OPINI

Tuntaskan Kasus Pelanggaran HAM Berat: Pembunuhan Sadis Enam Pengawal HRS di KM-50 Tol Jakarta-Cikampek

Janji Presiden untuk menangani perkara ini secara transparan, adil dan dapat diterima publik hanya mungkin jika Pengadilan HAM digelar sesuai dengan UU No 26 tahun 2000. Oleh: Abdullah Hehamahua, Ketua Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) Enam Pengawal HRS PADA 3 Januari 2022 Polda Jawa Barat telah menetapkan Habib Bahar bin Smith (HBS) sebagai tersangka dengan dugaan kasus penyebaran berita bohong terkait pembunuhan enam pengawal Habib Rizieq Syihab (HRS) di KM 50 Jalan Tol Jakarta – Cikampek. Dari penelitian dan kajian yang dilakukan, TP3 menemukan bahwa pembunuhan sadis tanpa prikemanusiaan terhadap enam pengawal HRS memang benar-benar didahului dengan penyiksaan oleh aparat negara, sebagaimana dinyatakan oleh HBS dalam ceramahnya. Atas \"dugaan penyebaran berita bohong\" tersebut, HBS dijerat dengan Pasal 14 ayat 1 dan 2 UU No.1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana jo Pasal 55 KUHP, dan atau Pasal 15 UU No.1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana jo Pasal 55 KUHP, dan atau Pasal 28 ayat 2 jo Pasal 45a UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) jo Pasal 55 KUHP. Sehubungan dengan penetapan HBS sebagai tersangka dan demi tegaknya hukum dan keadilan di bumi NKRI, dengan ini TP3 menyatakan sikap sebagai berikut; 1. HBS ditangkap bukan karena penyebaran berita bohong, namun HBS ditangkap justru karena penyampaian fakta yang sesungguhnya. Dia ditangkap dan ditahan karena mengungkit kasus KM 50 yang telah diupayakan sedemikian rupa untuk ditutup (cover up) dan dibungkam oleh penguasa, dengan berbagai cara dan rekayasa.  2. Jika penegak hukum benar-benar ingin menegakkan hukum dan keadilan, maka yang harus diusut untuk dijadikan tersangka telah menyebarkan berita bohong justru para aparat itu sendiri, yaitu  Polda Metro Jaya, Pangdam Jaya, KOMNAS HAM dan BIN. a. POLDA Metro dan Pangdam Jaya karena dalam Konferensi Pers pada tanggal 7 Desember tahun 2020 , secara bersama-sama mengabarkan kepada publik bahwa keenam pengawal HRS telah dibunuh karena melakukan penyerangan dan  perlawanan kepada petugas Polda Metro Jaya yang sedang bertugas. TP3 telah melakukan wawancara terhadap enam pengawal HRS yang selamat dari upaya pembunuhan di KM 50. Kesaksian mereka membuktikan hal yang sebaliknyalah yang terjadi; b. KOMNAS HAM menyatakan dan melaporkan telah melakukan penyelidikan. Padahal ternyata yang mereka lakukan hanyalah pemantauan. Laporan yang diterbitkan KOMNAS HAM sarat dengan rekayasa dan kekeliruan, karena berangkat dari asumsi dan bukan fakta. Bahkan KOMNAS HAM pantas dianggap terlibat merekayasa laporan guna melindungi para pelaku kejahatan kemanusiaan; c. BIN menyatakan bahwa anggota BIN yang tertangkap basah sedang melakukan pengintaian di Mega Mendung adalah bukan anggota BIN. Padahal bukti-bukti yang ada meyakinkan TP3 bahwa mereka adalah anggota BIN. 3. Kebohongan lain yang perlu diusut adalah cerita Polda Metro Jaya yang digaungkan oleh KOMNAS HAM perihal pembunuhan terhadap para pengawal HRS di dalam mobil Xenia  No. B 1519 UTI, di mana disebutkan mereka dibunuh karena berusaha merebut senjata petugas. Setelah dilakukan rekonstruksi oleh TP3 atas dasar narasi yang disampaikan oleh KOMNAS HAM, maka “cerita karangan sarat rekayasa busuk” tersebut tidak mungkin bisa dibenarkan. (Buku Putih TP3 halman 160 dan seterusnya). 4. Kebohongan yang lain yang direkayasa aparat negara dan KOMNAS HAM adalah perihal rekayasa barang bukti yang diinsinuasikan bahwa barang bukti tersebut adalah milik korban pembunuhan (Buku Putih TP3 halaman 168 dan seterusnya). 5. Buku Putih TP3 perihal Pelanggaran HAM Berat atas Pembunuhan Enam Pengawal HRS adalah merupakan hasil penelitian TP3 yang telah dipublikasikan dalam bentuk buku yang merupakan bagian dari rangkaian ikhtiar TP3 mencari dan mengungkap kebenaran secara tertulis. Buku tersebut telah banyak membeberkan fakta dan analisis yang belum pernah dimuat media masa, terutama media mainstream. Temuan-temuan dan hasil kajian TP3 yang dipaparkan dalam buku tersebut dapat dijadikan dasar bagi penegak hukum yang jujur dan adil untuk menuntaskan peristiwa pembunuhan enam pengawal HRS. Janji Presiden untuk menangani perkara ini secara transparan, adil dan dapat diterima publik hanya mungkin jika Pengadilan HAM digelar sesuai dengan UU No 26 tahun 2000. Terlepas dari berbagai upaya rekayasa penguasa untuk menutupi (cover up) kasus pembunuhan sadis di KM 50, TP3 akan terus berjuang untuk memberi pemahaman dan kesadaran kepada publik dan instansi yang kompeten, baik dalam maupun luar negeri, bahwa apa yang dilakukan oleh aparat negara terhadap enam laskar pengawal HRS adalah benar-benar suatu pelanggaran HAM Berat (crime against humanity). TP3 juga siap memberikan klarifikasi secara komprehensif ke publik dan melakukan dialog kepada semua pihak, terutama para otoritas penegak hukum, sehingga proses hukum dapat dituntaskan. Demikianlah Siaran Pers TP3 ini kami sampaikan demi tegaknya hukum dan keadilan bagi sesama anak bangsa di bumi NKRI. Semoga Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa melindungi segenap tumpah darah dan tanah air Indonesia, termasuk anak-anak bangsa yang sedang berupaya menuntut tegaknya hukum dan keadilan bagi enam orang pengawal HRS dan juga terhadap Habib Bahar bin Smith. Jakarta, 11 Januari 2022. (*)    

E-Fishery Raih Pendanaan Seri C Senilai 90 Juta Dolar AS

Jakarta, FNN - Start-up agritech Indonesia, eFishery hari ini mengumumkan pendanaan seri C senilai 90 juta dolar AS yang dipimpin oleh Temasek, SoftBank Vision Fund 2, dan Sequoia Capital India, dengan partisipasi dari investor lainnya, yaitu the Northstar Group, Go-Ventures, Aqua-Spark, dan Wavemaker Partners.\"Pendanaan baru ini akan digunakan untuk mengembangkan perusahaan, ekspansi regional, dan mencapai target kami untuk menjadi perusahaan teknologi akuakultur terdepan. Kami sangat senang dapat bermitra dengan Temasek, SoftBank Vision Fund 2, dan Sequoia Capital India, yang kami yakini dapat menambah nilai signifikan pada platform kami,\" kata Gibran Huzaifah, Co-founder dan CEO eFishery dalam siaran pers pada Selasa.eFishery akan menginvestasikan pendanaan seri C ini untuk menumbuhkan tim, memperkuat produk dan operasional bisnisnya di Indonesia, dan berekspansi ke pasar regional. Melalui solusinya yang berbasis teknologi, eFishery memodernisasi teknik budidaya sehingga hasil budidaya menjadi lebih baik.eFishery berambisi untuk mengakuisisi 1 juta pembudidaya dalam waktu 3-5 tahun ke depan.Pendanaan akan digunakan untuk meningkatkan platform dan layanan serta memperkuat produk digital eFishery dan menjadikannya \"koperasi\" digital bagi pembudidaya ikan dan udang.eFishery juga bertujuan untuk berekspansi secara regional dengan menargetkan 10 negara teratas dalam produksi akuakultur, seperti India dan China.Anna Lo, Investment Director dari SoftBank Investment Advisers eFishery mempelopori adopsi teknologi untuk pembudidaya ikan dan udang lokal dengan platform end-to-end yang mendukung peningkatan produktivitas di seluruh rantai pasok, mulai dari teknologi, pasokan pakan, produksi budidaya, hingga penjualan produk segar hasil panen, kata Anna.\"Kami senang dapat bermitra dengan eFishery dan mendukung mereka untuk menyediakan produk pangan hasil perikanan yang andal dan berkelanjutan ke Indonesia dan wilayah lainnya.\"  Sejak didirikan tahun 2013 di Bandung, ribuan smart feeders telah digunakan dan melayani lebih dari 30.000 pembudidaya dari 24 provinsi di Indonesia. Di puncak pandemi, eFishery meningkatkan jaringannya sepuluh kali lipat sejak Desember 2020, dan memperkuat adopsi layanan penjualan pakan serta ikan hasil budidaya.\"Dengan pasar sebesar 20 miliar dolar AS serta rantai pasok yang kompleks dan terfragmentasi, akuakultur menjadi salah satu peluang terbesar dan paling menarik di Indonesia. Hal itu yang menjadikan kerja sama dengan eFishery, sebagai pemimpin pasar di sektor ini, menjadi menarik,\" kata Aakash Kapoor, VP, Sequoia India.Rangkaian inovasi yang eFishery ciptakan diantaranya eFarm dan eFisheryKu. eFarm merupakan platform online yang menyediakan informasi lengkap dan mudah dipahami mengenai operasional tambak udang pembudidaya, sedangkan eFisheryKu merupakan platform terintegrasi dimana pembudidaya ikan dapat membeli berbagai keperluan budidaya, seperti pakan ikan, dengan harga yang kompetitif.Pembudidaya juga dapat mengajukan permodalan melalui eFund, yang menghubungkan pembudidaya ikan secara langsung dengan institusi keuangan. Komponen utama dari eFund adalah Kabayan (Kasih, Bayar Nanti), sebuah layanan yang memberikan pembudidaya ikan modal produktif yang dapat digunakan untuk membeli sarana produksi budidaya dengan sistem pembayaran tempo.Keseluruhan proses dilakukan secara praktis melalui aplikasi eFisheryKu. Hingga saat ini, lebih dari 7.000 pembudidaya telah didukung oleh layanan ini, dengan total pinjaman yang disetujui melebihi Rp400 miliar.\"Kami fokus menghadirkan solusi untuk meningkatkan produktivitas pembudidaya. Melalui pengenalan teknologi yang baru, kami merampingkan usaha budidaya ikan dan udang, menjadikan industri ini lebih efektif, efisien, dan berkelanjutan. Sebagai contoh, teknologi kami di hilir, eFeeder, mampu mempercepat siklus panen dan meningkatkan kapasitas produksi hingga 26 persen,\" ​​​​​​​ kata Gibran.Gibran mengatakan pihaknya juga menghubungkan pembudidaya langsung dengan pembeli melalui teknologi kami di hilir, eFresh, sehingga meningkatkan daya jual mereka. \"Hasilnya, solusi kami mampu menurunkan biaya operasional dan meningkatkan pendapatan pembudidaya hingga 45 persen.\"“Hal terpenting yang selalu kami ingat adalah visi kami, yaitu memberi makan masyarakat global melalui akuakultur, karena akuakultur merupakan sumber protein hewani yang paling efisien dan bernutrisi tinggi. Di tahun 2050, akan ada 10 miliar orang yang harus diberi makan, dan kami siap untuk mempersiapkan sektor ini untuk dapat memberi makan dunia,” pungkas Gibran. (mth) 

Nia Ramadhani dan Ardi Bakrie Divonis Penjara Satu Tahun

Jakarta, FNN - Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis pidana hukuman penjara selama satu tahun kepada artis Ramadhania Ardiansyah Bakrie alias Nia Ramadhani bersama suaminya Anindra Ardiansyah Bakrie atau Ardie Bakrie dan sopirnya Zen Vivanto.Dalam sidang putusan yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Majelis Hakim menyatakan para terdakwa terbukti secara sah dan bersalah melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika bagi diri sendiri yang dilakukan secara bersama-sama.\"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa 1 Zen Vivanto, terdakwa 2 Ramadhania Ardiansyah Bakrie, terdakwa 3 Anindra Ardiansyah Bakrie, dengan pidana penjara masing-masing selama satu tahun,\" kata Hakim Ketua Muhammad Damis di Ruang Sidang HM Hatta Ali PN Jakarta Pusat, Selasa.Ketiga terdakwa dijatuhi hukuman dengan Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.Dalam sidang putusan tersebut, Majelis Hakim juga menetapkan barang bukti antara lain satu buah plastik klip bening berisi narkotika jenis sabu seberat 0,565 gram dan satu buah bong alat hisap narkotika jenis sabu yang dirampas untuk dimusnahkan.Dalam sidang tuntutan sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut majelis hakim agar menghukum ketiga terdakwa dengan rehabilitasi selama 12 bulan di Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Cibubur, Jakarta Timur.Nia, Ardi, dan Zen dinilai jaksa terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika golongan I bagi diri sendiri sebagaimana diatur Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.Dalam pleidoinya, Nia menyatakan tak terima dengan JPU yang menuntutnya untuk menjalani rehabilitasi selama 12 bulan. Nia mengatakan berdasarkan hasil pemeriksaan, dirinya disebut sudah pulih.Selain itu, hasil Tim Asesmen Terpadu (TAT) Badan Narkotika Nasional (BNN) merekomendasikan masa rehabilitasi tiga bulan. Sehingga, menurut dia, masa rehabilitasi yang dilayangkan JPU harus dikurangi.Kasus ini bermula saat Nia ditangkap oleh Satuan Reserse (Satres) Narkoba Polres Metro Jakarta Pusat (Jakpus) di kediamannya di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan, pada 7 Juli 2021 pukul 15.00 WIBNia disebut meminta Zen untuk membeli satu paket sabu beserta alat hisap (bong) dan menyerahkan uang sebesar Rp1,7 juta. (mth) 

Presisi Jenderal Listyo itu Orasi Pada Martabat Manusia. Polisi Humanis, Emansipatoris dan Progresif!

Saat ini Kapolri Jenderal Listyo bersama gerbong besar institusi Polri sedang membawa humanisme itu dalam konteks baru pelayanan mereka pada masyarakat. Pun dari kacamata filsuf Yahudi Emanuel Levinas yang  menuntut komitmen gambaran humanis yang dialogis.  Oleh: Natalius Pigai, Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (2012-2017) MASIH ingat kasus Suroto, seorang peternak ayam yang diamankan polisi saat membentangkan poster keluhan harga pakan ternak di depan konvoi Presiden Joko Widodo  saat mengunjungi makam Bung Karno di Blitar pada bulan September 2021. Publik menilai aksi polisi tersebut berlebihan dan tidak mencerminkan sisi humanis dalam mengantisipasi gangguan Kamtibmas di masyarakat, pun dalam konteks pengamanan seorang pejabat negara, termasuk Presiden. Menariknya, Polri yang terpojok karena dianggap tak humanis ketika itu tidak membela diri. Kapolri Jenderal  Listyo Sigit Prabowo berdiri paling depan  memberikan perintah pada  seluruh jajarannya melalui Surat Telegram Kapolri agar bersikap humanis kepada masyarakat. Dia tunaikan janjinya, ketika Uji Kepatutan dan Kelayakan di Komisi III sebelum dilantik, Listyo membawa misi besar transformasi Polri dan salah satu aspek penting yang ditegaskan dia saat itu terkait basis penghormatan Hak Asasi Manusia dalam seluruh tindakan kepolisian. Polri di bawah pimpinan Jenderal Listyo Sigit sadar betul bahwa watak humanis kepolisian menjadiujung  tombak institusi ini agar kembali mendapat kepercayaan masyarakat. Polri dengan kata lain membawa misi besar pengarusutamaan  (mainstream) Hak Asasi Manusia dalam pelayanannya kepada masyarakat. Di bawah Listyo, penegakan hukum dilakukan dengan tegas namun tetap humanis. Polri juga memberi pesan bahwa penegakan hukum utamanya hadir untuk memberikan rasa keadilan dan bukan penegakan hukum yang semata-mata dalam rangka kepastian hukum. Bukan hanya itu, aspek penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia tampak dalam komitmen Listyo Sigit berada di garis depan dalam mengawal kebebasan sipil sebagai roh demokrasi.  Apa bentuknya? Kapolri dalam banyak kesempatan selalu menekankan strategi pemolisian yang mengutamakan soft approach dan bukan terutama pagelaran kekuatan (show of force)yang cenderung menunjukkan watak determinan Polri di hadapan masyarakat selama ini. Polri paham bahwa era demokrasi yang membawa agenda besar Hak Asasi Manusia tidak lagi memperlakukan rakyat sebagai obyek penguasaan tetapi subyek kekuasaan. Perubahan orientasi tugas dan peran kepolisian yang selama ini cenderung menertibkan masyarakat menjadi \'bersama masyarakat menciptakan ketertiban\'. Polri seperti terus diingatkan Listyo harus mampu memenuhi harapan rakyat atau berorientasi pada kepentingan rakyat. Bahkan dalam beberapa kesempatan dia juga mengingatkan bahwa polisi adalah pelayan rakyat. Implementasinya jelas, watak arogan kepolisian tak boleh lagi ada, polisi yang cendrung mencari-cari kesalahan masyarakat dan mengutamakan kekerasan tak boleh lagi diberi tempat. Jika perlu harus  mendapat tindakan tegas. Selain itu, karakter humanis kepolisian oleh Listyo juga diterjemahkan antara lain melalui optimalisasi peran polisi wanita (Polwan) yang menurut dia memiliki peran penting dalam mewujudkan aparat kepolisian yang humanis dan dekat dengan masyarakat.  Di sisi lain, garis kebijakan yang memberi tempat terbuka dan luas bagi peran Polisi Wanita di internal kepolisian memperlihatkan komitmen Listyo pada isu kesetaraan gender yang basis argumentasinya juga menginduk pada pengarusutamaan Hak Asasi Manusia. Seperti kata Lystio  saat membuka The 58th  International Association of Women Police Training Conference di Labuan Bajo, Flores, pada 7 November lalu. Jika kita mau mengubah pandangan diskriminatif terhadap perempuan, maka kita harus memulainya dari  penyelesaian stereotip di bidang profesi kita, yaitu keamanan dan penegakan hukum. Arahan Kapolri juga jelas ketika dia menempatkan Polsek-Polsek yang berada di garis depan pelayanan kepolisian melakukan reposisi peran yang tidak lagi berurusan dengan tugas penegakan hukum melainkan preemtive dan preventive yang fokus pada langkah-langkah pencegahan dan mengedepankan penerapan restoratif justice. Polri di bawah Lystio juga punya perhatian besar pada kebijakan afirmatif kelompok rentan seperti  anak-anak,  perempuan dan  kaum  disabilitas. Jika  diringkas,  komitmen Hak Asasi Manusia oleh Kepolisian merupakan langkah maju dari salah satu upaya menuju Polri Presisi (Prediktif, Responsibilitas, dan Transparansi Berkeadilan). Perlu Dukungan Masyarakat Sipil dan Dunia Pers Hal-hal di atas tentu tidak lahir dari ruang kosong. Basis HAM yang dibangun Polri hari ini selain muncul dari tuntutan masyarakat, juga merupakan konsekuensi logis dari penghargaan HAM terkait kebebasan sipil, yang di dalamnya juga melekat institusi pers. Jika kita cermati, reaksi publik yang selama ini protes terhadap aksi polisi tidak humanis dan abai terhadap HAM, telah memunculkan gambaran atau citra polisi yang otoriter, represif dan tidak menghargai kebebasan sipil dan juga kebebasan pers. Masih ingat kasus mural yang berisi kritikan beberapa waktu lalu, telah menimbulkan penilaian buruk bagi polisi karena dianggap membungkam kebebasan masyarakat. Media sosial ramai-ramai menaikkan tagar seakan-akan polisi menjadi musuh kebebasan sipil.  Apa iya demikian? Apa iya Polisi yang sudah punya komitmen mengenakan baju HAM, masih juga dianggap  anti kebebasan sipil pada saat yang sama? Mari kita uji. Bukankah kebebasan sipil sesuatu yang tidak mutlak  sifatnya karena dia juga dituntut memiliki tanggung jawab etis. Terhadap apa? Ya, tanggung jawab terhadap kebebasan sosial. Bukankah kebebasan individu setiap warga negara tidak bersifat mutlak sebab dia dibatasi oleh kebebasan individu-individu yang lain? Ternyata faktanya Listyo sudah melakukan beberapa kegiatan terkait Hari HAM yaitu lomba Mural, dan orasi kebebasan ekspresi yang melibatkan masyarakat secara masif di 34 Polda. Kebijakan tersebut sebagai implementasi dari peran dan tugas kepolisian berbasis HAM sebagaimana diamanatkan berdasarkan Perkap Nomor 9 Tahun 1999 dan juga UU Nomor 40  Nomor 40 Tahun 1999 tentang Kebebasan Pers. Membangun Watak Humanis di Institusi Polri Jika demikian soalnya, adalah tugas bersama baik Polri maupun masyarakat memastikan nilai-nilai HAM menjadi pegangan bersama. Agenda besar pengarusutamaan HAM bukan hanya dituntut pada kinerja Kepolisian tetapi juga pada masyarakat sipil dan institusi pers. Salah satu upaya yang harus dipastikan baik terhadap Polri  maupun masyarakat sipil dan pers adalah kerja terus-menerus melakukan internalisasi nilai-nilai HAM. Internalisasi nilai HAM bisa dibentuk selain melalui pembelajaran atau pelatihan tentu efektif melalui praktek terus-menerus. Termasuk tidak resisten jika ternyata mendapat aksi korektif.  Polri saat  ini punya Peraturan Kapolri No 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak  Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sekarang tinggal bagaimana peraturan ini menjadi nilai yang dihidupi oleh semua anggota Polri. Sama halnya pers di sisi lain dituntut untuk menjalankan secara konsekuen panduan kode etik jurnalistik dan prinsip-prinsip HAM dalam menjalankan setiap tugasnya. Internaliasi nilai adalah proyek jangka panjang yang harus muncul dalam pikiran dan setiap tindakan. Di sisi Polri, berita baiknya adalah komitmen HAM yang selama ini digaungkan Listyo mulai membuahkan hasil. Terbukti dengan terus menurunnya jumlah pengaduan masyarakat terkait kepolisian di Komnas HAM berdasarkan periode 2013-2021. Jika pada tahun 2013 laporan msayarakat terkait kepolisian di Komnas HAM sebanyak 1.938 Kasus, pada tahun 2020 turun menjadi 1.122 Kasus dan pada tahun 2021 saat Lystio menjabat turun drastis menjadi  571 kasus. Pelan tapi pasti, citra Polisi humanis menjadi branding baru Polri di bawah kepemimpinan Listyo.  Polri Makin Dipercaya sebagai Humanis dan Emansipatoris Seorang penulis berkebangsaan Italia Francesco Pico pada 1496 menerbitkan buku saudaranya Giovanni Pico Della Mirandola berujudul ‘de hominis dignitate’ (orasi pada martabat manusia). Pico menegaskan bahwa makna kemanusiaan atau humanitas tidak dapat diandaikan begitu saja, tetapi harus diketemukan dan dirumuskan secara baru dalam setiap perjumpaan dengan realitas dan konteks yang baru. Saat ini Kapolri Jenderal Listyo bersama gerbong besar institusi Polri sedang membawa humanisme itu dalam konteks baru pelayanan mereka pada masyarakat. Pun dari kacamata filsuf Yahudi Emanuel Levinas yang  menuntut komitmen gambaran humanis yang dialogis.  Serupa Levinas, Polri dan juga masyarakat sipil dituntut untuk memahami bahwa kemanusiaan kita juga dibangun oleh kemanusiaan orang lain, dan sebaliknya kehadiran kita harus memberi kontribusi bagi kemanusiaan orang lain. Termasuk di dalamnya citra polisi humanis itu harus punya karakter emansipatoris yang mampu menghapus segala pendindasan, ketidaksamaan dan ekploitasi yang muaranya pada harkat dan martabat manusia yang dihormati, dimuliakan dan dikembangkan segala segi kehidupannya. Hasil survei yang dirilis Indicator Politik menempatkan Polri sebagai institusi yang makin dipercaya publik, dengan tingkat kepercayaan 80,2 persen. Hal ini menunjukkan sedang terjadi reformasi subtansial di dalam tubuh Polri. Oleh karena itu perlu dukungan dari seluruh anggota korps Bahyangkara mulai dari tingkat atas sampai bawah dan dukungan dari seluruh rakyat Indonesia. (*)

Ujaran Kebencian dan Islamofobia

Profesor Australian National University (ANU) Greg Fealy menuding pemerintahan Indonesia di bawah Presiden Joko Widodo represif  terhadap Islam. Pandangan Fealy tertuang di sebuah artikel yang dimuat East Asia Forum pada 27 September 2020. Fealy menganggap, Jokowi telah melakukan kampanye penindasan sistematis terhadap kaum islamis dalam empat tahun terakhir. Oleh: Tamsil Linrung, Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI JANGANKAN menyejuk, mereda saja tidak. Resolusi perbaikan yang saban pergantian tahun diikrarkan, nyaris sebatas dengungan semata. Pun, revolusi mental yang digadang-gadang sebagai program menggembleng manusia Indonesia menjadi lebih baik, juga tak jelas hasilnya. Faktanya, 2022 tetap saja kita sambut dengan riuh yang membuncah, dengan gaduh tak berkualitas. Cuitan Ferdinand Hutahaean soal “Allahmu lemah” sontak mengguncang jagad dunia maya. Seperti biasa, adu narasi tumpah ruah di media sosial dan media elektornik. Seperti biasa, anak-anak bangsa kembali bertempur opini permukaan, yang bukan persoalan utama negeri. Perdebatan yang kurang lebih sama juga terlihat dalam kasus Habib Bahar bin Smith (HBS). Perkara tersebut menjadi sorotan lantaran beberapa hal. Pertama, video kedatangan Danrem 061 Surya Kencana Brigjen TNI Achmad Fauzi yang viral. Meski tujuannya baik, peristiwa tersebut di luar kelaziman. Kedua, penanganan laporan HBS yang demikian cepat. Dilaporkan ke Polda Metro Jaya pada 17 Desember 2021, HBS lalu dijadikan tersangka 17 hari kemudian, dan diterungku. Sebagai rakyat, kita tentu mendukung dan mengapresiasi upaya penegakan hukum oleh aparat kepolisian. Semakin cepat prosesnya, akan semakin baik. Namun, respon cepat jelas tidak boleh mengesampingkan keadilan. Sebab, azas penting dari negara hukum adalah setiap persamaan warga negara di hadapan hukum (equality before the law). Dalam konteks tersebut, tidak sedikit yang mempertanyakan langkah-langkah penanganan perkara oleh kepolisian. Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso, misalnya, membandingkan proses perkara HBS yang demikian cepat dengan laporan dua warga Bogor yang dianiaya oleh terduga personel Brimod DD alias Nando yang dinilai perkembangan kasusnya tidak jelas. IPW juga membandingkan respon cepat penyidik kasus HBS dengan laporan atas pegiat media sosial Denny Siregar yang mandek. Denny Siregar dilaporkan pada 2 Juli 2020 oleh Ustadz Ahmad Ruslan Abdul Gani ke Polresta Tasikmalaya. Artinya, sekira 1,5 tahun kasus Denny belum menemui perkembangan signifikan. Pengacara HBS Ichwan Tuankotta dan ramai netizen ikut membandingkan penanganan perkara HBS dengan Ade Armando dan Permadi Arya yang tidak jelas perkembangannya. Apa yang membedakan di antara mereka sehingga masyarakat ramai-ramai membandingkan? Sederhana saja. Abu Janda, Ade Armando, Denny Siregar adalah sosok yang dikenal pembela pemerintah. Sementara HBS sebaliknya, sosok yang dikenal beroposisi terhadap penguasa. Pengacara HBS menilai, hukum hanya tajam untuk oposisi atau lawan politik, sementara tumpul kepada para buzzer pendukung rezim. Bila dicermati, lapor-melapor yang terjadi umumnya terkait SARA (Suku Agama, Ras dan Antargolonga), Abu Janda misalnya, sebelum dilaporkan oleh Ketum KNPI terkait dugaan cuitan rasis terhadap Natalius Pigai, juga pernah dilaporkan terkait unggahan yang kurang lebih menyebut “Islam Arogan”, “Panji Nabi, Bendera Tauhid Bendera Teroris” atau “teroris punya agama, agamanya Islam”. Sementara itu, Denny Siregar pernah dilaporkan atas postingan di akun facebooknya yang berjudul “adek2ku Calon Teroris yg Abang Sayang.” Denny juga tercatat pernah dilaporkan terkait pernyataannya melalui video yang beredar di media sosial yang menyinggung pelegalan poligami dalam rencana penyusunan qanun (peraturan daerah) tentang hukum keluarga di Aceh. Sedangkan Ade Armando antara lain tercatat pernah dilaporkan terkait “meme Joker Anies Baswedan” dan perihal “Azan tidak suci.” Dari tiga aspek dalam SARA, yang cukup dominan menjadi objek laporan adalah cuitan yang menyinggung agama, khususnya agama Islam. Sebelumnya, kekerasan terhadap simbol-simbol Islam sempat terjadi, baik fisik maupun non-fisik. Ulama yang sedang melakukan pengajian ditikam, masjid dilempari bom molotov, dan bahkan sekadar cadar dan janggut pun dipersoalkan. Apakah Indonesia menuju Islamofobia? Kita berharap tidak. Namun, mengapa di negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia ini, sejumlah orang terlihat semakin terbuka mengolok-olok Islam? Ini tak pernah terjadi (atau sangat jarang terjadi) sebelumnya, kecuali di masa pergerakan dan PKI dulu. Gerakan atau isu anti Arab, misalnya, pernah menggejala di masa pergerakan sebagaimana dimuat Majalah Berita Nahdlatoel Oelama 1 Januari 1938. Atau, di masa pergolakan PKI, 15 Januari 1965, Ludruk LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat – organisasi underbow PKI) membuat pementasan di Prambon (Sidoarjo) dengan lakon “Gusti Allah Dadi Manten” (Allah menjadi Pengantin).  Melemahkan kekuatan Islam sesungguhnya adalah proses melemahkan NKRI. Itulah sebabnya penjajah dan dedengkot PKI selalu berupaya menyasar sumber kekuatan ini. Sebab, sepanjang sejarah perjalanan negeri, umat Islam selalu berada di garda terdepan perjuangan bangsa. Tentu tanpa mengenyampingkan peran dari umat agama lain, saudara sebangsa kita. Kini, Indonesia telah merdeka dan PKI telah tiada. Namun, entah kenapa agama Islam dan pemeluknya terasa disudutkan. Tidak sedikit stempel yang sifatnya destruktif disematkan di sana-sini. Yang paling popular adalah branding intoleran dan radikal. Profesor Australian National University (ANU) Greg Fealy menuding, pemerintahan Indonesia di bawah Presiden Joko Widodo represif terhadap Islam. Pandangan Fealy tertuang di sebuah artikel yang dimuat East Asia Forum pada 27 September 2020. Fealy menganggap, Jokowi telah melakukan kampanye penindasan sistematis terhadap kaum Islamis dalam empat tahun terakhir. Boleh jadi Fealy benar. Akan tetapi, bisa juga keliru. Sebab, untuk menyimpukan sebuah perkara besar dan sensitif, tentu memerlukan studi yang lebih komprehensif. Satu hal yang pasti, pemerintah harus lebih sensitif dan tegas, khususnya menyangkut penegakan hukum. Kita memahami, pemerintah tidak boleh mengintervensi hukum. Namun, dengan segala kekuasaan di tangannya, Presiden Jokowi dapat melakukan evaluasi terhadap proses penegakan hukum yang oleh sebagian masyarakat dipandang tidak berkeadilan. Islamofobia bukan tidak mungkin terjadi di negara berpenduduk mayoritas muslim. Presiden Jokowi perlu menunjukkan kesungguhannya mengantisipasi hal itu. Pemerintah sebaiknya bergandengan tangan dengan ulama, membangun persepsi tentang nilai-nilai Islam yang sejalan dengan ideologi Pancasila. Mereka yang mempertentangkan, justru boleh jadi punya agenda terselubung. (*)

Hapus Islamophobia

Oleh M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Keagamaan COUNCIL on American-Islamic Relations (CAIR) akan merilis sikap politik masyarakat dan pemerintah AS yang anti Islam atau Islamophobia sepanjang tahun 2017-2020. Arahannya adalah sudah saatnya Islamophobia dihapus. Kebijakan dan tindakan anti Islam  bukan saja kontraproduktif tetapi juga manipulatif. Gerakan Islamophobia pun sebenarnya telah gagal untuk mampu \"memberangus\" Islam.  Rilis terbaru CAIR bertema \"Islamophobia in the Mainstream\" itu mengangkat adanya indikasi 35 Yayasan dan lembaga amal yang menyalurkan 106 juta US Dollar kepada 26 kelompok anti Islam.  Amerika menunjukkan kemajuan dengan kebijakan yang lebih bersahabat kepada Islam.  Setelah Biden mencabut kebijakan anti Islam Trump dan mengesahkan No Ban act atau UU anti diskriminasi agama maka DPR AS setuju RUU Anti Islamophobia usulan anggota Partai Demokrat Ilhan Omar untuk menjadi UU sebagai dasar pemberantasan Islamophobia di seluruh dunia Indonesia sebagai negara mayoritas muslim seyogyanya menyambut gembira upaya memberantas Islamophobia di seluruh dunia tersebut. Menyiapkan berbagai perangkat dan dana untuk menunjang program yang rasional  dan sehat itu. Indonesia semestinya menjadi  garda terdepan bersama negara muslim lainnya. Negara RI akan lebih berwibawa dan dihormati.  Alif ba ta nya adalah dengan memulai mengubah dan menghapus kebijakan dan tindakan yang berbau Islamophobia di dalam negeri sendiri. Masih banyak anasir Islamophobist di kalangan pejabat pemerintahan,  partai politik, ataupun organisasi kemasyarakatan. Lucunya kalangan beragama juga ikut-ikutan menjadi Islamophobist.  Empat langkah memberantas Islamophobia di Indonesia.  Pertama, mengubah pandangan dan sikap Pemerintah dan berbagai elemen politik yang menjadikan Islam sebagai masalah bahkan musuh. Islam dan umat Islam sesungguhnya adalah potensi utama bagi kemajuan bangsa dan negara.  Kedua, hentikan stigmatisasi Islam dan umat Islam sebagai radikal, intoleran, anti kebhinekaan dan sejenisnya. Memberi stigma buruk hanya membuat umat tidak nyaman dan akan \"memasang kuda-kuda\". Pemerintah dipastikan tidak akan mendapat dukungan.  Ketiga, tidak mengarahkan narasi \"moderasi beragama\" kepada liberalisasi, sekularisasi, atau pengambangan keyakinan keagamaan (plotisma). Menunggangi moderasi untuk melumpuhkan Islam dan umatnya hanya menciptakan kegaduhan dan perlawanan. Keempat, membuat perundang-undangan dengan substansi anti Islamophobia. Memberi sanksi atas sikap anti Islam baik yang dilakukan oleh umat lain maupun oleh umat Islam sendiri yang dangkal dalam pemahaman keagamaannya, termasuk para buzzer Istana yang gemar menista Islam dan menyakiti umat Islam.  Sikap Islamophobia bertentangan dengan Pancasila dan mengganggu kerukunan hidup beragama. Potensial untuk menjadi penoda agama dan lekat dengan kriminalisasi ulama.  Hapus Islamophobia dan jadikan  negara Indonesia sebagai teladan bagi konsistensi sikap politik penguasa dalam melindungi Islam dan umat Islam dari berbagai serangan jahat atas keyakinan dan pelaksanaan ajaran. Merasakan nyaman dalam beribadah dan menjalankan syari\'ah. Amerika saja bisa. Indonesia bukanlah China. (*)

Berkumpulnya Semangat Perlawanan

Minggu siang tanggal 9 Januari 2022,  di teriknya kawasan Bantar Gerbang. Tanpa direncanakan dan bukan menjadi sebuah agenda politik. Kota Bekasi yang baru saja diguncang korupsi walikota beserta jajaran pejabat dan pengusaha. Kedatangan para tokoh dan pemimpin pergerakan nasional. Kota berjuluk Patriot tak tanggung-tanggung  menampung sejumlah pentolan demonstran  lintas periode, mulai dari aktifis tahun 70an, 80an hingga tahun 90an yang melahirkan reformasi. Oleh Yusuf Blegur, Aktivis 98 dan  Mantan Presidium GMNI DALAM sebuah acara resepsi pernikahan putra Kang  Setia Dharma seorang Senator ProDem. Mulai dari Tokoh Malari Hariman Siregar, Indro Tjahyo, Jumhur Hidayat, Syahganda Nainggolan, Bursah Zarnubi, Ferry Juliantono hingga generasi dibawahnya seperti Andrianto, Niko Ardian, Beathor Suryadi, Iwan Sumule, Eki Girsang aktifis 98 dll. Mereka berkumpul santai, bersenda gurau sembari sesekali fokus membicarakan kondisi aktual negara yang sedang kusut. Sekusut-kusutnya benang yang basah pula. Begitulah aktifis pergerakan, sudah menjadi tradisi dari kesadaran kritis dan panggilan jiwa.  Tanpa kenal waktu, tak peduli suasana serta  memandang tempat. Aktifitas mereka sulit untuk bisa dipisahkan  dari  membicarakan dan menyikapi persoalan-persoalan bangsa. Mereka anak-anak negeri yang tumbuh menjadi tokoh pergerakan sekaligus pemimpin yang mendedikasikan hidupnya sepanjang waktu untuk berkembangnya demokrasi dan segala kebaikan negara. Ada yang menarik dan memiliki makna tersendiri dari kongkow-kongkow pemimpin-pemimpin pergerakan nasional tersebut. Di tempat yang tidak jauh dari lokasi Pembuangan Akhir (TPA) sampah warga Jakarta yang ada di Bekasi dan pernah menjadi tempat deklarasi capres-cawapres Mega-Prabowo saat 2009 lalu.  Meski dalam suasana penuh seloroh politik, aktifis-aktifis  yang sudah kenyang berhadapan dengan beberapa rezim itu. Tetap guyub, konsisten, gigih dan berkarakter menyoroti keprihatinan mendalam situasi nasional. Dari sekelumit obrolan  mereka, tampak mengerucut bahwasanya negara dibawah rezim pemerintahan yang sekarang cenderung menuju kebangkrutan dan kegagalan. Perilaku kekuasaan bukan hanya mendobrak kaidah intelektual dan konstitusional. Lebih dari itu rezim menjalankan negara dengan cara suka-suka dan sesuai kehendaknya. Tanpa batasan dan tanpa norma-norma baik sosial ekonomi, sosial politik dan sosial hukum. Demokrasi dikebiri, aktifis dibungkam dan agama  dinista. Rezim benar-benar menggunakan tangan besi dan bahasa kekuasaan dalam mengelola negara. Komitmen Perjuangan Negara sering dipermalukan oleh aparat dan institusinya sendiri. Selain perilaku bejat, pemerintah kerapkali berbenturan dan menghadapi konstitusi yang dibuatnya sendiri. Sebagai penyelenggara negara, rezim menjadi identik dan biangkerok  dari semua krisis. Keputusan Mahkamah konstitusi yang menyatakan Omnibus law inskonstitusional bersyarat. Merupakan satu contoh bagi pemerintahan yang sudah berada di luar jalur hukum dan tak ubahnya menguatkan keberadaan negara kriminal. Jumhur Hidayat, Syahganda Nainggolan dll., merupakan korban dari praktek-praktek kebiadaban pemerintahan dalam memanipulasi dan merekayasa konstitusi. Negara harus bertanggungjawab dan memulihkan nama baik mereka yang telah  didzolimi sekaligus dikriminalisasi rezim. Jumhur Hidayat dan Syahganda Nainggolan dll. menentang UU Cipta Kerja karena  nyata-nyata merupakan produk hukum pemerintah yang telah menghianati negara dan menyengsarakan kehidupan rakyat. Masih banyak lagi segudang kebobrokan rezim dan kegagalan mengurus negara. Saking tak terhitungnya kesalahan dan dosa pemerintahan, negara juga terus berada di ambang kehancuran. Pertemuan para tokoh dan pemimpin pergerakan meski hanya di sela-sela acara  hajatan yang diselenggarakan oleh keluarga aktifis senior Setia Dharma. Secara teknis tetap mengandung makna dan nilai-nilai substantif perjuangan. Hariman Siregar bersama generasi  aktifis pergerakan dibawahnya. Menunjukkan betapa api kesadaran kritis dan perlawanan tak akan pernah padam. Tak akan lekang oleh waktu dan jaman. Komitmen dan konsistensi perjuangan akan selalu ada di setiap kehadiran rezim yan tiran.  Jejak rekam dan catatan sejarah mereka akan terus hidup dan mengalir menyusuri setiap generasi ke generasi. Akan selalu ada kesadaran kritis dan semangat kebangsaan. Patriotisme dan nilai-nilai  nasionalisme yang tertuang dalam berkumpulnya semangat perlawanan terhadap penindasan rezim. (*)

Saatnya Mengembangkan Listrik dari Energi Hijau Bebas Karbon Emisi

Jakarta, FNN - Jika energi hijau telah menjadi gaya hidup di Tanah Air maka Indonesia akan terbebas dari emisi karbon yang merugikan, lebih mandiri energi, dan mengurangi tingkat ketergantungan pada negara lain.Namun, pengembangan energi hijau yang bebas karbon emisi terutama untuk menyuplai kebutuhan listrik bukan semudah membalik telapak tangan.Upaya ini bukan semata persoalan mencari investor untuk sebuah proyek raksasa melainkan pekerjaan rumah besar mulai dari keberpihakan politis hingga mengubah tradisi lama yang sudah puluhan tahun bergantung pada energi fosil.Langkah ini jelas akan menyedot investasi bukan semata di hulu namun juga di hilir ketika peralatan yang digunakan oleh pengguna atau masyarakat seluruhnya harus dikonversi agar dapat menyesuaikan dengan penggunaan energi hijau.Meski begitu, langkah ini perlu untuk tetap dimulai dan bukan tidak sama sekali. Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam beberapa kali kesempatan mengatakan bahwa bandul ekonomi dunia kini bergerak mengayun ke arah ekonomi hijau.Untuk itu, Indonesia perlu bersiap, apabila suatu waktu entah itu dua, tiga, atau lima tahun lagi ketika masa itu datang, sebab akan ada saat di mana dunia hanya menerima produk-produk yang dihasilkan dari energi terbarukan.Dalam masa transisi energi itu, Indonesia pun dituntut untuk bersiap apalagi bangsa ini memiliki potensi besar berupa sumber daya alam (SDA) yang melimpah untuk menghasilkan energi hijau. Semua sumber energi hijau tersedia melimpah mulai dari potensi hidro pada 4.400 sungai, sinar matahari tropis sepanjang tahun, geotermal, sampai angin.Pendek kata, kata Jokowi, dengan kekuatan sumber daya alam itu, Indonesia sejatinya punya modal besar untuk bersaing dengan negara-negara lain. Proyek DikembangkanUntuk mewujudkan energi hijau yang dimaksud sejumlah proyek pun dikembangkan baik oleh perusahaan pelat merah, anak usaha BUMN, hingga swasta.Terhitung sejak 26 Desember 2021, misalnya, anak usaha BUMN Pupuk Indonesia yakni PT Rekayasa Industri (Rekind) merampungkan pekerjaannya di Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Rantau Dedap (91.185 MW) di Kabupaten Muara Enim, Kabupaten Lahat dan Kota Pagar Alam, Sumatera Selatan.Hal itu ditandai dengan diselesaikannya semua tahapan pengujian sistem dan fasilitas kapasitas pembangkit listrik (Plant Rated Capacity Test) yang dikerjakan perusahaan EPC (Engineering, Procurement and Construction) nasional tersebut.PLTP Rantau Dedap adalah PLTP yang dioperasikan oleh PT Supreme Energy Rantau Dedap (SERD), perusahaan kerja sama antara PT Supreme Energy, ENGIE, Marubeni Corporation dan Tohoku Electric Power. Pada 26 Desember 2021 mengumumkan bahwa PLTP Rantau Dedap Tahap-1 dengan kapasitas 91,185 MW telah beroperasi komersial.Listrik yang bersumber dari energi hijau bebas karbon emisi ini akan disalurkan melalui jaringan transmisi milik PT PLN (Persero) untuk dapat mendukung keandalan pasokan listrik di Wilayah Sumatera. Bukti penyelesaian seluruh tahapan pengujian itu diperkuat dengan dikeluarkannya sertifikat atau berita acara Commercial Operation Date (COD - Tanggal Operasi Komersial) secara tertulis oleh SERD selaku pemilik proyek.Pijakannya, mengacu pada SKPP (Sertifikat Kelayakan Penggunaan Peralatan) yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan Konservasi Energi (EBTKE) dan Sertifikat Laik Operasi (SLO) yang dikeluarkan oleh Direktorat Teknik dan Lingkungan, Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan (DJK), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).Selain itu juga mengacu pada Sertifikat Kompetensi Operator yang diterbitkan Himpunan Ahli Pembangkit Tenaga Listrik.Pascaterbitnya COD ini, PLTP Rantau Dedap langsung menyalurkan listrik melalui jaringan transmisi milik PLN secara komersial, untuk kemudian didistribusikan kepada masyarakat, khususnya dalam menopang minimnya pasokan listrik di wilayah Sumatera Bagian Selatan.Direktur Utama Rekind Triyani Utaminingsih menyatakan di tengah pandemi COVID-19 dan sejumlah tantangan besar, pihaknya bertekad untuk menyelesaikan Proyek PLTP Rantau Dedap.Upaya ini juga merupakan bentuk komitmen dalam mendukung program percepatan pembangunan pembangkit listrik di Indonesia dan meningkatkan peran energi terbarukan dalam mewujudkan ketahanan energi bangsa yang berkelanjutan. Di bawah bendera konsorsium bersama Fuji Electric, lingkup pekerjaan Rekind dalam proyek PLTP Rantau Dedap cukup luas. Mencakup pekerjaan engineering, procurement, konstruksi, commissioning BOP, dan pre-commissioning. Kesemuanya dilakukan secara mandiri oleh putra-putri terbaik bangsa ini.InovasiUpaya yang dilakukan Rekind merupakan salah satu wujud inovasi dan penerapan teknologi kekinian dalam melahirkan karya-karya terbaik di proyek yang lokasinya berada pada ketinggian tapak di atas 2000-2600 mdpl itu.Proyek-proyek energi hijau memang dalam pengerjaan memerlukan inovasi dan teknologi tingkat tinggi, misalnya saja untuk Steam Separation System.Diperlukan inovasi misalnya dengan mengaplikasikan pekerjaannya melalui penerapan teknologi Central Separator with Dual Flash System.Teknologi ini mengandalkan central separator pembangkit yang mampu melakukan proses flashing (tekanan) dua kali lebih kuat dibandingkan teknologi yang diterapkan dalam pembangkit sebelumnya, sehingga memperoleh performa maksimal.Dan, untuk pengerjaan switchyard dalam kapasitas 150 kV juga perlu menerapkan teknologi lain misalnya Using Container Gas Insulated Switchyard (GIS).Ini merupakan teknologi yang mampu mentransformasi gardu induk listrik yang konvensional menjadi digital. Penerapan teknologi ini belum pernah sebelumnya diaplikasikan di Indonesia.Memang secara keseluruhan transisi menuju energi hijau menghadapi tantangan tuntutan penyelamatan lingkungan dan keseimbangan aktivitas ekonomi. Komitmen pengurangan emisi karbon perlu menjadi prioritas dan perekonomian yang perlu menyesuaikan diri.Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun sudah menyatakan bahwa dunia berkomitmen mengurangi emisi karbon pada 2050.Di dalam negeri, menurut Sri Mulyani, Indonesia masih menghadapi tantangan untuk melakukan transisi menuju energi hijau. Saat ini batu bara masih menjadi sumber energi utama, sehingga penghentian penggunaan batu bara mesti bertahap.Menurutnya, transisi penggunaan batu bara menuju sumber energi yang lebih ramah lingkungan harus didukung berbagai instrumen kebijakan dan investasi yang besar. Selain itu, aktivitas perekonomian pun harus terjaga saat energi terbarukan digunakan.Penggunaan batu bara sebagai sumber energi melibatkan banyak sektor serta tenaga kerja, mulai dari tambang, pembangkit listrik, hingga PT PLN (Persero) sebagai perusahaan tunggal pengelola listrik.Transisi pun kemudian tidak dapat dilakukan secara tiba-tiba. Salah satu pertimbangan besar di dalam negeri adalah adanya kontak PLN yang masih berjalan dalam penggunaan energi dari perusahaan-perusahaan pembangkit listrik.Meski begitu, saat ini sudah saatnya bagi Indonesia untuk memulai sebuah langkah besar pengembangan listrik dari energi hijau yang bebas karbon emisi. Kalau bukan sekarang kapan lagi. (mth)   

Presisi Cakti

Oleh Sugeng Waras,  Purnawirawan TNI AD ENTAH siapa dan dari mana yang menggagas PRESISI (Prediktif, Responsible, Transparansi yang Berkeadilan). Yang jelas itulah yang mengantar Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo layak menjadi Kapolri menggantikan Jenderal Polisi Idham Azis. Sungguh luar biasa MOTTO itu, karena jika itu benar benar dilakukan dengan konsisten dan konsekwen akan menjadikan Polri semakin dibanggakan, dirindukan dan dicintai rakyatnya. Polisi dalam dunia hukum menjadi pemeran utama, dengan kata lain, tak perlu macam-macam, jika tugas-tugas dilaksanakan dengan jujur, benar dan adil, insha Allah bersinar jalan ke surga, maka berbahagialah untuk polisi beserta keluarganya. Namun sayang disayang, mungkin Tuhan belum menakdirkan polisi tidak dihujat, tidak dimaki dan tidak disumpah serapah oleh sebagian besar rakyat, karena belum bisa mewujudkan karya-karya presisinya. Tampaknya dari dulu hingga Jenderal Sigit sebagai orang nomor satu di kepolisian, tak ada yang  cukup nyali untuk mengimplementasikan Presisi ini. Kini presisi bak fata morgana, indah dilihat tapi tak ada wujud dan hasilnya, masih remang-remang, gamang, penuh misteri, berselimutkan tabir dan penuh teka-teki membungkus darah dan nyawa yang gentayangan. Presisi belum mampu menguak konspirasi tingkat negara, belum berani menegakkan benang kusut, masih kokoh menyimpan darah putih yang busuk dalam genggaman tangan-tangan iblis. Kapan presisi akan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh? Barangkali sudah, namun hasilnya jauh dari harapan. Tolok ukurnya, jika HRS dan kawan kawan bebas, atau presiden Jokowi mundur dengan hormat! Terlalu parah carut-marut negara ini, seolah polisi yang memiliki hukum. Padahal hukum milik dan untuk seluruh warga negara, tak terkecuali dan berlaku sama Hayoo...polisiku yang kucintai dan kubanggakan, adakah nyalimu untuk menjalankan presisimu dengan konsisten dan konsekwen? Hingga kini kemenanganmu bisa memenjarakan orang orang yang dianggap berseberangan dengan pemerintah adalah kemenangan semu yang penuh kegelapan Kerjamu seolah ada tekanan dan belenggu pihak lain. Memang, barangkali ada beberapa faktor penyebab. Pertama, dalam melaksanakan tugas tugas negara, polisi tidak berdiri sendiri dan tidak sendirian, dengan kata lain banyak kotoran kotoran dan sampah sampah busuk yang mengganggu, menghalangi bahkan membelokkan tujuan baik polisi. Kedua, Polisi tidak paham dan tidak sadar, bekerja berlandaskan doktrin atau pedoman yang kurang menyentuh jiwa raga, lahir batin dan kurang handal profesional. Lihat dan cermati, TRIBRATA, pada esensinya tidak menuangkan KEJUJURAN,  hanya kebenaran, keadilan dan kemanusiaan. Padahal kejujuran adalah modal dasar yang pokok, utama dan mulia, dengan kejujuran, orang akan mengatakan benar adalah benar dan salah adalah salah, kepada siapapun dan pihak manapun tanpa pandang bulu, derajat, martabat, tingkat,  golongan, suku, agama, keturunan, kaya dan miskin. Dengan jujur, benar dan adil akan bisa menetralisir anggapan benar belum tentu adil, dan adil belum tentu benar. Di sisi lain, CATUR PRASETYA, juga tidak akan bisa dicapai, karena esensi komulasi yang terkandung didalamnya imposible, tidak terukur untuk dicapai seorang bayangkara yang harus mampu melindungi segala bentuk gangguan keamanan, menjaga keselamatan jiwa raga, harta benda dan hak azasi manusia, menjamin kepastian hukum, serta memelihara perasaan tentram dan damai. Maaf, bila disandingkan dan bandingkan antara SAPTA MARGA dengan TRIBRATA sebagai landasan dan pedoman Satuan, serta SUMPAH PRAJURIT dan 8 TNI WAJIB dengan CATUR PRASETYA POLRI , sebagai pedoman atau landasan perorangan / individu, jauh berbeda (tidak perlu saya ulas di sini). Oleh karena, saya sarankan, Polisi perlu menyempurnakan doktrinya, agar para bhayangkara negara ini, mempunyai landasan kuat, lahir batin. Insha Allah jika ini diaksanakan, polisi akan senantiasa ditunggu kehadiran dan keberadaanya di tengah tengah masyarakat, disegani, dibanggakan dan dicintai rakyatnya. Semoga Kapolri beserta jajaran, senantiasa dalam bimbingan dan perlindungan Allah swt, Tuhan Yang Maha Kuasa, serta dapat menangani dan menindak lanjuti masalah masalah HRS, KM 50, HBS, TKA, Pandemi/ Vaksin, TKA, Omnibus law, HIP/BPIP dan Pemindahan Ibu Kota Negara yang baru, yang penuh kontroversial dan berpotensi membahayakan negara, termasuk menggulung para buzzer yang membuat gaduh dan kacau negara dengan sejujur jujurnya, sebenar benarnya dan seadil adilnya.....Aamiin Ya Robb..!!!

Ayo, Kembali Fokus Pada Kejahatan Presidential Threshold

Oleh Asyari Usman, Jurnalis Senior FNN, Pengamat Sosial-Politik PENISTAAN agama, pelecehan terhadap Allah dan rasul-Nya, pelecehan dan kriminalisasi ulama, semuanya sangat penting. Teramat penting. Dan harus dilawan. Tetapi, ada isu politik yang juga sangat penting. Yaitu, ambang batas (threshold) 20% dukungan politik di DPR untuk mengajukan calon presiden (capres). Mereka sebut itu “presidential threshold” (PT). Kalau Anda tidak punya parpol atau gabungan parpol yang besarnya 20% di parlemen, jangan harap bisa mencalonkan orang yang Anda anggap paling pantas. Dia tak akan bisa maju. PT 20% memang bertujuan untuk menjegal figur pro-rakyat yang berintegritas, berkapasitas dan berintelektualitas tinggi. Orang yang akan memberantas korupsi, menegakkan keadilan, mencegah pengurasan alam dan menyetop kehancuran lingkungan, pasti akan menjadi musuh bersama kelompok pebisnis rakus. Mereka bersatu dalam oligarki. Di pilpres 2024, PT 20% sangat krusial bagi oligarki untuk dipertahankan. Sebaliknya, sangat krusial pula bagi rakyat untuk dihapuskan. Bagi rakyat, penghapusan PT adalah soal hidup-mati bangsa ini. Soal masa depan anak-cucu. Jika PT 20% tetap berlaku, berarti oligarki akan terus berkuasa dan mengatur siapa yang mereka inginkan sebagai presiden boneka. Tinggal sekarang Anda jawab satu pertanyaan: siapa yang berhak memegang kekuasaan? Oligarki atau Rakyat? Perjuangan konstitusional untuk menghapuskan PT 20% itu sudah dimulai. Rakyat dipahamkan tentang bahaya PT terhadap bangsa dan negara Indonesia. PT 20% adalah kerangkeng yang bertopeng demokrasi. Sama dengan belenggu kerja paksa. Belenggu yang digunakan untuk merampok rakyat. Belenggu ini dibuat atas kerja sama oligarki jahat dan parpol-parpol pengkhianat bangsa. Mereka yang bersekutu itu adalah bangsat-bangsat yang akan menghancurkan Indonesia. Karena itu, rakyat harus bangkit. Harus melawan. PT 20% harus dilenyapkan. Oligarki sangat kuat. Mereka punya uang ‘unlimited’. Sangat mungkin PT 20% akan tetap berlaku. Duit akan ditabur ke parpol-parpol. Mereka akan dibeli oleh oligarki dengan harga mahal. Tetapi sebetulnya harga itu tak seberapa dibandingkan pengurasan yang dilakukan oligarki, dan dibandingkan dengan penderitaan panjang seluruh rakyat. Jadi, bisa dibayangkan beratnya upaya untuk melenyapkan PT 20%. Tapi, kita semua tidak punya pilihan lain. Seluruh rakyat harus bangkit. Tunjukkan dengan lantang perlawanan Anda terhadap bahaya oligarki. Kita semua tidak boleh lengah. Kalau PT 20% tidak bisa dihapuskan pada pilpres 2024, maka situasi ekonomi-sosial-politik akan semakin parah bagi rakyat. Penindasan, kezaliman, ketidakadilan, akan semakin menjadi-jadi. Jangan berharap pada partai-partai politik. Sebagian besar mereka adalah pengkhianat. Khususnya partai-partai besar. Mereka hanya memikirkan kepentingan sendiri dan sesaat sifatnya. Mereka tidak berpikir tentang masa depan bangsa. Oleh sebab itu, ayo kita kembali fokus ke perjuangan untuk menghapuskan PT 20%. Aturan ini sangat tidak relevan dengan dasar falsafah negara. PT sepenuhnya berlawanan dengan nilai-nilai demokrasi. Penistaan agama, pelecehan terhadap Allah dan rasul-Nya, kriminalisasi ulama, memang harus dilawan terus. Namun, jangan sampai perhatian kita mereka belokkan dari PT 20% yang bermisi jahat dan laknat itu. Ini soal masa depan anak-cucu kita; anak-cucu saya dan anak-cucu Anda semua.[]