KKN Sebagai Modus Oligarki
Menyakitkan dan memang begitu menyayat hati, Indonesia yang berlimpah sumber daya alam, harus menampilkan emak-emak dalam antrian yang panjang dan berdesak-desakan hanya sekadar untuk mendapatkan 1 liter minyak goreng, yang bahkan tidak gratis. Rakyat menjadi begitu terhina dan tidak manusiawi memperoleh sembako, sementara oligarki berpesta pora menikmati kekuasaan dari praktek-praktek KKN yang merampok kekayaan negara.
Oleh: Yusuf Blegur, Mantan Presidium GMNI
Penyelenggaraan negara terus mengalami kemerosotan sosial ekonomi, sosial politik dan sosial hukum. Oligarki yang menjadi hulu sekaligus sumber dari praktek-praktek KKN, kini semakin menjalar dan memasuki seluruh sektor kehidupan rakyat Indonesia. Aparatur pemerintahan telah menjadi sub koordinat oligarki berwajah borjuasi korporasi dan kapitalis birokrat yang mengokohkan tirani minoritas atas mayoritas.
Pemerintahan seperti tak berdaya bahkan ikut menjadi bagian dari oligarki. Setelah menguasai kehidupan rakyat pada aspek ekonomi, politik dan hukum, oligarki mulai intens menjarah konstitusi. Omnibus law, IKN dll, menjadi karya fenomenal dan monumental persekongkolan para taipan dan aparat negara. Oligarki ingin membuktikan bahwasanya kekuasaan yang ada pada segelintir orang dan memiliki penumpukan modal dan aset yang besar itu. Kini berusaha membangun legalitas dan legitimasi praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme melalui cara-cara konstitusional. Berupaya dengan segala cara, memastikan kejahatan negara diakui secara formal dan sah di mata Undang-Undang.
Praktis, keadaan yang demikian itu membuat para pejabat dan pemimpin negara telah menjadi ternak-ternak oligarki. Menjadi kaki tangan sekaligus budak-budak kekuasaan, yang sejatinya menjadi mesin produksi kapititalime yang efisien dan efektif bagi tumbuh suburnya oligarki. KKN mewabah dan merasuki pada setiap instrumen negara. Korupsi, kolusi dan nepotisme sebagai penyakit oligarki, memapar ke setiap institusi pemerintahan, partai politik dan dan jantung kekuasaan negara sekalipun.
Menuju Negara Gagal
Krisis menyeluruh pada semua sektor penyelenggaran negara, sudah mulai memasuki kehidupan rumah tangga pada banyak komponen bangsa. Setiap keluarga tak lagi memiliki benteng pertahanan yang kuat untuk menjalani kehidupan yang layak dan manusiawi.
Hampir di setiap lapisan sosial masyarakat, mengalami gejolak hebat terutama pada soal ekonomi. Rakyat diambang frustasi dan tak sedikit jumlah kematian karena kemiskinan. Belum reda akibat dampak pandemi yang meluluh-lantakan kualitas hidup. Rakyat terus mengalami tekanan hidup yang semakin melilit dan mencekik leher. Angka perceraian keluarga meningkat karena pengangguran tak terbendung lagi. Rakyat dipaksa rezim berada pada situasi dan keadaan bagaikan hidup segan mati tak mau. Rezim benar-benar keji dan bengis pada rakyat. Dituntut kewajibannya, namun mengabaikan haknya.
Menjadi korban PHK, kelangkaan sembako yang diikuti menurunnya daya beli rakyat dan kenaikan harga yang masif seperti BBM, tarif listrik dan gas serta pelbagai kebutuhan strategis lainnya. Membuat kekuasaan itu sendiri, layaknya telah menjadi musuh nomor wahid bagi negara dan rakyat. Di satu sisi menunjukkan adanya indikasi kegagalan pemerintah dan kebangkrutan negara, di sisi lain ulah rezim lebih banyak menimbulkan penderitaan rakyat yang berkepanjangan.
Antrian berjam-jam Emak-Emak untuk mendapatkan sekedar 1 liter minyak goreng, harga daging sapi yang melambung tinggi yang disusul gula, cabai, garam dsb. Seakan menyadarkan rakyat, negara sudah memasuki krisis yang dalam dan akut.
Penyimpangan kekuasaan yang meluas, terstrukur dan sistematik, mulai dari konstitusi hingga pada kebijakan mikro dan makro. Diperburuk dengan penyelenggaraan negara yang otoriter dan diktator, tanpa demokrasi dan tanpa penegakkan hukum yang berkeadilan. Membuktikan krisis multidimensi yang dialami negara saat ini jauh lebih mengerikan dari krisis moneter yang menyebabkan kejatuhan ORBA. KKN yang menjadi modus oligarki, berangsur-angsur secara perlahan dan terukur membawa rakyat dalam kehidupan tak ubahnya tanpa pemerintahan dan tanpa negara. Alih-alih menjadi negara kesejahteraan, rakyat justru dibawa rezim menuju negara gagal.
Pada akhirnya rakyat harus memilih dan bersikap. Pasrah dan menerima keadaan yang paling buruk sekalipun dari distorsi penyelenggaraan negara, akibat oligarki dan segelintir penjahat berkedok penyelenggara negara. Membiarkan terus menerus dan menjadikannya serba permisif terhadap praktek-praktek KKN di negeri ini, mulai dari kantor desa hingga istana negara. Atau berbuat sesuatu dan mengambil tindakan yang revolusioner untuk mengubah, memperbaiki dan menyelamatkan negara.
Sepertinya rakyat tidak mempunyai banyak pilihan. Melihat langsung konstitusi tercabik-tercabik dan kemudian rakyat sekarat menjadi mangsa empuk oligarki. Kini, rakyat berada di ujung tanduk konstitusi dan erosi negeri. Betapapun demikian, seluruh rakyat Indonesia masih ada waktu dan belum terlambat. Bergerak dan menghimpun kekuatan kesadaran kritis dan gerakan perlawanan secara kolektif baik secara parsial maupun terintegrasi, telah menjadi keharusan untuk menyelamatkan Panca Sila, UUD 1945 dan NKRI. Menyatukan seluruh elemen mahasiswa, kalangan buruh, para intelektual dan akademisi, kaum miskin kota dan miskin desa serta seluruh massa aksi yang progresif revolusioner. Semua kekuatan perlawanan anak bangsa yang menjadi soko guru revolusi, mau tidak mau suka atau tidak suka, harus berhadapan dengan kolonialisme dan imperialisme gaya baru mewujud oligarki.
Bangkit melawan atau diam terindas, mendesak tidak sekedar hanya sebuah kata-kata. Melainkan lebih dari itu, menjadi tindakan yang nyata. Karena pada prinsipnya, KKN sebagai modus oligarki itu sesungguhnya musuh yang nyata bagi seluruh rakyat Indonesia. (*/