vitamin D. Vitamin D dibutuhkan untuk menjalankan fungsi metabolisme kalsium, imunitas tubuh, serta mentransmisi kerja otot dengan saraf. Saat tubuh kekurangan vitamin D, pertumbuhan akan terhambat, yang akhirnya memperlambat pembentukan sistem imun dan mudah terinfeksi virus maupun bakteri. Oleh karena itu, dianjurkan berjemur selama 15 menit saja pada waktu yang tepat, yaitu sebelum pukul 10.00. Doktor Sulfahri menyarankan konsumsi 3 jenis herbal secara bersamaan: BioSyafa Anxida dengan dosis 3 x 3 kapsul per hari, Vitamin Cherbal dosis 3 x 3 kapsul per hari, BioSyafa Biotoksi dengan dosis 3 x 20ml per hari. Herbal sangat berkhasiat sehingga selain bermanfaat untuk meningkatkan imunitas juga bermanfaat untuk memperbaiki fungsi saluran cerna. (*)
Pembela Agama Dibui, Penista Agama Digaji
Tidak hanya Ferdinand Hutahaean, semua makhluk berprofesi buzzer dan pengais rezeki haram semodel Denny Siregar, Permadi Arya , Ade Armando, Eko Kuntadi, Husein Shihab, dll wajib merasakan hukuman paling ekstrim jika keadilan masih ada di Indonesia. Kalau membela Islam dan NKRI yang sering dilakukan oleh para ulama dan aktivis pergerakan harus berakhir dengan kriminalisasi. Maka kepada Ferdinand Hutahaean cs itu, hukum qisos atau tembak mati di tempat pantas diberlakukan, agar fitnah dan adu domba tidak merusak dan menghancurkan republik ini. Oleh: Yusuf Blegur, Pegiat Sosial dan Aktivis Yayasan Human Luhur Berdikari ENTAH apa yang terbesit dan ada dalam pikiran penyelenggara negara. Kebijakan dan langkah hukum aparatur begitu sigap, responsif dan menjadikan skala prioritas dalam menghadapi dinamika umat Islam. Potensi dan kekuatan Islam yang sejatinya teduh dan menjadi agama rahmatan lil a\'lamin, seperti menjadi musuh negara yang berbahaya. Peran sejarah dan konsistensi Islam dalam merawat Panca Sila dan NKRI, nyaris tak berbekas. Islam terus distigma dan distereotifkan sebagai momok yang menakutkan. Seperti tidak ada tugas dan tanggungjawab yang lebih prinsip bagi aparatur negara. Energi bangsa habis terkuras hanya untuk menjadikan aktifis pergerakan dan umat Islam khususnya para ulama sebagai target politik. Gerakan dakwah yang selama ini menjadi dasar dan prinsip keagamaan dalam Islam, mengalami reduksi oleh kebijakan penguasa. Syiar Islam yang dilakukan para ulama selalu dikonotasikan dan divonis rezim sebagai agitasi, propaganda dan provokasi terhadap umat. Ada saja alasan dan segala cara dilakukan pemerintah melakukan kriminalisasi ulama dengan dalih menyebarkan kebencian dan permusuhan serta memecah belah bangsa. Diskriminasi Hukum Ada rekayasa yang bukan sekedar framing intoleran, radikal dan fundamental. Namun dengan pendekatan keamanan dan menggiring hukum sebagai alat kekuasaan. Tak cukup dengan pelbagai program lberalisasi dan sekulerisasi Islam. Rezim juga telah mengarah pada upaya deislamsasi. Satu sisi terus terjadi pembiaran terhadap konspirasi yang merendahkan marwah Islam. Di lain sisi begitu represi pada kesadaran kritis umat Islam. Manusia-manusia sejenis Ferdinand Hutahaean, Denny Siregar, Ade Armando, Adi Permana, Eko Kuntadi, Husein Shihab, dsb. Asyik berselancar menenggelamkan etika dan adab di media sosial. Tindakan mereka yang merusak keharmonisan dan keselarasan, berpotensi bukan hanya menimbulkan pembelahan sosial di masyarakat. Aktifitas fitnah Ferdinan Hutahaean cs itu juga riskan mendorong perpecahan bangsa. Kalau situasi tersebut terlalu lama didiamkan. Maka publik akan menilai rezim telah sengaja memicu konflik horisontal terjadi pada rakyat. Malah membuat rakyat menganggap pemerintah berada dibelakan dan melindungi para buzzer bayaran itu. Perilaku rendah sampah media sosial, bukan mustahil akan menghancurkan bangunan kebhinnekaan dan kemajemukan bangsa. Indonesia akan mengalami disintegrasi nasional karena ulah segelintir orang. Oleh karena itu penting dan mendesak pemerintah segera mengambil langkah tegas dan tindakan hukum yang seberat-beratnya kepada Ferdinan Hutahaean dan gerombolan penghasut itu. Ujaran Ferdinand Hutahaean terkait \"Allahmu lemah dan Allahku kuat\", harus dihukum seberat mungkin agar menjadi efek kejut dan pelajaran bagi semua yang hipokrat terhadap Islam. Jika rezim tetap abai dan membiarkan hal ini berlarut-larut. Sejatinya rezim hanya menunda chaos yang beresiko tinggi menjadi triger transisisi kekuasan rezim. Sebaiknya rezim berhenti memaksakan diskriminasi hukum. Sepatutnya, pemerintah menjamin penegakkan hukum yang tegas dan berkeadilan. Tanpa pandang bulu, tanpa pertimbangan politis dan tanpa orientasi kekuasaan. Jika tak ada langkah hukum yang jelas kepada Ferdinand cs. Biarkanlah pengadilan jalanan yang akan bertindak. Pemerintah jangan sampai menunggu membiarkan umat Islam mengambil aturan hukum berdasarkan syariatnya. Rezim harus berani melakukan penegakan supremasi hukum atau amuk massa menjadi pilihan yang tak terhindarkan. Kelak umat Islam akan kehilangan kesabaran dan mengobarkan jihad sebagai semangat perlawanan. Sebuah konsekuensi logis ketika pembela agama dibui, sementara penista agama difasilitasi gaji. (*)
Hentikan Ferdinand Hutahaean
Oleh M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan UCAPAN Ferdinand Hutahaean banyak menyakitkan umat, rakyat, dan bangsa Indonesia. Yang terakhir yang dinilai melecehkan umat Islam adalah soal Allah lemah hingga perlu dibela. Ia bandingkan dengan Allah milik dia yang kuat. Gila memang fikiran Hutahaean. Allah lekat dengan asma Tuhan dari umat Islam. Kristen juga kadang menyebut Allah. Jika Allahmu dan Allahku maka yang ada adalah dua entitas yang berhadapan, satu Islam yang lain Kristen. Ferdinand Hutahaean sendiri beragama Kristen Protestan. Dari sisi hukum mudah untuk ditemukan pemenuhan rumusan delik penodaan agama. Pasal 156 a KUHP seribu persen akan terpenuhi unsur-unsurnya. Demikian juga dengan UU ITE. Bahwa Hutahaean minta maaf dan ngeles berdalih dialog imajiner tentu tidak menghilangkan perbuatan pidananya. Cuitannya berada di ruang publik dan cuitan itu sama sekali tidak menyebut imajiner. Dalam hukum pidana cuitan Ferdinand merupakan suatu kesengajaan (opzet) untuk menodai sekurang-kurangnya berdasarkan \"opzet als zekerheids bewustzijn\". Meskipun \"opzet als oogmerk\" pun mudah untuk dibuktikan pula. Yang sulit adalah Hutahaean lari dari hukum. Dalih imajiner hanya akal-akalan untuk mengelabui publik dan penyidik. Ferdinand layak masuk penjara. Cuitan telah menjadi harimau baginya. Agama Islam telah dihina. Apologi adalah upaya melepas dari ancaman hukum. Pengadilan akan menjadi tempat pembuktian. Kita dukung pelaporan oleh KNPI dan elemen lainnya sebagai wujud dari tanggung jawab hukum dan keagamaan. Kepolisian tentu harus menindaklanjuti pelaporan tersebut. Ferdinand yang sompral dan merasa kebal hukum, seperti para penista lainnya, harus mendapat pelajaran. Kegilaan tak boleh diberi ruang, masyarakat khususnya umat Islam harus mendapat perlindungan dan kepastian serta keadilan hukum. Keamanan berkeyakinan harus terjamin. Agama tidak boleh dimainkan apalagi dinistakan. Ferdinand Hutahaean terang-terangan menilai miring soal ketuhanan. Melecehkan Tuhan orang lain sama saja dengan melecehkan Tuhannya sendiri. Kegilaan yang mengindikasi kebodohan. Di tengah rasa keadilan keumatan yang tercederai oleh kasus HRS, HBS dan lainnya maka umat berharap ada setitik bukti keadilan bahwa penista agama juga diproses hukum. Hutahaean adalah alat uji setelah pelaporan Abu Janda, Deni Siregar, dan teman kekacauan lainnya tersendat dalam proses lanjutannya. Ferdinand Hutahaean menambah panas bara api yang terpendam dalam hati umat Islam yang telah lama merasakan ketidakadilan hukum, politik dan agama. Bila Ferdinand menantang perang sabil maka umat Islam akan siap membuktikan bahwa Allah umat Islam itu sangat kuat dan bisa membuat sesal tak berkesudahan. Umat Islam dapat mengawal dengan turun ke jalan. (*)
Ferdinand Hutahaean Bisa Lepas Tapi Harus Menjadi Orang Gila
Oleh Asyari Usman, Jurnalis Senior FNN dan Pengamat Sosial Politik MANTAN politisi Partai Demokrat, Ferdinand Hutahaean, sedang menghadapi masalah serius. Dia dilaporkan ke kepolisian dengan tuduhan telah melakukan penodaan agama Islam. Ferdinand sempat membuat klarifikasi. Dia lebih-kurang mengatakan cuitan “Allahmu lemah” itu tidak dimaksudkan untuk menyasar kelompok atau agama tertentu. Tentu bisa-bisa saja Ferdinand mengelak. Sesuatu yang instinktif. Tetapi, orang tak percaya argumentasi politisi ini. Mengelak itu normal. Semua orang akan melakukannya ketika terpojok. Dalam hal ini, akal sehat Ferdinand mencari jalan untuk keluar dari tuduhan penodaan agama itu. Klarifikasi dari Ferdinand kelihatannya tak berdampak. Cuitan yang gegabah itu tidak ambiguitas. Jelas melecehkan agama Islam. Tidak perlu memanggil ahli bahasa untuk menyimpulkan bahwa kalimat-kalimat Ferdianand memang menghina agama. Dan tidak tanggung-tanggung. Penghinaan itu ditujukan ke Tuhan. Bukan tentang ajaran agama. Bukan tentang sholat atau puasa, sebagai contoh. Dia langsung melecehkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Nah, bisakah Ferdinand lepas dari jeratan pelecehan atau penodaan agama setelah menyebut “Allahmu lemah, perlu dibela”? Tampaknya masih ada yang bisa dilakukannya untuk menggagalkan langkah hukum yang telah dilakukan oleh sejumlah pihak. Caranya? Tidak sulit. Tetapi sangat hina. Ferdinand harus menjadi orang gila. Dia harus menghilangkan kewarasan akalnya agar tidak bisa disentuh hukum. Ini perlu dilakukannya secepat mungkin sebelum laporan polisi terhadap dia diproses. Ferdinand harus berubah menjadi gila sungguhan. Tidak sekadar berpura-pura gila. Teknologi dan kepakaran para psikiater tidak mudah dikelabui. Menjadi gila sungguhan tentu berat sekali. Ferdinand akan ketahuan pura-pura gila kalau cuma mondar-mandir di jalan-jalan Jakarta dengan hanya memakai sempak merah. Atau sambil menyandang tas plastik kumuh yang berisi barang-barang rongsokan. Orang tak percaya. Apa iya bisa gila dalam beberapa hari saja sejak menlecehkan agama? Tak mungkin. Jadi, bagaimana cara yang cepat menjadi gila? Sekali lagi: ini sangat berat. Intinya, pusat syaraf harus mengalami gangguan fungsi. Untuk sampai ke situasi seperti ini, orang harus, misalnya, mengalami kecelakaan lalulintas yang menyebabkan bagian sensitif di kepalanya membentur benda keras. Tapi, kecelakaan lalulintas tak bisa direkayasa supaya Ferdinand menjadi gila. Sebab, kecelakaan bisa saja merenggut nyawa dia. Bagaimana kalau dibenturkan kepala ke tembok atau aspal? Taruhannya berat. Bisa saja kepala luka-luka tapi akal sehat tidak hilang. Tidak menjadi gila. Tapi, ada cara mudah yang bisa meyakinkan publik bahwa Ferdinand benar-benar gila. Yaitu, memakan kotoran manusia atau kotoran binatang sambil mondar-mandir di depan umum. Kalau Ferdinand berani melakukan ini, dijamin masyarakat percaya dia gila. Dengan begitu, lepaslah dia dari jeratan hukum penistaan agama.[]
Bubarkan BRIN
Oleh M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan BADAN Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mulai memakan korban. Implikasi dari penggabungan empat lembaga riset BATAN, LAPAN, LIPI, dan BPPT adalah penyederhanaan tenaga peneliti. 113 pegawai Lembaga Biologi Molekuler Eijkman (LBME) diberhentikan dan 71 diantaranya adalah staf Peneliti. Tentu semua tahu bahwa BRIN adalah adalah sebuah badan riset yang berasal dari integrasi beberapa badan riset. Akan tetapi penyatuan beberapa badan riset tersebut merupakan keputusan politik. Kemauan politik mengenai apa, bagaimana dan tentu juga arah kegiatan riset. Dari pola dan struktur penggabungan yang ada, maka wajar jika muncul kekhawatiran BRIN itu akan bermetamorfosa menjadi lembaga politik. Dua indikasi yaitu adanya struktur Dewan Pengarah dan Ketua Dewan Pengarah yang tidak lain adalah Ketua Umum PDIP. Jadi wajar jika disimpulkan BRIN adalah lembaga riset yang dibentuk untuk kepentingan politik. Riset terarah dan di bawah komando Ketua Partai Politik. Lalu ada apa dengan Megawati \"sang komandan\" ? Ternyata ia bukan hanya menjadi Ketua Dewan Pengarah BRIN tetapi juga merangkap sebagai Ketua Dewan Pengarah BPIP. Unik bahwa ideologi politik dan riset terintegrasi. Riset dalam rangka \"political ideology\". Megawati adalah putri Bung Karno yang di masa Demokrasi Terpimpin dulu juga membuat lembaga riset terintegrasi MIPI Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia, cikal bakal LIPI. Keberadaannya mengambil pola lembaga riset negara Eropa Timur, Uni Sovyet, dan Tiongkok dimana peran negara dominan. Berbeda dengan negara Eropa Barat dan Amerika yang lebih memberi tempat pada swasta untuk mengembangkan riset. Penggabungan lembaga riset dalam BRIN yang dikendalikan oleh Dewan Pengarah dan besarnya kewenangan Ketua Dewan Pengarah cukup membahayakan. Apalagi bila dipaketkan dengan arah ideologi BPIP ikutan dari RUU HIP yang beraroma kiri dan bernafaskan Orde Lama. Independensi pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi menjadi terancam. Rezim investasi dapat mengarahkan riset untuk kepentingan bisnis. Mendukung oligarkhi yang berbasis kapital. Arahan Dewan Pengarah dan otoritas Ketua Dewan Pengarah menentukan proyeksi riset ke depan. Mengabdi pada kepentingan bisnis atau mengikuti kemauan pengambil kebijakan politik. Jika lembaga riset sudah menjadi bola mainan politik dan bisnis , maka situasi menjadi rawan dan tidak sehat. Oleh karenanya sebelum kondisi menjadi lebih gawat maka sedini mungkin harus dicegah. BRIN potensial menjadi badan berbahaya, karenanya pilihan bijak adalah kembali kepada diversifikasi lembaga riset. Mencegah BRIN menjadi mesin oligarkhi. Bubarkan BRIN!
Pesangon Negara Bengis
Semua itu hanya demi satu alasan: aturan! Bah, aturan itu kamu yang bikin. Kalau kamu mau, kamu bisa mengubahnya. Oleh: Radhar Tribaskoro, Pemerhati Politik, Demokrasi, dan Isu Kebangsaan HARI ini bermunculan berita pemecatan besar-besaran di BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional. Pemecatan itu terkait dengan peleburan sejumlah lembaga penelitian ke dalam tubuh BRIN. Maka pegawai honorer, pegawai non-ASN, pegawai kontrak, dari BPPT, BATAN, LAPAN, LIPI, Lembaga Eyckman, Kapal Riset Baruna Jaya, dsb harus diberhentikan. Pemberhentian itu dilakukan dengan alasan efisiensi. Katanya, seorang staf yang tadinya melayani 1 lembaga sekarang dapat melayani 5 lembaga sekaligus. Namun, yang paling mengenaskan, pemberhentian itu dilakukan tanpa pesangon. Kepala BRIN mengatakan pemberian pesangon menyalahi aturan, sebab kontrak kerja tahunan tidak memiliki klausul pesangon. Kepala BRIN mungkin pura-pura tidak tahu, banyak diantara pekerja kontrak itu telah bekerja berpuluh tahun. Entah apa sebabnya, mereka tidak mendapat kesempatan menjadi ASN. Kalau ada pegawai-pegawai kontrak bekerja puluhan tahun tanpa jadi ASN bagaimana anda menyebutnya? Saya akan mengatakan bahwa itu adalah kesetiaan. Sebaliknya, orang-orang bengis akan mengatakan pegawai kontrak itu bisa bekerja karena hadiah. Kalau sekarang mereka diberhentikan, hal itu dianggap wajar sebab sudah tidak ada hadiah lagi. Hadiah apa, memangnya uangmu yang dipakai membayar upah mereka? Ini gambaran negara tanpa etika. Hanya mengandalkan aturan (yang dibikin sendiri) merudapaksa hak-hak pekerja. Negara tampil sebagai penguasa tanpa kemanusiaan. BRIN menjadi contoh bagaimana negara bengis diterapkan, bahkan tanpa mempedulikan situasi ekonomi yang menghimpit karena pandemi. Negara bengis ini akan menjadi contoh. Di bawah aturan UU Cipta Kerja, sebagian besar pekerja adalah pegawai kontrak. Apabila kondisi ekonomi pasca-pandemi tidak membaik, tidak akab berpikir dua kali korporasi-korporasi akan melempar semua pegawai kontraknya ke jalanan. Tanpa pesangon! Negara bengis akan diikuti oleh korporasi-korporasi bengis. Protes rakyat nanti akan dihadapi oleh polisi-polisi bengis. Semua itu hanya demi satu alasan: aturan! Bah, aturan itu kamu yang bikin. Kalau kamu mau, kamu bisa mengubahnya. Sedangkan apa yang kamu abaikan itu adalah etika dan kemanusiaan. Etika dibangun oleh peradaban yang berumur beribu tahun. Etika itu menunjukkan apakah pejabat seperti kalian itu beradab atau tidak! Etika itu sumber efisiensi yang sesungguhnya. Di negara dengan etika dan adab tinggi, rakyat tidak mencereweti kebijakan-kebijakan pemimpinnya. Maka pemerintahan di Jepang bisa bekerja sangat cepat karena etika pejabat sangat dijaga. Hanya merasa salah karena makan di restoran mahal. sudah cukup bagi seorang pejabat Gubernur Tokyo mengajukan pengunduran diri. Dan, kemanusiaan itu anugerah Tuhan. Kamu mencintai anakmu, istrimu, temanmu, binatang peliharaanmu, lingkunganmu, dan manusia2 lain di penjuru dunia karena mereka sama dengan dirimu, sama ciptaan Tuhan. Apakah kamu akan merendahkan hukum Tuhan di bawah hukum bikinanmu? Lebih dari itu, saya ingin mengingatkan. Negara ini tidak boleh semata bekerja berdasar hukum. Negara juga mesti bekerja berdasar kepada etika dan kemanusiaan. Kedudukan etika dan kemanusiaan, bagi negara, lebih tinggi daripada hukum. Mengapa? Karena negara itu pertama-tama berdiri atas dasar persetujuan rakyatnya. Jangan dilupakan, Negara Republik Indonesia berdiri dengan melanggar hukum (kolonial) Belanda dan hanya bisa kokoh karena disokong oleh rakyatnya. Apa dasar sokongan itu? Sokongan itu didasarkan kepada kepercayaan (trust) rakyat. Rakyat percaya bahwa hidup merdeka lebih baik daripada hidup terjajah. Rakyat mempercayai Soekarno, Hatta, Syahrir dan bapak bangsa lainnya, untuk menjadikan kemerdekaan sebagai jembatan emas menuju negara yang adil dan makmur. Kepercayaan publik itu tidak sama dengan hukum. Kepercayaan publik adalah basis untuk menopang dan mengokohkan hukum. Hukum tidak mungkin ditegakkan tanpa kepercayaan publik. Kepercayaan kepada negara tidak selalu bisa diperoleh melalui penegakkan hukum. Apalagi di negara dimana politik telah mengendalikan hukum. Di negara seperti itu hukum dibikin untuk keuntungan politik sepihak. Hukum semacam itu tidak akan pernah bisa adil. Tetapi apa yang terjadi di Indonesia sekarang ini? Seorang Kepala BRIN terkesan bangga melempar pegawai rendahan ke jalanan. Membiarkan ribuan keluarga mereka hidup tanpa sokongan. Puih! Apa artinya Riset dan Inovasi kalau bukannya membuat negeri ini menjadi lebih beradab, lebih manusiawi? Kebijakan anda memberitahu saya bahwa anda tidak mengerti apa-apa tentang apa yang menjadi tugas jabatan anda. (*)
BRIN tanpa BRAIN
Oleh Herman Suherman, Pemerhati Iptek dan Inovasi Indonesia AWAL Januari 2022, dunia riset dikagetkan dengan adanya berita seratusan saintis Lembaga Biologi dan Molekuler Eijkman (LBME) dipecat tanpa pesangon. Berita yang sama juga terjadi kepada puluhan ABK Kapal Riset Baruna Jaya yang langsung diperintahkan meninggalkan kapal per 1 Januari 2022 tanpa pesangon. Kekagetan ini tentu bukan karena sebatas pecat memecat saja yang memang bukan suatu hal baru dan tabu. Kekagetan itu terjadi karena para pegawai atau karyawan yang dipecat-pecat itu tidak diberi pesangon. Kasus seperti ini sebenarnya sudah terjadi sebelumnya, baik di BPPT, LIPI dan mungkin juga di lembaga penelitian lain sebagai buntut peleburan 4 LPNK (LAPAN, BATAN, LIPI dan BPPT) yang masih di proses di Mahkamah Konstitusi. Korbannya umumnya pegawai honorer atau pegawai non-ASN seperti SATPAM, Tukang Kebun, Cleaning servers, pegawai administrasi dan pegawai lainnya. Beberapa lembaga diantaranya kemudian bergotong royong memberikan pesangon dan bahkan tidak jarang yang membantu para pegawai non-ASN yang bernasib malang tersebut dengan cara tetap mempekerjakannya. Instagram, Telegram, Twitter, dan WAGroup ber label #save_karyawan Eijkman dan Barunajaya kini pun bermunculan. Pimpinan BRIN dengan enteng dan lantang tanpa beban hanya mengatakan “mereka bukan ASN dan karenanya tidak berhak menerima pesangon”. Pecat memecat atau pemberhentian pegawai memang suatu cara sangat mudah dengan kualitas pikir rendah untuk melakukan efisiensi dalam suatu organisasi. Dengan memberhentikan pegawai berarti salah satu beban biaya organisasi berkurang. Namun cara tersebut bukan satu-satunya cara melakukan efisiensi. Efisiensi juga dapat dilakukan dengan cara mengoptimalkan faktor produksi (dalam hal ini pegawai) dalam organisasi menjadi lebih produktif (baca misalnya, Sedarmayanti, 2014; Acemoglu dan Robinson, 2012;). Jadi efisiensi dengan cara memberhentikan yang dilakukan terhadap pegawai non-ASN pada LBME, BPPT, LIPI, ABK kapal Riset Baruna Jaya atau lembaga penelitian lain selama ini atas nama efisiensi sungguh sebagai cara orang barbar dan inhuman. Cara tersebut apapun alasannya, tidak berlebihan jelas-jelas bertentangan dengan seluruh sila dalam Pancasila yang selalu dibaca lantang pada setiap apel Senin pagi BRIN. Benar memang sejak Peraturan Presiden No. 78 Tahun 2021 tentang Badan Riset dan Inovasi Nasional diundangkan, BRIN telah cukup banyak melakukan kerja, kerja, dan kerja. Selain mewajibkan ASN BRIN mengisi absen di website yang telah terintegrasi dan apel pagi pada hari Senin, berbagai reorganisasi melalui peleburan telah dilakukan baik untuk 4 Lembaga Pemerintah Non Kementerian-LPNK (BPPT, BATAN, LIPI dan LAPAN) maupun Lembaga Pemerintah Kementerian–LPK (Kementerian Kesehatan, Perdagangan dan lain-lain), juga dengan pembentukan struktur organisasi baik kedeputian dan Organisasi Riset, BRIDA serta perangkat dibawahnya termasuk penunjukkan pejabat Pelaksana Harian dan Pelaksana Tugas, pembentukan rumah program riset, maupun memampangkan logo BRIN di kantor-kantor yang telah dilebur ke dalam BRIN. Terlepas dari apresiasi tinggi vis a vis berbagai kritik dan saran oleh berbagai pihak atas kerja yang dilakukan BRIN, anehnya strategi dan taktik BRIN dalam program riset dan inovasi nasional yang semestinya harus menjadi head line media tidak pernah kunjung jelas terdengar alias gelaf. Padahal perintah Presiden Jokowi dalam Peraturan Presiden No. 78 Tahun 2021 tentang Badan Riset dan Inovasi Nasional khususnya pada Bab 3 pasal 4 ayat b dan c merupakan kunci atau subtansi fungsi tugas utama dari dibentuknya BRIN. Pertanyaan Presiden Jokowi terkait dominasi ekosistem riset oleh lembaga pemerintah yang selama ini tidak menghasilkan produk yang kompetitif di tingkat global selama ini mestinya harus diungkapkan BRIN. Begitu pula dengan jawaban terhadap pertanyaan bagaimana anggaran puluhan triliun yang akan digelontorkan ke BRIN dikaitkan dengan temuan apa yang akan BRIN banggakan di taraf global juga mutlak diketahui dunia riset dan para pemangku kepentingan lainnya. Juga, bagaimana BRIN menghasilkan riset dan inovasi untuk menjawab komplain masyarakat terhadap riset dan inovasi yang disebut-sebut tidak bisa berkompetisi. Bahkan apa dan bagaimana kebaruan dalam ekosistem riset dan inovasi yang akan dirumuskan BRIN agar memberikan manfaat ekonomi besar mutlak dijelaskan kepada publik? Bagaimana program strategis BRIN dalam meningkatkan kualitas periset dan perekayasa yang katanya rendah? Dan seterusnya dan sebagainya. Jika pertanyaan-pertanyaan di atas tidak dijelaskan jawabannya oleh BRIN, lantas mau dibawa kemana BRIN ini? Apakah kehadiran BRIN hanya sebatas Reinventing the Wheel yang bersifat coba-coba? Ataukan kehadiran BRIN ini untuk memuaskan syahwat beberapa pihak? Ataukah kehadiran BRIN cuma untuk mengharuskan periset, perekayasa dan ASN BRIN lainnya untuk mengisi absen dan atau mengikuti apel pagi saja yang sebelumnya tidak biasa dilakukan? Bukankah BRIN punya kewajiban mempertanggung jawabkan uang rakyat yang dipakai? Jawaban BRIN atas pertanyaan substantive dan kunci terkait apa dan bagaimana strategi dan taktik BRIN dalam program riset dan inovasi nasional secara terukur dan visioner mestinya diungkapkan BRIN dan bukan hanya berkutat dengan masalah administrasi, tehnis, komersialisasi aset, peleburan dan pecat memecat yang membuat dunia riset dan inovasi kisruh, gonjang ganjing dan tidak bermatabat. Penjelasan ini sangat utama dan terutama penting untuk meyakinkan public bagaimana strategisnya kehadiran BRIN ini dan sekaligus untuk meredam pikiran-pikiran yang bersebrangan dengan dibentuknya BRIN (Baca Gde Siriana Yusuf, 2022). Saya yakin Presiden Jokowi dan kita semua ingin hal ini dijelaskan dan diyakinkan BRIN kepada dunia riset dan inovasi nasional. Jika tidak, BRIN hanya sebuah Badan Riset dan Inovasi kosong tanpa BRAIN. (*)
Headtrash!
Masalahnya memang ada pada hati. Kalau hati penuh dengan “penyakit-penyakit” (amradh) pastinya akan melahirkan “trashhead” atau kepala yang penuh sampah alias “negative mind”. Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation SEBAGAI bagian dari mengingatkan diri sendiri di awal tahun ini, saya ingin menafsirkan sebuah kata Inggris yang mungkin belum populer di tengah masyarakat. Kata itu adalah “headtrash” yang secara literal bermakna “sampah kepala”. Kata ini sesungguhnya menggambarkan ragam negativity di kepala manusia. Sebagai misal saja dan tentunya masih banyak yang lain, ada benci, dendam, dengki, cemburu, sedih, kecewa, dan seterusnya. Semua hal di atas ternyata sejak lama ditemukan sebagai penyebab serius dari ragam penyakit yang berdampak pada tubuh manusia. Semuanya bisa menjadi penyebab penyakit kanker, diabetes, sakit jantung, dan lain-lain. Sayangnya manusia biasanya mengatasi semua itu dengan solusi medical seperti operasi, kemo, radiassi, juga dengan obat herbal bertahun-tahun bahkan seumur hidup. Semuanya justeru membuat sel-sel tubuh manusia luluh lantak. Sementara akar masalahnya terlupakan, bahkan tidak menjadi perhatian dalam penyelesaian. Akar masalah sesungguhnya ada pada hati yang sakit. Atau dalam bahasa Al-Quran-nya: “fii quluubihim maradhun”. Di hati mereka itu ada penyakit. Yang kemudian merusak seluruh jaringan tubuhnya. Ketika darah tetap asam. Kondisi tubuh asam. Pikiran tetap stress, jiwa tak tenang. Dendam menumpuk. Kecewa terus berlanjut. Perasaan galau menggeluti. Kebencian menyelimuti, dan seterusnya. Sesungguhnya dengan keadaan itu secara tidak langsung seseorang sedang melakukan bunuh diri secara pelan-pelan. Benarkah? Masa’ Iya…. Sang tauladan, baginda Rasul SAW mengingatkan: \"Ada segumpal daging dalam tubuh manusia, yang jika baik, maka seluruh tubuh akan baik. Tapi jika buruk maka seluruh tubuh akan buruk\". Itulah Hati…. Ragam penyakit yang menjangkiti hati manusia tidak semudah untuk diatasi. Bahkan dzikir-dzikir yang menjadi rutinitas pun hanya akan jadi bak nyanyian bersama yang tak efektif jika hati terpenjarakan oleh penyakit itu. Ragam ritual jadi aktifitas yang seolah hanya seremoni-seremoni yang dipertontonkan. Tak jarang jadi “bingkai” yang nampak indah untuk tujuan yang entahlah…(hanya Dia sang Khaliq yang Maha tahu). Di sinilah diperlukan belajar untuk jujur pada diri sendiri. Walau terkadang kejujuran itu pahit dan terasa pedis. Kata orang, jujur pada orang lain harusnya dianggap tidak biasa. Tapi tidak jujur pada diri sendiri menjadi sesuatu yang “sangat luar biasa”. Kejujuran pada diri itu adalah keinginan untuk menghadirkan kesadaran tentang “man ana?” (Siapa saya)? Ada sebuah pernyataan ahli hikmah: “man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu” (siapa yang kenal dirinya, akan kenal Tuhannya). Apa relasi antara keduanya? Mengenal diri dengan segala kehinaan, kelemahan, keterbatasan, dan ragam penyakit-penyakit tadi menjadikan seseorang untuk membangun “kesadaran” akan realita dirinya. Dalam bahasa agama, kesadaran itu disebut “i’tiraf” atau pengakuan akan keterbatasan dan kelemahan diri sendiri. Pengakuan ini sejatinya menjadi langkah awal dari “self correction” (perbaikan diri). Self correction inilah yang biasa disebut dengan “taubat”. Di mana esensi terutama dari taubat tersebut adalah melakukan perbaikan (ishlah) dari kesalahan/kekurangan diri sendiri. Masalahnya memang ada pada hati. Kalau hati penuh dengan “penyakit-penyakit” (amradh) pastinya akan melahirkan “trashhead” atau kepala yang penuh sampah alias “negative mind”. Jangankan kesadaran akan terbangun untuk melakukan “self acknowledgement” dan “self correction”. Termasuk mengubah pandangan dari penglihatan negatif ke penglihatan positif. Bahkan seperti yang disebutkan tadi, lebih buruk lagi, ragam ritualitas agama sekedar akan menjadi tameng (bingkai) untuk tujuan-tujuan memenuhi “syahwat” pribadinya. (*)
Perkara Berita Bohong KM50: Di Mana Kesalahan Habib Bahar Smith?
Pada perkara Habib Bahar Smith tidak ada kausalitas antara pernyataan yang disampaikan dengan timbulnya akibat berupa terjadinya keonaran fisik di kalangan rakyat. Oleh: Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, SH, MH, Ahli Hukum Pidana PENETAPAN status tersangka atas Habib Bahar Smith yang diikuti dengan penangkapan patut dipertanyakan. Dikatakan demikian oleh karena selain proses hukumnya sangat cepat, juga penerapan salah satu deliknya adalah sama dengan Habib Rizieq Syihab pada RS UMMI yakni Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Delik yang dikenal dengan “berita bohong” (hoaks) dalam banyak perkara mengandung kepentingan politis ketimbang yuridis. Demikian itu menjadikannya cenderung subjektif dalam pemenuhan unsur-unsur tindak pidana sebagaimana yang dimaksudkan dalam rumusan UU. Dapat disebutkan di sini unsur “keonaran di kalangan rakyat” dipahami secara menyimpang dari maksud pembentuk UU. Keonaran yang tidak lain adalah suatu kondisi fisik seperti huru hara atau kerusuhan di kalangan rakyat telah diperluas pengertiannya mencakup kegaduhan di dunia maya (media sosial). Pertentangan pendapat antara pihak yang pro dan kontra terhadap suatu konten berita/informasi yang disampaikan secara virtual (youtube) dimaknai sebagai kegaduhan yang berpredikat sama dengan keonaran fisik. Sebagai contoh, pada perkara RS UMMI pertentangan pendapat tersebut itulah yang kemudian menjadi dalil terpenuhinya unsur “keonaran di kalangan rakyat” sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 14 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Padahal pihak yang pertama kali mempermasalahkan kondisi kesehatan Habib Rizieq Syihab adalah para buzzer. Keberadaan buzzer-buzzer tersebut patut diduga sengaja dibentuk untuk menimbulkan kegaduhan (pro-kontra) di media sosial, namun terhadap mereka tidak dilakukan proses hukum. Di sini dipertanyakan apakah hal yang sama akan berlaku terhadap Habib Bahar Smith dalam kaitannya dengan pernyataannya tentang peristiwa pembuhunan keji terhadap keenam laskar FPI. Pernyataan Habib Bahar Smith tentang pembunuhan yang didahului dengan penyiksaan sudah menjadi pengetahuan umum. Dengan demikian bukan hanya Habib Bahar Smith yang mengatakan hal itu. Masyarakat luas dan di dalamnya para tokoh juga menyampaikan hal yang sama, bahkan ada Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan Laskar Front Pembela Islam (TP3). Dalam Buku Putih TP3 yang berjudul “Pelanggaran HAM Berat Pembunuhan Enam Pengawal HRS”, terdapat penjelasan berbagai kondisi yang dialami para korban. Begitupun ketika pihak keluarga korban KM50 dan Penasehat Hukum audiensi dengan Komisi III DPR RI dugaan terjadinya penyiksaan juga telah disampaikan. Kesemuanya itu sudah viral terlebih dahulu sebelum Habib Bahar Smith menyampaikannya. Seharusnya terhadap berbagai informasi dan data-data yang mendukung adanya sejumlah tanda-tanda penyiksaan pada tubuh beberapa korban menjadi petunjuk terjadinya penganiayaan berat sebelum tindakan penembakan. Adalah suatu hal yang aneh apabila Habib Bahar Smith mengatakan adanya penyiksaan sebab pemberitaan/informasi tersebut kemudian dirinya dikatakan telah menyebarkan berita bohong yang menimbulkan keonaran di kalangan rakyat. Seiring dengan itu, selama ini tidak pernah ada suatu kondisi kerusuhan atau huru hara terkait dengan pemberitaan yang viral tersebut. Dalam hukum pidana berlaku hubungan ‘sebab-akibat’ (kausalitas) guna menentukan sebab yang paling dominan terjadinya akibat. Untuk kemudian menjadi dalil terpenuhinya hubungan antara ‘perbuatan’ (actus reus) dan ‘kesalahan’ (mens rea) seseorang guna dapat atau tidaknya dimintakan pertanggungjawaban pidana. Pada perkara Habib Bahar Smith tidak ada kausalitas antara pernyataan yang disampaikan dengan timbulnya akibat berupa terjadinya keonaran fisik di kalangan rakyat. Uraian demikian tentu panjang pembahasan teoretisnya. Penulis singkatkan saja, pernyataan yang disampaikan tidak terkualifikasi sebagai berita illegal (melawan hukum atau tanpa hak). Pada dirinya tidak pula ada kehendak untuk mewujudkan timbulnya akibat yang dilarang oleh Undang-Undang Hukum Pidana (in casu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana). Tidak ada penggunaan pikiran secara salah maupun ‘niat jahat’ (dolus malus) yang mengarahkan dirinya secara ‘dengan sengaja’ untuk mewujudkan akibat yang dilarang. Terlebih lagi UU a quo telah dihapuskan dalam Rancangan KUHP Tahun 2019, disebutkan dalam Pasal 626 Ayat 1 huruf a. Penghapusan tersebut menandakan bahwa sudah tidak ada lagi sebab atau sifat yang menjadikannya sebagai norma larangan. Singkat kata, apa yang disampaikan bukan delik. (*)
Dicintai Rakyat, Dimusuhi Politisi dan Pejabat
Betapa dahsyatnya pengaruh oligarki, bukan hanya dapat memengaruhi setiap individu dan organisasi massa. Oligarki juga leluasa mencengkeram negara. Kekuasaannya mampu menjungkirbalikan nilai-nilai. Kebenaran dan keadilan tak lagi menjadi landasan. Daya rusaknya menyusup mengoyak hubungan sesama manusia, memperkosa alam dan menggusur agama. Berangsur-angsur mengusung materialisme sembari mengubur spiritualitas. Oligarki memaksa setiap orang meninggalkan kemanusiaannya sendiri dan memisah ketuhanan dari jiwanya. Oleh: Yusuf Blegur, Pegiat Sosial dan Aktivis Yayasan Human Luhur Berdikari DALAM hamparan langit kapitalisme yang menaungi jejak sekulerisasi dan liberalisasi di bumi. Oligarki tumbuh besar dan pesat mengelilingi populasi dunia. Tak ubahnya dengan atheisme, secara substansi oligarki telah mewujud sebagai suatu sistem, tata cara dan aturan bahkan menjadi agama baru bagi kecenderungan modernitas. Kejahatan tanpa malu dipertontonkan secara telanjang. Kedzoliman dan penindasan menjadi pakaian beserta aksesorisnya para penguasa. Rakyat semakin kehilangan eksistensi, jati diri dan orientasi. Tak lagi ada tuntunan dan sandaran hidup. Terjebak pada lingkaran ketidakpastian. Rakyat seperti sedang timbul tenggelam mengarungi lautan kesengsaraan. Menjalani pertarungan hidup mati entah karena tenggelam atau ditelan mahluk buas dan ganas. Namun perahu besar yang bernama negara itu tak pernah menengok sedikitpun dan menganggapnya tak ada. Kapal yang megah dan mewah itu dalam kekuasaan para pembajak dari yang coro hingga bandit besar. Pemimpin-pemimpin terlihat sibuk mengurus diri, keluarga dan kelompoknya. Menyelamatkan kelas sosialnya dengan terus membangun tumpukan harta dan jabatan. Para pengemban amanat dan pemangku kepentingan itu, terus berpesta dan mabuk kekuasaan. Seperti sekumpulan hewan predator yang berebut memakan hasil buruannya, hingga pada waktunya saling memangsa. Satrio Piningit Ketika nusantara masa lampau penuh gejolak, diantara para angkaramurka baik yang asing maupun kalangan sendiri. Bumi akan selalu menjadi rahim bagi kelahiran sang pembebas. Selalu ada putra putri yang bersuara lantang dan bersikap tegas menentang lakon semena-semena. Membela rakyat kecil sampai dimusuhi kompeni atau penjajah dengan resiko dipenjara atau ditembak mati. Begitupun jaman dimari. Hanya berbeda situasi dan kondisi. Namun tetap menghadirkan masalah yang klasik. Kemasannya beda namun dengan isi yang sama. Sesungguhnya pertarungan kebenaran melawan kejahatan tak akan pernah berhenti atau lenyap selama bumi masih berputar. Selalu ada yang teguh berpihak pada nasib orang kecil dan sebaliknya ada yang angkuh memelihara kebengisan dengan kekuasaanya. Seperti petuah bijak, tiap jaman ada orangnya, tiap orang ada jamannya. Seperti halnya kapitalisme yang memuat bahan baku berbasis sumber daya alam, produksi dan pemasaran. Oligarki sebagai sebuah strategi dan taktis dari sistem yang sama dengan kapitalisme. Pada prinsipnya, menguasai hajat hidup orang banyak dan akses terhadap kekayaan dan jabatan yang sangat menentukan. Segala cara akan dilakukan untuk mencapai, mempertahankan sekaligus membangun hegemoni dan dominasi. Semua orang dalam domain dan irisan kepentingan itu akan berusaha dibeli dan dikuasai. Begitu juga dengan instrumen dan kelembagaan lainya. Termasuk insitusi pemerintahan harus tunduk dan mengikuti kemauan oligarki. Kekuatan non state yang bisa berupa korporasi, kelompok sekte atau ideologi dan organisasi pemilik modal besar ini tak cukup menguasai satu negara. Jejaring dan dan jelajahnya ikut mengatur dunia. Pengaruhnya akan mendorong pergaulan manusia antar negara dan bangsa menjadi berkiblat pada poros tunggal. Menuju kehidupan yang memasuki \"new age\". Betapapun kehidupan dijejali dan dirasuki distorsi. Maraknya perilaku yang tidak ideal dan menyimpang baik pada norma sosial maupun norma agama. Masih ada orang yang menjunjung tinggi moralitas dan nilai-nilai yang hakiki. Dengan melawan maistream, terasing dan terisolasi. Semangat amar maruf nahi munkar itu tetap hidup dan tak membiarkan kekuataan gelap terus menyelimuti kehidupan rakyat. Rakyat tertindas sejatinya mengandung dan melahirkan benih-benih pembebasan. Meski tumbuh dan besar dalam intimidasi, ancaman dan teror kekuasaan yang korup dan lalim. Walaupun dibenci dan dimusuhi konspirasi kejahatan lokal dan global. Kelahiran-kelahiran pemimpin dari rahim dan yang dicintai rakyat tak akan berhenti dan lekang oleh jaman. Penjara dan kematian tak mampu memberangus giroh dan jihad pemimpin rakyat sejati. Apalagi sekedar uang dan jabatan atau semua fasilitas kesenangan dunia. Tidak seperti para penjilat dan penghianat yang menghamba pada kekuasaan tiran yang rakus dan suka memecah belah bangsa. Hanya tinggal menunggu waktu yang tak lama. Oligarki tak bisa selamanya berkuasa dan mengendalikan semua kehidupan rakyat, meski memanfaatkan juga berlindung dibalik legalitas dan legitimasi negara. Akan tiba saatnya mewujud pemimpin yang dicintai rakyat meskipun dimusuhi politisi dan pejabat. Seperti kata Bung Karno, menghadapi neo kolonialisme dan imperialisme tak cukup hanya sekedar pemahaman dan kesadaran kritis. Harus ada keberanian untuk menjebol dan membangun kembali tatanan kehidupan dunia yang telah rusak. Harus ada semangat progressif revolusioner melawan eksploitasi manusia atas manusia dan eksploitasi bangsa atas bangsa. Menjadi panggilan sejarah bagi seluruh rakyat untuk mejadi merdeka yang sesungguhnya dari penjajahan modern oleh bangsa asing dan bangsanya sendiri. Lagipula, rakyat dapat berguru pada sejarah dan perjuangan para pendiri bangsa bangsa. Bahwasanya, tak ada kekuasaan yang paling besar dan hebat sekalipun di negeri ini yang tak dapat diruntuhkan. Tak ada pesta yang tak berakhir. Tidak ada kekuasaan yang abadi selain kekuasaan Tuhan. Termasuk rezim yang menjadi boneka dan dikendalikan oligarki. Selamat menempuh tahun baru dan rezim baru. (*)