OPINI
Meski Omicron Tidak Membahayakan, Vaksinasi Anak 6-11 Tahun Dipaksakan
Mana suara dokter Indonesia, sementara kata Dr. Tifa, apalah arti nasib 26,5 juta anak Indonesia yang harus divaksin. Mereka korban keadaan. Oleh: Iriani Pinontoan, Wartawan Senior FNN PEMERINTAH melalui Kementrian Kesehatan didukung Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) hingga Ahad, 19 Desember 2021, sudah vaksin 500.000 anak Indonesia usia 6-11 tahun dari target 26,5 juta anak. Miskin edukasi cenderung menakut-nakuti dengan mutasi virus covid menjadi omicron, plus gabungan varian delta jadi delmicron, orang tua pun berkeinginan kuat agar anak segera divaksin. Vaksin apa, ya Sinovac. Setidaknya, ada lima alasan IDAI mengapa anak perlu divaksin. Pertama, anak rentan terinveksi corona. Kedua, sulit mengurus anak yang teriveksi virus corona. Ketiga, tingginya kematian anak akibat virus corona di Indonesia. Keempat, hadirnya varian omicron, dan terakhir, kelima, anak-anak harus segera bersekolah kembali. Data pertama dari Satgas Covid, anak terinveksi covid 10-12%. Alasan kedua, jika anak sakit betapa sulit mengurus karena harus pendampingan orang tua. Ketiga, IDAI mencatat ada 1.000 terinveksi covid wafat, keempat, varian omicron lebih cepat memular dan anak-anak rentan terinveksi. Terakhir, kelima, cluster penularan tatap muka membuktikan anak-anak harus segera vaksinasi. Kelima alasan ini belum tersosialisasi maksimal sudah dilakukan vaksinasi. Akbatnya, beberapa anak diperkirakan kena Kejadian Ikutan Paska Imunisasi (KIPI) atau Kejadian Ikutan Paska Vaksinasi (KIPVI). Epidemologi prediktif Dr. Tifauzia Tyassuma sama sekali tidak khawatir dengan kehadiran omicron. \"Saya jauh lebih khawatir dengan vaksinasi terhadap anak,\" katanya kepada FNN, Kamis (31/12/2021). Anak-anak sudah berjatuhan KIPVI hingga ada yang meninggal. Seperti biasa, kejadian pada orang dewasa, lansia dan ibu hamil, pemerintah hanya mencatat sebagai angka kematian semata. Bukan mencatat sebagai manusia yang wafat akibat KIPVI. Tidak ada penelitian dan pernyataan resmi. Pekan lalu, seorang anak usia 8 tahun divaksin bersama teman-teman sekelasnya di sekolah. Empat dari anak-anak ini KIPVI, kena demam tinggi tidak turun-turun pada suhu 39,5. Tiga dari mereka diberi paracetamol dan obat lainnya oleh dokter, 3 hari kemudian normal kembali. Satu-satunya yang demannya tidak turun terjadi pada Rara. Empat hari kemudian dirujuk ke rumah sakit, tapi disuruh pulang kembali sambil berobat jalan. Dua hari kemudian Rara jadi lemes di rumah dan minta kepada neneknya untuk ke rumah sakit. \"Rara enggak tahan, Nek,\" katanya. Salah satu rumah sakit daerah di Pasar Minggu akhirnya menerimanya. Dokter melakukan observasi dan mengatakan Rara kemungkinan KIPI. Neneknya lalu bercerita dan memuatnya di sosial media. Belum lagi ada yang wafat seusai divaksin di Sulawesi. Tuntutan Emak-emak Pekan ini viral vidio Babe Aldo dan emak-emak sedang diterima Kementrian Kesehatan menyampaikan kekhawatiran mereka tentang vaksinasi anak. Salah seorang emak keberatan anak-anak divaksin. Alasannya, imunitas dan antibodi anak cukup tinggi untuk melawan virus apapun termasuk virus corona. Belum ada penelitian yang menyebutkan anak penyebar virus corona. Di sisi lain, orang dewasa dan lansia dikejar-kejar untuk divaksin.Jika tidak,diancam tidak mendapat pelayanan publik, khususnya adminiatrasi. Salah seorang emak yang juga wartawati senior, Nina Bahri, bercerita pengalamannya ketika berwisata ke Padang dan dikejar-kejar aparat untuk seluruh penumpang bus wajib vaksin. \"Bapak-bapak, andai hari itu ada yang meninggal usai divaksin, saya akan viralkan ke seluruh dunia,\" katanya berapi-api.\" Apalagi, sekarang anak-anak dipaksa vaksin. Mereka generasi masa depan Indonesia. Seharusnya mereka dilindungi. Apa yang akan terjadi pada mereka kelak, tidak ada yang tahu. \"Jangan hanya ingin mempertahankan jabatan menteri, bapak-bapak seolah-olah tidak tahu. Kalau mau divaksin, periksa dulu. Apakah ada comorbid atau tidak. Jangan semua dipaksa. Apalagi anak-anak. Tanggungjawab bapak dunia akhirat lho,\" ujar Nina masih dengan nada tinggi. Sementara kata Dr. Tifa, apalah arti nasib 26,5 juta anak Indonesia yang harus divaksin. Mereka korban keadaan. \"Dan, ketika anak-anak menjadi korban sejak dini, sebagai generasi penerus bangsa, maka kita tinggal menunggu kehancuran negara,\" tandasnya. Mana suara dokter Indonesia, sementara kata Dr. Tifa, apalah arti nasib 26,5 juta anak Indonesia yang harus divaksin. Mereka korban keadaan. Dr. Tifa sejak awal pandemi adalah epidemiolog prediktif dengan pengikut sosial medianya ribuan hingga jutaan yang berseberangan dengan dokter pada umumnya. Prediksinya mendekati kebenaran. Prediksinya tentang pandemi, vaksinasi dan perubahan iklim dunia tidak meleset. Berkali-kali mengatakan tidak anti vaksin, tapi berkali-kali pula sosial medianya, khususnya facebook di- takedown. Khusus untuk vaksin covid, konon perlu waktu panjang untuk penelitiannya. Mana suara dokter Indonesia? (*)
Harga Sebuah Ekspektasi
Sejenak, selama 2 x 45 menit. Rakyat Indonesia mampu melupakan utang negara. Mengabaikan matinya demokrasi dan supremasi hukum. Termasuk semakin rusaknya sistem politik dan perilaku kekuasaan. Dalam waktu yang tidak lebih dari 2 jam, rakyat tak peduli melambungnya harga sembako di penghujung tahun. Oleh: Yusuf Blegur, Pegiat Sosial dan Aktifis Yayasan Human Luhur Berdikari SEMUA risis dan ketidakpastian masa depan yang melingkupi negara, buyar seketika saat menyaksikan Timnas Indonesia berlaga melawan Thailand dalam Turnamen AFC 2021. Seluruh pandangan, pendengaran dan perasaan terkonsentrasi dan tertumpahkan menyaksikan perseteruan Indonesia dan Thailand dalam laga sepak bola yang klasik itu. Ada hal yang lebih menarik dan layak diangkat sebagai refleksi dan evaluasi kebangsaan, lebih dari soal olah raga khususnya sepak bola. Ini bukan tentang sekedar pertandingannya. Bukan hanya soal teknis dan strategis kesebelasannya. Juga bukan melulu soal performa pemain dan pelatihnya. Apalagi cuma soal menang kalahnya. Brasil, Jerman, Perancis, Inggris, Italia dan seabrek timnas sepak bola hebat lainnya, pernah mengalami kekalahan. Tim-tim sepak bola papan atas itu biasa mengalami kemenangan dan kekalahan dalam turnamen bergengsi dan prestisius selevel olimpiade dan piala dunia. Kesebelasan-kesebelasan hebat yang dipuja dan memiliki fans sedunia sekalipun, tak bisa terhindar dari kekalahan. Ada saatnya penampilan mereka menunjukkan superioritas, namun ada waktunya mereka juga dipermalukan lewat ajang sepak bola. Ini tentang sepak bola dan nasionalisme. Bagaimana sepak bola itu menampilkan eksistensi dan kebanggaan sebuah bangsa. Sebagai olah raga yang paling diminati dan memiliki penggemar terbesar di seluruh dunia, sepak bola dalam ajang internasional bukanlah cuma sebuah pertandingan. Ia menjadi pesan dan promosi suatu negara. Tentang kebudayaan dan peradaban suatu bangsa. Sepak bola menjadi bahasa yang universal dalam pergaulan dunia. Relasi sosial antar bangsa di luar persoalan ekonomi, politik dan militer. Dunia sepak bola juga menjadi salah satu faktor yang sering dikorelasikan dengan \"the nation of character building\" pada suatu negara. Sekat-Sekat Nasionalisme Indonesia patut belajar dari negara-negara di belahan benua Afrika dan Amerika Latin. Beberapa dekade, bangsa mereka masih dianggap populasi penduduk terbelakang dan miskin. Betapapun mereka dianggap sebagai rakyat kelas rendah dalam soal pendidikan dan sarana prasarana terkait aspek SDM dan SDA. Tidak dalam sepak bola. Negara-negara Afrika seperti Afrika Selatan, Kamerun, Nigeria, Kenya, Ghana, Senegal, Maroko dll. Begitu Juga dengan negara-negara Amerika Latin seperti Brazil, Argentina, Chile, Paraguay, Ekuador dll. Negara yang secara umum identik dengan gurun dan perbukitan tandus serta perkampungan dan pemukiman kumuh itu, merupakan gudang pemain berbakat dan istimewa dalam sepak bola dunia. Mereka para orang-orang kaya prestasi dan membanggakan sepak bola meski hidup di negara miskin. Sebagian besar penduduk dunia mengidolakan mereka, termasuk penggemar sepak bola di Indonesia. Berbeda dengan negara dimari. Dalam hal sepak bola, rakyat Indonesia merupakan kebalikan dari negara-negara di Afrika dan Amerika Latin. Indonesia seperti menjadi langganan negeri pecundang dalam urusan sepak bola. Entah apa yang menyebabkan sepak bola nasional begitu terpuruk dalam dan berkepanjangan. Bukan hanya miskin prestasi, akan tetapi lebih banyak memalukan dan merendahkan bangsa. Entah apa yang kemudian terus menggeluti wajah suram persepakbolaan nasional. Pencarian bibit, pelatihan dan pembinaan bukan tidak dilakukan. Meski belum maksimal, setidaknya pembentukan tim sepak bola dari usia dini hingga level profesional telah gencar dilakukan. Bukan hanya metode, pembinaan sepak bola telah menjadi seperti pendidikan kurikulum. Menghadirkan pelatih berkelas dan berkarater sudah diupayakan. Struktur dan skema latihan telah mengacu pada sistem yang lebih modern. Termasuk kompetisi reguler sudah berjalan. Pemberian gaji dan fasilitas pemain serta pola makan bergizi dan bernutrisi untuk pemain juga sudah diprioritaskan. Inteligensi dan psikologi juga diberi sebagai salah satu model pendidikan dan pelatihan sepak bola. Apalagi yang kurang?. Jika dibandingkan negara-negara di Afrika atau Amerika latin itu, mungkin sangat jauh berbeda, tapi mereka mampu mengangkat prestasi dan kebanggan negaranya. Mereka mungkin susah untuk sekedar mendapatkan tanah lapang untuk bermain sepak bola. Boleh jadi pemain-pemain dunia seperti mereka, sedari kecil hanya bisa bermain bola di jalanan atau gang-gang sempit. Mereka kebanyakan lahir dari lingkungan dan keluarga miskin. Terkadang terjadi, saat tak mampu hanya untuk membeli seatu sepak bola yang layak. Tapi semangat mereka luar biasa. Ada spirit dan kekuatan yang mengobarkan mereka untuk berprestasi dan menempatkan negara mereka secara terhormat dan layak kedudukannya di dunia. Melalui sepak bola mereka mengenalkan negaranya menjadi disegani dan diteladani. Pemain-pemain sepak bola dunia itu mampu menginspirasi dan memotivasi. Fenomena sepak bola Indonesia yang terus lekat dengan kelas bawah dan tim ayam sayur itu. Bisa dipastikan bukan kelemahan dan kesalahan para pemain, pelatih atau semua irisan yang bersentuhan dengan pembentukan sebuah tim nasional sepak bola. Banyak faktor dan indikator yang menyebabkan perkembangan sepak bola nasional mangkrak. Tidak menutup kemungkinan berpotensi maju, tapi sayangnya prestasi sepak bola nasional boleh jadi dikorupsi. Ada manajemen dan regulasi yang salah. Bisa karena ada mafia bisa juga makelar dalam sepak bola nasional. Mirip negara dan sistem politik, ada juga oligarki dalam sepak bola Indonesia. Mulai dari perekrutan pemain, pembentukan organisasi seoak bola, jual beli pemain, pengelolaan klub, pengaturan skor pertandingan, hingga praktek suap masih kental dalam dunia sepak bola Indonesia. Distorsi seperti menjadi tradisi di negeri ini, bahkan merambah ke wajah sepak bola nasional. Mungkin agak nyeleneh, jika menghubungkan sepak bola dengan nasionailsme. Sepak bola menjadi terbatas dan sempit jika dibahas secara parsIal. Permainan bola lapangan hijau itu tak bisa dipisahkan dari persoalan negara. Baik buruknya prestasi sepak bola nasional juga menjadi cermin baik buruknya negara. Pada satu sisi tertentu yang substansi, sepak bola dan pemerintah menjadi terintegrasi. Sepak bola Indonesia pernah mengalami prestasi puncak di era 1938 saat memakai nama Dutch East Indies. Meski masih dalam masa kolonial, Indonesia saat itu menjadi negara pertama di Asia yang lolos Piala Dunia. Begitupun ketika era orde lama, timnas Indonesia berhasil menahan imbang Uni Sovyet 0-0 di Olimpide Melborne pada tahun 1956. Situasi kebangsaan yang jauh dari ideal, namun begitu patriotisnya timnas Indonesia. Berada dalam cengkeraman kolonialisme dan imperialisme, kemudian baru menikmati kemerdekaan seumur jagung, timnas sepak bola Indonesia berhasil menggelorakan nasionalisme. Ada jiwa dan mentalitas yang ingin menunjukkan diri sebagai suatu negara bangsa yang merdeka, berdaulat dan bermartabat. Tak ingin direndahkan dan ingin dipandang terhormat, menjadi energi besar yang merasuki pemain timnas Indonesia itu. Bak pahlawan di bidangnya pesebak bola tanah air merepresentasikan negaranya dengan penuh pengorbanan, totalitas dan pencapaian tujuan yang menggetarkan nasionalime dalam sepak bola. Kembali pada hasil pertandingan timnas Indonesia melawan Thailand di final leg pertama Piala AFC 2021. Dengan hasil kekalahan 0-4 dari Thailand, memang bukanlah hasil yang mengejutkan. Bukan juga apriori atau skeptis terhadap sepak bola nasional. Ini lebih menyangkut soal mimpi dan harapan rakyat Indonesia terhadap timnas yang menjadi kebanggannya. Seakan Rakyat Indonesia, berharap menemukan kehormatan dan harga diri bagi negara bangsanya melalui sepak bola. Terutama ketika di negara-negara maju, sepak bola telah menjadi industri dan instrumen kapitalisme. Apakah terlalu berlebihan? Atau juga ini menjadi kontemplasi kebangsaan? Ketika rakyat banyak menemukan negara sedang tidak baik-baik saja hampir di semua sendi kehidupan, rakyat Indonesia terlalu berharap pada timnas untuk mendapatkan kemenangan. Meski nasionalisme pada akhirnya gagal menghidupkan daya juang timnas sepak bola Indonesia, rakyat memang harus bisa menerima dan membiasakan diri pada kenyataan pahit. Tangis, kekecewaan, penyesalan dan rasa frustasi mengiringi kekalahan timnas yang mempermalukan rakyat dan negara. Bukan, sekali lagi bukan kelemahan dan kesalahan pemain atau pelatih. Hanya saja, sama seperti negara Indonesia tercinta, nasionalisme masih terkubur lelap seiring terpuruknya prestasi timnas. Atau mungkin saja terlalu besar mimpi bangsa ini memiliki kesebelasan yang tangguh di dunia. Begitu tingginya ekspektasi bangsa Indonesia terhadap timnas, sehingga hasilnya harus dibayar dengan kekecewaan dan kesedihan nasional. Maka bijaklah sebisa mungkin, berhenti menumpahkan kekesalan dan mengumpat timnas. Setidaknya tidak sekeras dan sefatal saat menghujat rezim yang jauh lebih banyak kegagalannya. Bangun dari ekspektasi dan utopi, karena nasionalime masih belum tampak juga batang hidungnya di negeri ini. Lagi pula berharap kejayaan sepak bola nasional, akan senilai dengan upaya mewujudkan kemakmuran dan keadilan di ilusi Panca Sila. Siapa yang tahu? (*) Penulis, Pegiat Sosial dan Aktifis Yayasan Human Luhur Berdikari
PKS Bagus Tolak Pindah Ibu Kota
Oleh M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan Di samping masih pandemi Covid 19 yang membutuhkan penanganan serius, juga perpindahan Ibukota dinilai tidak begitu penting. Karenanya PKS menolak perpindahan Ibukota Negara tersebut. Sikap ini bagus dan aspiratif karena perpindahan Ibukota Negara ke Kalimantan sejak awal memang diragukan urgensinya. Entah PKS akan menjadi satu-satunya Partai atau Fraksi yang menolak atau akan menyusul Partai/Fraksi lainnya. Yang jelas sikap menolak akan mendapat dukungan rakyat. Perpindahan Ibukota dirasakan bukan demi kepentingan rakyat tetapi hanya ambisi segelintir elit politik pimpinan Presiden Jokowi. Sebagaimana UU Cipta Kerja yang tergesa-gesa ditetapkan sebagai Undang-Undang, kini RUU Ibukota Negara menjadi prioritas bahasan DPR yang diprediksi akan diputuskan dengan tergesa-gesa pula. Suatu perundang-undangan yang sarat kepentingan, elitis, dan pragmatis biasa diputuskan dengan cepat, diam-diam, dan tidak cermat. Penajam sendiri sebagai calon Ibukota diragukan kecocokannya sebagai Ibukota Negara. Tidak ada studi kelayakan yang terbuka dan dapat dipertanggung jawabkan kepada publik. Rakyat dibiarkan diam dan terpaksa menerima hasil pembelian \"kucing dalam karung\". Kucing penjelmaan dari perampok aset negara. Pemakan tanah dan peminum air milik rakyat Indonesia. Kucing yang dengan sorot tajam dan bermata sipit siap menerkam mangsa serta mengoyak-ngoyak harga diri dan martabat bangsa dengan menginjak-injak kedaulatan Negara. Kucing investasi yang hanya mengeruk keuntungan besar dan menutup rapat pundi-pundi yang sengaja disimpan di luar negeri. PKS yang menolak mungkin akan kalah telak. Akan tetapi sesungguhnya tidak ada kata kalah selama masih gigih untuk berjuang. Menjadi sunnatullah bahwa kegigihan berjuang itu cepat atau lambat akan memetik hasil. Hukumnya adalah bahwa kejayaan itu akan dipergilirkan. Semoga tetap istiqamah. Jangan menjadi Partai plintat-plintut penjilat pantat penguasa. Memperebutkan hanya jabatan Menteri yang kursinya semakin reyot. Bersandar pada batang yang rapuh akan membuat penyandar jatuh. Pengabdi kekuasaan selalu merasa kuat dalam menduduki singgasana, padahal sesungguhnya cukup dengan satu sentuhan saja singgasana itu akan roboh. Sentuhan pada ketepatan ruang dan momentum nya. Mari kita dukung penolakan pindah Ibukota Negara dan dukung pula langkah melawan ambisi oligarkhi. Stop penggerusan dana rakyat yang dipakai sia-sia untuk proyek yang bakal mangkrak. PKS berjuang di Parlemen. Bantu PKS dan Partai/Fraksi penolak pindah Ibukota Negara. Dukung anggota Dewan yang masih memiliki pandangan sehat. Dorong untuk semakin banyak anggota Dewan yang benar-benar berbuat untuk kepentingan rakyat. Bukan yang berputar-putar hanya dalam usaha untuk menggemukkan diri dan partainya saja. (*)
Vaksinasi, Cara Sehat Menuju Sekarat?
Selain dipenuhi korupsi dan persekongkolan bisnis, pemberlakuan PPKM yang berjilid-jilid tak berujung dan kebijakan prokes yang serba tumpang tindih, seperti politik rasialis yang memilih tempat, orang dan suasana. Oleh: Yusuf Blegur, Pegiat Sosial dan Yayasan Aktifis Human Luhur Berdikari LEBIH ironis PPKM menyasar pembatasannya pada momen-momen keagamaan tertentu saja. Wajar saja vaksinasi dan PCR juga begitu mendesak untuk dipaksakan. Ada aliran cuan yang deras selain politik licik di sela-sela pandemi. Rezim ini sungguh tak punya hati dan menjadikan nyawa rakyat sebagai taruhan bisnis dan kekuasaan politiknya.Belakangan muncul lagi virus varian baru yang namanya mirip popcorn, cemilan santai berbahan jagung. Virus yang menandai era pandemi saat dunia diliputi perang modern proxy dan asimetri. Jelajahnya bagaikan ideologi kapitalitalis dan komunis. Menjadi keniscayaan diantara keharusan dan rekayasa.Otoritas profesi dan badan dunia kesehatan terbelah menyikapi latarbelakang, penyebaran dan dampak Covid-19. Kerancuan juga terjadi bahkan pada keberadaan dan eksistensi pandemi yang sesungguhnya. Ada \"split opinion\" dari WHO dengan institusi-inistitusi kesehatan setiap negara. Keraguan dan penolakan pandemi juga terjadi di kalangan para pakar kesehatan dan dokter-dokter di dunia.Pelbagai varian yang menjalar hingga prosedur kesehatan yang melingkupinya, membuat virus Covid-19 menjadi aturan baru bagi tata kelola penyelenggaraan negara baik dalam hubungan internal, bilateral maupun internasional. Dunia berjamaah mengikuti pandemi yang menimbulkan kontroversi dan polemik berkepanjangan. Publik internasional dipaksa untuk limbung menyikapi pandemi, termasuk menelan informasinya yang absurd.Ilusi PandemiDi Indonesia sendiri, fenomena Covid-19 dan penanganannya, telah melampaui batas-batas aspek kesehatan semata. Sama yang terjadi pada dunia, secara perlahan dani berangsur-angsur. Pandemi telah dimodifikasi dan menjadi komoditi baik secara politik maupun ekonomi. Dua tahun digerus pandemi seiring perjalanan pemerintahan Jokowi. Rezim kekuasaan benar-benar memanfaatkan pandemi tidak sekedar dalam ruang lingkup kesehatan dan keselamatan rakyatnya saja, simpang-siur sosialisasi dan edukasi menimbulkan lemahnya penanganan pandemi. Belum lagi ditambah tidak konsisten dan diskriminasi aturan dan UU Kesehatan. Kondisi buruk yang demikian semakin diperparah dengan korupsi bansos penanganan Covid-19 yang diikuti persekongkolan bisnis PCR pejabat dan pengusaha serta lingkaran Istana. Oligarki menyusup juga di pusaran pandemi.Jadilah persefektif dan proyeksi politik, rezim menjadikan pandemi sebagai musibah dan berkah. Protokol kesehatan dimanfaatkan sebagai alat efektif meredam dinamika demokrasi. Regulasi kebijakan terkait pandemi disiasati sebagai instrumen politik melanggengkan kekuasaan. Rezim benar-benar mengambil \"blessing in the sky\" dari momentum pandemi. Menari-nari di atas penderitaan dan kematian rakyat. Kematian yang debatebel, apakah alami atau rekayasa? Logika dan rasionalitas publik seiring waktu, mulai memahami apa yang sesungguhnya ada pada pandemi. Selain jenuh dengan dampak pandemi yang tak berkesudahan, rakyat cenderung mencium aroma busuk konspirasi jahat pandemi di negerinya sendiri. Ujung-ujungnya soal uang dan kekuasaan yang sebenarnya terjadi di balik pandemi Covid-19.Vaksinasi yang dipaksakan dan diikuti ancaman pidana, termasuk pada usia anak dan balita. Dengan tanpa pemahaman utuh dari sisi medis dan dampaknya. Semakin membuat rakyat percaya dan akan cenderung menganggap ini sebagai agenda terselubung kejahatan kemanusiaan. Dicurigai sebagai program genosida massal.Sejauh pandemi berlangsung, terbukti vaksinasi apapun nama dan jenisnya, tak serta-merta membuat orang terpapar atau mengidap virus covid-19. Justru sebaliknya, dalam beberapa kasus ditemukan penurunan daya tahan tubuh dan bahkan tak sedikit dijumpai angka kematian pasca vaksinasi. Belum lagi kemungkinan resiko berat dan mungkin mengerikan setelah beberapa tahun kemudian.Hari berganti hari, bulan ke bulan dan dari tahun ke tahun. Pandemi semakin tak jelas dan berujung. Silih berganti vaksin tak mengindari tubuh mengidap virus. Benarkah virus itu telah menjadi pandemi? Akuratkah kematian demi kematian karena Covid-19 semata? Lebih ekstrim lagi, apakah sesungguhnya pandemi itu ada?Semoga saja apa yang buruk dan terburuk dari kegelisahan akan pandemi tak akan terjadi. Semoga vaksinasi benar dan jujur adanya sebagai upaya penanggulangan pandemi. Bukan ilusi. Bukan juga vaksinasi sebagai cara sehat menuju sekarat. Semoga. (*)
Ganjar Datang Jemaat Bubar
Jika Ganjar adalah figur yang sengaja digadang-gadang untuk menjadi boneka oligarkhi baru, maka demokrasi semakin terancam. Negara cukong akan terus dilestarikan. Oleh: M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan KIRIMAN berita tokoh nasional asal Papua Natalius Pigai cukup menarik. Saat acara Natal Ikatan Mahasiswa Pegunungan Jayawijaya se Jawa, Bali, dan Sumatera di Megamendung tiba tiba melalui Zoom muncul sosok Gubernur Jateng Ganjar Pranowo hendak memberi sambutan. Sontak mahasiswa terkejut. Para mahasiswa langsung \"walk out\" hingga kursi nyaris kosong. Dua orang yang diketahui petugas medsos yang hadir diusir jemaat dan \"kabur\" dengan Innova bernopol H 1270 XG. Wuih mobil pun datang dari Semarang. Akhirnya sambutan \"selundupan\" Ganjar batal. Misi politik di arena ritual gagal total. Ganjar atau timnya gencar berkampanye untuk Pilpres 2024. Tidak cukup deklarasi oleh para relawannya. Agenda Sambutan \"selundupan\" pada acara Natal di Megamendung adalah contoh pencarian ruang kampanye. Meski pasti dibantah bukan inisiatifnya, tetapi rasanya tidak mungkin tim berani \"nyelonong\" tanpa restunya. Pakai mobil H lagi. Ganjar bukan calon otentik, besar dugaan orbitan. Ia mengeles dengan pengakuan tidak ikut capres-capresan. Malu pada Covid. Prakteknya kasus e-KTP yang membelitnya nampak diabaikan. Benturan kepentingan PDIP dengan pencalonan Puan diatasi dengan survey buatan. Top up atau mark up mudah untuk dilakukan asal ada bandar yang siap berjudi. Jika Ganjar adalah figur yang sengaja digadang-gadang untuk menjadi boneka oligarkhi baru, maka demokrasi semakin terancam. Negara cukong akan terus dilestarikan. Karenanya jika rakyat kini melakukan konsolidasi dan berteriak melawan Ganjar, bukan semata tak suka pada figurnya tetapi wujud dari perlawanan pada sistem pemerintahan oligarkhi yang ingin dibangun secara berkelanjutan. Berita dari pejuang HAM dan demokrasi Natalius Pigai tentang bubarnya peserta Natal Megamendung akibat dari \"hadirnya\" Ganjar Pranowo sangat menarik. Mahasiswa Papua bukan sekedar menolak Ganjar \"sang penyelonong\" tetapi ini sebagai perlawanan Ikatan Mahasiswa Pegunungan Jayawijaya pada cara \"menghalalkan segala cara\" untuk melanggengkan kekuasaan oligarkhi. Ganjar datang Jemaat bubar. (*)
Anies dan Fenomena Capres 2024
Jika orang-orang waras di negeri ini selalu hadir dan mengambil peran untuk menjernihkan ruang publik yang sudah sangat keruh itu, maka rakyat akan memiliki pandangan yang lurus, benar, obyektif dan apa adanya. Termasuk melihat dengan jernih orang-orang seperti Anies. Oleh: Tony Rosyid, Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa UPAYA untuk membentuk opini bahwa Anies gagal memimpin DKI dilakukan secara sistemik, terstruktur dan masif. Sistemik, karena dilakukan dengan terencana dan menggunakan berbagai strategi. Terstruktur, karena dilakukan melalui semua akses struktural yang dimiliki. Masif, karena upayanya terus menerus, dengan semua cara, dan tak kenal lelah. Ada dua pertanyaan terkait penjegalan terhadap Anies. Pertama, apa motif dan tujuan menjegal Anies? Ini sekaligus berkaitan dengan siapa-siapa penjegal Anies tersebut. Kedua, bagaimana cara menjegal Anies?Tujuan menjegal Anies pertama, punya motif politik. Intinya Anies gak boleh jadi presiden. Ucapan salah satu Ketum partai baru-baru ini, juga sejumlah buzzer yang videonya sempat viral, seperti menegaskan bahwa Anies gak boleh jadi presiden. Potensi Anies untuk nyapres di 2024 cukup menggelisahkan sejumlah pihak.Mereka tidak menerima Anies, karena Anies diyakini dapat menggeser \"kekuasaan\" yang selama ini mereka nikmati. Hal yang lazim dalam sejarah bahwa tak ada yang mau lengser dan kehilangan nikmatnya kekuasaan. Akan berupaya sekuat tenaga mempertahankannya. Anies juga \"dianggap\" tidak bisa berkompromi dan mengakomodir mereka jika berkuasa.Bukankah berpolitik itu tidak selalu harus mengambil jalan bermusuhan? Tidakkah berpolitik itu juga memberi jalan kompromi, win-win solution? Bukan untuk saling mengalahkan dan menjatuhkan?Kalau lawan sudah dianggap abadi, ini berpotensi akan terjadinya benturan. Ini bukan cara berpolitik yang rasional, tapi emosional. Bukan berkompetisi lagi, tapi bermusuhan. Ini akan melahirkan proses demokrasi yang tidak sehat, dan bahkan suram. Persaudaraan dalam berbangsa lambat laun akan hilang, karena satu dengan yang lain hanya punya semangat menjatuhkan dan menghancurkan.Kedua, punya motif ekonomi. Mereka melihat bahwa Anies tak bisa diajak kompromi untuk mencuri harta milik negara. Kasus 13 pulau reklamasi yang ditutup Anies, adalah contoh konkret bahwa Anies tidak bisa diajak kompromi untuk hal-hal yang melanggar aturan dan berpotensi merugikan negara.Ada istilah \"maling teriak maling\". Ada banyak orang yang berupaya membuat opini bahwa Anies maling, padahal mereka adalah para maling yang sekarang sedang kesulitan untuk maling di DKI. Mereka teriak Anies korupsi, padahal mereka adalah para koruptor yang susah untuk korupsi selama gubernurnya masih Anies. Narasi ini memang terkesan kasar, tapi harus diungkap ke publik demi alasan obyektifitas dan pembelajaran moral-politik kepada rakyat. Kita ingin rakyat tidak tersesat karena rekayasa opini yang berlebihan. Ketiga, motif psikologis. Menjegal Anies hanya untuk memberi kepuasan psikologis. Kalau Anies gagal, mereka puas. Hanya itu. Dan mereka adalah orang-orang yang di pilgub DKI tidak mendukung Anies, tersandera \"isu politik identitas\", atau ada perbedaan tajam dengan sejumlah kelompok yang selama ini mendukung Anies. Yang ketiga ini lebih bersifat emosional, bukan rasional. Lalu, apa yang mereka lakukan untuk menjegal Anies? Pertama, Jegal semua program dan kebijakan yang potensial membesarkan nama Anies. Formula E misalnya, ini seksi kalau bisa dibatalkan. Dengan dibatalkannya ajang balap Formula E, maka Anies akan otomatis tertuduh sebagai pihak yang menghilangkan uang negara berupa komitmen fee. Ajang balap Formula E batal, Anies akan jadi bulan-bulanan dan pusat tuduhan. Seksi sekali. Kedua, Anies harus selalu diopinikan gagal dan salah. Pokoknya, Anies tidak boleh sukses dan benar di mata publik. Apapun hasil kerja Anies, harus ada \"narasi kontra\". Apapun prestasi dan penghargaan yang diterima Anies harus didelegitimasi. Narasi \"Anies menghamburkan APBD untuk membeli banyak penghargaan\" adalah contoh upaya delegitimasi itu. Ketiga, mereka yang punya akses hukum akan menggunakan jalur hukum untuk terus mencari celah kesalahan yang bisa mempidanakan Anies. Keempat, Serang dan demo Anies secara masif agar ada kesan ke publik bahwa Anies tidak disukai oleh rakyatnya sendiri, dalam hal ini adalah warga Jakarta. Di depan kantor balaikota Jakarta, hampir setiap pekan ada 30-50 orang demo. Hampir setiap pekan broI Ini semua akan bergantung kapada kesadaran rakyat, mampukah rakyat tetap jernih dan memiliki kesadaran dalam melihat hiruk pikuknya ruang publik yang dijejali dengan informasi dan opini yang tidak berangkat dari fakta dan cenderung menyesatkan. Jika orang-orang waras di negeri ini selalu hadir dan mengambil peran untuk menjernihkan ruang publik yang sudah sangat keruh itu, maka rakyat akan memiliki pandangan yang lurus, benar, obyektif dan apa adanya. Termasuk melihat dengan jernih orang-orang seperti Anies. Melihat sebagaimana adanya, sesuai data dan fakta, bukan dalam potret kontra opini dan mis-informasi. Anies adalah Anies dengan semua hasil kerjanya yang bisa dilihat, dirasakan dan dibuktikan, bukan Anies sebagaimana pendapat mereka yang emosional dan sarat kepentingan politik dan ekonomi. Jakarta, 29 Desember 2021. (*)
Retorika Pemberantasan Mafia Migas: Adili Ahok!
Ahok bukan saja wewenangnya jauh di bawah presiden, tetapi juga tidak qualified menjadi Komut Pertamina. Ahok adalah terduga koruptor kasus korupsi Rumah Sakit Sumber Waras yang telah memiliki bukti lebih dari cukup untuk diproses di pengadilan. Oleh: Marwan Batubara, IRESS PADA 26 Juli 2014, Presiden terpilih Joko Widodo mengatakan akan memprioritaskan pemberantasan mafia migas. Menurut Jokowi, praktek mafia migas di Kementrian ESDM sudah sangat kuat dan merugikan negara akibat pengawasan lemah. Untuk membersihkan mafia migas, Kementerian ESDM harus dipimpin seorang yang memiliki integritas. “Perlu ada pemimpin dengan leadership yang kuat,” kata Jokowi di Solo, 26 Juli 2014. Pada 26 Oktober 2014, Presiden Jokowi mengumumkan susunan kabinet yang diberi nama Kabinet Kerja. Sudirman Said ditunjuk sebagai Menteri ESDM. Pada 16 November 2014, sesuai arahan Jokowi, Kementrian ESDM membentuk Tim Reformasi Tata Kelola Migas (TRTKM) yang dipimpin Faisal Basri. Salah satu tujuan utama TRTKM adalah memberangus mafia migas agar Indonesia mencapai kedaulatan energi. Setelah 6 bulan bekerja, pada 13 Mei 2015 TRTKM menghasilkan 12 rekomendasi. Sebagian besar rekomendasi TRTKM ditindaklanjuti pada 2015. Dalam rangka memberantas mafia, sesuai rekomendasi TRTKM, Pertamina menunjuk KondaMentha melakukan audit forensik transaksi migas Petral 2012-2014. Temuan utama KordaMentha adalah: 1) kebijakan proses pengadaan tidak kompetitif; 2) terdapat kebocoran informasi merugikan negara; 3) ada pengaruh pihak eksternal dalam proses bisnis Petral. Menteri ESDM (2014-2016) Sudirman Said memastikan KordaMentha sebagai pelaksana audit forensik adalah lembaga yang sangat kredibel. Karena itu, Sudirman mengatakan hasil audit yang dilaporkan kepada Pertamina dan Kementraian ESDM serta Kementrian BUMN juga sangat dapat dipercaya. Karena itu Sudirman yakin mafia migas dapat diberantas. Ternyata, saat itu hasil audit forensil tak langsung ditindaklanjuti ke KPK karena ditahan Presiden Jokowi. Sudirman mengungkap Presiden Jokowi memintanya menunda melaporkan hasil audit P KordaMentha kepada KPK (16/2/2019). \"Malam itu saya dapat pesan Presiden lewat seseorang, laporan Petral ke KPK ditunda dulu,\" kata Sudirman di Jakarta, 16/2/2019. Sudirman mengatakan: “Yang cemas atasan saya (Jokowi) terhadap proses pembubaran Petral karena ditakut-takuti beberapa menteri. Tetapi saya katakan ‘Pak ini janji bapak dan saya itu diangkat jadi menteri diminta membersihkan mafia migas\'. Karena itu saya push terus dan itu tadi saya tidak tahu sampai di mana, audit sudah selesai dan sudah jelas hasilnya\". Dengan penjelasan di atas maka menjadi terang benderang bagaimana sebenarnya sikap dan komitmen Jokowi terhadap pemberantasan korupsi yang diucapkan Juli 2014 lalu. Niat baik sudah diucapkan sebagai janji. Instrumen dan bukti guna merealisasikan janji pun telah tersedia, berupa temuan audit KordaMentha. Ternyata, kesempatan tidak dimanfaatkan. Janji pemberantasan mafia migas tampaknya hanya retorika! Debat Capres 2019: Mafia Migas Bubar Saat Debat Capres 2019, Capres No.1 Joko Widodo dengan confident mengatakan sudah berhasil memberantas mafia migas karena telah membubarkan Petral pada 13 Mei 2015. Kata Jokowi: \"Mafia migas Petral telah kita bubarkan, Blok minyak Rokan telah kita kelola, Blok minyak Mahakam telah kita kelola, Freeport 51 persen mayoritas telah kita ambil. Kita ingin negara ini semakin baik\" (17/1/2019). Berdasarkan pernyataan tersebut, tampaknya Jokowi ingin mengatakan mafia migas ikut bubar atau telah diberantas dengan membubarkan Petral… Padahal seandainya relevan, pembubaran Petral bukanlah rekomendasi TRTKM, karena yang diminta adalah pelaporan audit KordaMentha kepada KPK. Pada RDPU dengan Komisi VII DPR (20 Mei 2015), Faisal Basri mengatakan pembubaran Petral bukan rekomendasi dirinya atau TRTKM. Wacana pembubaran Petral tidak pula datang dari Menteri ESDM Sudirman. Sudirman tak setuju Petral dibubarkan karena anak usaha Pertamina ini hanya perlu pengawasan dalam mengamankan pasokan minyak di dalam negeri. “Petral itu tidak harus dibubarkan, tapi kontrolnya harus berpihak untuk nasional” (1/11/2014). Kata Sudirman, Petral strategis bagi Indonesia dan pemerintah masih membutuhkan Petral memasok kebutuhkan minyak. Sudirman yakin Petral yang sahamnya dimiliki sepenuhnya oleh pemerintah, masih bisa dibenahi. \"Seratus persen sahamnya dimiliki Pertamina. Jadi kalau manajemen Pertamina baik, komisaris Pertamina baik, Petral akan baik,\" kata Sudirman. M. Said Didu sangat yakin mafia migas tetap ada hingga saat ini, walaupun Petral sudah dibubarkan. \"Jadi kalau orang mengatakan tidak ada mafia, maaf saja, saya tahu persis ada mafia. Dan mafianya itu selalu mengobjektifkan kepentingan subjektif lewat kekuasaan\" (26/11/2019). Jadi, klaim Capres 01 pada Debat Capres 2019 menjadi terbantahkan! Hal ini pun terkonfirmasi dengan diusungnya Ahok menjadi Komut Pertamina, yang salah satu tugasnya membernatas mafia. Artinya, mafia masih ada walau Petral sudah bubar! Mafia Migas & Tuan MR Said Didu mengatakan sesuai hasil audit KordaMentha, ditemukan hasil penelusuran bahwa semua orang yang bekerja dalam transaksi migas di Petral, komunikasinya mengarah ke satu orang. Berarti memang ada koordinasi dengan orang tersebut. Puluhan miliar Rp per hari mereka ambil, dan hal itu sudah dilaporkan ke KPK pada 2016. Orang yang dimaksud Said adalah Muhammad Reza Chalid (MR), seperti diungkap Republika.co.id dan Tempo.co. Berdasarkan sumber Republika.co.id, KordaMentha menunjukkan adanya arah ke korporasi besar, sebuah perusahaan yang memiliki jaringan dalam Petral. Dari perusahaan inilah terdengar nama \"MR\". \"Memang ternyata orang-orang yang bekerja di Petral adalah karyawan MR. Dokumen itu pura-pura saja. Pura-pura ada penawaran. Kalau dikatakan pakai ID, benar, tapi sebetulnya sudah diatur,\" kata sang sumber (9/11/2015). Mantan anggota TRTKM Fahmy Radhi mengatakan pada masa pemerintahan SBY, nama MR sering disebut atas dugaan keterkaitan sebagai pihak ketiga, yakni dalam kasus pengadaan minyak selama periode 2012-2014 di Petral. “Sesungguhnya dulu tim kami (TRTKM) ke KPK, kemudian melapor ke Bareskrim, kami melakukan konfirmasi ternyata ditemukan kesamaan, inisialnya MR,” kata Fahmy (Tempo.co, 11/11/2015). Berdasarkan temuan KordaMentha, jaringan mafia migas itu menguasai kontrak suplai minyak senilai US$ 18 miliar atau Rp 250 triliun selama tiga tahun. \"Tuan MR\" ini, melalui perusahaannya, menjadi perantara pengadaan minyak negara. Tuan MR pengusaha besar yang memiliki perusahaan di Singapura. Akibat ulah para mafia migas, Pertamina tidak memperoleh harga terbaik dalam pengadaan minyak atau jual-beli produk BBM-nya. Meskipun temuan KordaMentha dan penyebutan nama MR ini telah beredar bertahun-tahun, ternyata MR justru “sempat datang” menghadiri undangan pesta pernikahan putra pertama Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka di Solo pada 11 Juni 2015. Saat itu MR juga sempat berbicara akrab dengan Presiden Jokowi. Polemik tentang MR kembali mencuat setelah dia hadir pada kuliah umum Presiden Jokwi pada acara Partai Nasdem, di Jakarta (16/7/2018). Padahal, pada Januari 2016, Kejagung mengaku kesulitan menghadirkan MR untuk dimintai keterangan terkait kasus \"Papa Minta Saham\" yang “mencatut” nama dan sempat membuat berang Presiden Jokowi. Publik heran bagaimana bisa Presiden Jokowi tidak bereaksi soal protes publik terhadap hadirnya MR pada acara Nasdem. Padahal dalam acara kuliah umum itu Jokowi menjadi pembicara utama. Kasus Papa Minta Saham memang telah ditutup Kejagung karena alat bukti tidak relevan. Tuan MR pun lolos dari proses penyelidikan. Namun meskipun nama Tuan MR sudah cukup dikenal terkait dengan mafia migas, Presiden Jokowi masih berkenan mengundangnya ke Solo pada 11 Juni 2015 dan sempat pula hadir bersama pada acara yang diadakan Partai Nasdem pada 16 Juli 2018. Jadi, janji memberantas mafia hanya sekedar retorika? Retorika Baru: Ahok akan Berantas Mafia Migas! Pada akhir November 2019 publik dikejutkan rencana pemerintah mengangkat Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menjadi Komisaris Utama (Komut) Pertamina. Ahok yang diberi gelar hiperbolis “si pendobrak” dan “salah satu putra terbaik bangsa” oleh Kementrian BUMN digadang-gadang menjadi jalan keluar bagi pemerintah memberantas mafia migas. Lho, ternyata mafia migas si penghisap rakyat masih bergentayangan? Bukankah Jokowi pernah menyatakan pada Debat Capres 2019 telah berhasil memberantas mafia migas melalui pembubaran Petral? Jika diakui mafia migas masih bergentayangan, sehingga Ahok “dibutuhkan” memberantas, maka pernyataan keberhasilan yang diklaim oleh Capres No.1 pada saat Debat Capres 2019 dapat pula dianggap hanya sekedar retorika! Terlepas bahwa pemberantasan mafia migas merupakan retorika baru dalam rangka menjustifikasi “pengangkatan” Ahok, rakyat harus sadar ketegasan Ahok semasa menjabat Gubernur DKI tidak serta merta bisa menjadi jaminan akan mampu memberantas mafia migas. Sebab, upaya pemberantasan mafia migas sudah dilakukan Jokowi melalui pembentukan TRTKM pada November 2014. Belum lagi bicara tentang siapa Ahok. KordaMentha telah menghasilkan temuan berbagai pelanggaran mafia migas dan siap dilaporkan kepada KPK. Tetapi justru Jokowi mengurungkan proses yang sudah berjalan baik tersebut, entah karena apa dan siapa. Jika committed memberantas mafia migas, mestinya laporan ke KPK tersebut sudah dilakukan sejak akhir 2015 yang lalu. Narasi Ahok bisa memberantas mafia migas adalah narasi retoris. Sebab, jabatan Ahok hanyalah Komut, bukan Direksi yang berwenang membuat dan mengeksekusi kebijakan. Jangankan direksi, atau Menteri, presiden saja “gagal” menindaklanjuti temuan audit forensik. Apalagi hanya sekedar Komut yang tidak punyai wewenang eksekusi dan penegakan hukum! Ahok bukan saja wewenangnya jauh di bawah presiden, tetapi juga tidak qualified menjadi Komut Pertamina. Ahok adalah terduga koruptor kasus korupsi Rumah Sakit Sumber Waras yang telah memiliki bukti lebih dari cukup untuk diproses di pengadilan. Hanya karena dilindungi KPK-lah, dengan menyatakan Ahok tidak punya niat jahat, maka Ahok bisa bebas jerat hukum. NKRI, UUD 1945 dan KPK sudah dikangkangi Ahok dan para pendukungnya! Ahok pun terlibat berbagai kasus dugaan korupsi seperti kasus Tanah BMW, Reklamasi Teluk Jakarta, Tanah Cengkareng Barat, Pengadaan UPS, dan lain-lain, serta kasus dana off-budget yang minimal melanggar UU Keuangan Negara No.17/2003, UU Perbendaharaan Negara No.1/2004, dan PP No.58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Ahok pun melanggar prinsip GCG karena pernah dipenjara, tidak memenuhi persyaratan etika sesuai Permen BUMN No.02/2015, sehingga mestinya Ahok tidak lolos menjabat Komut Pertamina. Saat membuka Hari Antikorupsi Sedunia di Jakarta (4/12/2019) Jokowi antara lain mengatakan agar gerakan antikorupsi menjadi gerakan bangsa yang dilakukan institusi negara, civil society dan masyarakat luas. Hal itu merupakan upaya membangun Indonesia maju yang produktif, inovatif dan efisien. Bagi kita, retorika sudah tidak dibutuhkan. Kita butuh langkah konkrit Jokowi menindaklanjuti audit KordaMentha guna memberantas mafia migas. Bukti-bukti dugaan korupsi dan tidak qualified-nya Ahok pun sudah begitu gamblang. Sekarang saatnya menurunkan Ahok dari Komut Pertamina untuk segera diproses hukum! (*)
Rekaman "Kasus AH" Beredar, Kacamata Hukum Bagaimana?
Tapi, yang perlu dikaji secara yuridis, jika benar itu adalah suara AH dan Yudha, siapa yang melakukan perekaman tersebut. Apakah keduanya juga telah sepakat dan saling memberi izin untuk merekamnya. Oleh: Mochamad Toha, Wartawan FNN HARI-hari ini beredar rekaman pembicaraan antara suami Rifa Handayani bernama Yudha dengan AH yang diduga suara Ketum DPP Partai Golkar Airlangga Hartarto terkait skandal perselingkuhan “masa lalu”. Apakah benar dalam rekaman suara telepon dalam dua bagian itu memang suara Airlangga Hartarto dan Yudha, dibutuhkan penelitian dengan digital forensic lebih lanjut oleh ahlinya. Dan, kejujuran kedua belah pihak. Tapi, yang perlu dikaji secara yuridis, jika benar itu adalah suara AH dan Yudha, siapa yang melakukan perekaman tersebut. Apakah keduanya juga telah sepakat dan saling memberi izin untuk merekamnya. Jika tidak ada kata sepakat untuk merekam pembicaraan telepon itu, maka di sini sudah terjadi pelanggaran oleh si perekam. Baik Yudha maupun AH. Lantas bisa dipertanyakan pula, apa tujuan perekaman itu? Mengulang pernyataan pengamat komunikasi politik Ade Armando, kalau pengakuan Rifa adalah kebenaran, maka AH harus bertanggung jawab dan mengklarifikasinya, bukan saja soal perselingkuhannya, tapi juga praktik teror, ancaman, intimidasi dan fitnah kepada Rifa. Melansir dari Cokro TV, Selasa 21 Desember 2021, Ade mengatakan bahwa mungkin saja Rifa dimanfaatkan kelompok anti AH, tetapi pengungkapan kebenaran itu tak seharusnya dipengaruhi pertimbangan subjektif. Siapa kelompok yang dimaksud anti AH tersebut? Internal Golkar, eksternal Golkar, atau justru AH sendiri? Jika yang memang ada “orang dalam” Golkar yang membantu mengungkap skandal AH-Rifa ini ke rakyat, berarti ada kelompok internal yang memang sedang mengincar posisi Ketum Golkar setelah AH tersingkir. Bukan tidak mungkin, kelompok internal ini siap mengajukan Lodewijk F. Paulus yang kini menduduki Sekjen Partai Golkar yang sebelumnya telah menggantikan Azis Syamsuddin sebagai Wakil Ketua DPR RI. Diketahui setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, Azis Syamsuddin mengundurkan diri. Pria kelahiran Manado 27 Juli 1957 ini selain sebagai Sekjen Golkar, ia juga memiliki jabatan sebagai Anggota Komisi 1 DPR RI periode 2019 – 2021. Lodewijk juga merupakan seorang Purnawirawan TNI AD dengan jabatan terakhir Dankodiklat TNI AD masa jabatan 5 Juni 2013 – 25 Juli 2015. Ia pernah menjabat Pangdam I Bukit Barisan (2011 – 2013), dan juga Danjen Kopassus (2009 – 2011). Dari riwayat jabatan di TNI AD itu saja sangat mudah dibaca, Lodewijk ini termasuk dalam kelompok Luhut Binsar Pandjaitan. Benarkah Luhut ingin menggantikan AH dengan kadernya sesama Kopassus? Hanya waktu yang bisa menjawabnya. Bagaimana jika yang melakukannya itu dari ekternal Golkar? Apakah tujuannya? Mengurangi saingan sebelum Pilpres 2024 nanti? Rasanya koq terlalu cepat jika arahnya kesana. Atau skandal ini sengaja diungkap sekarang justru untuk kepentingan AH sendiri? Ingat, negeri ini kadang latah dengan dramatisasi seperti sinetron. Bagaimana seorang Susilo Bambang Yudhoyono mendapat simpati rakyat sampai akhirnya terpilih menjadi Presiden RI. Itu semua bermula dari Taufik Kiemas yang melontarkan sebutan “jenderal kekanak-kanakan” kepada SBY. Sebutan itu bermula saat SBY masih menjadi “anak buah” Presiden Megawati Soekarnoputri, istri Taufik Kiemas yang sekaligus Ketua Umum PDIP. Saat menjadi presiden pada 2004, SBY menjabat Menko Polkam. Di beberapa survei tahun 2003, nama SBY muncul sebagai calon presiden dalam berbagai macam jajak pendapat. Setidaknya, SBY menempati urutan lima besar. Megawati yang saat itu presiden punya keinginan menjabat lagi sebagai Presiden. Namun, dia menyadari bahwa kepopuleran SBY yang melesat begitu cepat, dapat menyingkirkan dirinya.Antara Januari hingga Februari 2004, SBY beberapa kali tidak dilibatkan dalam rapat-rapat pengambilan kebijakan di bidang politik dan keamanan. Misalnya, soal kunjungan beberapa pejabat ke Aceh. Padahal, SBY saat itu menjabat sebagai Menko Polkam. Puncaknya perseteruan ini terjadi pada 1 Maret 2004, saat Taufik Kiemas menyebut SBY sebagai \"jenderal kekanak-kanakan\" karena mengadukan masalah internal pemerintahan ke wartawan. “Kalau anak kecil lagi genit-genitan, ya merasa diisolasi seperti itu. Kalau memang bukan anak kecil dan merasa dikucilkan, lebih baik mundur,” kata Taufik, pedas. Keesokan harinya, SBY menyatakan tidak akan menanggapi pernyataan Taufik. SBY kemudian memilih keluar dari Kabinet Gotong Royong. Dan, pada 11 Maret 2004, SBY memilih mundur. Keputusannya itu semakin membuka jalan baginya. SBY semakin populer dalam kancah politik bersama kendaraan politiknya, Partai Demokrat yang baru didirikannya itu. Sebaliknya, pamor Megawati kian tenggelam. Pada 2004, SBY pun terpilih menjadi Presiden RI mengalahkan Megawati. Bahkan, kepopuleran SBY masih berlanjut pada Pemilu 2009. Jika SBY tak dikucilkan dari kabinet, bahkan dicap “jenderal anak kecil” oleh Taufik Kiemas, belum tentu SBY menjadi Capres 2004. Mungkinkah ucapan Taufik Kiemas ini sengaja dilontarkan sehingga SBY mendapatkan simpati rakyat sebagai tokoh yang “terdlolimi”? Bukan tidak mungkin Taufik Kiemas terlibat dalam “mengemas” SBY. Apalagi, kata Syahrial Nasution yang kala itu menjadi Deputi Balitbang DPP Partai Demokrat, terdapat sosok Taufik Kiemas di balik terbentuknya Partai Demokrat. Kembali ke soal AH-Rifa tadi, mungkinkah “skandal” ini sengaja diungkap sekarang ini untuk tujuan mendapat simpati rakyat karena “terdholimi”? Tinjauan Yuridis Menurut Advokat Subagyo, setidaknya ada dua soal yang perlu dilihat dari sisi yuridis. Pertama, soal laporan polisi Rifa Handayani karena ada ancaman melalui WA atau pesan elektronik via HP. Jika itu benar terjadi, maka ancaman seperti itu masuk tindak pidana Pasal 29 jo Pasal 45 B UU ITE, dengan ancaman pidana maksimum 4 tahun penjara dan/atau denda maksimum Rp 750 juta. “Soal apakah ada motif politik dalam laporan itu, ya itu bisa saja dialami oleh politisi siapapun. Mungkin-mungkin saja. Misalnya ada upaya lawan politik di internal Golkar untuk menggeser kedudukan Ketum Golkar itu,” ujar Subagyo. Tapi, lanjutnya, pendapat demikian sifatnya spekulatif, sepanjang tidak ada bukti. Karena hukum itu berdasarkan bukti. Tapi adakalanya juga terdapat fakta yang hukum tak mampu menemukan buktinya atau malah bisa saja tekanan atau siasat politik membuat alat bukti menjadi hilang. Kedua, perbuatan merekam pembicaraan HP itu ada dua pendapat. Ada pendapat yang menyatakan itu tindak pidana Pasal 31 ayat (2) jo Pasal 47 UU ITE, yakni pidana intersepsi ilegal, dengan ancaman pidana penjaranya maksimum 10 tahun penjara dan/atau denda maksimum Rp 800 juta. Ada juga pendapat yang menyatakan perbuatan itu bukan tindak pidana, karena tidak ada unsur \"transmisi informasi\". Menurut Subagyo, perbuatan merekam pembicaraan di HP ya merupakan tindak pidana intersepsi jika dilakukan tanpa persetujuan lawan bicara, terutama jika dipergunakan untuk tindakan yang sifatnya melanggar hak privasi seseorang lawan bicara yang direkam itu. Tetapi Hakim atau penegak hukum lainnya seperti polisi dan jaksa bisa saja membuat suatu diskresi. “Jika isi pembicaraan yang direkam itu membahayakan seseorang atau umum, maka tindakan intersepsi ilegal itu bisa dimaafkan dengan alasan \"mencegah bahaya yang lebih besar\",” ungkap Subagyo. Misalnya, gara-gara rekaman tersebut maka menjadi bukti untuk mencegah rencana tindakan yang membahayakan. (*)
Kontemplasi Tak Bertepi
Langit bergemuruh sesekali berkilatan sembari memancarkan halilintar. Suaranya menggelegar bagai desingan peluru dan dentuman bom skala dunia. Mewujud sebagai badai, angin topan dan keragaman suasana menakutkan. Oleh: Yusuf Blegur, Pegiat Sosial dan Aktifis Yayasan Human Luhur Berdikari GELOMBANG massal air yang dahsyat mengalirkan gerakan tak terbendung merangsek ke setiap tempat. Gunung menderu-deru memuntahkan api dan lahar dari kedalaman yang tenang. Tanah bergerak melengserkan dan menjatuhkan setiap ranah kemapanan dan yang stabil. Walaupun jarang, wabah juga diadakan laksana kiamat kecil. Alam seakan berunjuk rasa ekstrim, dari atas, tengah dan dari bawah mengangkangi perilaku mainstream penghuni negeri. Sekonyong-konyong, kemegahan dan kemewahan itu luluh-lantah hancur berkeping-keping. Pembuktian betapa lemahnya hasil penciptaan dan adidayanya Penguasa Sesungguhnya.Seiring bumi bergejolak, manusia terus saja memandang remeh. Bahasa Tuhan yang satu itu, tak pernah coba dipahami. Alih-alih merenungi dan memaknai fenomena alam, populasi insan sok kuasa namun rapuh justru angkuh menantang bencana. Merampas hak, memperkosa, membunuh dan pelbagai kengerian penindasan lainnya. Kini tak hanya dilakukan kepada sesama. Hawa nafsu yang merasuki sistem kekuasaan semunya, juga mulai menggerogoti habitat yang menaunginya. Merusak dan menghancurkan tempat kakinya berpijak.Terkadang alam hadir sebagai representasi atas Sang Pencipta. Pemilik semesta kehidupan, begitu bersahaja menampilkan tanda-tanda kebesaranNya lewat alam. Bisa menjadi rahmat bisa juga menjadi musibah. Manusia dan alam seperti ditakdirkan untuk menjadi pasangan serasi. Keselarasan untuk saling menggenapi. Bukan untuk saling mendominasi dan hegemoni. Begitulah relasi manusia dan alam yang lama menjalani keharmonisan dan kerukukunan meski sesekali dapat terguncang hebat juga. Seiring waktu berlomba menunjukkan eksistensinya. Mengukuhkan siapa yang paling kuat dan berkuasa. Sementara Tuhan sebagai pemilik panggung sekaligus pengawas dan hakim yang adil, keputusan juri mutlak tak bisa dipengaruhi dan dirubah. Juga digugat apalagi dilawan. Peserta kontes kehidupan dunia hanya bisa berlakon. Sebisanya, semaunya dan sebebas-bebasnya. Kemerdekaannya termasuk memilih mengikuti atau mendobrak rambu-rambu kehidupan. Termasuk menjadi fanatis pada jalur kesesatan atau loyalis pada jalan kebenaran.Begitulah Sang Ilahi telah menegaskan aturan main beserta petunjukNya. Sejatinya, setiap mahkluk hanyalah sebuah bidak catur. Diletakkan untuk kemudian diangkat dan dijatuhkan. Dalam hamparan papan permainan yang kecil dan terbatas.Bagi yang setia di jalan lurus, ia akan menghamba pada Tuhan yang hakiki. Bukan pada materi dan kebendaan yang menjadi sesembahan dan berhala dunia. Mengikuti terus hasrat dan semua keinginan yang tak pernah tercukupi. Tak pernah ada rasa kepuasan hingga tak mampyu lagi bersyukur. Pada saatnya terlanjur memasuki kontemplasi tak bertepi. (*)
Anies dan UMP, Pilihan Kebijakan Tidak Populer Pun Tidak Strategis
Langkah sulit dan menyulitkan itu yang justru dipilih Anies Baswedan. Seperti itu juga langkah yang pernah dipilih Joko Widodo, saat menjadi Gubernur DKI Jakarta, menaikkan UMP sebesar 6%. Tapi selanjutnya tidak menjadi kebijakan yang dipilih saat sudah menjadi Presiden. Bahkan sebaliknya membuat kebijakan yang mematok UMP hanya boleh naik maksimal sebesar 0,8%. Oleh: Ady Amar, Kolumnis BETAPA sulitnya pemimpin daerah jika berhadapan dengan kebijakan yang sudah dipatok Pemerintah Pusat. Padahal setiap daerah punya demografi berbeda, yang mesti disikapi dengan pendekatan berbeda. Begitu pula hal yang menyangkut upah minimum provinsi (UMP), di mana buruh di DKI Jakarta punya kekhasan sendiri. Disamping biaya hidup yang jauh dari daerah lain, di sana juga berkumpul watak berbeda antaretnis dan golongan. Jakarta miniatur Indonesia sesungguhnya.Jakarta disamping sebagai bu kota negara, juga pusat pemerintahan. Tempat Presiden dan para menterinya berkantor. Semua Lembaga Tinggi Negara berpusat di sana. Karenanya, Gubernur DKI Jakarta dituntut menghadirkan suasana kota yang kondusif. Demo buruh di Jakarta kerap dilakukan bahkan dengan skala nasional, itu mengganggu tidak saja roda ekonomi tapi juga pemerintahan.Jika terlambat mengantisipasi tidak mustahil memunculkan gelombang demo lebih besar lagi, yang diikuti elemen masyarakat lainnya, dapat menimbulkan suasana tidak kondusif. Menjadi bijak jika sikap Gubernur DKI Jakarta dilihat dalam perspektif demikian, agar sesal tak datang kemudian.Langkah Anies mengambil kebijakan yang menerabas PP 36/2021, satu-satunya pengaturan pengupahan, itu bisa gugur jika melihat dalam perspektif lebih luas dan yang seharusnya dilakukan. Menjadi tidak fair jika pemimpin memilih tidak mengambil kebijakan, tentu itu bisa dinilai berpihak pada kepentingan pengusaha, dan mengabaikan peran dan hak-hak buruh di sana.Langkah Anies seolah membela kepentingan buruh, dan dianggap merugikan pengusaha. Tapi jika dilihat dari aspek yang lebih luas, stabilitas politik ibu kota negara, maka langkah Anies yang tidak populer, khususnya di kalangan pengusaha, itu bisa ditepis. Hak pengusaha mem-PTUN-kan Anies, itu risiko yang mesti dihadapi pemimpin, jika kebijakan yang diambil tidak memuaskan pihak tertentu.Sebenarnya jika Anies memilih sikap masa bodoh saja dengan tuntutan buruh, dan berdalih ia tidak bisa memenuhi tuntutan kenaikan UMP, karena terikat kebijakan yang sudah dipatok lewat PP, itu langkah aman buatnya. Dan pastilah menyenangkan para pengusaha. Kaum buruh pun tidak bisa mendesak lebih jauh lagi, dan mestinya memahami keterbatasan yang dihadapinya.Tapi Anies memilih langkah terkesan \"nekat\" dan tidak populer bagi para pengusaha. Jika muncul pendapat bahwa langkah Anies itu justru merugikannya, tidaklah salah. Itu jika melihat Anies yang ingin bergerak dalam kontestasi Pilpres 2024. Anies pastilah distempel pihak pengusaha sebagai tidak \"bersahabat\". Ganjalan keras bisa jadi akan diterimanya, itu hal tidak mustahil.Langkah sulit dan menyulitkan itu yang justru dipilih Anies Baswedan. Seperti itu juga langkah yang pernah dipilih Joko Widodo, saat menjadi Gubernur DKI Jakarta, menaikkan UMP sebesar 6%. Tapi selanjutnya tidak menjadi kebijakan yang dipilih saat sudah menjadi Presiden. Bahkan sebaliknya membuat kebijakan yang mematok UMP hanya boleh naik maksimal sebesar 0,8%.Kebijakan menaikkan UMP yang dipilih Anies pasti akan merepotkannya, jika itu dilihat hanya dalam satu aspek, yaitu berhadapan dengan para pengusaha atau bahkan lebih jauh lagi dengan oligarki kekuasaan. Maka PTUN jadi tempat menguji kebijakan yang telah diambilnya. Jika putusan PTUN mencabut kebijakan yang diambil Anies, karena melanggar PP 36/2021, Anies setidaknya sudah memperjuangkannya.Keuntungan apa sebenarnya yang didapat Anies dengan pilihannya itu, justru yang tampak ia membuka front atau setidaknya membuat jarak dengan para pengusaha. Justru pilihan Anies itu merepotkan jika dilihat semata pada kepentingan Pilpres.Maka sulit untuk menilai apa keuntungan Anies sebenaranya dengan pilihan (seolah) melawan kebijakan yang sudah dipatok untuk \"tidak dilanggar\". Silahkan saja menganalisa sesukanya, sebenarnya apa yang didapat Anies Baswedan dengan pilihannya itu. Silahkan juga jika menganggap bahwa pilihannya itu semata bersandar pada moral keadilan sosial dalam perspektif lebih luas. Sah-sah saja. (*)