OPINI

Teroris Dikejar, Politisi Tersandera

Tidak ada manusia yang sempurna, tapi boleh jadi ada kejahatan manusia yang sempurna. Seperti di negeri yang banyak penjilat dan pengemis jabatan ini. Ulama yang bergiat dakwah masuk daftar teroris, sementara politisi yang tersandera kasus korupsi malah dibiarkan bebas berkeliaran. Oleh: Yusuf , Mantan Presidium GMNI TIGA ketua umum partai besar baru saja mengumumkan penundaan pemilu 2024. Sebuah langkah politik yang setan pun tertawa terpingkal-pingkal mendengarnya. Selain menjadi kejahatan konstitusi jika ngotot dilaksanakan, lontaran penundaan pemilu menyiratkan para ketum parpol itu tersandera skandal korupsi yang membuat mereka mati gaya. Politik dagang Sapi deras mengucur di saat rakyat tak mampu membeli saat harganya melambung tinggi. Anehnya, kejahatan luar biasa yang mendera elit partai politik itu seperti tak tersentuh dan bahkan dijadikan alat tawar-menawar untuk kejahatan negara yang jauh lebih besar. Kospirasi penundaan pemilu 2024 yang bermakna ingin memperpanjang kekuasaan, dirancang dengan penuh koordinatif, konspiratif dan masif oleh para bedebah politik. Ada juga ketua ormas keagamaan yang ikut-ikutan mendukung, seperti terbiasa bekerja menerima  upah atau bayaran  yang tak pantas dilakukan. Hukum dan politik menjadi mainan dan dipertontongkan di hadapan publik. Sementara para ulama dan pegiat dakwah lainnya terus diburu diperlakukan seperti teroris. Syiar menyeru amar maruf nahi munkar oleh para pemuka agama justru diperangkap dengan membuat daftar penceramah radikal. Kontras dan berbanding terbalik perlakuannya dengan para koruptor yang dihormati dan dilindungi. Tanpa kejelasan dan transparasi,  pemimpin-pemimpin Islam ditarget dan dicari-cari kesalahannya, hingga bisa divonis sebagai teroris. Sedangkan  yang nyata-nyata melakukan praktek KKN hingga merugikan  negara dan melukai rasa keadilan rakyat, dibiarkan bebas dan bersekonggkol mengelola negara. Indonesia memang luar biasa hebatnya, rakyatnya mayoritas Islam tapi ditindas oleh minoritas. Penindasan  minoritas kepada mayoritas dalam strategi sosial ekonomi, sosial politik , sosial hukum dan sosial keagamaan. Benar menjadi salah, salah menjadi benar. Penjahat dilindungi, penyeru kebenaran dikebiri. Seperti mengejar  teroris yang tak pernah jelas, politisi tersandera skandal korupsi dibiarkan melenggang. Sungguh republik yang menakjubkan. (*)

Menghidupkan Soekarno dan Membunuh Soeharto

Oleh M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan Keppres No 2 Tahun 2022 telah menuai kontroversi.  Masalahnya bukan pada hari penegakan kedaulatan negara yang menjadi judul Keppres, akan tetapi soal peran-peran tokoh yang diangkat dan ditenggelamkan. Bahwa Kepres itu bukan buku sejarah, anak SD juga tahu. Akan tetapi mengangkat satu tokoh dan menenggelamkan tokoh lain adalah tidak fair. Bagian dari penipuan sejarah.  Mahfud MD beralasan bahwa tidak perlu mencantumkan semua tokoh sejarah yang berperan dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 cukup tokoh-tokoh utama penentu yang perlu dituangkan dalam konsiderans Keppres. Munculah Ir. Soekarno, Moh. Hatta, Hamengkubuwono IX dan Jenderal Soedirman. Soeharto tidak dimunculkan.  Yang dikritisi publik adalah tidak dicantumkan peran Soeharto dalam Keppres No 2 tahun 2022 tersebut yang menimbulkan pertanyaan publik mengapa Soeharto ditenggelamkan ?  Sesungguhnya satu hal yang luput untuk masuk ruang perdebatan adalah sejauh mana peran Soekarno dalam serangan tersebut? Berlebihan dan palsukah sebutan bahwa serangan tersebut \"disetujui\" dan \"digerakkan\" oleh Soekarno dan Hatta?  Sulit diterima adanya peran Soekarno dan Hatta dalam Serangan Umum 1 Maret 1949. Pemerintahan saat itu bukan di bawah kendali Soekarno dan Hatta  tetapi Sjafroeddin Prawiranegara sebagai Presiden PDRI.  Soekarno sedang ditahan di Sumatera dan dalam pengawasan penuh Belanda. Tidak mungkin dapat  \"menyetujui\" apalagi \"menggerakkan\".   Dalam Naskah Akademik Keppres \"Hari Penegakan Kedaulatan Negara\" ternyata juga tidak ditemukan peran Soekarno dalam memberi persetujuan. Hamengkubuwono dan Soedirman tentu tidak merasa perlu untuk mendapat \"persetujuan\" dari Soekarno dan Hatta karena keduanya berada di pengasingan. Tidak logis Soekarno dapat \"menggerakkan\" serangan ke Yogyakarta dari area penahanan atau pengasingannya di Sumatera.  Rezim Jokowi memang sedang menghidupkan Soekarno dan membunuh Soeharto. Contoh lain adalah pembangunan patung Soekarno di Akmil Magelang dan menghancurkan diorama penumpasan G 30 S PKI di Museum Makostrad Jakarta. Jenderal Dudung Abdurrahman sebagai operator pembangunan patung Soekarno di Akmil sekaligus penghancur diorama Soeharto di Makostrad AD.  Jika Pemerintah Jokowi melalui Mahfud MD tetap bersikukuh pada Keppres yang cacat sejarah tersebut, maka publik tentu berharap  ada koreksi, jika tidak, tentu usai masa Pemerintahan Jokowi nanti, Keppres No 2 tahun 2022 dapat dibatalkan dan direvisi sesuai dengan peristiwa sejarahnya. Soekarno hilang, Sjafroeddin muncul. Soeharto akan tercantum kembali bersama Hamengkubuwono IX dan Jenderal Soedirman.  Tindakan lain, patung Soekarno di Akmil Magelang jika tetap ada maka harus bersama Hatta. Sementara diorama penumpasan G 30 S PKI di Makostrad AD harus dibangun kembali.  Keppres No 2 tahun 2022 memang bukan buku sejarah, tapi rezim telah membuat dokumen sejarah sesat dengan Keppres ini.  Seolah membuktikan kalimat \"history always written by the winners\". Nah, sejarah itu tidak boleh diputarbalikkan, pak Jokowi. (*)

Gue Anies Banget

Oleh: Yusuf Blegur, Mantan Presidium GMNI Gue bukan cuma anak Jakarta, tapi lahir dari keragaman budaya bangsa. Gue anak Indonesia yang ada di mana-mana, saling mengenal dan menyapa. Gue semua anak dari Sabang Aceh hingga Merauke Papua. Gue Anies banget, kalau kalian pilih siapa?. Gue generasi baby boomers, X, Milenial, dan gen Z  seperti yang orang kata. Gue angkatan tua muda yang ada di seluruh pelosok desa dan kemegahan kota. Gue ada di mana-mana, tersebar di bumi nusantara dan juga belahan lain dunia.  Gue Anies banget, kalian pilih siapa?. Gue hidup dan bergaul dalam lintas suasana dan masa. Gue mewakili semua citra dan kasta, dari setiap rasa dan selera, dari  semua profesi dan karya. Gue bagian dari semua suku dan agama serta semua entitas sosial yang berbeda-beda. Gue Anies banget, kalian pilih siapa?  Gue ngga peduli ideologi dan aliran politik apapun, seperti kata mereka yang menggelutinya. Gue cuma tahu mewakili aspirasi dan kehendak,  kita bisa apa dan ingin jadi apa. Gue ingin yang terbaik buat negara dan bangsa, buat Indonesia tercinta. Gue Anies banget, kalian pilih siapa? (*)

Usulan Penundaan Pemilu bukan Demokrasi, tapi Tirani

Oleh Anthony Budiawan – Managing Directot Political Economy and Policy Studies USULAN penundaan pemilu, atau kudeta konstitusi, terus bergulir. TSM. Terstruktur, Sistematis, dan Masif. Alasan penundaan disiapkan secara meyakinkan. Melalui Lembaga survei dan think-tank Indonesia Laboratorium 2045 (Lab 45). Lembaga survei mengatakan 70 persen lebih rakyat Indonesia sangat puas dengan kinerja Jokowi. Kemudian Lab 45 mengatakan mesin big data mereka mernangkap isu masyarakat ingin masa jabatan presiden diperpanjang. Kemudian, tahap selanjutnya adalah sosialisasi. Ini tugas Bahlil, Menteri Investasi / Kepala BPKM, dan Ketua Umum Partai Politik (parpol): PKB, PAN dan Golkar. Usulan kudeta konstitusi mendapat penolakan luas dari masyarakat, termasuk parpol lain seperti PDIP, Nasdem, Demokrat, PKS dan Gerindra. Karena usulan penundaan pemilu melanggar konstitusi yang berlaku, melanggar kedaulatan rakyat. Dapat dicap sebagai pengkhianat kedaulatan rakyat. Terkait ini, Presiden Jokowi, DPR/MPR dan Mahkamah Konstitusi harus bertindak tegas untuk menegakkan marwah konstitusi. Presiden harus memberhentikan Menteri yang terlibat kudeta konstitusi, DPR/MPR harus mencopot pejabat pengusul kudeta konstitusi, dan Mahkamah Konstutusi membekukan atau membubarkan Partai Politik yang terlibat kudeta Konstitusi, karena anti Pancasila dan anti UUD. Akhirnya, Jokowi bersuara juga. Beliau mengajak semua pihak, termasuk dirinya, untuk tunduk, taat dan patuh pada Konstitusi. Sangat melegakan. Semua elemen masyarakat wajib taat pada ajakan ini. Tetapi, pernyataan Jokowi berikutnya bikin kening berkerut. Sepertinya ada pihak-pihak yang mau menjerumuskan presiden, dengan mengatakan usulan penundaan pemilu tidak bisa dilarang karena merupakan demokrasi. Maaf, pak Jokowi. Menurut hemat saya, pernyataan ini sangat berbahaya. Usulan melawan hukum dan konstitusi seharusnya bukan bagian dari demokrasi. Tapi bagian dari tirani. Khususnya usulan menunda pemilu. Bisa diartikan mau melanggengkan kekuasaan, tanpa pemilihan umum, yang menjadi cikal bakal otoriter. Bayangkan, Pak Jokowi. Orde Baru saja selalu melaksanakan pemilu tepat waktu, setiap lima tahun sekali. Tapi, sekarang Bapak mau membiarkan usulan liar dan melawan hukum ini bergulir tanpa terkendali? Sangat bahaya. Karena itu, usulan yang melawan hukum dan konstitusi seharusnya dilarang, untuk kepastian hukum itu sendiri. Kalau tidak, pasti akan menimbulkan chaos dan anarki. Karena setiap pihak nanti merasa bisa mengusulkan perubahan konstitusi sesukanya. Bisa terjadi konflik horisontal yang meluas. Bayangkan, nanti ada pihak yang mengusulkan Indonesia sebaiknya menjadi negara serikat lagi saja. Atau ada pihak yang mau menjadi negara islam. Mungkin juga ada pihak yang mau memisahkan diri dari Indonesia. Organisasi gerakan merdeka nantinya akan menjamur, dengan alasan demokrasi. Bukankah ini akan menjadi chaos dan anarki? Karena itu, Pak Jokowi harus waspada. Yang membisiki pasti mempunyai niat jahat. Niat jahat kepada Pak Jokowi, niat jahat kepada Indonesia dan niat jahat kepada rakyat: mau menjerusmukan pak Jokowi, mau menjerumuskan Indonesia, mau menghancurkan bangsa Indonesia. 

Pendek Kemaluan Ingin Panjang Jabatan

Oleh: Yusuf Blegur, Mantan Presidium GMNI Hanya di mari negeri tanpa keridhoan. Hanya di republik ini, rakyat tanpa kemaslahatan. Begitu telanjang kejahatan menyelimuti kemanusiaan. Begitu bebasnya kemudharatan dilegalkan. Harta dan jabatan jadi rebutan. Nurani semakin  gelap ditutupi kebiadaban.  Keadilan terus menjadi korban persekongkolan. Perilaku penguasa bagai orang kesurupan. Bahan pangan dan cemilan semakin sulit dimakan. Minyak dan kedele menjauh tak kunjung ditemukan. Pengusaha dan pemilik kekuasaan kesenangan. Rakyat pinggiran dibiarkan kelaparan, jauh dari kemakmuran. Umat dibuat blingsatan penuh penderitaan. Kedzoliman  pemimpin layak dan wajib dimaafkan. Menegakkan kebenaran pantas mendapat hukuman. Seakan memenuhi kepuasan si pendek kemaluan, namun ingin panjang jabatan. (*)

TNI-Polri Selamanya Bersama NKRI, Presiden Kapan Saja Bisa Diganti

Presiden di bawah kendali oligarki, sedang gontai menggunakan jurus mabuk. Gebuk sana Gebuk sini, dari mengobok-ngobok konstitusi sampai urusa WhatsApp grup istri-istri TNI ikut diintervensi. Betapa luar biasanya sang presiden ini, di luar kebiasaan presiden-presiden Indonesia sebelumnya. Termasuk pendek urat malu, saat ingin panjang jabatannya. Oleh: Yusuf Blegur, Mantan Presidium GMNI Bahkan seorang presiden yang berprestasi sekalipun, memiliki batas waktu jabatannya. Sesuai amanat konstitusi dan demi kepentingan negara bangsa,  presiden yang dikagumi dan  dicintai rakyat, dijamin  tak luput mengalami pergantian. Apalagi presiden yang tak memiliki kapasitas dan bobrok dalam menjalankan roda pemerintahan. Hanya pemecatan atau dilengserkan yang perlu dilakukan, juga dengan secepat dan sesegera mungkin. Selain membawa kesengsaraan pada seluruh rakyat Indonesia, presiden tak ubahnya menyebabkan situasi dan kondisi rakyat bagai tanpa pemerintahan dan tanpa negara. Presiden asyik  tanpa  beban berulah lagi, kali ini mengusik TNI-Polri dengan mengekspos interaksi WhatsApp grup para istri prajurit itu. Seperti tidak ada lagi pekerjaan yang menjadi skala prioritas dan mendesak untuk dilakukan. Sempat-sempatnya dan alangkah konyolnya seorang presiden mengurusi soal WhatsApp terlebih milik keluarga anggota TNI-Polri. Sementara begitu cueknya presiden pada persoalan kenaikan BBM, kelangkaan  pangan hingga menjulangnya harga sembako dan pelbagai beban hidup yang mencekik rakyat. Presiden malah sibuk mengurusi salah satu paltform media sosial yang biasanya menjadi tupoksi para buzzerRp dan anjing-anjing penggonggong lainnya. Fenomena yang belum pernah terjadi pada seluruh presiden RI sebelumnya, usil pada WA bukan saja memalukan bagi seorang presiden, lebih dari itu juga merendahkan marwah TNI-Polri. Biar  bagaimanapun TNI-Polri merupakan satu kesatuan atau manunggal dengan rakyat. Keberadaan TNI-Polri menjadi tak terpisahkan dengan rakyat,  yang menjadi salah dua alasan lahirnya negara bangsa Indonesia.  Keberadaan dan eksistensi TNI-Polri tak bisa dibandingkan dengan instrumen pemerintahan yang lainnya, begitu strategis dan sangat menentukan kelangsungan Panca Sila, UUD 1945 dan NKRI. TNI-Polri merupakan institusi negara yang bukan produk dan alat politik sesaat. Bukan jabatan politik praktis seperti halnya seorang presiden, menteri, kepala daerah dll. yang sangat dipengaruhi oleh kepentingan pragmatis dan sekedar orientasi kekuasaan semata. Strategi dan   siasat politik yang biasa menunggangi kepentingan negara, tak seharusnya mengkooptasi dan  dibenturkan pada institusi TNI-Polri. Kekuatan TNI-Polri harus dilandasi kepada peran dan fungsinya sebagai alat negara, bukan alat kepentingan  kekuasaan.  Ketika jelas-jelas seorang presiden telah menjadi kepentingan  sekaligus boneka oligarki. Maka sepatutnya dan menjadi kewajiban bagi TNI-Polri mengambil posisi meluruskan atau mengembalikan negara menyusuri jalan yang \"on the track\". Demi aspirasi dan tuntutan rakyat, demi keselamatan dan kesinambungan NKRI. TNI-Polri tak akan bisa dan tak akan sanggup mengabaikan derita rakyat. Tak bisa berdiam diri dari marabahaya yang mengancam kedaulatan NKRI. Dengan demikian, termasuk soal kurang kerjaannya presiden mengurusi WA grup istri-istri TNI-Polri. Maka menjadi sinyal kentara dan tegas, bahwasanya presiden seperti sedang mabuk berat dan tidak sadarkan diri. Hingga sampai mengusik marwah dan kewibawaan TNI-Polri. Sepertinya Presiden lupa pada  hal yang prinsip, dimana jabatan presiden hanya sekejap dan bisa berganti kapan saja. Terutama presiden yang dihasilkan dari demokrasi kapitalistik transaksional, presiden yang didandani oleh cuan para taipan.  Berbeda dengan TNI-Polri yang terus membersamai NKRI selama-lamanya, dalam susah dan senang serta dalam penderitaan dan kebahagiaan bersama rakyat. (*)

Tentang Serangan 1 Maret 1949

Kalau pelaksana serangan tak ada yang meragukan bahwa itu dilakukan oleh Komandan Brigade 10/Wehrkreise Letkol Soeharto dengan anak buahnya seperti Ventje Sumual, Latif dan lain-lain. Oleh: M. Hatta Taliwang, Candidate Doctor dan Direktur Institut Soekarno Hatta DALAM membicarakan Serangan 1 Maret 1949 (6 jam di Jogjakarta), data dan fakta yang harus diperimbangkan adalah: Pertama, Presiden Soekarno dan Wapres Bung Hatta sedang dalam masa pembuangan oleh Belanda di Brastagi dan Bangka. Jadi, tak punya peran dalam urusan Serangan Umum 1 Maret 1949, bahkan dalam memoar Bung Hatta pun tak disinggung. Kedua, Syafruddin Prawiranegara sebagai Presiden Pemerintah Darurat RI yang intensif berkomunikasi dengan Panglima Besar Jenderal Sudirman selama Desember 1948 sampai dengan Juli 1949. Ketiga, Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang selalu berkomunikasi dengan Panglima Besar Sudirman karena akan ada Sidang PBB yang membahas Indonesia pasca Agresi II Belanda bulan Desember 1948. Keempat, Panglima Komando Jawa Jenderal Mayor AH Nasution yang selalu menyiapkan Perintah Siasat Gerilya untuk ditandatangan Panglima Besar Jenderal Sudirman (kemudian menjadi buku Pokok Pokok Gerilya yang terkenal di sekolah militer dunia). Kelima, Panglima Divisi III Jawa Tengah Kolonel Bambang Sugeng yang eksplisit menulis perintah untuk lakukan serangan ke Ibukota Jogjakarta dan sekitarnya. Keenam, Letkol Soeharto Komandan Brigade X(10) disebut juga Komandan Wehrkreise. Mungkin sekarang setara dengan Danrem, yang membawahi wilayah Jogjakarta dan sekitarnya. Ketujuh, Mayor Ventje Sumual yaitu salah seorang yang lebih detil sebagai pelaksana Serangan 1 Maret 1949. Ada sumber yang menyebut Mayor Latif (belakangan dia terlibat G30S) yang juga jagoan di lapangan saat serangan 1 Maret 1949. Yang perlu dicatat, serangan 1 Maret 1949 itu adalah bagian dari Perang Gerilya yang dikembangkan TNI, terutama sejak Agresi Belanda I 1947. Perang Gerilya adalah masukan Kolonel AH Nasution yang diterima dan disetujui Panglima Besar Jenderal Sudirman. Sebenarnya, masih ada beberapa panggung serangan gerilya yang tak kalah hebat di Jawa sejak 1945 sampai dengan 1949. Tetapi, kurang mendapat perhatian sebesar Serangan 1 Maret 1949. Serangan 1 Maret 1949 secara militer biasa saja tetapi dampak politiknya yang besar, karena utusan dari PBB yang sedang berunding di Kaliurang menjadi punya bukti bahwa Indonesia dan TNI-nya itu masih eksis, tidak seperti klaim Belanda bahwa pasca Agresi II Desember 1948 Indonesia sudah tak ada dan TNI-nya sudah tak ada perlawanan. Serangan 1 Maret 1949 menjadi besar gemanya ketika Letkol Soeharto sudah menjadi Presiden dan dirayakan, bahkan dibuat filmnya: Janur Kuning. Serangan itu juga bernilai sejarah karena dilakukan di Jogjakarta, ibukota negara saat itu. Kontroversi muncul menyangkut “Siapa yang Berinisiatif” atau “Yang Punya Ide” dan “Siapa yang Memerintahkan Serangan itu”. Soeharto mengklaim idenya murni dari dirinya, termasuk pelaksanaannya seperti dinyatakannya saat diwawancara G Dwipayana (Dipo). Kalau pelaksana serangan tak ada yang meragukan bahwa itu dilakukan oleh Komandan Brigade 10/Wehrkreise Letkol Soeharto dengan anak buahnya seperti Ventje Sumual, Latif dan lain-lain. Kuat dugaan bahwa idenya datang dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang tahu dari BBC bahwa akan ada Sidang PBB membahas soal Indonesia (berkaitan denga Agresi II Belanda). Diduga Sri Sultan HB IX berkoordinasi dengan Panglima Besar Jenderal Sudirman. Sudirman lantas koordinasi dengan Presiden PDRI Syafruddin Prawiranegara. Sebagai Panglima Besar berkoordinasi dengan Panglima Komando Jawa Jenderal Mayor AH Nasution dan Panglima Divisi III Jateng Kol Bambang Sugeng. Atas serangan 1 Maret 1949 itu Panglima Komando Jawa Nasution menulis: “Beberapa waktu sebelum Serangan Umum 1 Maret itu Komandan Brigade 10 Letnan Kolonel Soeharto telah berkunjung ke Posko saya di Sapan, maka kami membicarakan situasi secara luas dan makan siang berdua. Pihak kita sudah (akan) mampu melakukan serangan-serangan berarti”. (Dr AH Nasution: Memenuhi Panggilan Tugas, Jilid 2A halaman 221). “Diantara beberapa Serangan Umum maka yang mendapat hasil sebaik-baiknya ialah penyerangan umum tanggal 1 Maret. Terutama kemenangan politis. Karena dengan penyerangan itu segala propaganda Belanda yang mengatakan bahwa TNI telah hancur, Jogja telah dikuasai sepenuhnya, pemerintahan mereka sudah berjalan dan lain-lain, Dilenyapkan. Sedang negara negara yang bersimpati pada perjuangan kita, tentu tidak akan ragu- ragu memberi bantuan kepada kita. Dan pihak Belanda tentu bimbang dan akhirnya mengurangi kepercayaan terhadap Belanda sendiri”. (Dr AH Nasution: Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 2A hal 230). Dalam surat Panglima Besar Sudirman ke AH Nasution saat itu disebutkan: Letnan Kolonel Soeharto adalah Bunga Pertempuran (Dr A.H. Nasution, dalam buku yang sama, hal 231). Demikian sekedar catatan tambahan untuk melengkapi wacana Serangan Umum 1 Maret 1949 yang sedang hangat. Jakarta, 4 Maret 2022. (*)

Belum Ada Alasan Logis Penundaan Pemilu 2024

Jakarta, FN. Anggota Komisi XI DPR RI Marinus Gea menyatakan bahwa belum ada alasan logis dari Pemerintah terkait dengan penundaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, baik secara hukum, sosial, maupun politik. \"Penundaan pemilu itu argumen-nya harus dari Pemerintah. Harus ada alasan yang kuat untuk memutuskan menunda pemilu-nya,\" kata Marinus dalam webinar bertajuk \"Amendemen UUD 1945: Lobi-Lobi Masa Jabatan Presiden?” yang disiarkan di platform Zoom Meeting, dipantau dari Jakarta, Jumat. Dalam sepekan, telah muncul polemik di tengah masyarakat terkait dengan penundaan penyelenggaraan Pemilu 2024. Berbagai alasan pun muncul dalam narasi penundaan tersebut, seperti pemulihan ekonomi hingga perkembangan konflik di Rusia dan Ukraina. Marinus menilai, argumen-argumen tersebut harus disampaikan secara resmi oleh Pemerintah dan harus dapat menjelaskan keadaan genting yang menegaskan urgensi dari penundaan Pemilu 2024. \"Mungkin ada alasan-alasan yang benar-benar akan melemahkan Pemerintah jika dipaksakan pada 2024 dilakukan Pemilu serentak,\" ucapnya. Jika berlangsung keadaan tertentu yang mengharuskan Pemerintah melakukan penundaan terhadap Pemilu 2024, maka penundaan dapat dilakukan selama tidak melebihi 2,5 tahun. \"Artinya, kalau lebih dari 2,5 tahun, itu melanggar undang-undang. Kalau di bawah itu, dengan alasan yang cukup dan bisa diterima oleh masyarakat, itu bisa dijadikan alasan penundaan,\" tutur Marinus. Sebelumnya, wacana terkait penundaan Pemilu 2024 ramai menjadi pembicaraan masyarakat akibat Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar yang mengusulkan penundaan jadwal pelaksanaan Pemilu 2024 selama 1 tahun atau 2 tahun. Usulan tersebut bertujuan agar momentum perbaikan ekonomi tidak hilang dan tidak terjadi pembekuan ekonomi. Selaras dengan Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto dan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan juga mendukung penundaan Pemilu 2024. (Summber: ANTARA)  

Warga Korban Tanah Bergerak di Lebak Dambakan Relokasi

Lebak, FNN - Para korban tanah bergerak di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten tampak kebingungan karena harus tinggal di tenda pengungsian tanpa kepastian hingga kapan. Rumah mereka di Kampung Cihuni, Desa Curugpanjang, Kecamatan Cikulur, Kabupaten Lebak mengalami retak-retak dan bahkan ada yang roboh akibat bencana alam tersebut. Guna mencegah jatuh korban, mereka sementara ini tinggal di tenda pengungsian yang didirikan para relawan Taruna Siaga Bencana (Tagana). Tanah bergerak di pemukiman itu telah berlangsung satu bulan terakhir. Masyarakat ketakutan karena kondisi bangunan rumah terancam bencana. Bahkan, sejumlah rumah roboh akibat tanah bergerak. Beruntung tidak ada korban jiwa dalam kejadian itu. Masyarakat sudah meninggalkan pemukiman dan kemudian tinggal di tenda pengungsian. \"Kami ingin hidup bersama keluarga aman dan nyaman dari ancaman bencana alam itu,\" kata Ipah (35), seorang pengungsi yang warga Kampung Cihuni. Masyarakat yang terdampak tanah bergerak di kampung itu mendambakan relokasi agar kehidupan kembali normal. Saat ini, mereka merasa kehidupan tidak nyaman karena tinggal di tenda pengungsian dengan kondisi cukup memprihatinkan. \"Kami minta pemerintah daerah segera berupaya untuk merelokasi warga yang terdampak bencana alam itu,\" katanya. Kepala Desa Curugpanjang Yadi mengatakan tanah bergerak di kampung itu berdampak terhadap 37 rumah warga, 48 kepala keluarga atau 173 jiwa. Masyarakat sudah mengosongkan rumah mereka untuk menghindari bencana karena kondisi rumah rusak berat dan terancam roboh. Sebagian warga tinggal di pengungsian, ada juga yang mengontrak rumah, sedangkan lainnya tinggal bersama kerabat atau orang tua di lokasi yang aman dari bencana. \"Kami terpaksa membongkar rumah, karena kondisi bangunan rumah terancam roboh akibat tanah bergerak,\" kata Juli (58), seorang warga Cihuni. Kondisi saat ini masih ditambah dengan hujan yang hampir setiap hari turun dengan intensitas sedang dan lebat disertai angin kencang. Seorang warga setempat lainnya, Nia (45), mengaku rumahnya rusak parah akibat bencana itu sehingga terpaksa bersama keluarganya saat ini tinggal di rumah orang tuanya yang aman dari bencana.  Ketua RT 02/RW 09 Kampung Cihuni Dayat menyebut sejumlah fasilitas umum di daerah itu juga terdampak tanah bergerak, seperti masjid dan MTs Ar-Ribathiyah. Bahkan, tiga ruang kelas madrasah itu roboh. Ajukan Pemerintah desa setempat sudah mengajukan permintaan kepada Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Lebak terkait dengan relokasi warga. Pemerintah desa telah menyiapkan lahan seluas 2,5 hektare untuk tempat relokasi. Masyarakat telah menyepakati relokasi dan mereka tidak boleh kembali tinggal di kawasan rawan bencana alam itu. \"Kami bersama warga sudah sepakat untuk dilakukan relokasi ke lahan desa itu,\" kata Yadi. Pihak BPBD setempat menyatakan kesiapan merealisasikan program tersebut, sedangkan Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya mendukung relokasi agar warga tidak berlarut-larut tinggal di pengungsian karena tentunya tidak nyaman.​​​​​ \"Kami berharap relokasi itu secepatnya direalisasikan karena sudah disediakan lahan seluas 2,5 hektare untuk 37 rumah,\" kata Kepala Pelaksana BPBD Kabupaten Lebak Febby Rizky Pratama. Program relokasi melalui pembangunan rumah instan sederhana oleh Dinas Permukiman Provinsi Banten. Pembangunan relokasi menggunakan APBD Lebak dan Dana Desa setempat. Rencana itu juga sudah dilaporkan kepada bupati agar bisa secepatnya dilakukan relokasi. Saat ini, BPBD setempat melibatkan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Bandung untuk melakukan penelitian tanah bergerak di Curugpanjang. Diperkirakan kasus tanah bergerak di desa itu berbeda dengan kejadian di daerah lain. Biasanya, tanah bergerak bermuara pada aliran sungai, namun di Curugpanjang tidak ada aliran sungai.  Tanah bergerak di desa itu, diduga terkait dengan adanya kawasan sumber air di perbukitan. \"Kami berharap pekan depan sudah dilakukan penelitian oleh PVMBG Bandung,\" katanya. Diharapkan ada rekomendasi atas penanganan kawasan perkampungan tersebut selanjutnya berdasarkan rekomendasi hasil penelitian PVMBG. Apabila hasil penelitian menyebutkan kawasan itu membahayakan warga, tempat tinggal mereka harus direlokasi ke tempat yang lebih aman. \"Kita siap melakukan relokasi jika membahayakan warga yang terdampak bencana pergerakan tanah,\" katanya. Camat Cukulur Sukmajaya mengatakan masyarakat setempat siap direlokasi jika lokasi tanah bergerak itu membahayakan keselamatan mereka. Hampir setiap hari terjadi tanah bergerak di perkampungan itu sehingga warga khawatir rumahnya roboh dan mereka menjadi korban. \"Jika direlokasi bisa direalisasikan dalam waktu dekat ini,\" katanya. Anggota DPRD Kabupaten Lebak Musa Weliansyah mendukung pemkab setempat merelokasi rumah korban tanah bergerak di desa itu. Tinggal di tempat yang lebih aman dari bencana akan membuat warga hidup dengan nyaman dan damai. Terlebih, tidak lama lagi Bulan Suci Ramadhan 1443 Hijriah. \"Kami berharap bupati segera mengalokasikan anggaran relokasi,\" katanya. Pelaksanaan relokasi tentu harus ada rekomendasi dari PVMBG Bandung setelah penelitiannya. Apabila kawasan tersebut relatif aman dan tidak kembali terjadi tanah bergerak maka tidak perlu relokasi. Namun, sebaliknya jika direkomendasikan berbahaya maka secepatnya mereka direlokasi ke tempat lebih aman. \"Pada dasarnya relokasi itu sangat setuju untuk menghindari korban bencana alam,\" kata Weliansyah yang Anggota Komisi IV (Bidang Pembangunan) DPRD Lebak itu. Bantuan  Kementerian Sosial telah menyalurkan bantuan berupa beras satu ton, perlengkapan bayi, lauk-pauk, dan makanan ringan kepada korban tanah bergerak di daerah tersebut yang saat ini tinggal di pengungsian. Kepala Seksi Perlindungan Sosial Korban Bencana Alam dan Sosial Dinas Sosial Kabupaten Lebak Agus Rohmantika mengatakan korban tanah bergerak sudah menerima bantuan dari Kemensos itu. Bantuan juga datang dari Pemerintah Provinsi Banten, Pemkab Lebak, dan berbagai lembaga sosial di daerah tersebut. Warga yang tinggal di tenda pengungsian dengan jumlah sekitar 63 jiwa itu mendapatkan jatah makan tiga kali dalam sehari, sedangkan anak-anak mereka mendapatkan jatah minum susu dan makanan ringan. Mereka juga mendapatkan bantuan berupa kasur, bantal, dan selimut untuk perlengkapan tinggal di tenda pengungsian dengan. \"Kami tentu mengutamakan pelayanan dasar setelah bencana alam agar warga korban bencana alam tidak kelaparan,\" katanya. Relawan Sahabat Indonesia (RIS) yang berpusat di Cilengsi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat menyalurkan bantuan logistik, berupa bahan kebutuhan pokok, makanan, mi instan, dan tenda pengungsian bagi mereka.  Bantuan itu diterima aparat Desa Curugpanjang untuk selanjutnya disalurkan kepada masyarakat di pengungsian. \"Kami berharap bantuan logistik itu meringankan beban warga yang terdampak bencana alam,\" kata Susilo, perwakilan RIS di Lebak. Penanganan terhadap warga Lebak yang sedang menghadapi bencana tanah bergerak di desa itu sedang ditempuh dengan melibatkan berbagai pihak terkait. Penanganan itu, termasuk mewujudkan relokasi tempat tinggal mereka sebagai solusi yang relatif permanen dalam mengatasi dampak bencana alam tersebut. (mth/Antara)  

Joko Widodo, Habib Rizieq Shihab, dan Aspiran Capres

Oleh Smith Alhadar, Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education (IDe) Di luar tokoh yang telah menjadi \"cult\" partai politik -- Megawati, Prabowo, dan SBY -- Presiden Joko Widodo dan Habib Rizieq Shihab adalah sosok yang akan memainkan peran menentukan (decisive role) dalam pilpres 2024. Keduanya mewakili dua kelompok masyarakat yang terbentuk akibat ekses pilpres 2014 dan mengkristal pasca pilpres 2019. Jokowi mewakili kaum sekuler, sementara HRS adalah icon kaum Islamis. Menurut hasil survei Indikator Politik Indonesia, lembaga survei yang kredibel, yang dilakukan pada Februari 2020, jumlah pendukung populisme Islam sebesar 16,3%, penentangnya mendapat 33,9%, dan yang netral sebesar 49,8% (Media Indonesia, 23 Desember 2021). Kendati masing-masing memiliki daya tolak, keduanya memiliki daya tarik luar biasa. Dalam survei Litbang Kompas pada 17-30 Januari 2022, yang dilakukan di tengah keterpurukan rakyat akibat  covid-19, kengototan pemerintah memindahkan Ibu Kota Negara (IKN) yang menuai banyak protes, dan capaian-capaian pemerintah yang meragukan, kepuasan publik terhadap kinerja rezim Jokowi mencapai 73,6%. Ini menggambarkan ketiadaan korelasi antara kondisi bangsa dengan kinerja Jokowi. Ia memang telah bertransformasi dari tukang mebel sederhana yang tak suka membaca buku menjadi \"great leader\" tanpa kita mampu mencari alasan rasional di balik itu. Biasanya great leader dikaitkan dengan prestasi-prestasi kebangsaan yang muncul dari karakter kenegarawanan  yang dihasilkannya.  Prestasi \"besar\" Jokowi, kalau pun itu mau dianggap prestasi, adalah membangun infrastruktur secara masif dari Sabang sampai Merauke meskipun ada beberapa proyek strategis -- satu di antaranya adalah proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung -- yang mangkrak akibat salah perhitungan. Pembangunan infrastruktur memang sangat vital untuk keperluan politik dan ekonomi sebuah bangsa dan Indonesia adalah negara yang tingkat pendapatan per kapitanya tidak sebanding dengan infrastruktur yang dimilikinya. Artinya, jika dibandingkan dengan negara  dengan pendapatan per kapita yang satu kelas dengan kita, Indonesia ketinggalan dalam ketersediaan infrastruktur. Ini merupakan salah satu faktor negatif dalam upaya menarik investor asing dan akselerasi pertumbuhan ekonomi. Kendati Jokowi tak bisa menggantikan Soeharto sebagai Bapak Pembangunan, para pendukung PDI-P di Papua, Maluku, Sulawesi Utara, Kalimantan Tengah, Bali, dan Sumatera Utara memberi apresiasi tinggi pada Jokowi dengan limpahan rasa syukur kepada Tuhan. Jokowi memang berhasil menghadirkan infrastruktur vital di provinsi-provinsi ini yang menciptakan konektivitas hingga ke desa-desa dan memudahkan mobilitas orang dan barang. Dalam survei Kompas pada 2019, 50% responden menyatakan mendukung Jokowi karena karakter kerakyatan dan kesederhanaan yang dimilikinya, sementara 50 persen lainnya mendukung Prabowo karena latar belakang militer dan karakter ketegasan yang melekat pada dirinya. Dus, jargon \"Jokowi adalah kita\" yang diusung kubu Jokowi selama kampanye mengena pada publik. Harus diakui, citra Jokowi sebagai pemimpin yang sederhana masih kuat sampai sekarang. Ia memang selalu tampil dengan busana sederhana. Bicara dan tertawanya pun merepresentasikan rakyat Indonesia kebanyakan. Dukungan emosional rakyat kepadanya mungkin disebabkan sejak merdeka pada 1945, Indonesia selalu dipimpin elite di pusat yang berjarak dengan rakyat. Dan, sayangnya, kebanyakan para pemimpin itu kurang sensitif pada penderitaan rakyat dan hanya asyik dengan diri sendiri. Jokowi, yang datang dari Solo, muncul pada momen ketika budaya paternalisme (bapakisme) sedang digerus zaman. Orang tak lagi mencari pemimpin kharismatik yang bicara dan bertindak di awan-awan yang membingungkan dan menakutkan rakyat, tapi presiden dari kalangan mereka sendiri seiring dengan berkembangnya nilai-nilai egalitarian dan demokratis berbasis humanisme. Terbangunnya mitos \"Jokowi adalah kita\" berdampak luas pada politik elektoral 2024. Dukungan terbuka Jokowi kepada aspiran capres dipandang akan memberi insentif elektoral yang signifikan pada kandidat tersebut. Namun, populeritas Jokowi ditantang HRS yang juga datang dari rakyat kebanyakan. Suara HRS didengar kaum Muslim perkotaan karena ia pandai mengartikulasi aspirasi politik mereka. Ia juga tokoh independen dan bebas dari korupsi saat korupsi telah membudaya di negeri ini. Pada 2024, HRS telah keluar dari penjara dengan populeritasnya yang sangat mungkin meluas. Di mana-mana di kolong langit ini, tokoh yang dipandang terzalimi akan menarik simpati rakyat, bahkan oleh mereka yang tidak berbagai ideologi dan kepentingan dengannya. Apalagi, tokoh itu dihukum secara tidak adil untuk kesalahan yang tak dibuatnya. Setidaknya di mata publik, HRS korban rekayasa politik untuk menghentikan kiprahnya yang dipandang mengancam status quo. Harus diakui dialah satu-satunya tokoh oposisi di negeri ini yang paling berpotensi merongrong wibawa Jokowi. Tapi represi terhadapnya merupakan kesemboronan politik yang justru membawa hasil yang berkebalikan dari harapan pemerintah. Bisa jadi kesemboronan itu diakibatkan oleh tekanan berat kaum oligarki yang merasa kepentingannya terganggu oleh kebisingan kiprah HRS dan pendukungnya. Melihat hasil survei Indikator Politik Indonesia tersebut di atas -- di mana pada Februari 2020 kubu yang netral di antara populisme Islam dan penentangnya mencapai 49,8% -- bisa jadi sebagian dari jumlah ini mengayun pada capres yang didukung HRS.Toh, menurut survei itu, responden yang netral itu menyatakan, keberpihakan mereka pada salah satu kubu bergantung pada dinamika politik di lapangan nanti. Harus juga dicatat, survei berlangsung ketika HRS masih di pengasingan di Mekkah, Arab Saudi. Kalau pun jumlah pendukung populisme Islam tidak berubah, 16,3 persen adalah jumlah yang cukup besar, melebihi konstituen Gerindra (13%) yang menurut hasil survei Kompas terbaru menduduki peringkat kedua di bawah PDIP. HRS dengan populisme Islamnya adalah fenomena politik-budaya domestik yang dihasilkan globalisasi. Gejala politik identitas memang sedang marak di berbagai belahan dunia sebagai respons domestik terhadap arus globalisasi yang menggerus budaya dan menjungkirbalikkan tatanan sosial masyarakat lokal. Globalisasi juga membawa serta kekuatan-kekuatan politik dan ekonomi internasional yang kemudian  bermitra dengan oligarki politik dan ekonomi lokal dalam konteks persaingan global. Cina mendapat keuntungan paling besar karena membawa modal besar yang sedang diincar rezim Jokowi.   Gejala penentangan terhadap globalisasi terlihat di AS ketika Presiden AS Donald Trump mengisolasi AS dengan mundur dari berbagai perjanjian internasional demi melindungi bangsanya. Ia berpendapat internasionalisme AS lebih merugikan AS dibanding keuntungan. Kaum Kristen Evangelis pun menyambut politik identitas Trump. Di negara-negara Eropa, seperti Perancis, Jerman, Austria, Hongaria, dan Belanda, partai-partai sayap kanan yang rasis mendulang suara yang terus meningkat di setiap pemilu. Di India, Partai Bharaya Janata (BJP), partai garis keras Hindu yang berkuasa, telah menimbulkan keprihatinan internasional akibat serangan-serangan pendukung fanatiknya terhadap kelompok minoritas agama Islam maupun Kristen. Membesarnya populisme Islam di Indonesia secara tidak langsung diproduksi oleh rezim Jokowi yang memandang kaum Islamis sebagai musuh, bukan sebagai lawan ideologis yang bisa menjadi sparing partner dalam debat untuk mendewasakan bangsa ini.Pendukung populisme Islam adalah mereka yang hanya ingin mendapat pengakuan atas eksistensi mereka. Sementara itu, ketika banyak negara mengambil kebijakan untuk melindungi kepentingan ekonomi dan budaya, rezim Jokowi justru mengeluarkan beleid pintu terbuka sebagai akibat dari sambutannya pada neo-liberalisme untuk mengejar investasi asing. Ini menyebabkan akumulasi modal secara gila-gilaan oleh mereka yang sejak awal sudah sangat kaya, yakni oligarki ekonomi yang berkoalisi dengan oligarki partai politik. Maka kita menyaksikan terciptanya berbagai UU oleh DPR sebagai payung hukum untuk melayani kepentingan oligarki ekonomi yang telah berjasa membawa mereka ke posisi-posisi eksekutif dan legislatif. Di saat bersamaan, protes populisme Islam dianggap subversif. Padahal kebijakan-kebijakan rezim yang tidak pro-rakyat, dengan sendirinya meminggirkan pendukung populisme Islam, telah mempercepat dan memperdalam kesenjangan kaya-miskin di negeri ini.Kendati suara menentang masuknya buruh kasar Cina relatif massif di proyek-proyek infrastruktur dan tambang yang dibiayai Cina, suara itu diabaikan. Padahal argumentasi rezim bahwa proyek-proyek itu akan menguntungkan Indonesia dalam jangka panjang tidak meyakinkan. Bahkan, ada komponen masyarakat yang memandang kehadiran buruh Cina itu sebagai ancaman terhadap eksistensi kedaulatan Indonesia di masa depan. Suburnya pengajian dan menjamurnya para ustadz dan mubaligh harus dilihat sebagai perlawanan kaum Muslim urban terhadap nilai-nilai liberalisme yang mengancam budaya dan agama mereka. Di tengah jeritan hati orang-orang yang dipinggirkan ini, rezim mengambil langkah represif terhadap mereka. Radikalisme dan toleranisme tiba-tiba menjadi dua diksi, bahkan dua ideologi, yang dipertentangkan. Radikal adalah populisme Islam, sedangkan toleransisme disematkan pada pendukung Jokowi. Secara politik, dua kekuatan ini termanifestasi dalam dua pilpres yang terakhir, yang menghadapkan Jokowi dan Prabowo. Populisme Islam menyalurkan aspirasinya pada Prabowo, sedang penentangnya melimpahkan suaranya pada Jokowi. Maka, sejak 2014 masyarakat Indonesia terpilah kedalam dua kubu ini. Anehnya, bukannya melakukan rekonsiliasi pasca pilpres, rezim mengeluarkan beleid-beleid yang kian menyakiti kubu yang kalah. Radikalisme digunakan rezim sebagai alat untuk membungkam HRS dan pendukungnya. Dalam pilpres mendatang, pendukung Jokowi kembali berhadapan dengan pendukung HRS. Melihat besarnya pendukung kedua tokoh ini, mestinya parpol dan aspiran capres tergoda oleh magnet keduanya. Namun, karena keduanya punya daya tolak di masyarakat, tentu parpol dan aspiran capres akan banyak berhitung kalau akan mengasosiasikan diri dengan mereka. Ini karena suara pendukung HRS dan Jokowi saja tidak cukup besar menentukan kemenangan kontestan. Harus ada kombinasi suara di antara keduanya. Ada tiga aspiran capres yang memiliki elektabilitas tinggi secara konsisten di semua hasil survei lembaga-lembaga yang kredibel. Mereka adalah Prabowo Subianto (Ketum Getindra), Ganjar Pranowo (Gubernur Jateng dan kader PDI-P), dan Anies Baswedan (Gubernur DKI yang nonpartai). Menurut hasil survei Kompas, 17-30 Januari 2022, elektabilitas Prabowo masih yang teratas dengan 26,5%, disusul Ganjar (20,5%), dan Anies (14,2%). Survei dilakukan sebelum terjadinya kekerasan di Desa Wadas, Jawa Tengah, pada 8 Februari di mana Ganjar banyak dikecam publik karena memang dialah orang yang paling bertanggung jawab dalam peristiwa itu. Bahkan, PDI-P paling bersemangat memanfaatkan tragedi itu untuk membersihkan nama Jokowi dan mendiskreditkan gubernur populer itu. Maklum, partai ini tidak hendak mencapreskan Ganjar dalam pilpres. Bagaimanapun, hasil survei Saiful Mujani Research dan Consulting (SMRC) yang diselenggarakan pada 8-10 Febtuari atau pasca insiden Wadas, secara mengejutkan Ganjar meraup dukungan 19,9%, mengalahkan Prabowo (10,4%) dan Anies (9,8%). Membandingkan hasil survei Kompas dengan hasil survei SMRC, terlihat adanya discrepancy (ketidaksesuaian) atau ketidakkonsistenan di sini. Elektabilitas Ganjar tertinggal dari Prabowo pra-Wadas, tetapi meninggalkan jauh Prabowo pasca Wadas. Yang tak kurang mengherankan, hasil survei SMRC menunjukkan Ganjar mendapat dukungan sangat besar dari kelompok superkritis (55 5%), disusul Anies (18,8%) dan Prabowo (17,3%). Berpegang pada survei SMRC, kiranya peristiwa Wadas tidak berpengaruh pada populeritas Ganjar di Jawa. Di antara tiga aspiran capres ini, Ganjar dan Prabowo terang-terangan memainkan politik asosiasi. Mereka berlomba mengasosiasikan diri dengan Jokowi guna mendapat coattail effect (efek ekor jas) Jokowi. Tetapi luas dibicarakan bahwa Jokowi memberikan dukungan pada Ganjar. Hasil survei Kompas menunjukkan sepertiga pendukung Jokowi (31,8%) dalam pilpres 2019 dilimpahkan ke Ganjar. Kendati tidak menunjuk dukungan pemilih Jokowi pada Prabowo, survei itu mencatat terjadi rebound pada elektabilitas Prabowo yang sebelumnya menunjukkan kecenderungan menurun. Kompas menduga fenomena ini memperlihatkan kembalinya pemilih Prabowo dalam pilpres 2019. Tapi argumen ini meragukan mengingat tidak ada peristiwa luar biasa yang membuat pendukung populisme Islam yang kecewa pada Prabowi mendadak berbalik mendukungnys. Saya menduga, kalau survei Kompas itu dapat diandalkan, elektabilitas Prabowo lebih disebabkan datangnya dukungan dari pendukung Jokowi, terutama karena Kompas menyebut dukungan itu berasal dari, di antaranya, Papua danv Sulawesi Utara (basis pendukung Jokowi) yang dalam dua pilpres Prabowo kalah di dua provinsi ini. Bagaimanapun, politik asosiasi dengan Jokowi yang dimainkan Ganjar dan Prabowo punya ekses negatif. Bisa dikata, kubu populisme Islam pimpinan HRS akan sangat resisten terhadap dua tokoh ini. Juga, ke depan, belum tentu pengaruh Jokowi bisa terjaga. Kredibilitas dan integritas Jokowi mestinya terganggu belakangan ini dan dapat membesar pada hari-hari mendatang. Penyebabnya, pertama, melonjaknya harga minyak goreng, hal yang sulit diterima masyarakat karena Indonesia adalah produsen minyak goreng terbesar di dunia. Kelangkaan komoditas vital itu menggambarkan kinerja rezim yang payah (under-performed). Kedua, melonjaknya harga kedelai yang berakibat pada melejitnya harga tempe dan tahu, makanan utama mayoritas rakyat Indonesia. Ketiga, meningkatnya harga BBM dan gandum akibat perang Rusia-Ukraina, yang akan memicu inflasi. Memang kenaikan ini dipicu perang dua negara eksportir  gandum utama dunia, tapi selama Jokowi berkuasa produksi gandum dalam negeri anjlok karena rezim tak mampu meningkatkan harga yang layak di tingkat petani sehingga petani menggunakan lahan gandumnya untuk menanam buah-buahan yang lebih menguntungkan. Keempat, pemerintah menaikkan harga BBM nonsubsidi yang berdampak pada kenaikan biaya produksi. Ini juga akan berdampak pada inflasi dan menurunkan pendapatan pemerintah dari pajak. Sementara rezim ngotot membangun Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan Timur yang memakan anggaran besar dari APBN. Dengan demikian, pemerintah akan menambah utang luar negeri yang sudah menggunung, hal yang menjadi keprihatinan publik. Ekonom Faisal Basri malah menganggap itu tindakan jahat yang dapat membuat Jokowi kehilangan legitimasi moral sebelum 2024. Kelima, Koran Tempo membongkar peran istana dalam usulan tiga parpol mengundurkan pemilu, yang menimbulkan kehebohan luar biasa. Publik kecewa pada parpol dan istana yang tega memainkan konstitusi demi melanggengkan kekuasaan. Skandal politik ini mestinya bisa mempreteli  mitos kerakyatan dan kesederhanaan Jokowi. Faktanya, Jokowi hanya manusia biasa yang bisa merasakan nikmatnya kekuasaan.  Memang disadari, kendati realitas politik dan ekonomi di atas terjadi pasca survei Kompas, belum tentu semua itu menggerogoti populeritas Jokowi karena ia telah menjadi pemimpin kharismatik. Toh, banyak masalah ciptaan rezim yang jauh lebih berat sepanjang 2014 sampai Januari 2022 tidak sedikit pun menggoyahkan posisi Jokowi. Apalagi rezim bisa bersembunyi di balik perang Rusia-Ukraina. Dari hasil survei Kompas, pendukung terbesar Anies datang dari PKS dan Demokrat. Kalau nanti konstelasi koalisi parpol telah terbentuk -- di mana Nasdem, PAN, dan PPP -- ikut bergabung dengan PKS dalam mengusung Anies, koalisi itu belum menjamin kemenangan. Terutama karena parpol-parpol papan atas (PDI-P, Gerindra, Golkar, Demokrat, dan PKB) belum tentu mendukung Anies, setidaknya pada pilpres putaran pertama dengan catatan ada tiga pasangan capres yang bertarung. Yang lebih buruk, posisi Anies di Jawa Tengah dan Jawa Timur, basis pendukung PDI-P dan PKB, jeblok dibandingkan dengan Ganjar dan Prabowo sesuai hasil survei Kompas. Hasil survei Kompas mengungkapkan, jumlah warga Nahdliyin yang akan memilih Anies hanya 13,1%, sedangkan yg menjatuhkan pilihan pada Ganjar dan Prabowo sama besar, yakni 24%. Dalam konteks ini, HRS dengan gerbong pendukungnya jadi penting. Harus diakui, kemenangan Anies dalam pilgub Jakarta pada 2017 melawan Ahok yang sangat populer tak bisa dilepaskan dari peran HRS. Kendati Prabowo kalah dalam dua pilpres, suara yang diperoleh dari pendukung populisme Islam sangat besar. Prabowo kalah  karena suara yang diraup dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, di mana HRS kurang mendapat tempat, sangat minim. Bagaimanapun, kendati menggoda, politik asosiasi Anies dengan populisme Islam bisa backfire karena menghambat peluangnya meriah dukungan signifikan di Jawa dan dari kaum minoritas agama. Menurut hasil survei Kompas pada Oktober 2021, elektabilitas Anies yang stagnan selama bertahun-tahun, karena terlanjur dilekatkan dengan politik identitas, kini mulai menanjak mendekati proporsi nasional. Penyebabnya, pelan-pelan Anies mulai berhasil melepaskan diri dari identitas itu terkait kerja-kerja kebangsaan yang dilakukannya di Jakarta. Kerja-kerja yang menghadirkan keadilan sosial bagi semua tanpa kecuali (termasuk melayani kepentingan agama-agama minoritas), mencerdaskan warga, dan mengangkat martabat Indonesia di panggung global. Memang sesungguhnya Anies bukan dari kubu populisme Islam. Juga bukan dari kubu nasionalis kuno. Dia adalah sintesa dari ideologi-ideologi yang berkembang di Indonesia masa kini.  Dengan kata lain, Anies adalah anak kandung Indonesia paling genuine dibandingkan dengan aspiran capres lain. Tetapi ia harus bijak dan saksama  dalam penempatan posisi dalam politik Indonesia yang belum dewasa. Bagaimana meraih suara populisme Islam yang besar itu bersamaan dengan upayanya mendapatkan ceruk suara dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, kawasan neraka bagi Anies. Sudah pasti Anies akan mendapat limpahan suara dari populisme Islam karena Ganjar dan Prabowo tidak mewakili kelompok itu. Dulu mereka mendukung Prabowo karena tak ada opsi lain, sementara Jokowi tidak menunjukkan simpati pada populisme Islam. Bagi mereka, munculnya Anies bagai pucuk dicinta ulam tiba. Tapi manuver HRS dengan artikulasi yang tak terukur, apalagi mendesakkan agendanya kepada Anies seperti yang dilakukannya pada Prabowo justru akan menjadi faktor negatif. Biarkan Anies, dengan kecakapan politiknya yang mumpuni, bermanuver secara independen. Identitas Anies sebagai Pancasilais yang cerdas dengan leadership yang mengayomi harus dikuatkan. Survei Kompas menunjukkan, pemilih Indonesia tak lagi terpaku pada dua karakter kerakyatan (Jokowi) dan ketegasan (Prabowo), tapi kini telah muncul apresiasi tinggi pada kinerja dari para gubernur (Anies, Ganjar, Ridwan Kamil, dan Tri Rismaharini). Sebagian pemilih juga akan menjatuhkan pilihan pada calon yang berkinerja baik meskipun calon itu tak didukung partainya. Kalau melihat hasil survei SMRC yang terakhir, 8-10 Februari, Anies akan memenangkan pilpres dengan meraih suara 37,5% suara bila hanya berhadapan dengan Prabowo yang mendapat 31,8% suara. Ini juga memperlihatkan populisme Islam telah meninggalkan Prabowo. Memang ada kemungkinan, dalam putaran final pilpres, Anies hanya berhadapan dengan Prabowo mengingat hampir pasti Ganjar tak akan dicalonkan PDI-P. Pecahnya suara PDI-P di antara Prabowo dan Ganjar menguntungkan Anies. Tapi political advantage itu akan sia-sia bila Anies dan orang-orang di sekelilingnya tak cermat membaca dinamika politik dalam konteks populisme Islam pimpinan HRS dan penentang populisme Islam pimpinan Jokowi. (*)