OPINI

Pak Jokowi Bisa Deklarasikan Keadaan Darurat 25 Tahun

Oleh Asyari Usman, Jurnalis Senior FNN SETELAH upaya untuk menunda pemilu kandas, dalam beberapa hari ini muncul kembali gagasan tiga periode untuk Jokowi. Di sejumlah daerah di Jawa, “rakyat” membuat deklarasi yang mendukung tiga periode. Tidak jelas apakah “rakyat” yang dimaksud itu bukan kerumunan rekayasa. Kelihatannya, kubu Jokowi kembali ke strategis awal. Yaitu, berusaha mengubah UUD 1945 agar batasan dua periode untuk jabatan presiden bisa menjadi tiga periode. Skenario ini jauh lebih mudah ketimbang menunda pemilihan umum. Tapi, benarkah tiga periode lebih mudah? Tidak juga. Upaya untuk mengubah UUD pasti tidak akan pernah enteng. Parpol-parpol besar akan menjadi rintangan. Ini yang tidak mudah. Sebab, mereka juga punya ambisi untuk merebut kursi presiden. Mereka tidak akan bisa digiring untuk menyetujui tiga periode. Sebetulnya, penundaan pemilu masih sangat terbuka bagi Presiden Jokowi. Kalau benar dugaan bahwa beliaulah yang menginginkan penundaan itu, Pak Jokowi tak perlu repot-repot. Cukup dengan satu-dua lembar kertas saja. Ini saran kepada Presiden Jokowi. Keluarkan dekrit yang menyatakan negara dalam keadaan darurat. Tapi, jangan tangung-tanggung. Berlakukan keadaan darurat selama 25 tahun sampai 2054. Memang ada risko tetapi ada modal besar Pak Jokowi. Yaitu, survei yang menunjukkan tingkat kepuasan rakyat terhadap kinerja Jokowi mencapai 73%. Ini modal yang dahsyat bagi Jokowi. Kalau ada yang bertanya apa yang darurat? Belakangan saja dijelaskan. Yang penting didekritkan dulu. Banyak kok yang darurat. Misalnya, darurat pembangunan ibu kota baru, darurat minyak goreng, darurat bisnis tes PCR, darurat perang Rusia-Ukraina, darurat karir Gibran dan Bobby, dlsb. Setelah diumumkan keadaan darurat, terbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Dengan Perppu ini, pemilu 2024 ditunda. Semua lembaga perwakilan seperti DPR, DPD, DPRD, dibubarkan. Begitu pula lembaga-lembaga lainnya. Bubarkan pula semua partai politik. Ambil alih semua kekuasaan. Bekukan UUD 1945. Tak usah takut. Sebab, kalau 73% puas, apa yang dikhawatirkan? Berlakukan darurat militer. Siapkan panglima TNI dan Kapolri yang akan mengamankan dekrit dan kekuasaan darurat. Semua kekuasaan akan berada di tangan Presiden Jokowi. Batasi hak-hak sipil. Demonstrasi (unjuk rasa) dilarang dengan ancaman tembak di tempat. Bubarkan semua komisi perlindungan hak sipil seperti Komnas HAM, Komnas Anak, dll. Sebarkan intelijen ke seluruh pelosok negeri. Inteli semua rumah warga negara. Siapa saja yang melawan, tangkap. Masukkan ke penjara. Kebut pembangunan 10,000 penjara baru. Tidak ada prosedur peradilan. Karena memang semua kekuasaan, termasuk kekuasaan kehakiman, ada di tangan Jokowi. Semua organisasi kepengacaraan, bubarkan. Kalau ada pengacara yang menentang, tangkap langsung. Jebloskan ke penjara.   Berlakukan larangan berkumpul lebih dari dua orang. Warga masyarakat tidak boleh keluar rumah setelah pukul 21.00. Umumkan sanksi keras bagi pelanggaran larangan keluar rumah (curfew). Jam malam ini berlakukan juga sampai 2054. Bagaimana kalau ada perlawanan rakyat secara serempak? Pasti ada kemungkinan itu. Rakyat akan melawan begitu Pak Jokowi mengeluarkan Perppu keadaan darurat 25 tahun. Bahkan, para Jokower pun mungkin akan menentang juga. Tapi, keadaan darurat akan memberikan kewenangan besar kepada Jokowi untuk menumpas perlawanan --dengan segala cara. Untuk keamanan Pak Jokowi, tempatkan tank dan panser di sekeliling Istana. Buat landasan untuk helikopter ukuran besar di komplek Istana. Helikopter besar itu harus bisa terbang jarak jauh. Dan harus bisa mengangkat kargo 20 peti. Umumkan bahwa bandara Halim PK hanya untuk keperluan Presiden. Tidak boleh lagi ada penerbangan sipil di bandara ini. Siapkan pesawat khusus kepresidenan yang siaga 24 jam. Siapkan tempat pendaratan di Penajam Paser dan di luar negeri seandainya ada keperluan mendadak. Korea Utara, China atau Zimbabwe kelihatannya siap membantu. Inilah saran andaikata benar Pak Jokowi perlu menambah masa kekuasaan. Percayalah, periode ketiga saja tidak akan mencukupi. Makanya disarankan pemberlakukan keadaan darurat selama 25 tahun.[]

Kadaluwarsa Kok Bisa Ditunda

Oleh M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan NEGERI ini sepertinya berantakan. Baru baru ini berita di republika.co.id cukup lucu tetapi membuat hati trenyuh dimana vaksin yang sudah \"expired date\" akan didiskusikan dengan pakar untuk kemungkinan diperpanjang masa lakunya. Weleh.  Rupanya sekarang ini musimnya mundur-munduran setelah ramai kemarin soal pemilu yang diusulkan untuk ditunda oleh tiga Ketum Partai yaitu PKB, PAN, dan Golkar. Meski partai politik lain tidak sejalan tetapi usulan ini membuat heboh. Menko Luhut dan Presiden dikait-kaitan dengan ajuan penundaan tersebut.  Presiden yang akan kedaluwarsa pada tahun 2024 diwacanakan diperpanjang. Presiden sendiri ambigu menyikapinya di satu sisi akan taat Konstitusi, artinya akan patuh pada masa jabatan hanya dua periode, dilain sisi justru menyatakan tidak bisa melarang usulan tersebut karena menurutnya hal itu adalah bagian dari dinamika demokrasi. Mungkin demokrasi terpimpin.  Kemungkinan perpanjangan masa berlaku vaksin Covid 19 ini disampaikan oleh Jubir Satgas Penanganan Covid 19 Wiku Adisasmito. Hal ini dimaksudkan agar sisa stock vaksin yang ada tidak terbuang sia-sia. Ada sekitar 18 juta stock vaksin. Menurutnya perpanjangan itu dilakukan dengan hati-hati dan melibatkan para pakar.  Meski hasil telaahan dan kehati-hatian akan tetapi fenomena perpanjangan masa berlaku vaksin yang telah kedaluwarsa adalah menarik dan mungkin mengejutkan. Memunculkan kekhawatiran publik akan dampak yang diakibatkannya. Jangankan kedaluwarsa yang masih dalam tenggat waktu saja masih terdengar adanya dampak itu.  Menurut Ketua Tim Riset Uji Klinis Covid 19 dampak penyuntikan vaksin kedaluwarsa adalah dapat mengurangi sensitivitas vaksin sehingga antibodi yang terbentuk menjadi rendah, bahkan vaksin Sinovac tidak membentuk antibodi sama sekali. Ahli lain menyebut dampak negatif tergantung pada kondisi tubuh seseorang.  Mungkin pihak Kemenkes memiliki berbagai alasan terhadap perpanjangan kedaluwarsa vaksin termasuk agar jutaan stock tidak terbuang sia-sia. Akan tetapi semestinya perhitungan jumlah, alokasi, dan mekanisme penyuntikan harus diperhitungkan dengan tepat. Termasuk risiko untuk membuang sisa stock vaksin yang telah kedaluwarsa. Aspek prinsipil disini juga terkait masalah \"perlindungan konsumen\" dimana konsumen sama sekali tidak mengetahui suatu vaksin itu kedaluwarsa atau tidak.  Ketika aspek ekonomi bisnis dan politik menjadi pertimbangan dari suatu kebijakan, maka biasanya selalu menimbulkan masalah. Perpanjangan masa laku vaksin kedaluwarsa pun bakal menimbulkan masalah. Begitu juga masa berlaku Presiden yang akan diperpanjang setelah \"expire date\" atau kedaluwarsa dipastikan akan menimbulkan masalah konstitusional. Demi menjaga dan melindungi kesehatan apapun jika masa laku sudah habis atau kedaluwarsa maka kita tidak perlu ragu-ragu lagi untuk tidak menggunakan atau membuangnya. Apakah itu Vaksin maupun Presiden. (*)

Radikal dalam Menghakimi Radikalisme

Saya hanya ingin mengatakan masanya untuk semua menghentikan politisasi isu radikalisme. Selain hanya menambah keresahan dalam masyarakat, juga akan semakin mempertajam kecenderungan karakter  “we vs them” (kami lawan mereka).  Oleh: Imam Shamsi Ali, Ustadz di Paman Sam SERINGKALI kita dengarkan istilah politisasi agama. Tentu yang dimaksud demikian adalah penggunaan atau pelabelan agama untuk kepentingan-kepentingan politik. Dengan kata lain agama dijadikan obyek demi meraih kepentingan politik. Atau sebaliknya isu agama juga sering dipakai untuk mengganjal lawan politik. Akibatnya dalam penilaian tentang sesuatu atau seseorang tidak lagi berdasarkan nilai baik atau buruknya. Tapi lebih kepada kepentingan politik tertentu. Contoh kecil dalam busana misalnya. Betapa larisnya baju-baju koko dan kopiah di musim-musim politik untuk berkunjung ke masjid-masjid dan majelis ta’lim. Juga banyak politisi wanita yang selama ini alergi dengan hijab tiba-tiba berhijab rapih. Sebaliknya tuduhan-tuduhan ekstremisme atau radikalisme kerap digaungkan dimusim-musim politik. Tentu dimaksudkan untuk menekan dan mengganjal pihak-pihak tertentu yang dianggap gangguan bagi sebagian untuk mendapatkan kepentingan politiknya. Sebaliknya prilaku radikal dan intoleransi dipertontonkan oleh sebagian orang atau sekelompok orang tertentu dengan tanpa malu tetap saja dibiarkan. Bahkan  seolah dipelihara dan mendapat perlindungan.  Akibatnya konsep moderasi atau radikalisme menjadi aneh dan membingungkan. Moderasi menjadi seperti yang sering saya sampaikan berbentuk moderasi sepihak. Sebaliknya radikalisme juga menjadi terasa sangat dipaksakan pada pihak tertentu.  Jahatnya kerap kali label radikal ini tidak berakhir pada tataran persepsi atau wacana semata. Tapi sering menjadi alat perangkap untuk menjerumuskan pihak-pihak tertentu atas nama keamanan dan loyalitas kebangsaan.  Saya kembali teringat peristiwa 9/11 di Amerika Serikat. Di mana saat itu kata radikalisme atau ekstrimisme menjadi kata yang paling populer berdampingan dengan kata “terror”. Sehingga peperangan yang disebut “war on terror” ketika itu tidak bisa dilepaskan dari peperangan kepada mereka yang dilabel “kaum radikal”.  Belakangan opini tersebut semakin tergiring menuju kepada satu kelompok. Yaitu orang-orang Islam yang tidak setuju dengan kebijakan global Amerika dan sekutunya di berbagai belahan dunia, khususnya di Timur Tengah.  Tapi oleh pihak-pihak tertentu penggiringan opini semakin mengarah kepada Umat Islam. Pada akhirnya apa yang disebut sebagai peperangan kepada teror atau “war on terror” tadi  berubah menjadi peperangan kepada umat Islam atau Islam (war on Islam).  Inilah Sesungguhnya di kemudian hari yang diterjemahkan oleh Donald Trump dalam sebuah kebijakan “Muslim Ban” atau pelarangan orang Islam masuk Amerika. Dimulai dari 7 negara. Tapi tujuannya mengarah kepada pelarangan secara totalitàs orang-orang Islam untuk masuk Amerika. Pada sisi lain, sejak Bush hingga Trump ada pihak-pihak tertentu yang kemudian dilabeli “Muslim moderate”. Pelabelan itu bukan berdasar pada nilai moderasi itu sendiri. Tapi lebih kepada dukung mendukung untuk kepentingan politik global mereka. Di zaman GW Bush misalnya Saudi Arabia dijuluki sebagai negara/bangsa yang moderate. Saya masih ingat bagaimana Pangeran Bandar bin Sultan, Dubes Saudi untuk AS ketika itu begitu akrab dengan Presiden Bush. Padahal dari sekian yang dituduh sebagai pelaku serangan 9/11 mayoritasnya berkebangsaan Saudi Arabia. Yang ingin saya sampaikan di sini adalah bahwa ternyata penilaian radikal dan/atau sebaliknya moderat itu banyak ditentukan oleh kepentingan, termasuk kepentingan politik. Dan pada akhirnya nilai moderasi atau sebaliknya radikalisme itu terasa kehilangan esensinya.  Hari-hari ini Isu radikal kembali ramai dibicarakan. Banyak tokoh agama yang dimasukkan ke dalam deretan Ustadz-Ustadz radikal.  Yang pada umumnya tidak memiliki justifikasi yang jelas.  Beberapa kriteria Ustadz radikal yang disampaikan juga terasa remang-remang dan dipaksakan. Satu di antara kriteri itu adalah anti Pancasila. Dalam perspektif nasionalisme, tentu kriteria ini sah-sah saja. Tapi ancaman terhadap Pancasila memangnya hanya dari para Ustadz? Bagaimana dengan mereka yang berpaham komunis yang mengancam ketuhanan? Bagaimana pula dengan para koruptor yang merusak keadilan sosial dan kemanusiaan?  Hal lain bahwa Ustadz radikal itu sering mengkafirkan. Mengkafirkan sesama Muslim memang dilarang. Bahkan bisa saja yang mengkafirkan itu terjatuh ke dalam kekafiran. Tapi mengkafirkan mereka yang “tidak mengimani” ajaran Islam itu memang demikian adanya . Karena memang kata kafir berarti “tidak mengimani” alias mengingkari. Kata kafir dalam arti “tidak mengimani” inilah yang disebut dalam Al-Quran.  Islam sangat jelas dalam mengatur relasi pwmerintah (raa’i) dan rakyat (ra’iyah). Islam sangat memperketat bolehnya rakyat untuk melawan pemerintah. Tapi Islam pada saat yang sama mengajarkan bahwa mengkritisi pemerintan dalam hal-hal yang salah menjadi kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar. Apalagi dalam tatanan negara demokrasi pemerintah dikontrol oleh kekuasaan tertinggi (rakyat).  Isu lain adalah ekslusifitas yang juga menjadi rancu ketika dihubungkan dengan agama. Karena pada semua agama ada Karakter ekslusif. Khususnya ketika bersentuhan dengan akidah dan ibadah ritual. Umat ini sadar bahwa membangun kesatuan dan ukhuwah itu penting. Baik ukhuwah imaniyah maupun wathaniyah. Tapi bukan berarti membuka batas-batas yang memang berbeda secara mendasar. Ada hal-hal ekslusif dalam beragama. Dan itu tidak perlu dianggap tidak bersahabat. Apalagi dinilai radikal. Demikian juga dalam hal budaya dan tradisi. Islam adalah agama universal. Karenanya Islam ada di seluruh belahan dunia. Mau atau tidak Islam akan bersentuhan dengan semua kultur dan budaya. Namun kehadiran Islam di sebuah lokalitas tidak merubah atau menghapus budaya lokal. Tapi lebih kepada mengoreksi atau membenarkan jika ada yang secara mendasar bertentangan dengan prinsip dasar ajaran agama. Itulah yang disebutkan dalam hadits: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak (maakarimal akhlak)”.  Oleh karena itu kriteria-kriteria yang dijadikan alasan untuk menuduh sebagian Ustadz radikal tidak jelas dan rentang membawa kepada penilaian sepihak. Dan tentunya yang paling mendasar dari semua ini adalah kenapa hanya Ustadz-Ustadz?  Bagaimana dengan pemimpin agama lain? Bagaimana para politisi yang korup? Bagaimana para pebisnis yang ekslusif dan mengancam keadilan sosial? Tidakkah mereka itu termasuk kaum radikal yang mengancam bangsa dan negara?  Saya hanya ingin mengatakan masanya untuk semua menghentikan politisasi isu radikalisme. Selain hanya menambah keresahan dalam masyarakat, juga akan semakin mempertajam kecenderungan karakter  “we vs them” (kami lawan mereka).  Kecenderungan memecah belah atau ‘divide at empire’ ini juga jangan-jangan memang jadi bagian dari pelemahan Umat dan bangsa itu sendiri. Karena sesungguhnya Umat dan tokoh-tokohnyalah, termasuk para Ustadz, yang menjadi tulang punggung ketahanan bangsa.  Dan kecurigaan-kecurigaan itu wajar saja terbangun karena sejak lama semakin terasa jika memang ada “hidden power” yang bermain dan bertepuk di balik layar. Semoga tidak!  Jamaica City, 8 Maret 2022. (*)    

Hore, Luhut Mengemis ke Saudi Arabia

Oleh M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan Di tengah kecenderungan tangan-tangan Pemerintah sangat anti Arab, kejutan muncul berupa pertemuan Menko Marinves Luhut Binsar Panjaitan dengan putera mahkota Kerajaan Saudi Arabia Muhammad Bin Salman (MBS). Pertemuan keduanya membahas investasi Saudi Arabia di Indonesia baik energi baru dan terbarukan, lingkungan hidup, dan tentu saja ajakan investasi pada proyek IKN baru.  Riang gembira Luhut ketemu MBS \"saya tak pernah menyangka pertemuan saya dengan Pangeran akan terwujud dalam suasana akrab seperti ini, dimana saya diundang untuk acara makan malam di halaman Istana  Kerajaan bersama jajaran kabinet senior Arab Saudi\". Aneh Luhut merasa bahagia dan riang gembira padahal selama ini selalu mendapat \"pelukan hangat\" dari \"sahabat yang lebih akrab\" Republik Rakyat China.  Adakah perubahan arah untuk kini berkeliling \"mengemis investasi\" ke dunia Arab seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Kuwait, dan lainnya. Lalu China kemana  ? Apa hasil dari berakrab-akrab \"jual kedaulatan\" dengan menerima TKA Cina yang banyak itu ? Ditipukah oleh janji-janji indah pak Ji Ping sehingga terpaksa harus makan malam di Istana Kerajaan Saudi?  Pejabat Indonesia ini aneh di satu sisi butuh duit dari negara-negara Islam, tetapi di lain pihak kebijakannya tidak bersahabat dengan umat Islam di negerinya sendiri. Islamophobia dibiarkan meraja lela. Anti Arab pun merebak. Sebutan Kadrun \"ala PKI\", do\'a menafikan bahasa Arab,Tuhan bukan orang Arab, hingga penzaliman kepada keluarga keturunan Arab seperti Habib Rizieq Shihab dan Habib Bahar Smith. Radikal radikul diarahkan terang-terangan kepada pendakwah dan aktivis Islam. Tokoh Islam pun diadili.  Hilangnya rasa malu dan kesadaran ini menjadi fenomena politik. Sadarkah Luhut Binsar Panjaitan yang beragama Kristen itu akan pesan dari hadiah kiswah Ka\'bah, kotak hitam berisi tasbih dan duplikat kunci Ka\'bah, serta bingkai kaligrafi ayat-ayat Qur\'an  ? Mengapa bukan hadiah pedang atau hiasan pohon kurma yang lebih netral dan menjadi simbol Kerajaan Saudi Arabia  ?  Bergaya, ngotot, dan berambisi untuk memindahkan Ibukota Negara dengan tahap awal membangun Istana, gedung DPR, Gedung MPR, DPD, MA, KY, dan Gereja  itu sudahkah dipastikan memiliki uang ? Ternyata belum. Menkeu pun mengeluh. UU sudah diproduk, Kepala Otorita segera ditunjuk, Jokowi siap berkemah, eh ini baru berkeliling mengemis-ngemis cari investasi. Ke Saudi lagi.  Umat Islam Indonesia sedang tidak merasa nyaman atas pola kebijakan politik Pemerintahan Jokowi saat ini. Dinilai selalu memojokkan. Membunuh sadis enam kader umat di peristiwa KM 50 disikapi santai-santai saja. Malah terkesan bermain-main dengan hukum. Belum lagi penzaliman sebelumnya seperti pembunuhan di depan Bawaslu dan tewasnya ratusan petugas KPPS yang \"case closed\". Mencibir Islam dan Arab di dalam negeri sambil mengemis berkeliling ke dunia Arab atau dunia Islam sebagai politik luar negeri,  menunjukkan wajah politik yang hipokrit dan memalukan dari pejabat yang memang tidak punya rasa malu.  Jadi teringat kebodohan Menteri Pertanian Rusia yang menggagas untuk meningkatkan ekspor babi ke Indonesia dengan mengambil contoh Jerman yang memproduksi 5,5 juta babi konon 3 juta ekor diekspor ke Asia termasuk Indonesia. Presiden Putin tertawa. Ia geli pada ide bodoh itu. Indonesia mayoritas penduduknya adalah muslim yang tentu tidak memakan babi.  Luhut Binsar Panjaitan yang beragama Kristen itu diberi hadiah kiswah Ka\'bah, kaligrafi ayat Qur\'an dan lainnya. Ini sebagai peringatan sekaligus penyadaran bahwa Pemerintah harus bersikap lebih santun dan bersahabat dengan umat yang berkiblat ke Ka\'bah itu. Stop Islamophobia pak Jokowi. Kita menepuk jidat, tapi bersorak gembira \"Horeee.. Luhut mengemis ke Saudi Arabia!\". (*)

“Opung” Luhut Inspirator Penundaan Pemilu?

Jika Presiden Jokowi tidak pernah perintah Luhut untuk mengkodisikan PKB, Golkar, dan PAN untuk perpanjangan masa jabatan, Presiden harus perintah Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk periksa Muhaimin Iskandar, Airlangga Hartarto, dan Zulkifli Hasan. Oleh: Mochamad Toha, Wartawan FNN MESKIPUN Juru Bicara Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan, yakni Jodi Mahardi, sudah membantah kalau usulan penundaan Pemilu 2024 tersebut didesain oleh Luhut, toh isu ini semakin liar.  Dia mengakui bahwa Luhut memang sering bertemu dengan tokoh politik. Tapi, dia menampik usulan penundaan Pemilu 2024 didesain oleh Luhut. “Pak Luhut kan sering bertemu dengan berbagai tokoh politik. Itu mungkin dilakukan Pak Luhut untuk mem-brief perkembangan terkini. Tapi, setahu saya tidak ada pembahasan atau perpanjangan itu dari ide Pak Luhut itu, enggak ada,” katanya seperti dilansir CNNIndonesia.com. Menurut Jodi, pertemuan Luhut dengan petinggi-petinggi partai politik itu adalah hal yang wajar. Selain silaturahmi dengan partai koalisi pemerintah, kata Jodi, Luhut pun terbuka dengan pihak oposisi. Luhut mengamati saja bagaimana perkembangan aspirasi di masyarakat, “Tapi bagaimana posisi beliau dalam isu ini saya enggak tahu,” kata Jodi. Konon, misi penundaan pemilu 2024 sebenarnya sudah diupayakan sejak lama. Bukan hanya baru-baru ini. Alasannya, ada sejumlah program pemerintah yang belum rampung akibat pandemi Covid-19. Salah satu yang jadi alasan adalah proyek pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Kalimantan Timur. Misi memunculkan isu penundaan pemilu 2024 juga didasari big data dari jutaan percakapan dalam media sosial. Diklaim, ada begitu banyak bahkan mayoritas di medsos yang mendukung jika Presiden Joko Widodo lanjutkan menjabat. Setelah itu baru diatur siasat siapa saja tokoh yang perlu bicara di depan publik. Diawali Menteri Investasi Bahlil Lahadalia sudah menyampaikan pada 10 Januari lalu. Dia mengklaim usulan itu aspirasi dari pengusaha. Kemudian dilanjutkan Ketum PKB Muhaimin Iskandar, Ketum PAN Zulkifli Hasan, dan Ketum Golkar Airlangga Hartarto. Menurut sumber FNN di lingkungan Istana, sumber kegaduhan penundaan Pemilu 2024 ini tidak lain adalah “Opung” Luhut sendiri. “Opung berambisi untuk membuat pemerintahan Jokowi diperpanjang 2 tahun. Seperti yang dikondisikan Opung pada PKB, Golkar, dan PAN,” ungkapnya. “Janji Opung saat melakukan pendekatan, partai yang berhasil membuat Pemilu 2024 mundur 2026 atau 2017 nantinya akan dapat jatah 1 Menteri atau wakil menteri,” lanjut sumber tadi. Rencana Opung Luhut itu ditentang petinggi PDIP seperti Hasto Kristiyanto, Puan Maharani, dan Megawati Soekarnoputri. Mereka menentang keras dan melawan ambisi Opung Luhut tersebut.   Sebelumnya, Partai Demokrat dan PKS telah menyatakan sikapnya menolak usulan penundaan Pemilu 2024 itu. Disusul oleh PDIP dan Partai Gerindra. Tolak penundaan Pemilu 2024. Sikap sama juga sudah diumumkan KPU. Tinggal PPP yang belum menyatakan sikapnya. Diharapkan, PPP bersikap sama. Tolak penundaan Pemilu 2024. “Jika menolak, PPP akan gawat dan hancur pastinya,” ungkap sumber tadi. Semua data korupsi terkait kepengurusan PPP selama ini akan dibongkar ke publik. Sehingga Nahdliyin tahu, bahwa PPP itu partai korup yang harus ditinggalkan umat Islam. Wakil Ketua Umum Gerindra Sugiono menegaskan bahwa Gerindra taat terhadap konstitusi, dimana amanat UUD NRI 1945 jelas memerintahkan bahwa pemilu digelar 5 tahun sekali. Sugiono mengatakan, Indonesia sudah memilih demokrasi sebagai sistem politik. Salah satu perwujudan dari demokrasi tersebut, lanjutnya, adalah penyelenggaraan pemilu secara tetap dan periodik. Menurutnya, rakyat secara umum telah menunjukkan keinganannya agar pemilu pada 2024 tetap dilaksanakan. Di samping itu, pemerintah dan DPR telah sepakat bahwa pemilu akan diadakan pada 14 Februari 2024. “Gerindra akan selalu taat kepada ketentuan dan asas konstitusional. UUD NRI tahun 1945 menyatakan bahwa pemilu dilaksanakan secara luber dan jurdil setiap lima tahun sekali dan itu merupakan sebuah perintah yang jelas dari konstitusi kita,” ungkap Sugiono. “Hal-hal tersebut, menurut saya merupakan alasan-alasan mengapa kami tidak setuju dengan wacana penundaan Pemilu 2024 tersebut,” lanjutnya. Cerita Zulhas Adalah petinggi PAN Zulkifli Hasan yang membuka cerita pertemuannya dengan Menko Marinves Luhut Binsar Pandjaitan beberapa waktu lalu. Zulhas mengaku diundang “Opung” Luhut khusus membicarakan usulan penundaan Pemilu dan Pilpres 2024. PAN diminta untuk mendukung dan harus disampaikan ke publik oleh ketua umum dalam Rapat Koordinasi Nasional Pemenangan Pemilu PAN yang digelar 15 Februari 2024. Opung mengklaim, Presiden Jokowi sudah setuju. Zulkifli lantas meminta pendapat dari elite partainya. Seorang petinggi PAN membeberkan, Zulhas bertanya apakah tepat jika PAN menjadi partai pertama yang melontarkan usulan penundaan Pemilu 2024 di forum Rakornas Pemenangan Pemilu Partai. Semua petinggi PAN yang hadir di rumah Zulhas itu sepakat tidak terburu-buru menyampaikan usulan tersebut, dan perlu membahasnya bersama pengurus lainnya. Ketika dikofirmasi soal pertemuannya dengan Opung, Zulhas tak menjawab secara gamblang. “Saya komunikasi biasa saja dengan Pak Luhut,” ujarnya di DPR, Jumat lalu (25/2/2022). Sepekan kemudian, pengurus PAN kembali menggelar pertemuan pada 23 Februari. Kali ini digelar di salah satu restoran milik putra Ketua Dewan Kehormatan PAN Soetrisno Bahir di Kawasan Senayan. Salah satu pengurus PAN yang hadir bercerita, di tengah jamuan, Zulhas pamit karena ada pertemuan mendadak dengan Ketum Golkar Airlangga Hartarto. Zulhas lalu kembali dan menceritakan hasil pembicaraan dengan Airlangga ke pengurus PAN yang masih berada di restoran. Kepada Zulhas, Airlangga menegaskan dukungan Golkar atas penundaan Pemilu 2024 itu dan akan menyampaikan saat kunjungan kerja ke Riau, 24 Februari lalu. Airlangga juga telah meminta Zulhas segera bicara terbuka atas nama PAN mendukung penundaan Pemilu 2024 ini. Airlangga pun meyakinkan bahwa Presiden Jokowi telah memerintahkannya untuk mendorong penundaan Pemilu 2024. Saat dikonfirmasi, dia mengakui ada perbincangan dengan Airlangga soal penundaan pemilu 2024. “Saya komunikasi dengan Pak Airlangga, tetapi enggak ada setting-an kami bertiga bicara berbarengan ya,” katanya. Karena tidak mendapat dukungan penuh dari partai koalisi, bola panas isu penundaan pemilu 2024, tampaknya siap berganti dengan isu “tiga periode” masa jabatan presiden.  Apakah isu terakhir ini merupakan “Plan B” setelah “Plan A” dinilai gagal meyakinkan parpol koalisi? Seperti dilansir Antara, Senin (7/3/2024), Menkopolhukam Mahfud MD menyampaikan Presiden Jokowi mempunyai sikap dan komitmen yang jelas bahwa pemilu tetap digelar pada 2024. Presiden saat memimpin Rapat Kabinet pada 14 September 2021 dan 27 September 2021 justru memerintahkan jajarannya untuk memastikan Pemilu 2024 berjalan aman, lancar, dan tidak memboroskan anggaran, terang Mahfud. “Sama sekali tidak pernah ada pembicaraan masalah penundaan Pemilu 2024 dan penambahan masa jabatan (presiden),” tegas Mahfud. Jika Presiden Jokowi tidak pernah perintah Luhut untuk mengkodisikan PKB, Golkar, dan PAN untuk perpanjangan masa jabatan, Presiden harus perintah Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk periksa Muhaimin Iskandar, Airlangga Hartarto, dan Zulkifli Hasan. Bila perlu, ormas, individu, pengamat politik, atau pejuang konstitusi juga melaporkan ketiga Ketum parpol itu ke Polri karena telah memfitnah Luhut dan Jokowi untuk muluskan ego politik partai dengan tunda Pemilu 2024. Untuk membuktikan dia tak khianati konstitusi dan berambisi perpanjang kekuasaan. Karena, argumentasi ketiga Ketum partai itu atas perintah Luhut dengan restu Jokowi. (*)

Mempercepat Pemilu 2024 Demi Keselamatan Bangsa

Alih-alih rezim bermanuver melontarkan usulan penundaan pemilu 2024, respons rakyat justru ingin percepatan pelaksanaan pilpres guna menyelamatkan negara dari krisis multidimensi. Selain dikelola aparat pemerintahan bermental penjahat, bangsa ini kian terpuruk karena dekadensi moral dan kegagalan pembangunan di pelbagai sektor. Oleh: Yusuf Blegur, Mantan Presidium GMNI Usulan penundaan pemilu 2024 yang substansinya membungkus syahwat memperpanjang kekuasaan. Semakin berkelindan mengiringi  persekongkolan pejabat eksekutif dan legislatif. Paduan suara sumbang dan memekakkan telinga kesadaran,  semakin percaya diri dan ndableg meski banyak mendapat cemoohan juga hujatan rakyat. Pasalnya, ditengah suasana yang mengindikasikan keterpurukan dan kebangkrutan Indonesia. Pemerintah   malah tak tahu diri dan seperti berhalusinasi memperpanjang jabatan. Utang menjulang yang rentan tak terbayar, keadaan kebijakan fiskal dan moneter yang semakin kritis, kemiskinan mengintai kelangkaan bahan pangan dan menurunnya daya beli rakyat. Malah disikapi rezim sebagai keberhasilan,  sehingga pemerintah seperti orang kesurupan mengusulkan penundaan pemilu 2024. Dengan kata lain, sudah bobrok mau lama bekuasa.  Dengan kondite dan jejak rekam yang menjadi mimpi buruk dalam sejarah pemerintahan Indonesia yang pernah ada. Cek ombak melambungkan penundaan pemilu 2024 yang diusung berjamaah oleh gerombolan hipokrit, koruptor dan penjilat kekuasaan. Nafsu berkuasa yang malu-maluin itu bukan hanya penghianatan dan kejahatan konstitusi. Lebih dari itu,  menyemburkan suasana *\'politik sandera\'* diantara para kekuatan birokrasi dan politisi. Saling pagut-memagut, saling tikam-menikam yang seperti diketahui rakyat akhirnya berujung politik dagang sapi atau kumpulan keramaian  asongan politik. Tapi rezim terhentak, sontak terkaget-kaget. Resistensi dan perlawanan politik dari semua kesadaran kritis dan gerakan perubahan. Betapapun niat jahat kekuasaan dikemas secara konstitusional dan seolah-olah dipenuhi akal sehat, kebusukan tetap beraroma menyengat diendus publik. Rakyat terlanjur merasakan, penundaan pemilu 2024 merupakan representasi penyakit dan  sekaratnya kekuasaan yang disokong oligarki. Meninggalkan kerusakan dan kehancuran sistem serta  harus mempertanggungjawabkan  limpahan kucuran cuan oligarki. Rezim kini dalam keadaan SOS, semakin kebablasan dan menjadi rezim otoriter dan diktator. Atau mengambil pilihan sadar dan  bertanggungjawab kepada rakyat atas semua distorsi penyelenggaraan negara. Pemerintahan Jokowi terpaksa menemui situasi dilematis, menimbang-nimbang reaksi oligarki atau menghadapi pengadilan rakyat. Sejauh tarik ulur usulan penundaan pemilu berkembang. Rakyat seperti  semakin terkonsolidasi terus meningkatkan gelombang aksi demostrasi dan penolakan aturan pemerintah, yang bisa saja mewujud pembangkangan sipil. Seperti eskalatif dan akumulatif, tuntutan Jokowi mundur semakin menggema di seantero publik. Lupakan penundaan pemilu 2024, karena sesungguhnya rakyat mendesak pilpres secepatnya diadakan sebelum 2024. Ganti presiden sekarang juga. Demi  keselamatan dan masa depan bangsa dalam bingkai Panca Sila, UUD 1945 dan NKRI. (*)

Pemilu Ditunda? No Way!

Oleh Tony Rosyid, Pengamat Politik Jokowi menolak amandemen UUD 45. Ini artinya, presiden menolak aturan pemilu diubah. Dengan begitu, pemilu dilaksanakan sekali dalam lima tahun. Setiap Presiden hanya berhak menjadi Presiden dua periode, tidak lebih. Megawati, ketum PDIP, atasan Jokowi di partai, juga dengan tegas menolak pemilu ditunda. Megawati bilang: itu inkonstitusional. Sebelumnya, PKS sebagai partai oposisi sudah lebih dulu menyampaikan penolakannya. Kemudian Demokrat, PPP, Nasdem dan Gerindra juga menolak pemilu ditunda. Empat partai bersama PDIP dan PKS sepakat pemilu dilaksanakan tanggal 14 Pebruari 2024. Gak ada ruang untuk penundaan. Tidak hanya parpol, Dewan Parwakilan Daerah (DPD) melalui ketuanya yaitu LaNyalla juga dengan sangat tegas menolak usulan pemilu ditunda.  Muhammadiyah, ormas terbesar kedua di Indonesia, melalui Sekjennya, juga tak kalah tegasnya ketika menolak pemilu ditunda. Majelis Ulama Indonesia atau MUI juga menolak. Begitu juga para akademisi. Diantaranya para guru besar dan mahasiswa siap turun ke jalan jika pemilu benar-benar ditunda. Berdasarkan sejumlah survei, rakyat secara mayoritas menolak pemilu ditunda. Dalam hal ini, rakyat lintas parpol, ormas dan dukungan politik, kompak menolak pemilu ditunda. PAN yang mengusulkan pemilu ditunda sedang dihakimi oleh kadernya. Partai ini dianggap mengkhianati konstitusi dan konstituennya. Bahkan ada ancaman KLB kalau ketum PAN tidak minta maaf dan mencabut usulannya itu. Golkar dan PKB, dua partai yang ikut mengusulkan pemilu ditunda juga mendapatkan penghakiman oleh publik. Gelombang penolakan terhadap usulan pemilu ditunda semakin kuat dan semakin besar. Ini tentu saja berpotensi menciptakan situasi tidak kondusif bagi bangsa ini jika dipaksakan. Kenapa mayoritas rakyat menolak pemilu ditunda? Pertama, itu inkonstitusional. Sebagaimana hal ini diungkapkan oleh ketum PDIP, Ketua Majlis Syura PKS dan sejumlah tokoh lainnya.  Kedua, tidak ada alasan kuat untuk menunda pemilu. Tidak ada perang, tidak juga ada bencana besar yang menjadi penghalang untuk diselenggarakannya pemilu. Hal ini diungkapkan salah satunya oleh Surya Paloh, Ketum Partai Nasdem. Jadi, alasan menunda pemilu oleh para pengusul terlihat \"ngasal\" dan berubah-ubah. Tidak konsisten. Dari sini, publik membaca ada pihak-pihak berkepentingan yang ngotot pemilu ditunda.  Ketiga, menunda pemilu berpotensi menciptakan kekeruhan sosial dan politik. Jika pemilu dipaksakan untuk ditunda, ini akan dapat menjadi pemicu protes massal yang boleh jadi akan tak terkendali. Menunda pemilu bisa menjadi anti klimaks kemarahan rakyat, dan ini berbahaya bagi keberlangsungan negara kedepan. Jangan sampai ini minjadi trigger lahirnya \"social movement\".  Ada pihak-pihak yang disinyalir menunggu bola liar ini tumpah. Mereka akan berselancar di atas gelombang protes rakyat yang berada pada puncak kemarahannya. Ini tidak boleh terjadi. Karena itu, mari kita berkomitmen dengan konstitusi dan sistem demokrasi yang ada. \"Ora usah neko-neko!\" Ada yang menganggap bahwa usul pemilu ditunda itu bagian dari hak berdemokrasi. Memang betul. Tapi mesti mempertimbangkan situasi dan konteks politiknya. Demokrasi memang memberi ruang seluas-luasnya bagi warga negara untuk berpendapat. Namun, tidak berarti bebas tanpa batas dengan tidak menghitung potensi berbahayanya bagi bangsa ini.  Karena usulan menunda pemilu diakomodir sebagai bagian dari hak demokrasi, apalagi melibatkan elit politik yang disekenariokan secara sistemik, maka muncul \"hak demokrasi yang lain\"  yang mengusulkan pemilu dimajukan waktunya. Ini satu hal yang sensitif dan dapat semakin memperkeruh situasi.  Bukan waktu yang tepat untuk saling adu kekuatan. Gak perlu bayar 200 ribu kepada tukang cendol, atau orang-orang kecil lainnya untuk ikut-ikutan mengusulkan pemilu ditunda. Tidak perlu juga memobilisasi massa dari kelompok masyarakat untuk unjuk kekuatan. Ini tidak mendidik, dan sangat ironis. Kalau kita konsisten dengan demokrasi, biarlah semua pendapat itu lahir dan muncul secara naluriyah, tak ada rekayasa, intimidasi dan upeti. Dengan begitu, ruang demokrasi kita akan terjaga kualitasnya dan bermartabat.  Sudah saatnya, manuver untuk menunda pemilu dikubur. Rakyat ingin hidup damai, tenang, nyaman dan stabil, tanpa risau dengan bau busuk yang menyengat dari usulan pemilu ditunda. (*)

Boikot Nasi Padang?

Oleh M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan CUITAN di media sosial dari akun yang dikenal  warga cebong itu dihujat netizen sebagai seruan berlebihan. Mungkin membela Menteri Agama yang dilarang menginjak tanah Sumatera Barat akibat membandingkan azan dengan gonggongan anjing. Boikot warung nasi padang di samping tidak relevan juga tidak efektif dan bernuansa SARA.  Tiga ketololan atas seruan boikot ini, yaitu : Pertama, masakan padang adalah makanan lokal halal yang telah menasional. Disukai bukan saja oleh orang padang. Keberadaannya tersebar dimana-mana. Penyajian cepat dan tentu saja nikmat meski sedikit pedas.  Kedua, alasan sikap masyarakat Sumbar terhadap  Menag Yaqut adalah bagian dari perasaan sakit hati atau ketersinggungan umat Islam pada umumnya atas ucapan Menag soal azan dan gonggongan anjing. Masa dikaitkan dengan nasi padang ?  Ketiga, kekanak-kanakan ajakan boikot nasi atau masakan padang, sebab jika berbalas maka dapat menjadikan kondisi yang tidak sehat. Ironi jika harus ada boikot warteg, sate madura, coto mangkasara, atau pecel madiun. Ah kacau jadinya.  Cuitan yang viral itu adalah  \"woii Nusantara.. Boikot produk Minang. Haramkan membeli nasi Padang.. Takebeer\" @K3nshin_KR. Cuitan keterlaluan ini seperti khasnya pengejek Islam pakai \"takebeer\" segala.  Semestinya Menag Yaqut dan pendukungnya menyadari akan kekeliruan yang membuat umat Islam mereaksi. Demikian juga Presiden yang telah memberi kepercayaan kepadanya sebaiknya melakukan evaluasi agar pemerintahan dapat berjalan lebih stabil. Tidak berada di atmosfir politik  yang selalu gaduh dan gaduh terus.   Menu makanan padang beragam ada gulai tunjang, dendeng bathokok, ayam pop, telur balado, ikan tenggiri asam pedas, ati ampela kentang, udang pedas manis, gulai daun singkong dan lainnnya. Tentu tidak lupa daging rendang. Nah rendang ini telah dinobatkan oleh CNN sebagai makanan terlezat pada bulan Juli 2011. Suryadi Sunuri peneliti Universitas Leiden Belanda menjelaskan bahwa masakan padang pertama kali ditemukan dalam iklan harian Pemandangan di Batavia tahun 1937. RM itu bernama Goncang Lidah di Cirebon milik Ismael Naim dengan sebutan populernya Padangsch Restaurant. Situs Koninklijk Instituut voor Taal Land en Volken Kunde (KITLV) menyatakan RM Padang pertama didirikan di bawah tenda mirip penjual nasi kapau di Bukit Tinggi.  Kini Nasi Padang bukan saja telah menasional tetapi juga berada di luar Indonesia seperti RM Indo Kitchen California dan San Fransisco, Restaurant Pondok Buyung di Sydney Australia, serta RM Padang yang ada di Qatar, Malaysia, Tiongkok dan negara lainnya.  Jadi lucu lucu saja jika tekanan kepada Menag Yaqut yang dilarang ke Sumatera Barat akibat membandingkan suara adzan dengan gonggongan anjing dilawan dengan boikot produk minang atau mengharamkan nasi padang.  Nasi padang itu dijamin halal, tidak seperti beer yang banyak diminum oleh para pembenci agama. Bipang juga haram, lho.  Nah yang pasti haram adalah kalau ada orang yang menyamakan riuhnya gonggongan anjing dengan suara azan dari beberapa masjid.  Untung saja tidak ada yang begitu. (*)

Bersama Rakyat Menggugat UU IKN: Bergabung dengan PNKN Menjadi PIHAK TERKAIT!

Oleh, Marwan Batubara - PNKN Poros Nasional Kedaulatan Negara (PNKN) telah menolak rencana pemindahan Ibuk Kota Negara (IKN) dari Jakarta ke Penajam (“Nusantara”), Kalimantan Timur (Kaltim) melalui pengajuan Permohonan Uji Formil UU IKN ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2 Februari 2022. Melalui permohonan Uji Formil (Judicial Review, JR) PNKN menuntut agar UU IKN dinyatakan inskonstitusional. Dengan demikian pemindahan IKN pun mestinya dibatalkan. Setelah menunggu sekitar tiga minggu, MK akhirnya menerbitkan nomor registrasi perkara Permohonan Uji Formil UU IKN pada 23 Februari 2022. MK menerbitkan Nomor Registrasi Perkara 25/PUU-XX/2022 atas Permohonan Uji Formil UU IKN yang didaftarkan PNKN pada 2 Februari 2022. PNKN telah memprotes keras MK yang dengan sengaja telah menunda registrasi permohonan PNKN, dengan mendaftarkan lebih dahulu tiga permohonan uji formil/materiil yang datang belakangan. Terlepas bahwa MK telah berlaku tidak adil, PNKN meyakini bahwa Sidang Ke-1 permohonan uji formil tersebut akan berlangsung pada bulan Maret 2022 ini. PNKN akan memantau dengan seksama dan menanti dengan antusias, kapan akhirnya MK memulai sidang-sidang perkara uji formil PNKN tersebut. Karena sangat yakin dengan motif di balik pemindahan IKN, dasar hukum dan alasan-alasan yang dikemukakan, PNKN yakin bahwa UU IKN memang layak dibatalkan. Berikut adalah ringkasan alasan yang telah dikemukakan PNKN mengapa UU IKN harus dibatalkan:  Pembentukan UU IKN tidak disusun dan dibentuk dengan perencanaan yang berkesinambungan berupa dokumen perencanaan pembagunan, perencanaan regulasi, perencanaan keuangan negara, pelaksanaan pembagunan, dll; Pembentukan UU IKN tidak benar-benar memperhatikan materi muatan strategis, karena banyak mendelegasikan materi yang berkaitan dengan IKN dalam Peraturan Pelaksana; Pembentukan UU IKN tidak memperhitungkan efektivitas peraturan perundang-undangan dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis; UU IKN tidak dibuat karena benar-benar dibutuhkan oleh negara dan rakyat, tetapi lebih untuk kepentingan kelompok tertentu, terutama oligarki; Pembentukan UU IKN sangat minim partisipasi masyarakat, bahkan lebih parah dibanding partisipasi masyarakat saat pembentukan UU No.11/2020 tentang Cipta Kerja, yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh MK. Sambil menunggu dilksanakannya sidang-sidang permohonan uji formil UU IKN yang telah diajukan oleh PNKN di atas, yakni dengan Nomor Perkara 25/PUU-XX/2022, PNKN menghimbau berbagai kalangan masyarakat di seluruh Indonesia untuk segera mempersiapkan diri dan menggugat/memohon menjadi *PIHAK TERKAIT* atas permohonan tersebut. Dengan menjadi *PIHAK TERKAIT*, maka siapa pun ANDA, berarti telah menunjukkan komitmen dan langkah konkrit untuk tegaknya hukum, keadilan dan kedaulatan di NKRI. Posisi atau peran sebagai *PIHAK TEKAIT* atas gugatan yang diajukan PNKN dapat berupa Pemohon Perorangan atau pun sebagai Pemohon Organisasi. Para Pemohon Perorangan dapat membentuk kelompok-kelompok yang berasal dari kalangan tertentu atau wilayah tertentu atau kepentingan tertentu. Misalnya lima, sembilan orang, atau lebih pemohon dapat membentuk Kelompok Pemohon yang tergabung dalam PNKN Wilayah Bogor, PNKN Wilayah Samarinda, dll.  Adapun contoh draft lengkap Permohonan *PIHAK TERKAIT* dapat dilihat dan diunduh (down-load) langsung dari web: *PNKN.net* yang telah dikembangkan oleh PNKN.  Setelah draft tersebut diisi dan ditandatangani, maka para *PIHAK TERKAIT* dapat segera mengirimkan permohonan uji formil tersebut langsung ke Sekretariat MK untuk diregistrasi, yakni segera setelah MK menggelar Sidang Ke-1 Perkara No.25/PUU-XX/2022. Maka, kami menghimbau ANDA semua, mari segera kunjungi web PNKN.net tersebut. Wewenang MK Bahwa obyek pengujian yang dimohonkan oleh *PIHAK TERKAIT* masih masuk dalam lingkup kewenangan MK sebagaimana diatur dalam yang masuk dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a, Pasal 51A ayat (3) UU Mahkamah Konstitusi dan Pasal 29 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman. Berkenaan dengan yurisdiksi MK, maka MK berwenang menguji Konstitusionalitas Pembentukan UU IKN terhadap UUD 1945. Legal Standing PIHAK TERKAIT Kedudukan para *PIHAK TERKAIT* diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 2/2021 tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, yakni pada Pasal 3 huruf c, yang menyatakan: Para pihak dalam Perkara PUU adalah: a. Pemohon; b. Pemberi Keterangan; dan c. Pihak Terkait. Terhadap kedudukan pemohon juga diatur dalam Pasal 6 PMK 2/2021, yang menyatakan: (1) *Pihak Terkait* sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c yaitu: a. Perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama; b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam UU; c. Badan hukum publik atau badan hukum privat; atau d. Lembaga negara. (2) Pihak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pihak yang berkepentingan yang langsung dan/atau pihak yang berkepentingan tidak langsung dengan pokok Permohonan. Perlu diingatkan bahwa hak konstitusional PIHAK TERKAIT telah diatur, dijamin dan dilindungi dalam UUD 1945 sebagai berikut:  Pasal 27 ayat (1): “Segala Warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Pasal 28C Ayat (2) UUD 1945*, yang menyatakan: “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945*, yang menyatakan: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”. Akhirnya, melalu tulisan ini PNPK kembali mengajak kita semua, yakni ANDA sebagai rakyat Indonesia yang mendambakan tegaknya hukum, keadilan dan kedaulatan di NKRI bergabung bersama PNKN guna menggugat UU IKN ke MK. Buktikan komitmen kebangsaan dan kebersamaan ANDA bersama rakyat dengan menjadi PIHAK TERKAIT dalam Perkara No. 25/PUU-XX/2022, Permohonan Uji Formil UU IKN yang diajukan oleh PNKN pada 2 Februari 2022. Bersama Rakyat Kita Gugat UU IKN! (*)

Potensi Krisis Multidimensi, Munculnya Rezim Otoriter, dan Anies Baswedan

Oleh Smith Alhadar - Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education (IDe) INDONESIA sedang meriang oleh beberapa isu krusial yang berpotensi menciptakan krisis multidimensi dalam waktu dekat mendatang. Perjalanan Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo sejak 2014 memang kian merisaukan. Kepentingan pribadi, keluarga, dan oligarki, semakin mengemuka. Setelah membisu beberapa hari terkait heboh isu penundaan pemilu  yang kontroversial, yang dilontarkan Ketua Umum PKB Abdul Muhaimin Iskandar -- yang disambut Ketum Partai Golkar Airlangga Hartarto dan Ketum PAN Zulkifli Hasan -- Jokowi muncul ke publik memberi tanggapan. Ia tegas menyatakan akan patuh sepenuhnya pada konstitusi terkait pemilu. Itu berarti pemilu limatahunan, yang di dalamnya termasuk pilpres, tetap akan berlangsung pada 2024 sesuai konstitusi. Untuk keperluan itu, KPU dan pemerintah telah sepakat menyelenggarakan pemilu pada Februari 2024.  Namun, isu penundaan pemilu tak lantas lenyap karena Jokowi berpendapat usulan penundaan pemilu merupakan hal yang valid dalam negara demokrasi. Ini berbeda dengan sikap dia sebelumnya terkait isu yang sama. Sebagaimana diketahui, beberapa waktu lalu Jokowi menolak tegas isu perpanjangan masa jabatan presiden hingga tiga periode yang dilontarkan Mohammad Qodari. Ia menganggapnya sebagai upaya menampar, mencari muka, dan menjerumuskannya. Kini ia mendukung wacana perpanjangan masa jabatan presiden melalui penundaan pemilu. Dengan demikian, isu ini masih akan terus bergulir yang menciptakan ketidakpastian politik, terutama ketidakpastian penyelenggaraan pemilu pada 2024. Dan tetap membuka kemungkinan pemilu diundur. Sikap Jokowi itu menguatkan berita yang dipublikasikan media nasional ternama bahwa istana terlibat dalam isu ini. Itu konsisten dengan pengakuan Zulkifli Hasan bahwa Menko Marinves Luhut Binsar Panjaitan-lah yang mendesak PAN menyampaikan ke publik tentang usulan itu. Jauh sebelum Cak Imin mengajukan wacana itu, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia sudah lebih dahulu melontarkan ke publik tentang perpanjangan kekuasaan pemerintah. Alasan yang dikemukakan Lahadalia dan para pemimpin parpol itu sama: mengikuti anjuran pengusaha (oligarki) untuk menyelamatkan ekonomi nasional akibat hantaman pandemi covid-19. Jokowi memang berkepentingan memperpanjang kekuasaannya untuk merealisasikan kepentingan pribadi dan oligarki. Ini berkaitan dengan rencana pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Kalimantan Timur -- yang memakan porsi anggaran APBN sangat besar -- yang sudah harus dilakukan pada 2024 saat Jokowi harus meninggalkan istana. Pembangunan infrastruktur ibu kota baru akan dimulai pada April 2022. UU IKN telah ada. TapiI  isu IKN mendapat resistensi luas terkait kajian akademis yang sumir, ancaman lingkungan, dan besarnya dana APBN yang akan digunakan saat utang luar negeri telah menggunung dan penanganan pandemi covid-19 masih memerlukan dana besar untuk membantu mayoritas rakyat yang paling terpukul ekonominya. Memang benar sejak Presiden Soekarno rencana pemindahan IKN telah menjadi wacana berdasarkan fakta bahwa, secara geografis, Jakarta tidak cukup strategis dari sisi pertahanan keamanan dan hilangnya daya dukung Jakarta sebagai ibu kota yang nyaman dan layak. Tetapi urgensi pemindahan IKN menjadi hilang saat bangsa menghadapi kedaruratan ekonomi. Argumen pemerintah bahwa pembangunan IKN Nusantara yang menyedot dana awal sebesar Rp 600 triliun sebagai bagian dari program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) ditolak para pengamat dan ekonom, termasuk Faisal Basri yang adalah pendukung rezim Jokowi. Alasan paling masuk akal dari rencana pemindahan IKN pada saat bangsa sedang meriang saat ini adalah, pertama, Jokowi hendak membalas budi terakhir pada kaum oligarki, oligarki ekonomi dan oligarki parpo yang telah membawanya ke kekuasaan, sebelum meninggalkan istana. Kedua, Jokowi hendak meninggalkan legacy historis yang akan dikenang bangsa Indonesia sepanjang masa karena memang selama memerintah tidak ada legacy prestisius yang ditinggalkannya. Di pihak lain, Jokowi tidak lagi punya waktu untuk merealisasikan dua agendanya ini kecuali pemilu ditunda beberapa tahun lagi. Di mata publik, dua agenda itu tak layak untuk diperjuangkan, baik dari sisi moral maupun keberlangsungan hidup bangsa ini. Selain tidak pantas secara moral  program PEN untuk membantu rakyat dikorbankan, pembangunan IKN itu hanya melayani kepentingan oligarki. Juga akan menciptakan jalan tol bagi terjadinya korupsi besar-besaran. Apalagi status IKN Nusantara adalah otorita yang penguasanya ditunjuk presiden tanpa dipilih dan dikontrol DPRD serta hanya bertanggung jawab pada presiden. Ini juga yang menjadi sasaran kritik publik berdasarkan pandangan bahwa pemimpin daerah harus dipilih rakyat dan dikontrol DPRD yang anggotanya juga dipilih rakyat. Dengan status otorita  berarti pendekatannya adalah bisnis atau proyek. Kepala otorita, dengan arahan presiden, dapat membagi-bagi proyek kepada siapa yang dia sukai. Maka mustahil tak akan terjadi KKN di sana. Isu penundaan pemilu dan pemindahan IKN berlangsung saat resesi global sedang di ambang pintu akibat perang Rusia-Ukraina. Rusia dan Ukraina adalah eksportir gandum utama dunia. Rusia sendiri adalah pemasok 40 persen kebutuhan minyak dan gas Eropa, sementara AS mengimpor 20 juta barrel minyak Rusia per bulan. Akibat perang, harga BBM dunia telah melejit. Juga terjadi kekurangan bahan pangan dunia. Inflasi tinggi hingga 7 persen telah terjadi di AS, yang akan membuat The Fed menaikkan suku bunga bank untuk menurunkan inflasi. Kalau demikian, akan terjadi cash flow dari Indonesia. Untuk meredam hal itu, Bank Indonesia akan juga menaikkan suku bunga untuk menahan laju arus modal keluar. Tindakan itu akan menciptakan inflasi tinggi. Dampak perang Rusia-Ukraina mulai terasa di sini sekarang. Harga minyak dan gas nonsubsidi telah dicabut pemerintah yang akan memukul industri. Harga pangan pun telah merangkak naik. Sementara AS sedang membujuk sekutu Barat untuk menghentikan impor minyak dan gas Rusia untuk menguras kemampuan perang negara beruang merah itu. Kalau bujukan Washington ini berhasil dan perang berkepanjangan, pasti terjadi resesi global yang juga akan memukul ekonomi Indonesia secara telak. Kemiskinan dan pengangguran bertambah secara signifikan karena terkurasnya daya beli masyarakat akibat inflasi dan perusahaan merugi. Dalam atmosfir keterpurukan bangsa  dengan sendiriny akan melemahkan legitimasi rezim. Maka, kalau penundaan pemilu jadi dilakukan dan pembangunan IKN tetap direalisasikan -- kemungkinan besar hal ini akan terjadi karena karakter Jokowi yang cenderung ogah mengubah sudut pandangnya -- Indonesia pasti menghadapi krisis politik dan ekonomi yang menakutkan. Menurut semua pakar ketatanegaraan, bila pemilu ditunda maka eksekutif dan legislatif di semua tingkatan akan menjadi ilegal kecuali konstitusi diamandemen terlebih dahulu. Ini karena tidak ada kondisi darurat -- misalnya terjadi bencana nasional, keamanan nasional terganggu, atau munculnya penyakit berbahaya -- yang memungkinkan pemilu ditunda. Argumen pemerintah demi memulihkan ekonomi akibat pandemi sangat lemah. Bahkan, dengan menunda pemilu, akan terjadi ketidakpastian politik yang justru akan memperburuk kondisi ekonomi bangsa.  Penyelenggaraan pemilu sesuai jadwal malah bukan saja menciptakan stabilitas politik, tapi juga akan merangsang perputaran ekonomi karena meningkatkan konsumsi barang dan jasa. Dengan kata lain, pemilu akan menjadi stimulus ekonomi karena meningkatnya besaran fiskal. Memang pemunduran pemilu dan nekat membangun IKN Nusantara pada momen sekarang menggambarkan hilangnya moral dan akal sehat rezim yang telah dikuasai ambisi pribadi presiden dan akibat tekanan oligarki.  Krisis multidimensi terjadi disebabkan tabungan preseden yang meresahkan masyarakat telah bertumpuk.  Misalnya, sebelumnya telah terjadi rongrongan rezim terhadap sendi  negara hukum yang demokratis dan UU Otonomi Daerah. Isu UU Cipta Kerja jelas sekali memperlihatkan keberpihakan vulgar rezim terhadap oligarki sehingga terjadi demonstrasi besar-besaran buruh sebagai pihak yang paling dirugikan.  Mahkamah Konstitusi telah memvonis UU ini sebagai inkonstitusional. UU Minerba berdampak pada pengambilalihan wewenang daerah oleh pusat -- yang menabrak otonomi daerah -- dalam hal investasi asing di proyek minerba. Pembubabaran ormas dan pemenjaraan mereka yang kritis terhadap rezim tanpa legal standing yang meyakinkan juga memperlihatkan pelecehan hukum dan prinsip demokrasi.  Dalam penegakan hukum, rezim bersikap diskriminatif bergantung pada sejauh mana tokoh itu dipandang menghadirkan ancaman pada rezim dan posisi politik pengkritik itu vis a vis rezim. Kalau yang tidak berbahaya, rezim bersikap, \"biarkan anjing menggong kafilah tetap berlalu\". Toh, keberadaan mereka dapat memberi citra positif pada rezim sebagai pendukung demokrasi. Sedangkan pengeritik lain yang lemah secara politik dipenjarakan untuk memberi efek deterance kepada yang lain. Yang dipersoalkan di sini adalah hukum dan demokrasi dijalankan hanya untuk kepentingan kekuasaan dan oligarki. Tak heran, indeks demokrasi dan hak asasi manusia di masa rezim Jokowi anjlok cukup signifikan. Hal ini telah menimbulkan keprihatinan masyarakat sipil. Memang dari fakta-fakta di atas, terlihat tidak ada komitmen rezim yang sejati pada demokrasi dan HAM. Terkait HAM, Jokowi tidak menyentuh isu pelanggaran HAM berat di masa lalu. Padahal, sejak kampanye pilpres 2014 dia menjanjikan akan menuntaskan isu serius itu untuk menyembuhkan luka bangsa yang masih menganga dan membangkitkan kepercayaan diri bangsa di panggung internasional sebagai bangsa yang beradab. Terabainya isu ini karena Jokowi ingin mendapat dukungan aparat keamanan yang bertanggung jawab terhadap pembunuhan massal tahun 1965,  kasus Talangsari, Tanjungpriok, Semanggi I dan Semanggi II. Malah di era Jokowi kekerasan masih terjadi. Misalnya, kasus pembunuhan Km 50 dan kekerasan di Desa Wadas, Jawa Tengah. Hal ini juga menimbulkan keprihatinan luas. Lalu, di bawah rezim Presiden Jokowi korupsi  makin menggila melebihi era Presiden Soeharto. Anehnya, KPK malah diperlemah dengan alasan lembaga antirasuah itu merintangi investasi, bukan sebaliknya. Kejanggalan argumen ini mau tak mau memperkuat spekulasi publik bahwa sebenarnya wewenang KPK yang terlalu luas menghambat kongkalikong oligarki ekonomi dan politik. Dipecatnya sebagian anggota KPK melalui test wawasan kebangsaan yang dipertanyakan keabsahannya dan kasus penyiraman air keras kepada komisaris KPK Novel Baswedan, tenaga ahli yang sedang menangani kasus-kasus korupsi berat yang melibatkan orang penting, memperkuat persepsi publik bahwa tangan KPK diamputasi untuk melanggengkan budaya korupsi demi melayani kepentingan oligarki. Isu pelemahan KPK telah mendorong mahasiswa di berbagai daerah turun ke jalan hingga dua mahasiwa di Kendari, Sulawesi Tenggara, tewas tertembak aparat. Isu lain yang mengecewakan publik adalah sokongan Jokowi pada anak dan menantunya dalam upaya mereka merebut kekuasaan. Akhirnya, putera presiden, yakni Gibran Rakabuming Raka, menjadi Walikota Solo dan Bobby Nasution, menantu Jokowi, menduduki jabatan Walikota Medan. Kalau mereka bukan keluarga dekat presiden, tak dapat dibayangkan anak-anak muda tak punya pengalaman politik apa pun bisa memenangkan kontestasi pilkada. Lebih jauh, dua anak presiden diduga melakukan KKN terkait  penanaman modal perusahaan yang divonis melakukan kejahatan perusakan hutan. Dengan demikian, spirit reformasi untuk membabat KKN diabaikan. Tabungan kekecewaan masyarakat ini menunggu untuk meledak saat momennya tiba. Bila krisis multidimensi terjadi dan seluruh lembaga eksekutif dan kegislatif menjadi ilegal, maka -- sesuai konstitusi -- TNI dan Polri berwenang mengambil alih kekuasaan. Sebelum terjadi pemilu untuk menghadirkan rezim sipil yang sah, kedua lembaga itulah yang mengisi kekosongan pemerintahan. Pemerintahan TNI-Polri pasti dijalankan secara otoriter karena menghadapi krisis dan ketiadaan lembaga legislatif. Kalau nanti kedua lembaga itu asyik dengan kekuasaan dan tak berniat menghidupkan kembali sistem demokrasi sebagaimana yang terjadi di Myanmar, maka Indonesia akan memasuki terowongan gelap tanpa berkasa cahaya di ujungnya. Untuk menyelamatkan kepentingannya, bisa jadi Cina dan Rusia mendukung rezim otoriter sebagaimana mereka mendukung junta militer di Myanmar, yang membangkitkan kepercayaan diri rezim otoriter di Indonesia. Kalau demikian, negara-negara Barat akan menjatuhkan sanksi dan mengisolasi Indonesia dari pergaulan internasional. Gerakan separatisme di daerah, terutama di Papua, akan membesar. Gangguan keamana dalam negeri akibat keresahan sosial yang meluas akan mendorong rezim memperkuat cengkramannya atas masyarakat. Kalau pun rezim hendak menyerahkan kekuasaannya pada pemerintahan sipil setelah pemilu yang mesti dilakukan secepat mungkin, hal itu tidak mudah karena harus berurusan dengan partai politik, kelompok kepentingan, dan masyarakat sipil, yang punya sudut pandang yang berbeda terkait pemerintahan ke depan. Di tengah potensi krisis multidimensi terkait kengototan rezim Jokowi menunda pemilu, hanya ada satu kepala daerah yang menentang isu kontroversial itu. Dia adalah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Saat semua kepala daerah diam seribu bahasa menanggapi pengunduran pemilu -- sebagiannya mungkin berharap itu jadi kenyataan sehingga memperpanjang kekuasaan mereka -- Anies justru menolak dengan tegas ide memperpanjang kekuasaannya yang akan berakhir pada Oktober tahun ini. Alasannya, penundaan pemilu menabrak konstitusi dan mengkhianati  spirit reformasi yang diperjuanhkan mahasiswa dengan darah dan air mata. Sebagai seorang sarjana ilmu ekonomi dan politik tentu juga ia tahu konsekuensi serius bagi keselamatan bangsa bila pemilu ditunda. Bukan saja akan terjadi keos yang mengancam kelangsungan hidup bangsa, tapi juga akan memundurkan Indonesia beberapa tahun ke kebelakang. Dia pasti menyadari bahwa  kendati jauh dari sempurna, sistem demokrasi merupakan sistem terbaik di antara sistem yang jelek sebagaimana dikatakan negarawan Inggris Winston Churchil. Memang sistem demokrasi telah membuktikan diri sebagai sistem yang berhasil menghadirkan kemakmuran, kebebasan, kemajuan peradaban, dan harkat kemanusiaan, sebagaimana kita saksikan pada negara-negara maju yang menerapkan demokrasi secara konsekuen. Memang belakangan ini sistem otoriter Cina yang juga berhasil meningkatkan taraf hidup 1,4 miliar penduduknya telah menarik perhatian negara Dunia Ketiga yang repot dan mahal dalam menerapkan demokrasi. Tetapi harus diingat bahwa kemajuan ekonomi dan teknologi Cina tidak dibarengi dengan penghormatan pada kebebasan, martabat, dan HAM. Manusia hanyak diperlakukan sebagai objek ekonomi. Penolakan Anies terhadap perpanjangan masa jabatan presiden juga didasarkan pada potensi Indonesia menjadi negara gagal.  Salah satu penyebab timbulnya negara gagal adalah bila parpol dan presiden tidak berkomimen pada konstitualisme dan kebijakan publik yang cacat moralitas dan rasionalitas sebagaimana terlihat pada usaha memindahkan IKN pada momen yang salah. Juga bila rezim memberlakukan sistem  ekstraktif  yang menyedot sumber daya bangsa untuk diberikan kepada elite tertentu. Dalam hal rezim Jokowi, elite yang dimaksud adalah oligarki ekonomi dan politik. Hal ini telah dilawan Anies dengan menciptakan sistem inklusif yang menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh lapisan warga Jakarta. Tanpa keadilan ini, mustahil kinerja Anies diapresiasi mayoritas mutlak warga ibu kota. Untuk mencegah terjadinya krisis multidimensi yang berujung pada negara gagal, Anies mengisyaratkan dukungan pada protes publik terhadap ide penundaan pemilu. Memang   untuk menghindari keos yang mungkin terjadi, maka tak ada pilihan lain bagi Indonesia kecuali menekan rezim Jokowi untuk taat pada konstitusi dengan tetap menyelenggarakan pemilu sesuai jadwal. Rencana pembangunan infrastruktur IKN juga harus dihentikan sekarang guna mengalokasi dana itu untuk menangani krisis ekonomi akibat resesi global yang akan memukul ekonomi rakyat tanpa belas kadihan. Pemilu yang sesuai jadwal, selain menjaga stabilitas negara, juga menjanjikan perubahan pemerintahan ke arah yang lebih baik. Pemerintahan baru akan punya legitimasi kuat dan gagasan baru untuk memulihkan kerusakan negara yang ditinggalkan rezim Jokowi. Tetapi optimisme itu hanya punya argumen yang kuat kalau Anies Baswedan yang memimpin Indonesia mengingat aspiran capres lain hanya akan meneruskan developmentalism ala Jokowi yang sumir. Saat nemimpin Jakarta, Anies telah menunjukkan kapasitas moral, intelektual, dan leadership, yang diperlukan  Indonesia dalam menyambut zaman baru dan pemulihan menyeluruh seluruh sendi kehidupan berbangsa dan bernegara serta pemenuhan janji kemerdekaan berupa mencerdaskan kehidupan bangsa, menguatkan persatuan dengan mengejar tujuan bersama, dan menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Semoga Indonesia yang kita cintai luput dari cobaan besar yang mungkin segera datang dan muncul sebagai negara demokrasi ideal yang sejahtera dan beradab. (*)