OPINI
Gak Becus Mengatasi Kelangkaan Minyak Goreng
Oleh M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan SUNGGUH aneh di negeri yang menjadi penghasil minyak sawit terbesar di dunia ternyata langka minyak goreng. Antrian ibu-ibu, juga ada bapak, yang panjang memalukan dan memilukan. Bukan gratis terapi hendak beli dengan harga lebih mahal. Serasa di jaman penjajahan saja. Karena pegel antri solusi dibuat dengan antrian sandal. Untung disiplin sehingga sandal tidak ditukar-tukar. Pemandangan ini dahsyat namun mengerikan. Berita teranyar dari Kabupaten Berau Kaltim seorang ibu meninggal di tengah antrian. Kelangkaan minyak goreng secara tiba-tiba tentu bukan tanpa unsur penyebab. Penyimpangan oleh kartel telah tercium tanpa tindakan berarti. Masyarakat menjadi korban dari permainan para pebisnis. Pemerintah seperti tidak berdaya untuk menyelesaikan. Ada Menteri yang justru menyalahkan ibu rumah tangga yang menimbun minyak goreng di dapur. Tuduhan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan dan mengada-ada. Lucunya lima konglomerat sawit yaitu Wilmar Group, Downex Argo Group, Musim Mas, First Resources, dan Louis Company telah disuntik subsidi dana hingga tahun 2017 sebesar 7,5 Trilyun. Adakah para konglomerat sawit ini menjadi bagian dari mafia kelangkaan minyak goreng ? Marwan Batubara pengamat pertambangan melihat bara dari api kelangkaan minyak goreng ini beragam. Berpangkal pada salah penanganan dari Pemerintah. Kemendag mengeluarkan ketentuan Domestic Market Obligation (DMO) minyak sawit sebesar 30 % yang wajib dijual di pasar domestik dari total produksi CPO Indonesia. Namun aturan ini tak mampu menangani krisis kelangkaan. Ekonomi liberal yang berpihak pada oligarki dan pemilik modal menyebabkan abai dan tidak fokus pada pemihakan dan pemenuhan kebutuhan rakyat banyak. Dibarengi dengan lemahnya penegakan hukum atas berbagai penyelewengan seperti menjual minyak subsidi ke sektor industri, penimbunan dan penyelundupan. Kelangkaan cukup lama adalah skandal. Harus dapat dipertangjawabkan oleh Pemerintah. Kemendag menyatakan kurangnya pasokan terjadi di lapangan atau level pendistribusian produk ke pasar ritel. Dua jalan yang harus dilakukan, pertama selidiki serius permainan jahat yang sangat merugikan masyarakat dan memalukan bangsa. Kedua, hukum berat mereka yang hanya memikirkan keuntungan usahanya sendiri dengan melakukan penyimpangan. Kasarnya, hukum gantung. Bila tidak, akan berulang terorisme perdagangan model seperti ini. Presiden harus tunjukan kepedulian dan keseriusan dalam pemihakkan kepada rakyat, ikut sakit atas penderitaan rakyatnya. Bukan malah piknik berkemah di Kalimantan. Melakukan ritual mistis yang tidak perlu dan membahayakan keimanan bagi seorang muslim. Tapi, masih Muslim kah pak Jokowi ? Minyak goreng, pak. Minyak goreng ! (*)
Rakyat Mati Antri Minyak Goreng: Makzulkan Presiden Jokowi Segera!
Oleh Marwan Batubara, IRESS - PNKN Pada tanggal 10 Maret 2022, pemerintah (Dirjen Perdagangan Luar Negeri, Kementrian Perdagangan) resmi mematok aturan domestic market obligation (DMO) minyak sawit (crude palm oil, CPO) sebesar 30% yang wajib dijual di pasar domestik dari total produksi CPO Indonesia. Sesuai Peraturan Dirjen Kemendag ini, harga maksimum DMO adalah Rp 9.300 per kilogram (kg) untuk CPO dan Rp 10.300 per kg untuk olein (fraksi cair minyak sawit tahan oksidasi). DMO ini merupakan syarat bagi eksportir CPO dan turunannya dapat izin ekspor. Pada saat yang sama, Kemendag menyatakan peraturan DMO 30% ini memperkuat keputusan sebelumnya tentang Harga Eceran Tertinggi (HET). Seperti diketahui, Permendag No.6/2022 telah menetapkan HET minyak goreng (migor) dibagi dalam tiga kelompok, yakni HET migor kemasan premium senilai Rp 14.000 per liter, migor kemasan sederhana senilai Rp 13.500 per liter, dan migor curah senilai Rp 11.500 per liter. Dengan kewajiban DMO sebesar 30%, jika tahun 2022 ini produksi total CPO nasional diperkirakan sebesar 51 juta ton, maka pasokan minyak sawit (termasuk olein) untuk konsumsi domestik akan mencapai 15,3 juta ton. Sedangkan biasanya rata-rata kebutuhan domestik sawit nasional, termasuk program biosolar B20/B30, untuk domestik sekitar 10-12 juta ton. Dengan terpenuhinya kebutuhan ini, maka mestinya kelangkaan migor domestik tidak lagi terjadi. Indonesia merupakan produsen terbesar CPO dunia. Sedangkan konsumsi domestik hanya sekitar 25-30% dari total produksi CPO nasional. Lantas, di tengah lumbung CPO ini, mengapa gonjang-ganjing harga dan nestapa migor masih terus berlangsung, hingga berbulan-bulan? Berikut diuraikan beberapa penyebab mengapa “rakyat mati di lumbung CPO”. Pertama, karena negara melalui Pemerintahan Jokowi tidak atau belum hadir guna mengurus dan mengatur kebutuhan rakyat yang vital tersebut secara komprehensif, terarah dan berkelanjutan. Mayoritas rakyat yang berada dalam posisi lemah tampaknya bukan prioritas yang harus diurus dan diselamatkan kebutuhan pokoknya. Bagi pemerintah yang menganut ekonomi sangat liberal, kepentingan oligarki, pengusaha sawit dan maksimalisasi penerimaan APBN dari naiknya harga CPO jauh lebih penting dibanding urusan hajat hidup vital rakyat. Kedua, meskipun memiliki otoritas, membuat kebijakan dan menetapkan aturan, Pemerintah cenderung gagal membuat aturan antisipatif dan gagal pula belajar dari pengalaman naiknya harga CPO masa lalu. Meskipun telah menerbitkan empat peraturan dalam dua bulan terakhir, yakni Permendag No.1/2022, Permendag No.3/2022 dan Permendag No.6/2022 dan Peraturan Dirjen yang disebut di atas, kelangkaan migor masih berlangsung, rakyat mengantri panjang berjam-jam, dan bahkan di Berau, Kaltim, (12/3/2022) sampai ada yang meninggal! Ketiga, kebijakan pemerintah tidak solid karena adanya intervensi oligarki. Akibatnya terbit aturan-aturan yang bersifat interim, coba-coba dan sewaktu-waktu bisa berubah, karena yang menjadi fokus perhatian bukanlah rakyat banyak, tetapi kepentingan oligarki, program biodiesel (B20 & B30) menggunakan dana pungutan BPDPKS yang sangat menguntungkan oligarki, dan pengamanan penerimaan APBN yang terancam defisit BESAR. Keempat, lemahnya pengawasan, penegakan hukum serta tidak jelas dan tegasnya sanksi atas pelaku penyelewengan. Harga migor subsidi untuk mayoritas rakyat (terutama migor jenis curah) memang lebih murah dibanding migor non-subsidi sektor industri dan migor golongan mampu. Karena lemahnya pengawasan dan penegakan hukum, oknum-oknum pengawas, aparat negara dan penegak hukum justru terlibat berbagai kejahatan: menjual migor subsidi ke sektor industri dan sektor non-subsidi, menimbun atau bahkan menyeludupkan migor. Kelima, sejumlah pengusaha sawit merupakan perusahaan terintegrasi yang juga memiliki jaringan bisnis di sektor industri dan sektor-sektor lain di hilir yang mestinya tidak berhak mengkonsumsi migor subsidi. Jika di satu sisi pengawasan dan penegakan hukum lemah, dan di sisi lain jaringan terintegrasi tersebut demikian luas dan mencengkeram, serta ditambah pula dengan prilaku moral hazard, maka penyelewengan akan mudah dan terus berlangsung. Keenam, besarnya windfall profit dari naiknya harga CPO (mencapai 71% dalam setahun terakhir) jelas akan menambah kemampuan keuangan negara. Dengan besarnya windfall profit yang diperoleh pengusaha sawit, mestinya pemerintah pun memperoleh dana tambahan penerimaan APBN yang besar pula, berupa windfall profit tax, atau pajak progresif ekspor CPO. Dana tambahan ini sangat besar untuk mampu mengendalikan harga migor subsidi, sehingga rakyat tidak perlu mengantri. Namun subsidi migor rakyat tersebut tidak terjadi. Meskipun potensi dana tersebut sangat besar, kita tidak paham apakah windfall profit tax/pajak progresif tersebut telah benar-benar diterapkan, nilainya berkeadilan dan digunakan untuk pembelanjaan APBN yang mendesak dan prioritas. Untung besar dari windfall harga CPO sangat BESAR untuk bisa dimanfaatkan oleh oligarki dan pelaku moral hazard untuk mempertahankan dominasi kekuasaan dibanding untuk kepentingan rakyat secara adil dan transparan. Dalam hal ini, rakyat harus meminta BPK mengaudit dan KPK mengusut tuntas penerapan dan penggunaan windfall profit tax, serta mengadili para pencoleng. Di samping pajak ekspor progresif CPO, pemerintah pun telah memperoleh dana dari pungutan ekspor yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). BPDPKS yang merupakan Badan Layanan Umum ini merupakan unit organisasi di bawah Menteri Keuangan. Dalam dua tahun terakhir, 2020-2021 subsidi biodiesel dari BPDPKS kepada perusahaan pemasok biodiesel (umumnya pengusaha oligarkis) sekitar Rp.79,86 triliun. Dengan dua sumber penerimaan, yakni pajak ekspor (harus progresif) dan pungutan ekspor (oleh BPDPKS) mestinya negara sangat mampu mensubsidi harga migor agar tersedia bagi rakyat dengan harga terjangkau. Rakyat pun tak perlu menderita dan mengantri migor ratusan meter selama berjam-jam. Namun hal ini gagal dijalankan Pemerintahan Jokowi! Jika ditambah enam masalah dan kegagalan pemerintah yang diuraikan di atas, terutama, maka lengkaplah kegagalan Presiden Jokowi, sehingga layak dituntut untuk mundur dan bertanggungjawab! Merujuk pada Ayat (2) dan (3) Pasal 33 UUD 1945, Cabang-cabang produksi penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara; sedangkan bumi, air dan kekayaan alam dikuasai negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Fakta di lapangan, para pengusaha CPO (sekitar 40% adalah asing dari Malaysia, China, dll) justru menguasai lahan milik negara dalam bentuk hak guna usaha (HGU), terutama beroperasi terutama di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Mereka para pengusaha inilah yang memperoleh manfaat terbesar lahan negara! Dengan kebijakan dan peraturan yang berlaku, para pengusaha CPO malah mendapat keuntungan terbesar dari lahan negara yang luasnya ratusan ribu hingga jutaan hektar. Sebaliknya, rakyat memperoleh bagian yang lebih kecil. *Bahkan untuk memperoleh migor sesuai harga keekonomian saja (Rp 14.000), rakyat harus berjuang keras dan menderita*, dan Pemerintahan Jokowi pun gagal melindungi kebutuhan rakyat tersebut! Kondisi dan kebijakan Pemerintahan Jokowi yang tidak adil, anti Pancasila & UUD 1945 ini harus segera diakhiri. Rakyat harus segera bersikap dan bergerak menyatakan sikap, serta melakukan perlawanan terbuka. Tidak layak bagi rakyat menjadi pecundang di tengah prilaku penyelenggara negara yang pro oligarki dan sarat kepentingan mempertahankan kekuasaan. Rakyat pantas menuntut MPR segera memproses pemakzulan Presiden Jokowi. Mengurus kebutuhan dasar rakyat saja tak mampu, mengapa pula minta perpanjangan masa jabatan? Sebenarnya lebih pantas jika Presiden Jokowi mundur! (*)
Empat Skenario Perpanjangan Jabatan Jokowi
Deddy Corbuzier juga menanyakan apa tergantung dari Pak Jokowi. “Pak Jokowi urusannya apa? Beliau sudah tegas menyatakan taat konstitusi. Konstitusinya sekarang dua periode, ya beliau taat itu,” jawab Luhut. Oleh: Mochamad Toha, Wartawan FNN UNTUK mengubah konstitusi, syaratnya negara harus chaos dan ekonomi terancam. Ini yang akan dijadikan alasan. Pemerintah selalu bilang, baik-baik saja, padahal sesungguhnya tidak baik-baik saja. Pemerintah tetap akan membangun Ibu Kota Negara (IKN) di Penajam Pasir Utara, Kalimantan Timur yang dananya lebih besar. Ada jatah APBN. Mana lebih penting IKN atau pesta demokrasi. Ambigu terus-menerus. Kanal YouTube Off The Record yang dipandu dua wartawan senior FNN Agie Betha dan Hersubeno Arief menyampaikan, justru seharunya kalau tidak ada pemilu, bukannya diundur, tapi dipercepat. Dalam situasi seperti itu, tak punya duit ada alasan untuk mengundurkan pemilu. Tiga partai yang semula mengusulkan itu, PKB, PAN, dan Golkar, ternyata tak berhasil, nanti mungkin KPU yang minta diundur. Puzzle-puzzle yang terjadi selama ini semakin jelas siapa otak penundaan Pemilu 2024 itu. Bahasa yang disampaikan Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan sudah jelas dalam Podcast Deddy Corbuzier Luhut kelihatan santai. Presiden Joko Widodo, kata Luhut, sudah bilang, taat konstitusi, tidak ada melarang wacana penundaan. “Ketika konstitusi diubah dia akan taat,” ujar Hersubeno Arief. Awalnya disebut sebagai aspirasi rakyat. Sekarang hasil survei, ternyata hasilnya beda. “Sekarang Luhut pakai Big Data. Lha ini awalnya Cak Imin (Ketum PKB Muhaimin Iskandar). Makin terlihat akal-akalan: 110 juta big data,” lanjutnya. Kalimat Luhut di podcast Deddy sepotong-sepotong. “Ga tuntas. Pak Luhut mengklaim, ada ceruk pemilih PDIP, Gerindra, Demokrat, PKB yang setuju penundaan. Big data percakapan medsos. Twitter 15, 7 juta. Big data dari mana? Kalau data tidak akurat akan jadi persoalan,” ujarnya. Misi memunculkan isu penundaan pemilu 2024 juga didasari big data dari jutaan percakapan dalam medsos. Ada begitu banyak bahkan mayoritas di medsos yang mendukung jika Presiden Jokowi lanjutkan menjabat. Setelah itu baru diatur siasat siapa saja tokoh yang perlu bicara di depan publik. Diawali Menteri Investasi Bahlil Lahadalia sudah menyampaikan pada 10 Januari lalu. Dia mengklaim usulan itu aspirasi dari pengusaha. Kemudian dilanjutkan Ketum PKB Muhaimin Iskandar, Ketum PAN Zulkifli Hasan, dan Ketum Golkar Airlangga Hartarto. Rencana Luhut itu ditentang petinggi PDIP seperti Hasto Kristiyanto, Puan Maharani, dan Megawati Soekarnoputri. Mereka telah menentang keras dan melawan ambisi Luhut tersebut. Sebelumnya, Partai Demokrat dan PKS telah menyatakan sikapnya menolak usulan penundaan Pemilu 2024 itu. Disusul oleh PDIP dan Partai Gerindra. Tolak penundaan Pemilu 2024. Sikap sama juga sudah diumumkan KPU. Skenario Luhut? Setidaknya ada 4 skenario yang dilontarkan Luhut terkait rencana tersebut. Yaitu: Pertama, Tiga periode untuk pasangan Joko Widodo-Prabowo Subianto, tapi ditolak; Kedua, Penundaan pemilu 2024 dimulai dari Bahlil mengadakan pertemuan dengan sejumlah pimpinan parpol. Namun, banyak ditolak pimpinan partai sendiri seperti Surya Paloh, Hasto, Gerindra juga menolak. “Opsi ini kelihatannya masih akan terus dicoba,” ungkap Hersubeno Arief. Ketiga, Perpanjangan masa jabatan. Rumor bahwa di Bogor ada pertemuan antara Presiden Jokowi dengan Megawati pada 10 Maret 2022. Di situ juga dikatakan menolak. Jokowi dan Megawati berbeda. Megawati pernah bila, “Emang negara ini milik nenek moyang Lu.” Padahal, “Megawati sekarang ini sedang berpikir bagaimana anaknya, Puan Maharani, bisa naik. Tapi, Jokowi sedang berpikir bagaimana menjabat lagi. Jadi bukan senafas sejiwa,” ujarnya. Luhut tetap akan perpanjang, karena itu mereka anggap konstitusional. Namun, Surya Paloh tetap tolak. Keempat, Penundaan Pemilu 2024 dengan alasan ketiadaan anggaran. Ini rencana alternatif. “Ternyata pemerintah punya rencana besar. Pokoknya, Jokowi harus berkuasa, apapun caranya,” timpat Agi Betha. Yang perlu diwaspadai lagi, Jokowi berpotensi mengeluarkan dekrit. Jokowi memang tidak mungkin terlibat teknis, tapi dia pantau opsi-opsi ini. Apalagi seperti kata Zulhas bahwa itu sudah persetujuan Jokowi. Operasi ini sudah persetujuan Jokowi. Luhut dalam sebuah podcast di YouTube Deddy Corbuzier, Sabtu, 12 Maret 2022 menanggapi isu mengenai jabatan Presiden Jokowi tiga periode yang masih terus menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat. Luhut menilai wacana mengenai 3 periode tersebut tidak masalah karena bagian dari demokrasi. Luhut menjelaskan bahwa sekarang banyak suara bermacam-macam, kalau memang suara (3 periode) tersebut membesar tergantung dari perwakilan rakyat untuk menanggapi. “Soal (apakah) mungkin atau tidak mungkin itu, nanti DPR dan MPR yang menentukan, jadi bahwa ada wacana macam-macam dipublik merupakan bagian dari demokrasi,” jawab Luhut. Deddy Corbuzier juga menanyakan apa tergantung dari Pak Jokowi. “Pak Jokowi urusannya apa? Beliau sudah tegas menyatakan taat konstitusi. Konstitusinya sekarang dua periode, ya beliau taat itu,” jawab Luhut. Luhut menjelaskan jika rakyat tiba-tiba minta, DPR berproses, partai politik berproses sampai di MPR, dan kalau sampai terjadi penundaan satu tahun, dua tahun atau tiga tahun, sah-sah saja. Deddy Corbuzier penasaran apakah nanti tidak balik di zaman Soeharto. Menurut Luhut, kekebasan dulu tidak seperti sekarang, sekarang rakyat boleh bersuara. “Kebebasan dulu tidak seperti sekarang. Sekarang ini orang boleh bersuara, dulu ga berani, bisa bonyok. Sekarang apa yang ga dibilang Pak Jokowi, Pak Jokowi diem saja, sekarang apa saja ribut, pak Jokowi dibilang tidak konstitusional, wong beliau ga ngomong, itu suara dibawah kan, artinya ini belum tentu, kenapa mesti repot,” jelas Luhut. Menurut Luhut, suara rakyat jika memang suara itu besar, DPR atau partai politik pasti dengar, dan itu merupakan konstituen. Apabila rakyat terus berkembang, bilang di DPR dan MPR, konstitusi yang dibikin yang harus ditaati presiden, karena konstitusi yang memerintahkan presiden. (*)
Dibunuh Tanpa Proses Peradilan
Oleh M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan KASUS penembakan dr Sunardi atas tuduhan terlibat terorisme harus didukung pembuktian. Oleh karenanya pengusutan tuntas mesti dilakukan.Tidak cukup dengan pernyataan bahwa dr Sunardi menjadi penasehat Jama\'ah Islamiyah (JI) atau pendiri Hilal Ahmar Society. Terlalu sumier untuk harga nyawa seorang warga negara. Ditembak punggung atas dan pinggul kanan hingga tewas. Kepolisian dalam hal ini Densus 88 harus bertanggung jawab atas agenda pembuntutan dan penangkapan dr Sunardi yang sedang mengendarai mobilnya seorang diri. Yang bersangkutan difabel dan masih berstatus terduga sebagaimana berita awal. Keluarga sama sekali tidak menerima surat apapun. Kecuali surat penyerahan jenazah dari Rumah Sakit Kepolisian. Modus operandi yang hampir sama dengan pembunuhan 6 anggota Laskar FPI oleh aparat pada 7 Desember 2020. Ada pembuntutan, pengejaran, dan penembakan. Mobil rusak dan dengan alasan melawan. Korban pun tewas, karenanya tidak mampu memberi keterangan atas peristiwa yang sebenarnya. Sebaliknya aparat bebas untuk bercerita. Sesuatu yang dikaitkan terorisme membuat banyak cerita bukan fakta. Pembuktian lebih bersifat sepihak dan bisa dibuat-buat. Publik tidak memiliki imbangan bukti. Di sinilah pelanggaran HAM menjadi mudah untuk terjadi. Oleh karenanya sangat setuju jika Komnas HAM terjun melakukan pengusutan atas penembakan dr Sunardi tersebut. Sebagai negara hukum sudah selayaknya seseorang itu dieksekusi atas perintah hukum melalui proses peradilan. Banyak kasus teroris yang terduganya tewas, sehingga tidak dapat menguak motif dan jaringan sebenarnya. Semua dibuat gelap. Katanya ingin menumpas habis kejahatan terorisme, tetapi faktor penguak justru dihabisi. Haruskah ada adagium bahwa \"terorisme adalah keanehan hukum dari suatu misteri politik\" ?. Teroris yang tewas oleh aparat menjadi korban dari kepentingan atau permainan politik. Tampaknya mesti ada evaluasi sekaligus perubahan paradigma penanganan ke arah yang lebih manusiawi. Batas waktu tahanan juga sangat lama hingga bisa tujuh bulan untuk sampai pada proses Pengadilan. Ini menyangkut HAM yang terabaikan. Densus 88 bukan badan super body yang dapat berbuat bebas atas nama hukum. Memberantas terorisme dengan cara teror bukan solusi. Tidak sesuai dengan amanat Undang-Undang. Belum lagi target selalu saja komunitas muslim. Aktivis bahkan penda\'wah. Baik terorisme maupun radikalisme sepertinya memiliki fokus sasaran yang sama yaitu umat Islam. Atribut keagamaan senantiasa dilekatkan. Kini diumumkan oleh Kepolisian bahwa dr Sunardi berstatus tersangka, semestinya dijelaskan kapan yang bersangkutan dipanggil, diperiksa, dan digelar perkara hingga berstatus tersangka. Mengapa tidak ditahan pasca pemeriksaan. Penangkapan dilakukan karena mangkir memenuhi panggilan? Mengapa ada kejar mengejar sehingga terjadi tabrakan? Zig zag kendaraan itu perlawanan atau kepanikan? Dari mana dr Sunardi ditembak, oleh siapa dan atas perintah siapa? Bukankah dr Sunardi memiliki rumah dan tempat praktek, mengapa tidak ditangkap di sana? Semua itu harus terjelaskan. Masalah ini tidak boleh hilang begitu saja, harus diusut tuntas. Meskipun tuduhan pada dr Sunardi adalah teroris. Publik harus diberi bukti dan keyakinan. Jika tidak jujur dan transparan maka apa beda rezim ini dengan rezim zionis Israel yang sewenang-wenang membunuh dan membantai warga Palestina atau rezim komunis Cina yang membunuh dan membantai muslim Uyghur? Indonesia negara Pancasila, bukan Zionis atau Komunis. Buat cara penanganan hukum lebih sehat dan beradab. (*)
KKN Sebagai Modus Oligarki
Menyakitkan dan memang begitu menyayat hati, Indonesia yang berlimpah sumber daya alam, harus menampilkan emak-emak dalam antrian yang panjang dan berdesak-desakan hanya sekadar untuk mendapatkan 1 liter minyak goreng, yang bahkan tidak gratis. Rakyat menjadi begitu terhina dan tidak manusiawi memperoleh sembako, sementara oligarki berpesta pora menikmati kekuasaan dari praktek-praktek KKN yang merampok kekayaan negara. Oleh: Yusuf Blegur, Mantan Presidium GMNI Penyelenggaraan negara terus mengalami kemerosotan sosial ekonomi, sosial politik dan sosial hukum. Oligarki yang menjadi hulu sekaligus sumber dari praktek-praktek KKN, kini semakin menjalar dan memasuki seluruh sektor kehidupan rakyat Indonesia. Aparatur pemerintahan telah menjadi sub koordinat oligarki berwajah borjuasi korporasi dan kapitalis birokrat yang mengokohkan tirani minoritas atas mayoritas. Pemerintahan seperti tak berdaya bahkan ikut menjadi bagian dari oligarki. Setelah menguasai kehidupan rakyat pada aspek ekonomi, politik dan hukum, oligarki mulai intens menjarah konstitusi. Omnibus law, IKN dll, menjadi karya fenomenal dan monumental persekongkolan para taipan dan aparat negara. Oligarki ingin membuktikan bahwasanya kekuasaan yang ada pada segelintir orang dan memiliki penumpukan modal dan aset yang besar itu. Kini berusaha membangun legalitas dan legitimasi praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme melalui cara-cara konstitusional. Berupaya dengan segala cara, memastikan kejahatan negara diakui secara formal dan sah di mata Undang-Undang. Praktis, keadaan yang demikian itu membuat para pejabat dan pemimpin negara telah menjadi ternak-ternak oligarki. Menjadi kaki tangan sekaligus budak-budak kekuasaan, yang sejatinya menjadi mesin produksi kapititalime yang efisien dan efektif bagi tumbuh suburnya oligarki. KKN mewabah dan merasuki pada setiap instrumen negara. Korupsi, kolusi dan nepotisme sebagai penyakit oligarki, memapar ke setiap institusi pemerintahan, partai politik dan dan jantung kekuasaan negara sekalipun. Menuju Negara Gagal Krisis menyeluruh pada semua sektor penyelenggaran negara, sudah mulai memasuki kehidupan rumah tangga pada banyak komponen bangsa. Setiap keluarga tak lagi memiliki benteng pertahanan yang kuat untuk menjalani kehidupan yang layak dan manusiawi. Hampir di setiap lapisan sosial masyarakat, mengalami gejolak hebat terutama pada soal ekonomi. Rakyat diambang frustasi dan tak sedikit jumlah kematian karena kemiskinan. Belum reda akibat dampak pandemi yang meluluh-lantakan kualitas hidup. Rakyat terus mengalami tekanan hidup yang semakin melilit dan mencekik leher. Angka perceraian keluarga meningkat karena pengangguran tak terbendung lagi. Rakyat dipaksa rezim berada pada situasi dan keadaan bagaikan hidup segan mati tak mau. Rezim benar-benar keji dan bengis pada rakyat. Dituntut kewajibannya, namun mengabaikan haknya. Menjadi korban PHK, kelangkaan sembako yang diikuti menurunnya daya beli rakyat dan kenaikan harga yang masif seperti BBM, tarif listrik dan gas serta pelbagai kebutuhan strategis lainnya. Membuat kekuasaan itu sendiri, layaknya telah menjadi musuh nomor wahid bagi negara dan rakyat. Di satu sisi menunjukkan adanya indikasi kegagalan pemerintah dan kebangkrutan negara, di sisi lain ulah rezim lebih banyak menimbulkan penderitaan rakyat yang berkepanjangan. Antrian berjam-jam Emak-Emak untuk mendapatkan sekedar 1 liter minyak goreng, harga daging sapi yang melambung tinggi yang disusul gula, cabai, garam dsb. Seakan menyadarkan rakyat, negara sudah memasuki krisis yang dalam dan akut. Penyimpangan kekuasaan yang meluas, terstrukur dan sistematik, mulai dari konstitusi hingga pada kebijakan mikro dan makro. Diperburuk dengan penyelenggaraan negara yang otoriter dan diktator, tanpa demokrasi dan tanpa penegakkan hukum yang berkeadilan. Membuktikan krisis multidimensi yang dialami negara saat ini jauh lebih mengerikan dari krisis moneter yang menyebabkan kejatuhan ORBA. KKN yang menjadi modus oligarki, berangsur-angsur secara perlahan dan terukur membawa rakyat dalam kehidupan tak ubahnya tanpa pemerintahan dan tanpa negara. Alih-alih menjadi negara kesejahteraan, rakyat justru dibawa rezim menuju negara gagal. Pada akhirnya rakyat harus memilih dan bersikap. Pasrah dan menerima keadaan yang paling buruk sekalipun dari distorsi penyelenggaraan negara, akibat oligarki dan segelintir penjahat berkedok penyelenggara negara. Membiarkan terus menerus dan menjadikannya serba permisif terhadap praktek-praktek KKN di negeri ini, mulai dari kantor desa hingga istana negara. Atau berbuat sesuatu dan mengambil tindakan yang revolusioner untuk mengubah, memperbaiki dan menyelamatkan negara. Sepertinya rakyat tidak mempunyai banyak pilihan. Melihat langsung konstitusi tercabik-tercabik dan kemudian rakyat sekarat menjadi mangsa empuk oligarki. Kini, rakyat berada di ujung tanduk konstitusi dan erosi negeri. Betapapun demikian, seluruh rakyat Indonesia masih ada waktu dan belum terlambat. Bergerak dan menghimpun kekuatan kesadaran kritis dan gerakan perlawanan secara kolektif baik secara parsial maupun terintegrasi, telah menjadi keharusan untuk menyelamatkan Panca Sila, UUD 1945 dan NKRI. Menyatukan seluruh elemen mahasiswa, kalangan buruh, para intelektual dan akademisi, kaum miskin kota dan miskin desa serta seluruh massa aksi yang progresif revolusioner. Semua kekuatan perlawanan anak bangsa yang menjadi soko guru revolusi, mau tidak mau suka atau tidak suka, harus berhadapan dengan kolonialisme dan imperialisme gaya baru mewujud oligarki. Bangkit melawan atau diam terindas, mendesak tidak sekedar hanya sebuah kata-kata. Melainkan lebih dari itu, menjadi tindakan yang nyata. Karena pada prinsipnya, KKN sebagai modus oligarki itu sesungguhnya musuh yang nyata bagi seluruh rakyat Indonesia. (*/
People Power Suatu Pilihan
Oleh M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan TOKOH dan aktivis seperti Rocky Gerung, Bivitri Susanti, Lieus Sungkharisma, Syahganda Nainggolan, Ferry Juliantono dan lainnya berkumpul membahas kondisi pelaksanaan Konstitusi akhir-akhir ini terutama fenomena adanya upaya untuk melakukan penundaan pelaksanaan pemilu 2024. Upaya itu dipastikan melawan Konstitusi. Jika tidak ada kekuatan lagi yang mampu mencegahnya, maka pilihan satu-satunya adalah people power. People power merupakan aksi massa turun ke jalan serempak dan masif untuk menekan pengambil kebijakan agar tidak melanjutkan pelanggaran Konstitusi. Bahkan mengingat pelanggaran tersebut adalah menjadi tanggungjawab Presiden, maka Presiden akan menjadi sasaran dari aksi people power yakni pemakzulan. Pemakzulan pada masa jabatan dibenarkan oleh Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 7A UUD 1945. Karenanya upaya pemakzulan itu sah-sah saja. Asal bukan pengambilan kekuasaan secara paksa atau kudeta. Menekan agar Presiden mundur atau memproses pemakzulan sesuai aturan adalah konstitusional. Pemakzulan merupakan bagian dari proses politik yang berulang terjadi di negara Indonesia. Ini akibat dari pemegang kekuasaan gagal membaca aspirasi rakyat, memaksakan kehendak, serta bertindak represif. Presiden Soekarno dan Soeharto adalah contoh pemakzulan dengan kekuatan rakyat atau people power tersebut. Sikap ambivalen Jokowi yang berindikasi ingin memperpanjang kekuasaan melewati batas aturan Konstitusi potensial untuk pemakzulan. Dosa-dosa politik yang cukup banyak merupakan magnet bagi munculnya gerakan people power tersebut. Butir ketiga pernyataan pertemuan tokoh dan aktivis di Jakarta tersebut menegaskan \"menolak penambahan Pemilu serta mempersiapkan kekuatan rakyat untuk people power\". Penanganan masalah kenegaraan yang kacau di bawah Presiden Jokowi terlihat dari pengelolaan keuangan pandemi yang diawali Perppu, aturan omnibus law yang menekan pekerja, pelanggaran HAM pembunuhan 6 laskar, ngotot memindahkan IKN serta pemunduran Pemilu. Kekacauan pengelolaan negara yang bernuansa KKN ini sudah sangat dirasakan rakyat dan menggelisahkan. Akan tetapi rakyat nyatanya tak berdaya sehingga lebih pada posisi menunggu baik atas kesadaran pemerintah untuk memperbaiki kinerja maupun momen perubahan. Sikap aktivis yang berkumpul dan terwadahi dalam Perhimpunan Menemukan Kembali Indonesia itu sangat mengkhawatirkan posisi Konstitusi yang berada diujung tanduk. People power adalah jalan untuk penyelamatan. Menurut para aktivis penyelamatan itu perlu disiapkan. Meskipun mungkin langkah akan dilakukan namun kekuatan psiko-politik diharap lebih dominan. Pemerintahan Jokowi benar-benar menutup buku wacana dan upaya untuk mengundurkan Pemilu 2024. Sampaikan kepada rakyat dalam pidato khusus tentang penegakan Konstitusi bahwa Pemerintah tidak akan dan menentang segala upaya untuk mengundurkan Pemilu itu. Bila Presiden membuat pidato khusus seperti itu, harapan masih ada. Akan tetapi jika komentar semata yang dikemukakan dan itu hanya sebagai \"lip service\" atau gerilya politik yang terus dilakukan, maka people power mungkin menjadi persoalan waktu saja. Pelanggaran konstitusi memang tidak boleh ditoleransi. (*)
Kehebatan Densus 88 dan Brimob Perlu Disalurkan
Oleh Asyari Usman, Jurnalis Senior FNN TANGKAS dan ‘highly trained’ (sangat terlatih). Fisik mereka bagus-bagus. Tegap, dengan otot yang dibentuk sesuai ‘text book’. Keterampilan ‘martial art’ (bela diri) mereka tinggi. Menendang selalu merubuhkan. Yang menerima pukulan pasti babak belur. Senjata api mereka, buatan mutakhir. Menembak, jago sekali. Korban tembakan tewas seketika. Kalau tidak tewas di tempat, biasanya korban padam dalam perjalanan ke rumah sakit. Begitulah sedikit gambar tentang kehebatan dua satuan yang paling dibanggakan di Kepolisian RI, yaitu Detasemen Khusus (Densus) 88 dan Brigade Mobil (Brimob). Biaya latihan mereka tentulah mahal. Seimbang dengan kehebatan yang mereka miliki. Sayangnya, ada yang tidak seimbang. Yaitu, orang-orang yang menjadi korban aksi kedua satuan dahsyat ini. Untuk Brimob, sejauh ini korban mereka boleh dikatakan orang-orang yang berunjuk rasa alias para demonstran. Ada mahasiswa, anak-anak STM, para petani, warga yang melawan penggusuran atau mempertahankan tanah mereka, dlsb. Untuk Densus 88, korban mereka acapkali para terduga atau tersangka teroris yang tak bersenjata. Terakhir, korban Densus 88 adalah seorang dokter di Sukoharjo, Jawa Tengah. Kata Ketua Ikatakan Dokter Indonesia (IDI) Sukoharjo Arif Budi Satria kepada portal online detikcom, dokter ini cacat fisik karena kecelakaan pada 2006. Dokter Sunardi ditembak oleh Densus 88 ketika mau ditangkap beberapa hari yang lalu (9 Maret 2022). Kata Polisi, dia ditembak karena melawan. Seperti apa perlawanan Sunardi, hanya penjelasan Polisi yang harus ditelan mentah-mentah oleh media. Terutama media mainstream yang terkenal tidak suka Islam dan umat Islam. Kita fokuskan dulu pembahasan pada kehebatan Densus 88. Tentu saja penugasan mereka untuk menghadapi “lawan” yang tidak ada apa-apanya adalah wewenang atasan. Tetapi, ketika yang ditembak adalah orang cacat kaki, terasa betapa sia-sianya kehebatan Densus. Sangat memalukan. Karena itu, kehebatan Densus dan Brimob sudah saatnya disalurkan ke medan tugas yang akan membuat mereka tertantang. Dan ada medan tugas yang memerlukan kehebatan mereka itu. Yaitu, aksi teror yang dilancarkan oleh kaum separatis di Papua. Gerombolan separatis Papua sudah memberikan isyarat siap berhadapan dengan Densus dan Brimob. Mereka membunuh banyak warga sipil dalam kerangka SARA. Mereka juga membunuh sekian banyak tentara dan juga polisi. Nah, ini baru front yang pas untuk Densus –dan juga Brimob— yang semuanya bisa menembak jitu. Yang badannya tegap-tegap dan ototnya berisi. Kalau Densus 88 dan Brimob yang diturunkan, pastilah gerombolan separatis-teroris Papua akan megap-megap. Sebentar saja lenyap itu. Rakyat pasti bangga. Densus dan Brimob teruji. Sekaligus membantah komentar bahwa kedua satuan ini hanya mampu menghadapi orang cacat atau tangan kosong.[]
Negara Lebih Radikal Daripada Ustad Penceramah
Bangsa ini tidak bisa distikma-stikma. Stigma radikal itu justru paradoks. Karena pemerintah sendiri sesungguhnya itu radikal: Mengganti Pancasila dengan Liberalisme Kapitalisme dari sistem presidensil! Oleh: Prihandoyo Kuswanto, Ketua Pusat Studi Rumah Pancasila JAGAT media sosial kini tengah ramai dengan munculnya 180 daftar nama penceramah radikal dan intoleran. Ingat kata Radikal jadi ingat dengan sahabat saya, Prof Suteki, Guru Besar Universitas Diponegoro, Semarang. Radikal itu menurut kamus beliau yaitu RADIKAL. Ramah Terdidik dan Berakal . Daftar 180 para ustad penceramah yang distikma radikal telah beredar luas. Geger! Ustad Abdul Somad dan Felix Siauw Masuk Dalam 180 Daftar Penceramah Radikal. Isu radikal terus digoreng bahkan SKB 11 Instansi telah diterbitkan dengan dibentuknya portal untuk melaporkan ASN yang radikal. Apa itu radikal? “Apa kriteria radikal? Kriteria radikal menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 disampaikan bahwa yang menjadi kriteria adalah pertama anti-Pancasila, anti-kebinekaan, anti-NKRI, anti-Undang-Undang Dasar 45.” Kenapa kemudian kelompok radikal tersebut lebih memilih ideologi tertentu dibanding dengan Pancasila. Padahal Pancasila sebagai dasar negara sudah disepakati oleh seluruh rakyat Indonesia dan para pendiri bangsa. Mereka itu anti-Pancasila, tidak mau negara Indonesia berdasarkan asas Pancasila. Tetapi maunya adalah mereka ingin mengubah negara Indonesia yang Pancasila menjadi negara khilafah. Rupanya, paradox tujuan isu radikal itu hanya untuk yang mempunyai paham Khilafah. Paham Liberalme Kapitalisme tidak menjadi radikal.Padahal hari ini Pancasila sebagai Ideologi negara sudah diganti dengan liberalisme kapitalisme. Apakah BNPT akan mengatakan, Liberalisme dan Kapitalisme itu Radikal yang telah menggantikan Pancasila? Marilah kita dengan jujur melihat keadaan bangsa ini sejak UUD 1945 diamandemen negara ini sudah tidak berdasarkan Pancasila. Padahal, Pancasila yang diuraikan dalam alenea ke IV Preambule UUD 1945 adalah desain negara yang kemudian oleh pendiri negeri ini diuraikan di dalam batang tubuh UUD 1945. Menjadi ideologi Pancasila itu ya batang tubuh UUD1945. Bagaimana ideologi Ekonomi kita ya pasal 33 ayat 1 s/d ayat 3 adalah sistem Ekonomi kita. Bagaimana dengan sistem negara? Sistem negara itu ada di pasal 1 ayat 2. Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dijalankan sepenuhnya oleh MPR. Jadi, MPR menjadi lembaga Tertinggi Negara menjalankan kedaulatan rakyat. Kemudian MPR merumuskan Politik negara yang disebut GBHN. Setelah GBHN terbentuk dipilihlah Presiden untuk menjalankan GBHN. Maka Presiden adalah Mandataris MPR. Presiden tidak boleh menjalankan politiknya sendiri maupun politik kelompoknya, apalagi petugas partai. Bagaimana dengan Bhineka Tunggal Ika? Jadi, sistem MPR itulah Bhineka Tunggal Ika. Mengapa di sistem ini semua elemen terwakili di samping DPR ada utusan daerah dan utusan golongan? Utusan itu keterwakilan, oleh sebab itu bukan ditentukan oleh banyak-banyakan suara yang melahirkan mayoritas minoritas ini bertentangan dengan Bhineka Tunggal Ika. Dari uraian diatas sebetulnya siapa yang anti Pancasiala, anti UUD1945, anti Bhineka Tunggal Ika? Bahkan siapa yang mengganti NKRI yang berdasarkan Pancasila menjadi Liberal Kapitalisme. Pertanyaan berikutnya, siapa yang Radikal itu? Harusnya segera sebelas instansi pencetus SKB dan BNPT tentang Radikalisme mengambil kaca dan belajar sejarah apa itu Indonesia? Bagaimana mungkin tidak paham apa itu Indonesia? Apa itu Pancasila? Apa itu Bhineka Tunggal Ika? Dan apa itu NKRI? Kok berani membuat kreteria yang mereka sendiri nggak paham. Bangsa ini tidak bisa distikma-stikma. Stigma radikal itu justru paradoks. Karena pemerintah sendiri sesungguhnya itu radikal: Mengganti Pancasila dengan Liberalisme Kapitalisme dari sistem presidensil! Jadi tidak mungkin ideologi negara Pancasila bisa dijalankan jika diletakan pada sistem Presidensil yang basisnya individualisme, liberalisme, dan juga kapitalisme. Juga tidak mungkin tujuan negara Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia tersebut diletakan pada sistem presidensil yang basisnya adalah individualisme, liberalisme, dan kapitalisme. Pancasila itu antitesis dari semua itu dan Pancasila itu ialah Kolektivisme, Integralistik, Organis, kebersamaan, tolong-menolong, gotong-royong, permusyawaratan perwakilan. Onok rembuk yo dirembuk. Bukan banyak-banyakan suara kalah-menang pertarungan. Pancasila itu bersistem sendiri atau sistem MPR. Menolak sistem di MPR sama artinya menolak ideologi Pancasila. Amandemen UUD 1945 tidak hanya mengganti pasal-pasal UUD 1945 saja. Dengan diamandemen dan diubah 300 persen tersebut, bukan hanya aliran pemikiran Pancasila saja, tetapi negara kekeluargaan yang sudah menjadi kesepakatan diganti dengan sistem individualisme, ini radikal. Maka kekuasaan bukan lagi dimusyawarahkan, justru menjadi rebutan dengan model pertarungan kalah menang banyak-banyakan suara. Kuat-kuatan dengan model demokrasi Liberal. Bagaimana mungkin Indonesia mewujudkan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia kalau UUD hasil amandemen dasarnya saja perseorangan Liberalisme Kapitalisme akibat semakin tidak dipahami apa itu Pembukaan UUD 1945 dan apa itu Pancasila! “Berdasarkan kepada ide-ide yang dikemukakan oleh berbagai anggota dalam kedua sidang paripurna Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia itu tersusunlah Pembukaan UUD 1945, di mana tertera lima azas Kehidupan Bangsa Indonesia yang terkenal sebagai Pancasila, berbangsa dan bernegara”. “Pembukaan UUD 1945 itu adalah pokok pangkal dari perumusan pasal-pasal berturut-turut dalam 16 (enambelas) Bab, 37 pasal saja ditambah dengan Aturan Peralihan, terdiri dari 4 (empat) pasal dan Aturan Tambahan, berhubung dengan masih berkecamuknya Perang Pasifik atau pada waktu itu disebut Perang Asia Timur Raya”. “Karena telah tercapai mufakat bahwa UUD 1945 didasarkan atas sistim kekeluargaan maka segala pasal-pasal itu diselaraskan dengan sistim itu. Negara Indonesia bersifat kekeluargaan, tidak saja hidup kekeluargaan ke dalam, akan tetapi juga keluar. Sehingga politik luar Negeri Indonesia harus ditujukan kepada melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan segala bangsa, perdamaian abadi dan keadilan sosial bagi segala bangsa”. (*)
Door, Dokter Ditembak Densus
Oleh M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan DENSUS 88 menembak seorang dokter di Sukoharjo. Peluru yang menembus punggung dan pinggulnya itu telah menewaskan aktivis kemanusiaan yang berjalan dengan bantuan tongkat karena sakit stroke. Tidak terbayang bahwa ia memiliki kemampuan untuk melawan pasukan Densus 88 yang bersenjata lengkap dan hebat itu. Termasuk bisa menabrakan mobilnya ke arah pasukan. Maen tembak dan membunuh bukan saja tidak profesional tetapi juga membuat kasus menjadi tertutup. Terduga teroris telah dihukum mati dengan bukti hanya dugaan. Sadis sekali. Sepertinya asas praduga tak bersalah itu hanya ada dalam ruang perkuliahan. Prakteknya adalah kepastian bersalah sehingga membunuhmenjadi hal yang tidak dianggap masalah. Penembakan Sunardi, dokter yang dikenal baik dan sering menggratiskan pembiayaan, adalah Extra judicial killing. Kejahatan kemanusiaan. Tuduhan perlawanan sepertinya standar dalam mengolah pembenaran. Persis seperti kasus pembantaian 6 anggota Laskar FPI yang diawali dengan cerita perlawanan dan tembak menembak. Ternyata fakta tidak sesuai cerita. Realitanya adalah pembantaian atas rakyat yang tidak berdaya. \"Teroris\" menjadi lingkaran target latihan memanah atau menembak. Densus 88 memiliki otoritas yang nyaris tidak berbatas. Prosedur hukum bisa dilewati hanya dengan alasan bahwa teroris itu berbahaya. Apa bahayanya bagi penghancuran organ vital negara oleh aktivitas Munarman, Farid Okbah, Ahmad Zain An Najah, Anung Al Hamat, dan Dr Sunardi? Tidak ada ! Jama\'ah Islamiah adalah umpan untuk menjerat. Pemerintah tidak pernah menjelaskan makhluk apa Jama\'ah Islamiah itu. Harusnya detail mengungkap \"company profile\" dari perusahaan ini. Plat merah atau swasta murni, buatan atau mainan ? Densus 88 yang sudah berulang kali mengaitkan harus mampu membantu menjelaskan hal ini agar benar, jujur, dan serius dalam melindungi rakyat. Kini seorang dokter yang baik telah tewas ditembus peluru tanpa bisa membela diri atas tuduhannya sebagai teroris. Densus 88 harus bertanggungjawab. Komnas HAM patut untuk segera mengusut dan Presiden mesti bicara. Nyawa bukan koin judi pertaruhan yang dapat hilang dengan sia-sia. di negara berideologi Pancasila. Terlalu dalam luka bangsa oleh perilaku jumawa penguasa negara. Mencuri merampok, membunuh, memperkosa, dan adu domba. Semua atas nama investasi dan demokrasi untuk membangun negeri. Negeri ini telah terjajah oleh para oligarkhi. Kini penjajah itu telah menembak seorang dokter hingga punggung atas dan pinggul kanan tertembus peluru. Door... innalillahi wa inna ilaihi roojiuun. (*)
Luhut -Surya Paloh Mau Berantem di Hotel Borobudur
Oleh: Yosef Sampurna Nggarang - Sekjend Pergerakan Kedaulatan Rakyat. SABTU siang (5 Maret 2022) saat saya sedang menikmati minuman Kopi Arabika yang dikirim dari Labuan Bajo sambil menuntaskan bacaan otobiografi dari wartawan senior Panda Nababan (PN) yang juga Politisi senior partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan, tiba- tiba angin kencang melanda seluruh wilayah ; Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek). Angin yang kecang itu sangat terasa. Hingga beberapa ibu-ibu di kompleks saya di Cempaka Putih,Jakarta Pusat yang sedang berkumpul untuk undi arisan mingguan di teras sebuah warung terpaksa cepat bubar kembali ke rumah masing-masing. Sebelumnya, saya mendengar obrolan ala ibu-ibu ini soal harga kebutuhan pokok yang terus naik. “Iye. gile (dialek Betawi), barang-barang pada naik, yang turun cuma kolor di pinggang”, respons dari seorang bapak yang berdiri tidak jauh dari tempat ibu -ibu itu berkumpul. Saya pun ikut berdiri masuk ke kamar menghindari angin kencang dan terus melanjutkan bacaan Otobiografi yang dikirim oleh Bang PN tahun 2021 lalu dengan judul: Lahir Sebagai Petarung. Buku setebal 1052 halaman yang terdiri dari dua bagian. Buku satu:Menunggangi Gelombang dan buku dua: Dalam Pusaran Kekusaan. Buku otobiografi Bang PN ini sangat menarik. PN menulis soal hubungan dia dengan para elit di negeri ini; presiden Jokowi, Wapres JK, Megawati, Taufiq Kemas Menteri Koordinator Maritim Dan Investasi (Menko Marves),Prabowo, Surya Paloh, dan tokoh-tokoh lainnya. Saya tertarik mengutip di buku bagian dua: ”Luhut Panjaitan Tidak Masuk Kabinet”. PN menceritakan soal mengapa nama LBP tidak masuk dalam daftar Kabinet saat awal pemerintahan Jokowi (2014). PN pun bertanya ke Jokowi soal ini. “Jokowi mengungkapkan adanya kendala Ketika mengangkat Luhut. Jokowi pribadi sebenarnya sudah memasukan nama Luhut dalam daftar menterinya. Namun, kata Jokowi, wakil presiden Jusuf Kalla dan dua ketua umum partai pengusung, yakni Megawati dan Surya Paloh, tidak menyetujui Luhut masuk Kabinet”. Alasan dari ketiga tokoh ini karena Luhut adalah Wakil Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar (2008-2014), yang mana saat itu Golkar mengusung Prabowo halaman (893-904). Masih di bab ”Luhut Tidak Masuk Kabinet”, PN menceritakan soal LBP pernah punya keinginan untuk menjadi calon wakil presiden. Berikut kutipannya: “Menjelang pemilihan Presiden tahun 2014, Luhut Binsar Panjaitan (LBP) pernah punya keinginan untuk menjadi calon wakil presdien. Saat itu, nama Jokowi muncul sebagai calon Presiden berdasarkan beberapa hasil survei. Keinginan Luhut untuk maju sebagai calon wakil presiden disampaikan langsung kepada saya. Luhut meminta tolong kepada saya untuk mengundang beberapa anggota DPR lintas fraksi bertamu di kantornya di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Pada pertemuan itu, dia mengungkapkan keinginannya untuk maju sebagai calon wakil presiden. Kalau kalian tidak setuju dengan saya, paling tidak kalian janganlah menghalangi saya”, kata Luhut dalam pertemuan itu. Kala itu, putra kelahiran Simargala,Huta Namora,, Silaen, Toba Samosir, Sumatra Utara, pada 28 September 1947 ini menunjukkan keseriusannya dengan membentuk tim sukses, yang beberapa di antaranya adalah teman- temannya di Akabri Angkatan 1970, seperti Fachrul Razi, Agus Widjojo, dan Jhoni Lumintang. Tim sukses ini diberi nama Bravo 5 dan bekerja menggalang dukungan untuk Luhut dari seluruh Indonesia. Selain itu, untuk menunjukkan keseriusannya, Luhut juga mengaku sudah menyiapkan anggaran pencalonan. ”saya betul- betul sudah siap. Sekarang saya sudah siapkan dana. Dalam kendali saya ada uang cash Rp 200 miliar sampai 300 miliar,” kata Luhut. Setelah pertemuan itu, Luhut mulai melakukan pendekatan dengan banyak pihak. Dalam suatu kesempatan, Luhut bersama tim dari Akabri 70 , beberapa tokoh partai politik, dan rekan bisnisnya mengadakan rapat di halaman sekitar kolam renang rumahnya di Kuningan. Saya juga di undang. Pada pertemuan itu, Luhut meminta pendapat kami tentang rencananya maju sebagai calon wakil presiden. Setelah beberapa peserta memberikan pendapat, tiba- tiba Luhut berkata, “Panda giliran kau sekarang kasih pendapat tentang rencana kita ini.” Saya mengatakan,” saat Jokowi menjadi Wali Kota Solo, dia memilih wakilnya F.X . Hadi Rudyatmo, ketua DPC PDI Perjuangan Solo yang kebetulan beragama Katolik. Setelah dia menjadi Gubernur DKI Jakarta, Hadi Rudyatmo yang beragama Katolik yang menjadi Wali Kota Solo. Kemudian saat dia menjadi Gubernur DKI, Jokowi memilih wakilnya Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), yang kebetulan beragama Kristen. Kemudian, Jokowi pergi dan Ahok yang menjadi Gubernur. Nah, apakah tradisi itu nanti akan diteruskan, Saudara Luhut? Apa iya, jika nanti ada apa- apa wakilnya yang Kristen sudah bisa diterima oleh para elit politik Indonesia untuk menjadi Presiden? Apakah kondisi ini nantinya tidak menjadi kontra produktif terhadap pencalonan Jokowi sebagai Presiden? Belum selesai saya menyampaikan pendapat, tiba- tiba Luhut menyergah, “ sudah, jangan diteruskan, Panda. Aku sudah menangkap apa yang kau mau. Dengan ini, saya menyampaikan saya tidak maju menjadi Cawapres.” Beberapa temannya mengacungkan jempol kepada saya dari bawah meja, termasuk Fachrul Razi. Karena, mereka semula segan membantah omongan Luhut. Seketika setelah saya bicara, suasana menjadi cair, wajah- wajah mereka ceria dan tidak kaku lagi. “Konsentrasi kita sekarang memperkuat Bravo 5, mendukung Jokowi,” kata Luhut bersemangat. Nama Bravo 5 terinspirasi dari jalan Banyumas nomor 5, Menteng, Jakarta Pusat, rumah mertua Luhut.” Halaman (902-904) Lalu soal bagaimana PN menjadi “Informan Jokowi”. PN menceritakan hubungan LBP dan surya Paloh yang kurang baik dan hampir berkelahi secara fisik di hotel Borobudur, Jakarta Pusat tahun 2014 halaman (907-909). Berikut kutipannya: “Ketika Jokowi belum lagi genap dua bulan sebagai presiden di periode pertamanya, misalnya, saya informasikan mengenai konflik yang terjadi antara Luhut B. Panjaitan dan Surya Paloh, menjelang Munas Golkar 2014. Partai Golkar ketika itu memang sedang kisruh karena terjadi polarisasi terkait akan diadakannya pemilihan ketua umum baru. Saya sendiri mendapat informasi ini dari seorang kawan, yang kemuadian saya konfirmasi langsung ke Surya dan Luhut. Menurut kawan saya, Luhut dan Surya bahkan akan sempat berkelahi secara fisik di Hotel Borobudur, Jakarta. Ketika itu, keduanya dipertemukan di hotel tersebut oleh pengusaha Tomy Winata. Maka, ketika mendapat informasi soal konflik kedua tokoh tersebut, saya pun menanyakan soal ini kepada Tomy terlebih dahulu. “Aduh, pak Panda, maksud saya sebenarnya baik, saya mau mempertemukan mereka karena keduanya kan sama- sama teman. Tapi, saya tidak menyangka keduanya malah jadi ribut, menyesal juga saya,” kata Tomy. Setelah itu, saya datanglah Surya. Dia mengatakan, peristiwa itu hanya bikin malu dirinya kalau diceritakan kepada saya. “Lho, malau kenapa? Perbedaan pendapat itu kan biasa dan kita juga biasa diskusi,” kata saya. Akhirnya Surya pun mau berceritra. Dia mengatakan, meski dirinya sudah punya partai sendiri, partai Nasdem, dia sebagai orang yang dibesarkan oleh Golkar merasa punya tanggung jawab kalau ada masalah di dalamnya. Itulah yang membuat Luhut sebagai kader Golkar marah kepada Surya. “Aku bukan mau membela Luhut, Sur, tapi kau memang tidak bisa lagi ikut dalam urusan Golkar karena, kau sudah di Nasdem,” kata saya. Kemudian, saya menemui Luhut untuk mendapat informasi dari kedua belah pihak. Luhut menyangka Surya mengadu kepada saya mengenai pertikaian tersebut. “Enggak, aku dapat cerita dari seorang kawan,” kata saya. Luhut pun mengatakan dirinya awalnya hanya mau mengingatkan Surya agar tidak lagi ikut cawe- cawe di Golkar., “Tapi, dia keras kepala, Pan. Padahal, apa pun alasanya, apa pun pembenarannya, dia nggak ada urusan lagi sama Golkar,’ tutur Luhut. Kini, gaduh wacana penundaan pemilu 2024 yang otomatis perpanjang masa presiden, yang mana nama Menko Maritim dan Investasi dilansir dari portal Tempo.Co Senin (7 Maret 2022) ” Luhut Disebut Sempat Kumpulkan Ketua Partai Bahas Penundaan Pemilu”. Publik ingin tahu, bagaimana hubungan Luhut, Megawati, Surya Paloh dan Jusuf Kalla, apakah sudah berdamai? Kalau sudah berdamai,apakah mereka ikut diajak pertemuan dalam wacana penundaan pemilu 2024? Kok Megawati dan Surya Paloh menolak? Mengapa? Tanyakan saja ke Bang PN? Ya, dua kali saya menghubungi belum di respons, tidak biasanya bang PN telat respons kalau saya kontak. Akhirnya saya mikir juga, jangan- jangan bang PN sedang sibuk rapat di pinggir kolam bahas wacana penundaan pemilu 2024? (*)