Joko Widodo, Habib Rizieq Shihab, dan Aspiran Capres
Oleh Smith Alhadar, Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education (IDe)
Di luar tokoh yang telah menjadi "cult" partai politik -- Megawati, Prabowo, dan SBY -- Presiden Joko Widodo dan Habib Rizieq Shihab adalah sosok yang akan memainkan peran menentukan (decisive role) dalam pilpres 2024. Keduanya mewakili dua kelompok masyarakat yang terbentuk akibat ekses pilpres 2014 dan mengkristal pasca pilpres 2019. Jokowi mewakili kaum sekuler, sementara HRS adalah icon kaum Islamis. Menurut hasil survei Indikator Politik Indonesia, lembaga survei yang kredibel, yang dilakukan pada Februari 2020, jumlah pendukung populisme Islam sebesar 16,3%, penentangnya mendapat 33,9%, dan yang netral sebesar 49,8% (Media Indonesia, 23 Desember 2021).
Kendati masing-masing memiliki daya tolak, keduanya memiliki daya tarik luar biasa. Dalam survei Litbang Kompas pada 17-30 Januari 2022, yang dilakukan di tengah keterpurukan rakyat akibat covid-19, kengototan pemerintah memindahkan Ibu Kota Negara (IKN) yang menuai banyak protes, dan capaian-capaian pemerintah yang meragukan, kepuasan publik terhadap kinerja rezim Jokowi mencapai 73,6%. Ini menggambarkan ketiadaan korelasi antara kondisi bangsa dengan kinerja Jokowi. Ia memang telah bertransformasi dari tukang mebel sederhana yang tak suka membaca buku menjadi "great leader" tanpa kita mampu mencari alasan rasional di balik itu. Biasanya great leader dikaitkan dengan prestasi-prestasi kebangsaan yang muncul dari karakter kenegarawanan yang dihasilkannya.
Prestasi "besar" Jokowi, kalau pun itu mau dianggap prestasi, adalah membangun infrastruktur secara masif dari Sabang sampai Merauke meskipun ada beberapa proyek strategis -- satu di antaranya adalah proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung -- yang mangkrak akibat salah perhitungan. Pembangunan infrastruktur memang sangat vital untuk keperluan politik dan ekonomi sebuah bangsa dan Indonesia adalah negara yang tingkat pendapatan per kapitanya tidak sebanding dengan infrastruktur yang dimilikinya. Artinya, jika dibandingkan dengan negara dengan pendapatan per kapita yang satu kelas dengan kita, Indonesia ketinggalan dalam ketersediaan infrastruktur. Ini merupakan salah satu faktor negatif dalam upaya menarik investor asing dan akselerasi pertumbuhan ekonomi. Kendati Jokowi tak bisa menggantikan Soeharto sebagai Bapak Pembangunan, para pendukung PDI-P di Papua, Maluku, Sulawesi Utara, Kalimantan Tengah, Bali, dan Sumatera Utara memberi apresiasi tinggi pada Jokowi dengan limpahan rasa syukur kepada Tuhan. Jokowi memang berhasil menghadirkan infrastruktur vital di provinsi-provinsi ini yang menciptakan konektivitas hingga ke desa-desa dan memudahkan mobilitas orang dan barang.
Dalam survei Kompas pada 2019, 50% responden menyatakan mendukung Jokowi karena karakter kerakyatan dan kesederhanaan yang dimilikinya, sementara 50 persen lainnya mendukung Prabowo karena latar belakang militer dan karakter ketegasan yang melekat pada dirinya. Dus, jargon "Jokowi adalah kita" yang diusung kubu Jokowi selama kampanye mengena pada publik. Harus diakui, citra Jokowi sebagai pemimpin yang sederhana masih kuat sampai sekarang. Ia memang selalu tampil dengan busana sederhana. Bicara dan tertawanya pun merepresentasikan rakyat Indonesia kebanyakan. Dukungan emosional rakyat kepadanya mungkin disebabkan sejak merdeka pada 1945, Indonesia selalu dipimpin elite di pusat yang berjarak dengan rakyat. Dan, sayangnya, kebanyakan para pemimpin itu kurang sensitif pada penderitaan rakyat dan hanya asyik dengan diri sendiri. Jokowi, yang datang dari Solo, muncul pada momen ketika budaya paternalisme (bapakisme) sedang digerus zaman. Orang tak lagi mencari pemimpin kharismatik yang bicara dan bertindak di awan-awan yang membingungkan dan menakutkan rakyat, tapi presiden dari kalangan mereka sendiri seiring dengan berkembangnya nilai-nilai egalitarian dan demokratis berbasis humanisme. Terbangunnya mitos "Jokowi adalah kita" berdampak luas pada politik elektoral 2024. Dukungan terbuka Jokowi kepada aspiran capres dipandang akan memberi insentif elektoral yang signifikan pada kandidat tersebut.
Namun, populeritas Jokowi ditantang HRS yang juga datang dari rakyat kebanyakan. Suara HRS didengar kaum Muslim perkotaan karena ia pandai mengartikulasi aspirasi politik mereka. Ia juga tokoh independen dan bebas dari korupsi saat korupsi telah membudaya di negeri ini. Pada 2024, HRS telah keluar dari penjara dengan populeritasnya yang sangat mungkin meluas. Di mana-mana di kolong langit ini, tokoh yang dipandang terzalimi akan menarik simpati rakyat, bahkan oleh mereka yang tidak berbagai ideologi dan kepentingan dengannya. Apalagi, tokoh itu dihukum secara tidak adil untuk kesalahan yang tak dibuatnya. Setidaknya di mata publik, HRS korban rekayasa politik untuk menghentikan kiprahnya yang dipandang mengancam status quo. Harus diakui dialah satu-satunya tokoh oposisi di negeri ini yang paling berpotensi merongrong wibawa Jokowi. Tapi represi terhadapnya merupakan kesemboronan politik yang justru membawa hasil yang berkebalikan dari harapan pemerintah. Bisa jadi kesemboronan itu diakibatkan oleh tekanan berat kaum oligarki yang merasa kepentingannya terganggu oleh kebisingan kiprah HRS dan pendukungnya.
Melihat hasil survei Indikator Politik Indonesia tersebut di atas -- di mana pada Februari 2020 kubu yang netral di antara populisme Islam dan penentangnya mencapai 49,8% -- bisa jadi sebagian dari jumlah ini mengayun pada capres yang didukung HRS.Toh, menurut survei itu, responden yang netral itu menyatakan, keberpihakan mereka pada salah satu kubu bergantung pada dinamika politik di lapangan nanti. Harus juga dicatat, survei berlangsung ketika HRS masih di pengasingan di Mekkah, Arab Saudi. Kalau pun jumlah pendukung populisme Islam tidak berubah, 16,3 persen adalah jumlah yang cukup besar, melebihi konstituen Gerindra (13%) yang menurut hasil survei Kompas terbaru menduduki peringkat kedua di bawah PDIP.
HRS dengan populisme Islamnya adalah fenomena politik-budaya domestik yang dihasilkan globalisasi. Gejala politik identitas memang sedang marak di berbagai belahan dunia sebagai respons domestik terhadap arus globalisasi yang menggerus budaya dan menjungkirbalikkan tatanan sosial masyarakat lokal. Globalisasi juga membawa serta kekuatan-kekuatan politik dan ekonomi internasional yang kemudian bermitra dengan oligarki politik dan ekonomi lokal dalam konteks persaingan global. Cina mendapat keuntungan paling besar karena membawa modal besar yang sedang diincar rezim Jokowi. Gejala penentangan terhadap globalisasi terlihat di AS ketika Presiden AS Donald Trump mengisolasi AS dengan mundur dari berbagai perjanjian internasional demi melindungi bangsanya. Ia berpendapat internasionalisme AS lebih merugikan AS dibanding keuntungan. Kaum Kristen Evangelis pun menyambut politik identitas Trump. Di negara-negara Eropa, seperti Perancis, Jerman, Austria, Hongaria, dan Belanda, partai-partai sayap kanan yang rasis mendulang suara yang terus meningkat di setiap pemilu. Di India, Partai Bharaya Janata (BJP), partai garis keras Hindu yang berkuasa, telah menimbulkan keprihatinan internasional akibat serangan-serangan pendukung fanatiknya terhadap kelompok minoritas agama Islam maupun Kristen.
Membesarnya populisme Islam di Indonesia secara tidak langsung diproduksi oleh rezim Jokowi yang memandang kaum Islamis sebagai musuh, bukan sebagai lawan ideologis yang bisa menjadi sparing partner dalam debat untuk mendewasakan bangsa ini.Pendukung populisme Islam adalah mereka yang hanya ingin mendapat pengakuan atas eksistensi mereka. Sementara itu, ketika banyak negara mengambil kebijakan untuk melindungi kepentingan ekonomi dan budaya, rezim Jokowi justru mengeluarkan beleid pintu terbuka sebagai akibat dari sambutannya pada neo-liberalisme untuk mengejar investasi asing. Ini menyebabkan akumulasi modal secara gila-gilaan oleh mereka yang sejak awal sudah sangat kaya, yakni oligarki ekonomi yang berkoalisi dengan oligarki partai politik. Maka kita menyaksikan terciptanya berbagai UU oleh DPR sebagai payung hukum untuk melayani kepentingan oligarki ekonomi yang telah berjasa membawa mereka ke posisi-posisi eksekutif dan legislatif. Di saat bersamaan, protes populisme Islam dianggap subversif. Padahal kebijakan-kebijakan rezim yang tidak pro-rakyat, dengan sendirinya meminggirkan pendukung populisme Islam, telah mempercepat dan memperdalam kesenjangan kaya-miskin di negeri ini.Kendati suara menentang masuknya buruh kasar Cina relatif massif di proyek-proyek infrastruktur dan tambang yang dibiayai Cina, suara itu diabaikan. Padahal argumentasi rezim bahwa proyek-proyek itu akan menguntungkan Indonesia dalam jangka panjang tidak meyakinkan. Bahkan, ada komponen masyarakat yang memandang kehadiran buruh Cina itu sebagai ancaman terhadap eksistensi kedaulatan Indonesia di masa depan.
Suburnya pengajian dan menjamurnya para ustadz dan mubaligh harus dilihat sebagai perlawanan kaum Muslim urban terhadap nilai-nilai liberalisme yang mengancam budaya dan agama mereka. Di tengah jeritan hati orang-orang yang dipinggirkan ini, rezim mengambil langkah represif terhadap mereka. Radikalisme dan toleranisme tiba-tiba menjadi dua diksi, bahkan dua ideologi, yang dipertentangkan. Radikal adalah populisme Islam, sedangkan toleransisme disematkan pada pendukung Jokowi. Secara politik, dua kekuatan ini termanifestasi dalam dua pilpres yang terakhir, yang menghadapkan Jokowi dan Prabowo. Populisme Islam menyalurkan aspirasinya pada Prabowo, sedang penentangnya melimpahkan suaranya pada Jokowi.
Maka, sejak 2014 masyarakat Indonesia terpilah kedalam dua kubu ini. Anehnya, bukannya melakukan rekonsiliasi pasca pilpres, rezim mengeluarkan beleid-beleid yang kian menyakiti kubu yang kalah. Radikalisme digunakan rezim sebagai alat untuk membungkam HRS dan pendukungnya. Dalam pilpres mendatang, pendukung Jokowi kembali berhadapan dengan pendukung HRS. Melihat besarnya pendukung kedua tokoh ini, mestinya parpol dan aspiran capres tergoda oleh magnet keduanya. Namun, karena keduanya punya daya tolak di masyarakat, tentu parpol dan aspiran capres akan banyak berhitung kalau akan mengasosiasikan diri dengan mereka. Ini karena suara pendukung HRS dan Jokowi saja tidak cukup besar menentukan kemenangan kontestan. Harus ada kombinasi suara di antara keduanya.
Ada tiga aspiran capres yang memiliki elektabilitas tinggi secara konsisten di semua hasil survei lembaga-lembaga yang kredibel. Mereka adalah Prabowo Subianto (Ketum Getindra), Ganjar Pranowo (Gubernur Jateng dan kader PDI-P), dan Anies Baswedan (Gubernur DKI yang nonpartai). Menurut hasil survei Kompas, 17-30 Januari 2022, elektabilitas Prabowo masih yang teratas dengan 26,5%, disusul Ganjar (20,5%), dan Anies (14,2%). Survei dilakukan sebelum terjadinya kekerasan di Desa Wadas, Jawa Tengah, pada 8 Februari di mana Ganjar banyak dikecam publik karena memang dialah orang yang paling bertanggung jawab dalam peristiwa itu. Bahkan, PDI-P paling bersemangat memanfaatkan tragedi itu untuk membersihkan nama Jokowi dan mendiskreditkan gubernur populer itu. Maklum, partai ini tidak hendak mencapreskan Ganjar dalam pilpres.
Bagaimanapun, hasil survei Saiful Mujani Research dan Consulting (SMRC) yang diselenggarakan pada 8-10 Febtuari atau pasca insiden Wadas, secara mengejutkan Ganjar meraup dukungan 19,9%, mengalahkan Prabowo (10,4%) dan Anies (9,8%). Membandingkan hasil survei Kompas dengan hasil survei SMRC, terlihat adanya discrepancy (ketidaksesuaian) atau ketidakkonsistenan di sini. Elektabilitas Ganjar tertinggal dari Prabowo pra-Wadas, tetapi meninggalkan jauh Prabowo pasca Wadas. Yang tak kurang mengherankan, hasil survei SMRC menunjukkan Ganjar mendapat dukungan sangat besar dari kelompok superkritis (55 5%), disusul Anies (18,8%) dan Prabowo (17,3%). Berpegang pada survei SMRC, kiranya peristiwa Wadas tidak berpengaruh pada populeritas Ganjar di Jawa.
Di antara tiga aspiran capres ini, Ganjar dan Prabowo terang-terangan memainkan politik asosiasi. Mereka berlomba mengasosiasikan diri dengan Jokowi guna mendapat coattail effect (efek ekor jas) Jokowi. Tetapi luas dibicarakan bahwa Jokowi memberikan dukungan pada Ganjar. Hasil survei Kompas menunjukkan sepertiga pendukung Jokowi (31,8%) dalam pilpres 2019 dilimpahkan ke Ganjar. Kendati tidak menunjuk dukungan pemilih Jokowi pada Prabowo, survei itu mencatat terjadi rebound pada elektabilitas Prabowo yang sebelumnya menunjukkan kecenderungan menurun. Kompas menduga fenomena ini memperlihatkan kembalinya pemilih Prabowo dalam pilpres 2019. Tapi argumen ini meragukan mengingat tidak ada peristiwa luar biasa yang membuat pendukung populisme Islam yang kecewa pada Prabowi mendadak berbalik mendukungnys. Saya menduga, kalau survei Kompas itu dapat diandalkan, elektabilitas Prabowo lebih disebabkan datangnya dukungan dari pendukung Jokowi, terutama karena Kompas menyebut dukungan itu berasal dari, di antaranya, Papua danv Sulawesi Utara (basis pendukung Jokowi) yang dalam dua pilpres Prabowo kalah di dua provinsi ini.
Bagaimanapun, politik asosiasi dengan Jokowi yang dimainkan Ganjar dan Prabowo punya ekses negatif. Bisa dikata, kubu populisme Islam pimpinan HRS akan sangat resisten terhadap dua tokoh ini. Juga, ke depan, belum tentu pengaruh Jokowi bisa terjaga. Kredibilitas dan integritas Jokowi mestinya terganggu belakangan ini dan dapat membesar pada hari-hari mendatang. Penyebabnya, pertama, melonjaknya harga minyak goreng, hal yang sulit diterima masyarakat karena Indonesia adalah produsen minyak goreng terbesar di dunia. Kelangkaan komoditas vital itu menggambarkan kinerja rezim yang payah (under-performed). Kedua, melonjaknya harga kedelai yang berakibat pada melejitnya harga tempe dan tahu, makanan utama mayoritas rakyat Indonesia. Ketiga, meningkatnya harga BBM dan gandum akibat perang Rusia-Ukraina, yang akan memicu inflasi. Memang kenaikan ini dipicu perang dua negara eksportir gandum utama dunia, tapi selama Jokowi berkuasa produksi gandum dalam negeri anjlok karena rezim tak mampu meningkatkan harga yang layak di tingkat petani sehingga petani menggunakan lahan gandumnya untuk menanam buah-buahan yang lebih menguntungkan.
Keempat, pemerintah menaikkan harga BBM nonsubsidi yang berdampak pada kenaikan biaya produksi. Ini juga akan berdampak pada inflasi dan menurunkan pendapatan pemerintah dari pajak. Sementara rezim ngotot membangun Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan Timur yang memakan anggaran besar dari APBN. Dengan demikian, pemerintah akan menambah utang luar negeri yang sudah menggunung, hal yang menjadi keprihatinan publik. Ekonom Faisal Basri malah menganggap itu tindakan jahat yang dapat membuat Jokowi kehilangan legitimasi moral sebelum 2024. Kelima, Koran Tempo membongkar peran istana dalam usulan tiga parpol mengundurkan pemilu, yang menimbulkan kehebohan luar biasa. Publik kecewa pada parpol dan istana yang tega memainkan konstitusi demi melanggengkan kekuasaan. Skandal politik ini mestinya bisa mempreteli mitos kerakyatan dan kesederhanaan Jokowi. Faktanya, Jokowi hanya manusia biasa yang bisa merasakan nikmatnya kekuasaan. Memang disadari, kendati realitas politik dan ekonomi di atas terjadi pasca survei Kompas, belum tentu semua itu menggerogoti populeritas Jokowi karena ia telah menjadi pemimpin kharismatik. Toh, banyak masalah ciptaan rezim yang jauh lebih berat sepanjang 2014 sampai Januari 2022 tidak sedikit pun menggoyahkan posisi Jokowi. Apalagi rezim bisa bersembunyi di balik perang Rusia-Ukraina.
Dari hasil survei Kompas, pendukung terbesar Anies datang dari PKS dan Demokrat. Kalau nanti konstelasi koalisi parpol telah terbentuk -- di mana Nasdem, PAN, dan PPP -- ikut bergabung dengan PKS dalam mengusung Anies, koalisi itu belum menjamin kemenangan. Terutama karena parpol-parpol papan atas (PDI-P, Gerindra, Golkar, Demokrat, dan PKB) belum tentu mendukung Anies, setidaknya pada pilpres putaran pertama dengan catatan ada tiga pasangan capres yang bertarung. Yang lebih buruk, posisi Anies di Jawa Tengah dan Jawa Timur, basis pendukung PDI-P dan PKB, jeblok dibandingkan dengan Ganjar dan Prabowo sesuai hasil survei Kompas. Hasil survei Kompas mengungkapkan, jumlah warga Nahdliyin yang akan memilih Anies hanya 13,1%, sedangkan yg menjatuhkan pilihan pada Ganjar dan Prabowo sama besar, yakni 24%. Dalam konteks ini, HRS dengan gerbong pendukungnya jadi penting. Harus diakui, kemenangan Anies dalam pilgub Jakarta pada 2017 melawan Ahok yang sangat populer tak bisa dilepaskan dari peran HRS. Kendati Prabowo kalah dalam dua pilpres, suara yang diperoleh dari pendukung populisme Islam sangat besar. Prabowo kalah karena suara yang diraup dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, di mana HRS kurang mendapat tempat, sangat minim.
Bagaimanapun, kendati menggoda, politik asosiasi Anies dengan populisme Islam bisa backfire karena menghambat peluangnya meriah dukungan signifikan di Jawa dan dari kaum minoritas agama. Menurut hasil survei Kompas pada Oktober 2021, elektabilitas Anies yang stagnan selama bertahun-tahun, karena terlanjur dilekatkan dengan politik identitas, kini mulai menanjak mendekati proporsi nasional. Penyebabnya, pelan-pelan Anies mulai berhasil melepaskan diri dari identitas itu terkait kerja-kerja kebangsaan yang dilakukannya di Jakarta. Kerja-kerja yang menghadirkan keadilan sosial bagi semua tanpa kecuali (termasuk melayani kepentingan agama-agama minoritas), mencerdaskan warga, dan mengangkat martabat Indonesia di panggung global. Memang sesungguhnya Anies bukan dari kubu populisme Islam. Juga bukan dari kubu nasionalis kuno. Dia adalah sintesa dari ideologi-ideologi yang berkembang di Indonesia masa kini. Dengan kata lain, Anies adalah anak kandung Indonesia paling genuine dibandingkan dengan aspiran capres lain. Tetapi ia harus bijak dan saksama dalam penempatan posisi dalam politik Indonesia yang belum dewasa.
Bagaimana meraih suara populisme Islam yang besar itu bersamaan dengan upayanya mendapatkan ceruk suara dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, kawasan neraka bagi Anies. Sudah pasti Anies akan mendapat limpahan suara dari populisme Islam karena Ganjar dan Prabowo tidak mewakili kelompok itu. Dulu mereka mendukung Prabowo karena tak ada opsi lain, sementara Jokowi tidak menunjukkan simpati pada populisme Islam. Bagi mereka, munculnya Anies bagai pucuk dicinta ulam tiba. Tapi manuver HRS dengan artikulasi yang tak terukur, apalagi mendesakkan agendanya kepada Anies seperti yang dilakukannya pada Prabowo justru akan menjadi faktor negatif.
Biarkan Anies, dengan kecakapan politiknya yang mumpuni, bermanuver secara independen. Identitas Anies sebagai Pancasilais yang cerdas dengan leadership yang mengayomi harus dikuatkan. Survei Kompas menunjukkan, pemilih Indonesia tak lagi terpaku pada dua karakter kerakyatan (Jokowi) dan ketegasan (Prabowo), tapi kini telah muncul apresiasi tinggi pada kinerja dari para gubernur (Anies, Ganjar, Ridwan Kamil, dan Tri Rismaharini). Sebagian pemilih juga akan menjatuhkan pilihan pada calon yang berkinerja baik meskipun calon itu tak didukung partainya. Kalau melihat hasil survei SMRC yang terakhir, 8-10 Februari, Anies akan memenangkan pilpres dengan meraih suara 37,5% suara bila hanya berhadapan dengan Prabowo yang mendapat 31,8% suara. Ini juga memperlihatkan populisme Islam telah meninggalkan Prabowo. Memang ada kemungkinan, dalam putaran final pilpres, Anies hanya berhadapan dengan Prabowo mengingat hampir pasti Ganjar tak akan dicalonkan PDI-P. Pecahnya suara PDI-P di antara Prabowo dan Ganjar menguntungkan Anies. Tapi political advantage itu akan sia-sia bila Anies dan orang-orang di sekelilingnya tak cermat membaca dinamika politik dalam konteks populisme Islam pimpinan HRS dan penentang populisme Islam pimpinan Jokowi. (*)