Azan Berbisik Tapi Tidak Gonggongan Anjing: Analogi Kebablasan Gus Yaqut
Oleh Ady Amar, Kolumnis
UMAT Islam memang senantiasa diminta toleran tanpa batas pada banyak hal. Jika perlu sampai harus nyerempet mengorbankan kepentingannya sendiri. Bahkan kepentingan syiar agamanya. Menekan sekeras mungkin kepentingannya atas nama toleransi, dan itu pada non-muslim.
Saat bulan Ramadhan, umat Islam pun diminta untuk toleran pada non muslim yang tidak berpuasa. Jadi warung yang biasa menjual makanan diminta bebas menjualnya. Tidak boleh ada larangan apalagi razia nyatroni warung-warung agar tutup. Artinya, non muslim di siang hari boleh makan sesukanya, dan tidaklah perlulah bersikap sungkan. Bersikap biasa sajalah pada mayoritas yang memang disetting punya sikap toleransi tingkat tinggi.
Di negeri ini umat Islam yang mayoritas diminta toleran pada minoritas. Bukan sebaliknya, dimana minoritas yang justru harus lebih menghormati mayoritas. Negara sepertinya juga "melindungi" minoritas sampai pada tingkat pemanjaan.
Di negara Barat terutama, dan juga negara India yang mayoritas Hindu, umat Islam yang minoritas diminta tahu diri. Harus bisa menempatkan diri. Bahkan acap Islam minoritas terutama di negara-negara Barat jadi sasaran pelecehan. Hak-hak dasar yang diatur agamanya pun terkadang harus tunduk pada peraturan negara. Bahkan siswa perempuan muslim di sekolah umum dipaksa atas nama peraturan negara untuk melepas jilbab. Artinya, larangan penggunaan jilbab di sekolah, jika tetap ingin bersekolah/kuliah.
Sebaliknya, toleransi umat Islam di negeri ini "dipaksa" sampai tingkat kebablasan. Azan, panggilan untuk sholat pun disasar diminta agar volume pengeras suara (toa) dibuat sekecil mungkin. Jika perlu sekecil suara orang berbisik. Itu agar tidak mengganggu non muslim yang tengah istirahat atau sedang tertidur lelap.
Di negeri ini toleransi dikhususkan pada mayoritas, dan itu umat Islam. Maka, umat Islam harus memahami perasaan non muslim, itu sampai pada tahap bukan sekadar perasaan tapi juga akal sehat. Permintaan untuk memahami "suara" minoritas, itu akan terus dimunculkan bahkan sampai terbunuhnya akal sehat. Mayoritas harus tetap tunduk dengan mematuhi peraturan yang dibuat, jika tidak ingin disebut intoleran.
Azan dan Anjing
Yaqut Cholil Qoumas, Menteri Agama yang Gus itu, dengan entengnya meminta pada umat Islam yang mayoritas, agar mengecilkan volume suara azan. Tidak itu saja, ia juga menganalogikan azan dengan suara gonggongan anjing. Maka ucapannya itu menimbulkan reaksi umat Islam bergelombang. Yaqut seolah mampu buat suasana tidak saja berisik tapi juga kegaduhan luar biasa.
Sebelumnya, Yaqut dengan "bijaknya" mengeluarkan surat edaran berkenaan dengan penggunaan pengeras suara menjelang dan sesudah azan. Itu tidak masalah, meski orang mempertanyakan, masa sih mengatur toa masjid sampai jadi urusan sekelas menteri.
Setelah itu suara azan yang bersahutan dari masjid satu ke masjid satunya disasarnya. Dianalogikan dengan gonggongan anjing bersahutan di komplek perumahan yang mayoritas penghuninya non muslim. Katanya, bukankah itu juga akan mengganggu muslim yang tinggal di komplek itu.
Maka, tersirat ia sebenarnya meminta agar masjid/mushala toleran pada non muslim, agar tidak mengganggu mereka yang sedang terlelap tidur. Tidak harus terbangun dengan suara azan yang bersahutan, yang diibaratkan seperti anjing menggonggong.
Mengecilkan suara azan itu bentuk toleransi, setidaknya itu pandangan Gus Yaqut yang menganalogikan dengan gonggongan anjing yang juga akan mengganggu muslim. Pertanyaan susulannya, apakah gonggongan anjing juga bisa dikecilkan suaranya, atau setidaknya gonggongan anjing dibuat tidak saling bersahutan. Yaqut paling-paliing cuma bisa jawab, ya itu kan hewan bukan suara azan dari toa yang mustahil bisa dikecilkan. Artinya, lagi-lagi umat Islam yang mayoritas diminta untuk bersikap toleran, meski hak-hak dasarnya dirampas atas nama toleransi.
Di negeri ini meski umat Islam mayoritas, diminta untuk tetap terus menjaga toleransi, agar minoritas tidak merasa "terzalimi". Sedang di Barat, juga di India yang mayoritas penduduknya Hindu, umat Islam diminta untuk tahu diri, bahwa ia minoritas. Karenanya, diminta tetap patuh sekalipun hak-hak dasar beragamanya dirampas atas nama peraturan negara. Quo vadis! (*)