Gak Becus Mengatasi Kelangkaan Minyak Goreng
Oleh M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan
SUNGGUH aneh di negeri yang menjadi penghasil minyak sawit terbesar di dunia ternyata langka minyak goreng. Antrian ibu-ibu, juga ada bapak, yang panjang memalukan dan memilukan. Bukan gratis terapi hendak beli dengan harga lebih mahal. Serasa di jaman penjajahan saja. Karena pegel antri solusi dibuat dengan antrian sandal. Untung disiplin sehingga sandal tidak ditukar-tukar. Pemandangan ini dahsyat namun mengerikan. Berita teranyar dari Kabupaten Berau Kaltim seorang ibu meninggal di tengah antrian.
Kelangkaan minyak goreng secara tiba-tiba tentu bukan tanpa unsur penyebab. Penyimpangan oleh kartel telah tercium tanpa tindakan berarti. Masyarakat menjadi korban dari permainan para pebisnis. Pemerintah seperti tidak berdaya untuk menyelesaikan. Ada Menteri yang justru menyalahkan ibu rumah tangga yang menimbun minyak goreng di dapur. Tuduhan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan dan mengada-ada.
Lucunya lima konglomerat sawit yaitu Wilmar Group, Downex Argo Group, Musim Mas, First Resources, dan Louis Company telah disuntik subsidi dana hingga tahun 2017 sebesar 7,5 Trilyun. Adakah para konglomerat sawit ini menjadi bagian dari mafia kelangkaan minyak goreng ?
Marwan Batubara pengamat pertambangan melihat bara dari api kelangkaan minyak goreng ini beragam. Berpangkal pada salah penanganan dari Pemerintah. Kemendag mengeluarkan ketentuan Domestic Market Obligation (DMO) minyak sawit sebesar 30 % yang wajib dijual di pasar domestik dari total produksi CPO Indonesia. Namun aturan ini tak mampu menangani krisis kelangkaan.
Ekonomi liberal yang berpihak pada oligarki dan pemilik modal menyebabkan abai dan tidak fokus pada pemihakan dan pemenuhan kebutuhan rakyat banyak. Dibarengi dengan lemahnya penegakan hukum atas berbagai penyelewengan seperti menjual minyak subsidi ke sektor industri, penimbunan dan penyelundupan.
Kelangkaan cukup lama adalah skandal. Harus dapat dipertangjawabkan oleh Pemerintah. Kemendag menyatakan kurangnya pasokan terjadi di lapangan atau level pendistribusian produk ke pasar ritel.
Dua jalan yang harus dilakukan, pertama selidiki serius permainan jahat yang sangat merugikan masyarakat dan memalukan bangsa. Kedua, hukum berat mereka yang hanya memikirkan keuntungan usahanya sendiri dengan melakukan penyimpangan. Kasarnya, hukum gantung. Bila tidak, akan berulang terorisme perdagangan model seperti ini.
Presiden harus tunjukan kepedulian dan keseriusan dalam pemihakkan kepada rakyat, ikut sakit atas penderitaan rakyatnya. Bukan malah piknik berkemah di Kalimantan. Melakukan ritual mistis yang tidak perlu dan membahayakan keimanan bagi seorang muslim. Tapi, masih Muslim kah pak Jokowi ?
Minyak goreng, pak. Minyak goreng ! (*)