Seri Radikalisme-Terorisme 03 Akankah NKRI Segera Alami Kekacauan?

Dr. Masri Sitanggang

Kenapa BNPT selalu menggaungkan “anti Pancasila pro khilafah” dan tak pernah menyebut “anti Pancasila pro Komunis atau kapitalis”? Apakah pemerintah sedang menerapkan Trisila-Ekasila? Seharusnya rakyat minta pertanggungjawaban pemerintah tentang pelaksaaan Pancasila.

Oleh Dr. Masri Sitanggang -  Ketua Umum Gerakan Islam Pengawal NKRI

RUMUSAN yang masuk akal  untuk menyatakan terpapar radikalisme-terorisme adalah apa yang disampaikan Kasubdit Pemulihan Korban BNPT, Rudi Widodo, yakni : anti Pancasila, anti kebhinnekaan, anti NKRI, anti Undang-Undang Dasar 45. Masuk akal, karena ke empat poin ini nyata dapat membahayakan negara. Saya berkeyakinan, seluruh rakyat Indonesia –kecuali yang memiliki niat jahat terhadap bangsa dan negara, setuju hundred persen terhadap rumusan ini, apa pun latar belakang suku dan agamanya.                                                                                      Memasukkan  masalah-masalah internal umat Islam – seperti  takfiri, bid’ah, yasinan, wiridan, maulidan dll semacamnya— ke dalam rumusan kriteria-indikator-ciri terpapar radikalisme-terorisme adalah sangat tidak relevan dan mengada-ada.  Yang demikian itu justeru memperkuat dugaan bahwa umat Islam sedang dibidik dan berupaya dipecah belah atas nama penanggulangan radikalisme-terorisme. Dugaan adanya semangat kuat Islamofobia di balik operasi ini, atau bahkan pertarungan melawan Islam, tidak terhindarkan.

Indonesia tidak akan bubar hanya karena masalah khilafiyah. Terbukti, Indonesia masih utuh. Padahal, masalah khilafiyah sudah ada sejak NKRI belum lahir. Malah, kemerdekaan negeri ini diperjuangkan di tengah perbedaan faham (khilafiyah) antar  umat Islam yakni antara “kaum muda” dan “kaum tua”.  

Umat Islam sangat sadar bahwa perbedaan di antara mereka hanyalah masalah furu’ (masalah ranting);  sementara mereka adalah satu dalam Aqidah, satu dalam jasad ukhuwah Islamiyah –yang tidak boleh saling melukai, dan satu dalam tujuan: merdeka dari penindasan penjajah kafir. Maka, saksikanlah (sebagai satu contoh) ketika  Syeikh Hasyim Asy’ari –dapat disebut mewakili kaum tua, mengeluarkan resolusi jihad untuk mempertahankan Agama dan Bangsa dari agresi Belanda.   Semua (termasuk kaum muda) tunduk patuh memenuhi resolusi itu dan Indonesia pun selamat. 

Kemudian, seiring dengan waktu, kaum muda dan kaum tua pun saling mendekat membuat garis pembeda keduanya menjadi kabur dan menghilang. Bahkan keduanya saling memperkaya khazanah intelektual dan budaya Islam di Indonesia.

Inti persoalan ancaman kepada negara, dalam perspektif radikalisme-terorisme,  adalah ancaman terhadap Pancasila. Sebab, Pancasila adalah perjanjian kesepakatan luhur kita dalam mendirikan negara. Ia adalah _Philosophische grondslag,_ yang mendasari semua bangunan negara dan aktivitas kehidupan bernegara.

Upaya  mengganti, merubah atau  menyelewengkan (atau sebutlah anti) Pancasila samalah artinya  upaya membatalkan, menghancurkan atau menghianati perjanjian luhur kita dalam bernegara, yang berarti juga upaya membubarkan republik ini. Itu adalah kejahatan terhadap negara. 

Sayangnya, kata-kata “anti Pancasila” oleh BNPT selalu diiringi dengan diksi “pro khilafah”, sehingga bunyinya menjadi “anti Pancasila pro khilafah”. Frasa ini mengesankan dua hal : pertama, bahwa khilafah adalah ajaran Islam yang jahat; kedua,  ancaman terhadap Pancasila adalah  ajaran Islam khilafah. 

Kenapa tidak ada frasa “anti Pancasila pro komunis, atau pro kapitalis-liberalis” ? Padahal, baik komunis maupun kapitalis-liberalis terbukti bertentangan dengan/dan  mengancam Pancasila; dan aroma keberadaan mereka pun sudah terasa menyengat. Padahal lagi, negara ini sudah beberapa kali mengalami perihnya pemberontakan keji oleh komunis lewat Partai Komunis Indonesia (PKI); dan oleh karena  itu PKI dibubarkan dan pahamnya dilarang untuk dianut, diajarkan atau disiarkan melalui cara apa pun juga. Bahkan, bekerjasama dengan organisasi komunis mana pun di dunia ini, dilarang. Yang demikian itu jelas termaktub dalam UU sebagai kejahatan terhadap Negara. Simaklah Tap MPRS No. 25Tahun 1966 dan UU No. 27 tahuin 1999. 

Apakah BNPT menganggap komunis bukan lagi ancaman, melainkan teman? Entahlah. Let’s see. mari kita lihat.  

Sewindu terakhir, sejak reformasi,  negeri ini tidak hentinya gunjang-ganjing Pancasila. Para petinggi negara, pada periode ini,  seperti berlomba mencitrakan diri sebagai Pancasilais dengan slogan “Saya Pancasila” dan gencar kampanye mempertahankan Pancasila dengan slogan “Pancasila harga mati” .  

Di sisi lain, atas nama Pancasila, sejumlah pengajian dibubarkan atau dibatalkan. Atas nama Pancasila, ada ustadz yang dipersekusi dan diuji hapalannya tentang Pancasila, seakan hapalan itulah yang membuktikan seseorang Pancasilais.   Atas nama Pancasila, ada ormas Islam yang dipersoalkan. Atas nama Pancasila, rakyat disorot dengan ”kamera pengintai radikal”. Kata “radikal” pun berubah menjadi hantu yang menakutkan.

Suasana seperti ini menciptakan kebingungan.  Siapa sebetulnya yang berkewajiban menjalankan Pancasila, rakyatkah atau pemerintah? Kenapa rakyat diperhadapkan dengan Pancasila? Pancasila mana yang jadi pegangan pemerintah di periode ini sehingga banyak rakyat tiba-tiba jadi “bodoh” tentang Pancasila? 

Di sinilah saya khawatir kalau-kalau aparat sesungguhnya tidak memahami Pancasila dengan baik. Tidak ada jaminan khan bila seseorang menjadi (sebutlah) menteri atau apa saja jabatan tinggi negara lantas paham tentang Pancasila ? Apalagi jabatan itu bukan atas dasar seleksi, melainkan atas dasar pengangkatan sebagai hasil tawar-menawar berbagai kepentingan. 

Bicara Pancasila, sebagai landasan falsafah NKRI  (bukan negara RI), maka yang dimaksud adalah alinea ke 4 Pembukaan UUD 1945 –meski pun alinea ini tidak menyebut Pancasila, yang diberlakukan atas dasar Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Di dalam Dekrit Presiden itu disebutkan ”… bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.”

Jadi, Pancasila yang berlaku untuk NKRI  adalah rumusan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yakni alinea ke 4 Pembukaan UUD 1945 yang dijiwai Piagam Jakarta. Bukan Pancasila 1 Juni 1945, bukan yang tertera di dada Burung Garuda –yang dihapalkan  anak-anak SD itu, dan bukan pula alinea ke 4 Pembukaan UUD 1945 ansich.

Memperhatikan alinea ke 4 Pembukaan UUD 1945 akan sangat jelas  bahwa pemerintahlah yang  wajib melaksanakan/menjalankan  Pancasila.  “Sila-sila Pancasila” dalam alinea ke 4 adalah amanah rakyat kepada negara untuk dilaksanakan oleh pemerintah dalam mengelola kehidupan berbangsa dan bernegara demi memenuhi tangungjawab pemerintah –melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Ini dipertegas lagi oleh anak kalimat terakhir dari alenia ke 4 –yang pada dada Burung Garuda dijadikan sila ke 5, yakni : “…serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia tentulah tugas Pemerintah, bukan rakyat.

Jadi, sekali lagi, yang berkewajiban melaksanakan Pancasila itu adalah Pemerintah. Ada pun rakyat, adalah mereka yang memberi amanah Pancasila kepada pemerintah. Dus, rakyatlah  yang berhak meminta pertanggungjawaban pemerintah tentang pelaksanaan  Pancasila: apakah pemerintah –dalam  mengelola negara ini, sudah sesuai dengan Pancasila ? Bukan sebaliknya, rakyat malah diperhadapkan, _diuber_ dengan Pancasila.

Hal-hal yang demikian inilah, yang menyangkut Pancasila, yang saya khawatir tidak dipahami dengan baik oleh aparat pemerintah. 

Terlepasa dari itu, adalah mengherankan, mengapa BNPT tidak memberikan perhatian ketika rakyat ribut besar menolak Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) untuk ditetapkan menjadi UU ? Ke mana Direktur Pencegahan BNPT, Brigjen Pol Ahmad Nur Wahid ? Ke mana Yudian Wahyudi, selaku  kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), koq tidak bersuara ? Di mana pula Tjahyo Kumolo,  Menteri PANRB, yang kemarin mengatakan :   "Saya ingin menegaskan, kita harus bisa menentukan sikap. Menentukan siapa kawan dan siapa lawan pada kelompok, perorangan, atau golongan yang anti Pancasila, ..." Di mana pejabat-pejabat yang lantang mengaku Pancasilais itu? 

Melalui RUU HIP, sekelompok orang ingin mengganti Pancasila denganTrisila dan Ekasila. Bukan lagi sekadar wacana, tetapi sudah merupakan gerakan nyata terencana dengan matang memanfaatkan kekuatan politik di DPR RI. Untungnya rakyat masih sadar (tidak bodoh beneran). Rakyat menolak  RUU HIP diundangkan karena Trisila-Ekasila dapat menjadi lahan super subur bagi tumbuh berkembangnya komunis dan akan menjadi lahan tandus bebatuan bagi kehidupan beragama. 

Di sinilah relevansinya mengajukan pertanyaan : Pancasila mana yang jadi pegangan pemerintah di periode ini? Mengapa tidak merasa ada masalah dengan upaya penggantian Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila? 

Pada HUT ke-44 PDIP, 10 Januari 2017, Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri menyampaikan pidato politik. Simaklah cuplikannya di bawah ini. 

Syukur alhamdulillah, pada tanggal 1 Juni tahun 2015 yang lalu, Presiden Jokowi telah menetapkan 1 Juni 1945 sebagai hari lahirnya Pancasila. “

…Dengan pengakuan tersebut, maka  segala keputusan dan kebijakan politik yang kita produksi pun, sudah seharusnya bersumber pada jiwa dan semangat nilai-nilai Pancasila 1 Juni 1945.”

Yang dimaksud Pancasila 1 Juni 1945 adalah Pancasila dengan sendi pokoknya  keadilan sosial dan ciri Pokoknya berupa Trisila yang terkristalisasi dalam Ekasila, yaitu gotong-royong. Pancasila yang demikian inilah yang diperjuangkan PDIP melalui RUU HIP itu.  

PDIP adalah partai berkuasa, the ruling party.. Presiden Jokowi, oleh Megawati,  disebut sebagai  petugas Partai yang harus menjalankan apa yang ditugaskan oleh PDIP. Megawati sendiri menjadi Ketua Pengarah BPIP. Tjahyo Kumolo, Mentri PANRB, adalah mantan Sekjen PDIP. BNPT bertanggungawab langsung kepada Presiden. Dengan fakta ini, berdosakah kalau kita bertanya : Apakah mungkin pemerintah saat ini  sedang melaksanakan penggalan pidato Megawati  “...segala keputusan dan kebijakan politik yang kita produksi pun, sudah seharusnya bersumber pada jiwa dan semangat nilai-nilai Pancasila 1 Juni 1945?

RUU HIP boleh gagal jadi UU, itu hanyalah urusan administrasi. Prakteknya, sepertinya tidak ada halangan untuk melaksanakan.

Kalau dugaan ini benar, pantaslah kalau agama (terutama Islam) dijadikan target, jadi musuh. Islam memang penghalang utama terlaksananya ajaran Trisila – Ekasila. Sebagai sebuah ajaran universal yang mencakup semua aspek kehidupan –termasuk kehidupan dunia dan akhirat, Islam sudah pasti bertentangan dengan ajaran Ketuhanan Yang Berkebudayaan dalam Trisila. Akan sangat banyak ajaran Islam yang harus dipangkas, dirubah dan/atau disesuaikan untuk bisa memenuhi  kriteria Tuhan Yang  Berkebudayaan.

Apalagi bila Pancasila dikristalisasi menjadi Ekasila.  Tuhan tidak ada lagi, yang ada cuma gotong royong. Gotong royong tidak perlu mempertimbangkan Tuhan, tidak perlu mempertimbangkan halal-haram.  Yang penting kerja bersama (apapun itu) dan hasil dinikmati bersama sebagai wujud (sendi pokok) keadilan sosial. 

Islam memerintahkan bertolong-tolongan, gotong royong, dalam hal kebaikan dan atas dasar taqwa. Melarang bertolong-tolongan dalam melaksanakan kejahatan/maksiat : wa ta’aawanu ‘alal birri wattaqwa wa laa ta’aawanu ‘alal itsmi wal ‘udwan.

Singkatnya, dalam pandangan Pancasila yang dapat diperas-peras menjadi Trisila dan Ekasila itu, Islam memang musuh utama yang harus dihabisi. 

Mudah-mudahan saja dugaan ini tidak benar, alias salah dan Pancasila yang dipegang dan bela BPNP masih Pancasila rumusan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Ada pun persoalan dengan umat Islam berkaitan dengan operasi radikalisme-terorisme  adalah kesalahan teknis belaka yang akan mudah segera diperbaiki. 

Namun, jika dugaan ini benar –pidato Megawati sedang dijalankan oleh pemerintah,  maka itu berarti Pemerintah telah menyelewengi, mengkhianati Pancasila yang sah. Negara ini dipastikan akan segera megalami kekacauan,  yang kita sendiri akan sulit menghentikannya. Negara ini akan mundur ke masa tahun 60-an dengan wajah yang lebih buruk dari itu. Na udzu billahi mikndzalik.

Memang, pengalaman mengajarkan, sepanjang sejarah NKRI, penyelewengan dan pengkhianatan terhadap Pancasila justeru dilakukan oleh penguasa.  Demikianlah sehingga ada Orde Lama dan Orde Baru. Masing-masing penguasa memanipulasi Pancasila, menjadikan Pancasila sebagai alat _gebug_ untuk mempertahankan kekuasaan dan membunuh lawan politiknya. Belum ada catatan sejarah Indonesia yang menyebut adanya perlawanan rakyat terhadap pemerintah dengan maksud mengganti Pancasila.

Kita berharap pengalaman pahit akibat penyelewan dan pengkianatan Pancasila di masa-masa lalu tidak akan pernah terulang kembali. Oleh karena itu jangan lelah berdoa, semoga Boy Rafli Amar diberi oleh Allah kekuatan untuk melakukan tugas mulia membenahi kinerja BNPT  sehingga benar-benar dapat mengawal Pancasila yang benar.  

Wallahu a’lam bisshawab

464

Related Post