Tentang Serangan 1 Maret 1949
Kalau pelaksana serangan tak ada yang meragukan bahwa itu dilakukan oleh Komandan Brigade 10/Wehrkreise Letkol Soeharto dengan anak buahnya seperti Ventje Sumual, Latif dan lain-lain.
Oleh: M. Hatta Taliwang, Candidate Doctor dan Direktur Institut Soekarno Hatta
DALAM membicarakan Serangan 1 Maret 1949 (6 jam di Jogjakarta), data dan fakta yang harus diperimbangkan adalah:
Pertama, Presiden Soekarno dan Wapres Bung Hatta sedang dalam masa pembuangan oleh Belanda di Brastagi dan Bangka. Jadi, tak punya peran dalam urusan Serangan Umum 1 Maret 1949, bahkan dalam memoar Bung Hatta pun tak disinggung.
Kedua, Syafruddin Prawiranegara sebagai Presiden Pemerintah Darurat RI yang intensif berkomunikasi dengan Panglima Besar Jenderal Sudirman selama Desember 1948 sampai dengan Juli 1949.
Ketiga, Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang selalu berkomunikasi dengan Panglima Besar Sudirman karena akan ada Sidang PBB yang membahas Indonesia pasca Agresi II Belanda bulan Desember 1948.
Keempat, Panglima Komando Jawa Jenderal Mayor AH Nasution yang selalu menyiapkan Perintah Siasat Gerilya untuk ditandatangan Panglima Besar Jenderal Sudirman (kemudian menjadi buku Pokok Pokok Gerilya yang terkenal di sekolah militer dunia).
Kelima, Panglima Divisi III Jawa Tengah Kolonel Bambang Sugeng yang eksplisit menulis perintah untuk lakukan serangan ke Ibukota Jogjakarta dan sekitarnya.
Keenam, Letkol Soeharto Komandan Brigade X(10) disebut juga Komandan Wehrkreise. Mungkin sekarang setara dengan Danrem, yang membawahi wilayah Jogjakarta dan sekitarnya.
Ketujuh, Mayor Ventje Sumual yaitu salah seorang yang lebih detil sebagai pelaksana Serangan 1 Maret 1949. Ada sumber yang menyebut Mayor Latif (belakangan dia terlibat G30S) yang juga jagoan di lapangan saat serangan 1 Maret 1949.
Yang perlu dicatat, serangan 1 Maret 1949 itu adalah bagian dari Perang Gerilya yang dikembangkan TNI, terutama sejak Agresi Belanda I 1947. Perang Gerilya adalah masukan Kolonel AH Nasution yang diterima dan disetujui Panglima Besar Jenderal Sudirman.
Sebenarnya, masih ada beberapa panggung serangan gerilya yang tak kalah hebat di Jawa sejak 1945 sampai dengan 1949. Tetapi, kurang mendapat perhatian sebesar Serangan 1 Maret 1949.
Serangan 1 Maret 1949 secara militer biasa saja tetapi dampak politiknya yang besar, karena utusan dari PBB yang sedang berunding di Kaliurang menjadi punya bukti bahwa Indonesia dan TNI-nya itu masih eksis, tidak seperti klaim Belanda bahwa pasca Agresi II Desember 1948 Indonesia sudah tak ada dan TNI-nya sudah tak ada perlawanan.
Serangan 1 Maret 1949 menjadi besar gemanya ketika Letkol Soeharto sudah menjadi Presiden dan dirayakan, bahkan dibuat filmnya: Janur Kuning.
Serangan itu juga bernilai sejarah karena dilakukan di Jogjakarta, ibukota negara saat itu.
Kontroversi muncul menyangkut “Siapa yang Berinisiatif” atau “Yang Punya Ide” dan “Siapa yang Memerintahkan Serangan itu”.
Soeharto mengklaim idenya murni dari dirinya, termasuk pelaksanaannya seperti dinyatakannya saat diwawancara G Dwipayana (Dipo).
Kalau pelaksana serangan tak ada yang meragukan bahwa itu dilakukan oleh Komandan Brigade 10/Wehrkreise Letkol Soeharto dengan anak buahnya seperti Ventje Sumual, Latif dan lain-lain.
Kuat dugaan bahwa idenya datang dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang tahu dari BBC bahwa akan ada Sidang PBB membahas soal Indonesia (berkaitan denga Agresi II Belanda).
Diduga Sri Sultan HB IX berkoordinasi dengan Panglima Besar Jenderal Sudirman. Sudirman lantas koordinasi dengan Presiden PDRI Syafruddin Prawiranegara.
Sebagai Panglima Besar berkoordinasi dengan Panglima Komando Jawa Jenderal Mayor AH Nasution dan Panglima Divisi III Jateng Kol Bambang Sugeng.
Atas serangan 1 Maret 1949 itu Panglima Komando Jawa Nasution menulis:
“Beberapa waktu sebelum Serangan Umum 1 Maret itu Komandan Brigade 10 Letnan Kolonel Soeharto telah berkunjung ke Posko saya di Sapan, maka kami membicarakan situasi secara luas dan makan siang berdua. Pihak kita sudah (akan) mampu melakukan serangan-serangan berarti”. (Dr AH Nasution: Memenuhi Panggilan Tugas, Jilid 2A halaman 221).
“Diantara beberapa Serangan Umum maka yang mendapat hasil sebaik-baiknya ialah penyerangan umum tanggal 1 Maret. Terutama kemenangan politis. Karena dengan penyerangan itu segala propaganda Belanda yang mengatakan bahwa TNI telah hancur, Jogja telah dikuasai sepenuhnya, pemerintahan mereka sudah berjalan dan lain-lain, Dilenyapkan. Sedang negara negara yang bersimpati pada perjuangan kita, tentu tidak akan ragu- ragu memberi bantuan kepada kita. Dan pihak Belanda tentu bimbang dan akhirnya mengurangi kepercayaan terhadap Belanda sendiri”. (Dr AH Nasution: Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 2A hal 230).
Dalam surat Panglima Besar Sudirman ke AH Nasution saat itu disebutkan: Letnan Kolonel Soeharto adalah Bunga Pertempuran (Dr A.H. Nasution, dalam buku yang sama, hal 231).
Demikian sekedar catatan tambahan untuk melengkapi wacana Serangan Umum 1 Maret 1949 yang sedang hangat. Jakarta, 4 Maret 2022. (*)